Rian seketika terdiam. Menatap perempuan yang berdiri beberapa meter darinya.
Dia ... cewek yang pernah ia lihat saat mengejar kelinci di depan rumah kecil Pak Samsudin dan istrinya—rumah yang emang khusus untuk penjaga sekolah—tempatnya berada di bagian belakang gedung olahraga.Dia ... cewek yang begitu riang ketika bercerita dengannya sambil memakan nasi bekal yang ia bawa tanpa mempertanyakan siapa namanya.
Dia ... adik kelas yang ia kenal di seminggu terakhir SMA-nya.
Dia ... satu-satunya cewek yang membuat Rian berpikir ulang untuk tidak menjadikannya pacar dan mencoba untuk mempertahankan kepolosannya.
Dan dia ... cewek yang membuatnya membodohkan diri sendiri karena menyesal tidak mengenalnya sedari dulu.
Akan tetapi, dari semua yang ia ingat, cewek itu bukan seperti cewek yang ada di bayangannya walaupun wajah itu tetap sama dan lebih dewasa. Tatapannya kini terlihat sendu, tidak memancarkan cahaya yang berseri-seri sebagaimana dulu. Tiada lagi keceriaan dan kepercayaan diri yang terpancar dalam dirinya. Yang ada hanya rasa ketakutan, rendah diri, dan juga ... keputusasaan.
Rian memperhatikan perempuan itu dengan kebingungan yang membuatnya ganjil. Apakah ada sesuatu hal besar yang menjadikannya berubah sedemikian dratis?
Di tengah-tengah Rian berusaha keras untuk mencoba memikirkan sesuatu, tiba-tiba Prima yang duduk di sebelahnya berkata, "Lo tau nggak itu siapa?"
Ia termenung sejenak. "Bukannya dia adek kelas kita? Namanya Inez, kan?"
Prima mengangguk. "Keluarga dia hancur."
"Hah?" Rian kaget. "Maksud lo?"
"Mamanya ketauan selingkuh dengan pria lain, sedangkan papanya memutuskan bunuh diri setelah menceraikan mamanya."
Rian memandang Prima dengan tatapan seolah tak percaya. "Lo tau dari mana?"
Prima berdecak. "Semua juga udah pada tau, cuma lo aja yang ketinggalan."
"Itu udah cerita lama, Yan. Beritanya pernah masuk di televisi kok," tukas Evi.
"Kapan tepatnya?"
"Kalo nggak salah sesudah dia lulus dari SMA."
Rian mendadak diam. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, tapi entah itu apa. Tatapannya kini kembali beralih pada Inez. Cewek itu terlihat berjalan mendekati beberapa meja, tetapi selalu ditolak dan diusir oleh teman-temannya. Mereka tidak mengizinkannya bergabung terutama para cewek yang menentang keras.
Inez mundur dengan wajah menyedihkan. Tatapannya meredup. Ia berjalan menjauh sembari menyeka air matanya.
Kening Rian berkerut. "Kenapa mereka begitu kejam?"
"Mungkin mereka nggak setuju dengan perbuatan mamanya Inez," ujar Beni, ikut andil memberikan suara.
"Kalo mereka membenci mamanya, kenapa harus dilampiaskan ke Inez? Itu nggak adil buat dia."
Diam-diam hatinya sakit untuk Inez. Tanpa sadar salah satu tangannya mengepal di atas meja.
"Dia sekelas sama adek gue. Katanya, Inez dari dulu anaknya ramah dan ceria, dia juga selalu percaya diri di sekolah, meski lebih suka menyendiri kalo waktu istirahat tiba. Tapi semenjak naik kelas XII, dia menjadi lebih murung dan makin menjaga jarak sama teman-temannya." Sita mengedikkan bahunya. "Mungkin saat itu keluarganya udah mulai ada masalah."
Kemudian Rian menoleh ke arah Inez. Cewek itu sekarang tengah duduk di sebuah meja kosong di pojok ruangan yang tempatnya agak jauh dari mejanya. Tatapan mata Inez mengedar ke segala arah dengan gelisah.
"Eh, omong-omong saat papanya Inez bunuh diri dan beritanya masuk televisi, di situ kan Inez pernah diwawancarai soal penyebab tragedi itu terjadi, kalian pada inget nggak gimana wajah Inez waktu itu?" kata Evi.
"Gue inget," jawab Lisa sesudah minum seteguk jus jeruk. "Wajahnya kosong banget, dia bahkan nggak mampu jawab pertanyaan itu. Kasian, ya."
Evi mengangguk-angguk, bersimpati akan peristiwa yang melanda keluarga Inez. Sementara jantung Rian serasa ditusuk sembilu.
"Dia pastinya sangat terpukul, Lis. Mamanya mengkhianati cinta papanya, sedangkan papanya sendiri lebih milih bunuh diri ketimbang membawa Inez pergi." Prima ikut menanggapi seraya menikmati makanan di piringnya.
"Iya, juga sih," balas Lisa.
"Kalo jadi gue, nggak bakal gue milih bunuh diri. Kesenengan entar dia, berasa nggak ada penghalang lagi. Harusnya yang dapat karma dan hukuman si cewek, bukan malah kita berkorban nyakitin diri sendiri. Ya, nggak, Ben?"
Beni yang lagi makan buah peach, segera mengambil kulitnya dan dihantamkan langsung ke depan muka Yoyok. Yang lain pada ketawa ngakak ketika lemparan Beni tepat sasaran.
"Ya, itu lo bales dendam mulu kerjaannya. Beda sama bokapnya Inez. Beliau berbuat begitu, jelas terlihat betapa besar cinta untuk istrinya. Dia hancur saat mengetahui istrinya selingkuh, merasa perasaan istrinya udah memudar dan cinta itu nggak ada lagi buatnya. Bagi lelaki yang buta akan cinta dan nggak bisa hidup tanpa cinta, memilih bunuh diri itu bisa aja terjadi."
"Tapi menurut gue itu tetap aja nggak logis," sungut Yoyok sambil menyendok beberapa suapan.
"Tapi yang jadi masalah kenapa mereka semua kayaknya nggak seneng banget sama Inez? Bukannya kasian malah berbalik musuhin Inez," sambar cewek yang lain tanpa mengiraukan gerutuan Yoyok.
"Ssttt, kalian denger nggak adek kelas yang ada di meja sebelah kita ngomong apa?" Tubuh Evi condong ke depan dan berkata pelan. "Mereka tadi bilang setelah papanya meninggal, keluarganya pindah ke luar kota membawa Inez juga dan mamanya menikah dengan selingkuhannya di sana."
"Mamanya bener-bener nggak tau malu," cerca Edi dengan wajah kaku.
"Pasti berat ya kalo kita ada di posisi Inez," ucap cewek di sampingnya Lisa yang berambut gelombang.
Tahu-tahu setelah beberapa menit, Renata—adiknya Sita—menghampiri Inez dan mulai bercakap-cakap.
Mengetahui hal itu Rian refleks melihat ke arah Sita. Tampak cewek itu memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Lo yang nyuruh adek lo ke sana?" tanya Rian.
Sita mengangguk. "Gue rasa ada benernya kata lo, Inez nggak bersalah di sini. Gue cuma nggak mau adek gue jadi jahat."
Rian tersenyum mendengar ucapan Sita.
"Ada desas-desus yang mengatakan Inez beberapa kali gagal menikah," ucap salah satu cewek yang sedari tadi hanya diam.
"Masa, sih? Kenapa? Kok gue baru tau," serbu Evi beruntun.
"Gue nggak tau alasannya. Tapi denger-denger tiap akan berlanjut ke pernikahan, si keluarga pengantin atau bahkan lelakinya sendiri selalu membatalkan secara sepihak."
Semua tercengang mendengar informasi tersebut. Pikiran mereka mengembara dan menerka-nerka.
"Teman-temannya membenci dan memusuhi Inez bisa jadi karena skandal itu. Mereka menganggap Inez wanita yang nggak bener dan berkepribadian buruk," tutur Beni cukup tenang.
"Masuk akal, Ben," sahut Prima usai merenungkan baik-baik.
"Kira-kira alasan apa yang membuat para mantannya sampai membatalkan pernikahan mereka?" timpal yang lain.
Hening. Semua nggak berani menjawab pertanyaan yang hanya berdasarkan perkiraan. Mereka takut apa yang akan diucapkan bisa merugikan orang terkait.
Rian juga terdiam membisu. Perasaan dan benaknya kali ini campur aduk. Begitu rumit. Antara marah, sedih dan beberapa perasaan aneh yang nggak bisa ia ungkapkan.
Ia juga menebak-nebak apa yang terjadi dalam hidup Inez selama ini? Apakah sedemikian sulit hidupnya? Tidak mungkin mantan-mantannya memutuskan jalinan jika tidak ada alasannya, bukan?
Akhirnya Rian angkat bicara. Ia menghela napas pelan. "Kita nggak bisa asal membuat kesimpulan tanpa bukti yang jelas. Alasan apa pun itu kita nggak berhak menghakimi mereka. Terutama Inez. Gue yakin dari semua masalah yang mereka hadapi, yang paling dirugikan di sini pasti sisi wanita. Inez akan mendapatkan efek terburuk dan cenderung dinilai negatif dalam pandangan masyarakat."
Selepas mendengar penuturan Rian, teman-temannya kompak setuju. Mereka menjadi iba atas apa yang telah menimpa Inez.
Perempuan cantik itu tidak sepantasnya mendapatkan perlakukan buruk tanpa adanya dasar kuat dari orang-orang yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
...............................***...................................
Setelah bahasan soal Inez ditutup, Beni dan yang lainnya kembali menikmati hidangan. Mereka memuji banyaknya makanan lezat yang telah dipesankan oleh Sita. Dengan bangga Sita memamerkan segala kasih sayang suaminya atas dukungan apa pun yang ia lakukan dan memberikan semua keinginkannya.Rumah tangga Sita dipenuhi cinta kasih. Para temannya ikut bahagia untuk Sita. Mereka kembali larut dalam gurauan tanpa menyadari ada salah satu temannya yang masih tenggelam dalam kesedihan.Rian masih aja mencuri pandang ke arah Inez yang kini udah sendirian lagi di tempat duduknya. Ia bahkan tidak menyentuh makanan di piringnya sama sekali. Nafsu makannya telah hilang semenjak kedatangan cewek itu.Tapi kemudian suara musik pop yang awalnya dibawakan oleh grup band di atas panggung, tiba-tiba tergantikan oleh DJ seksi yang mengisi acara, menciptakan suasana lebih meriah."Wow, nggak nyangka lo datangkan DJ juga, Ta!" seru Evi. Cewek lainnya juga pada heboh."Ya,
Hari minggu harusnya merupakan hari menggembirakan bagi semua anak sekolah. Tetapi buat Dara, minggu ini melambangkan hari yang begitu menyedihkan. Hari kelabu. Hari yang sangat suram baginya.Bagaimana tidak, setelah kemarin ia memutuskan mundur mengejar Kenn, sampai sekarang efeknya masih terasa. Ia laksana orang yang patah hati beneran.Tapi ada bedanya. Jika patah hatinya cewek remaja lain, mereka biasanya kebanyakan sedih dan menangis. Melakukan apa pun enggan. Sedangkan Dara itu beda, dia kalau udah frustrasi dan patah hati begini, bakalan kumat gilanya.Nggak percaya? Lihat aja penampilannya. Kini ia memakai baju bercorak aneh lagi. Aneh banget. Berwarna ungu kombinasi kuning, hijau, cokelat, pink, orange dan banyak lagi campuran lain. Ia juga memakai syal dengan warna senada. Bibir yang diolesi lipstik orange, menggunakan maskara, dan kelopak mata yang dibubuhkan warna ungu dan gold
Satu jam lebih Dara mencatok rambut keritingnya dibantu oleh Tukiyem. Kini rambutnya terlihat lurus dan lembut. Nggak sia-sia juga ia tadi sampai mengobrak-abrik majalah fashion kebanggaannya, membaca halaman berisikan tentang memadukan busana serta makeup secara benar.Lihat, sekarang ia tampak sempurna dengan gaun warna biru tua motif berkerut di lengan dan beberapa bagian lekukan tubuh yang tepat. Riasannya juga lebih natural dan nggak terlalu mencolok. Sehingga penampilannya kini terlihat cute dan manis.Jika Dara lagi normal emang kayak gitu, dandanan pun mengikuti kenormalannya. Nggak menyimpang dan masih dalam kaidah yang lurus.Setelah berpose ini itu ala model di depan cermin, Dara akhirnya tersenyum lebar. Ia udah puas dengan penampilannya, dan kali ini ia juga udah siap berkelana mencari gebetan baru yang super keren dan tampan."Mamaaaa, aku udah siaaaap!" teria
"Uh, gagal lagi deh dapet cowok tampan!" gerutu Dara sambil mengentak-entakkan telapak kakinya ke lantai.Iya, dia emang nggak pakai alas kaki apa pun. Sepatunya yang ia lempar ke sembarang tempat itu juga dibiarkan begitu aja. Nggak tahu ada di mana. Ia tinggal keluar dengan membawa kekesalan sampai ke ubun-ubun.Cewek itu sekarang ada di luar, di depan pagar tinggi sebagai pintu masuk utama. Bibirnya mengerucut sebal, kedua tangannya terlipat di depan dada. Berdiri seraya menatap jalan raya yang dilalui berbagai macam kendaraan."Masih lama nggak sih acaranya?" tanyanya pada diri sendiri. Sesekali ia melihat jam tangan. "Kalo tau gini mending gue tadi nggak ikutan mama ke sini deh."Ia cemberut. Tangannya mencengkeram asal tanaman pucuk merah di sampingnya, lalu ia cabut beberapa daun dan diremas-remas hingga tak berbentuk."Aduh-aduh, panas." Telapak kakinya kepanasan. Otomatis ia berje
Bunyi genderang perang berdentum-dentum di pikiran Dara. Sorak-sorai beramai-ramai mengobarkan semangat kemenangan. Nyanyian perasaan pun ikut mengalun seakan memberikan tambahan energi, mendorong suasana hati kian hidup.Ya, sang pencinta sekarang kelihatannya telah kembali. Harum bunga mekar pun kini tengah mengurai, menebarkan pesona hingga sang gelombang putus asa musnah, hilang dan bergantikan kekuatan dengan harapan baru.Patah hati? Nggak ada! Sedih? Udah lupa! Yang ada saat ini hanya rasa bahagia yang begitu menggelora. Perasaan Dara meledak-ledak, bergolak hebat, hampir menyaingi gejolak semangat pemuda dalam memberantas pemberontakan.Emang gitu. Dara emang lagi bahagia. Hanya karena ia berhasil memperoleh nomor HP kakak kelas incarannya—Ari.Dara yakin, kali ini ia akan berhasil menggaet gebetannya. Kenn dan Ari tentu berbeda.Jika sama Kenn, belum apa-apa Dara udah do
Rian berjalan ogah-ogahan. Bukan bermaksud untuk tidak sopan pada tamu yang datang untuk berkunjung, melainkan emang hari ini dia males ngapa-ngapain selain di rumah dan kumpul keluarga. Ia bahkan hari ini udah janji pada dirinya sendiri mau ngajak papanya main catur bersama. Mumpung libur kerja, ia nggak mau keluar dan melakukan sesuatu yang membosankan di luar.Padahal kalau dipikir-pikir tiap minggu atau libur kerja gini, dia biasanya ada aja kegiatan di luar. Dari pergi ke gym, belanja kebutuhan khusus pria, atau bahkan ngopi di kafe yang secangkir harganya ratusan ribu rupiah.Nah, sekarang aneh banget, kan?Ya, emang aneh. Keanehan itu muncul setelah pulang dari acara reuni. Lebih tepatnya usai pertemuannya dengan Inez.Rian menarik tubuhnya tetap jalan ke ruang tamu. Ada kepala menyembul dari balik sofa. Punggungnya yang tegak dan potongan rambut klimis ala mafia yang selalu ditata rapi ke belakang sontak membuat Rian memasang wajah makin males.
Brak!Suara bantingan pintu mobil terdengar cukup keras."Ar, lo marah?"Tanpa menghiraukan pertanyaan dari sahabat gilanya tersebut, Ari terus berjalan ke arah pintu masuk rumahnya dengan membawa kekesalan yang menggunung."Ar, beneran lo marah? Serius?"Lagi-lagi Ari nggak menjawab apa pun. Ia malah semakin mempercepat langkah sembari mencengkeram kuat kepalan tangan. Rasanya ia ingin sekali menonjok orang saat ini juga."Ah, masa gitu doang marah? Cemen lo, Ar!"Sontak Ari berhenti tepat saat kakinya menapak di anak tangga pertama. Ia kemudian berbalik dengan tampang murka."Gitu doang, lo bilang?!" Ari mendelik, sedangkan Alvin nyengir tanpa dosa. "Gara-gara tingkah lo, kita semua diusir dari bioskop. Berkat ulah lo juga, cewek-cewek ganjen itu ... argh, udahlah!" Ari kembali berbalik sembari memijat pelipisnya. Kepalanya nyut
Ari mengumpat dan merutuk di dalam kamarnya. Ia sampai menyebutkan binatang apa aja yang berada di kebun binatang gara-gara si Alvin.Ia tak habis pikir, bisa-bisanya Alvin melontarkan pertanyaan sampah macam gitu. Homo? Shit!Jika tadi tak mengingat cowok brengsek itu adalah salah satu sahabatnya dari dulu—jauh sebelum mengenal Kevan—ia yakin kepalan tangannya ini udah mendarat di mulut bocor Alvin."Alvin, brengsek! Makhluk nggak tau diuntung! Kampret lo! sialan! Mulut sampah! Playboy sarap!!"Sembari mondar-mandir, ia mengutuk Alvin sejadi-jadinya. Mengeluarkan kata-kata keji dan memaki tuh cowok dengan membabi buta."Gue bukan homo. Gue cowok tulen. Gue juga doyan cewek, tap-tapi ... arghhh!"Ari melempar jaketnya kasar ke atas kasur. Giginya gemeretak, serasa ingin meremukkan apa pun di hadapannya.Tok ... tok ... tok