Dering ponsel Rian terdengar saat ia baru saja memarkirkan mobilnya di depan sebuah hotel berbintang. Ia turun dari mobil sambil meraih ponsel dari sakunya.
"Halo?"
"Woy, udah sampai mana, lo?" teriak suara dari seberang telepon, hingga membuat Rian sedikit menjauhkan ponsel dari jangkauan telinganya. "Nih, banyak yang pada nanyain lo, terutama para cewek."
"Kenapa pada nanyain gue?" tanya Rian sambil mengerutkan dahinya. "Harusnya lo yang mujur saat nggak ada gue," imbuhnya sembari berjalan dengan sebelah tangan berada di balik saku celananya.
"Mujur dari mananya? Bukannya mujur tapi babak belur gue kena cubitan dari tadi karena lo nggak dateng-dateng."
Rian seketika tergelak. "Gue udah di area parkir hotel. Lo tenang aja, Ben. Penyelamat lo bakal datang bentar lagi."
Beni—sahabat Rian sejak duduk di SMA—mengeluarkan sumpah serapah karena kepedean Rian yang nggak pernah berubah dari dulu.
Rian makin ketawa kenceng, seolah-olah umpatan Beni udah menjadi hiburan tersendiri baginya.
Sesudah mematikan sambungan teleponnya, lelaki itu bergegas ke aula hotel tempat diadakannya reuni SMA. Reuni kali ini memang hanya diadakan untuk dua angkatan aja. Biasalah, pemegang uang yaitu sang ratu kerajaan alias salah satu mantan pacarnya—yang tergila-gila padanya dulu—sekaligus sekarang udah naik level sebagai istri dari CEO sebuah perusahaan yang kaya raya kini sedang royal. Adiknya sendiri berada di bawah satu tingkat dengannya, maka dari itu acara reuni hanya mengusung dua angkatan sesuai keinginan mereka. Hotel yang dipesan pun nggak tanggung-tanggung. Di sebuah grand ballroom hotel bintang lima.
Rian mah oke-oke aja. Selagi banyak cewek cantik bertebaran di sana dan bisa temu kangen dengan teman-temannya, langsung berangkatlah dia.
"Rian!" panggil seorang perempuan cantik yang memakai gaun pas di badannya begitu ia memasuki ruangan besar di tempat acara.
Siapa lagi kalau bukan sang mantan. Namanya Sita. Pemilik acara yang saat ini sedang dikerumuni para cewek dan cowok yang sebagian besar ia kenal. Teman sekelasnya dulu. Sementara Rian sontak mengangkat sebelah tangannya untuk menyapa mereka semua.
Rian berjalan mendekati mereka dengan senyuman manis tersungging di bibir. Hampir semua tatapan cewek di sana mengikuti langkah pria tampan itu. Semua jelas tahu bagaimana terkenalnya seorang Rian saat SMA dulu. Selain wajahnya yang menawan, pria itu juga sangat ramah dan suka bercanda. Tidak ada cewek di sekolahnya yang tidak mau mengenal lebih dekat dengan cowok seperti Rian. Bersamanya, mereka selalu merasakan bagaimana indahnya tertawa lepas dan rasa nyaman yang nggak bisa dijelaskan.
"Sorry, bro, agak telat. Jalanan macet," ucap Rian seraya melakukan tos dengan Beni dan beberapa teman cowok lainnya.
Beni berdecak. "Halah, palingan lo baru pulang kantor langsung ke sini. Telat keluar kan, lo?"
Beni mah udah hafal kerjaan dan kebiasaan Rian. Apalagi setelah melihat setelan hitam jas kantor masih melekat di badan Rian, nggak salah lagi itu anak pasti dari kantor langsung meluncur ke sini.
Rian cengengesan. Memang dari semua temannya, yang masih berhubungan dekat dengannya hingga sekarang cuma Beni. Apalagi Beni juga pernah satu kampus dengannya. Yang lain rata-rata hanya beberapa kali kumpul dan lebih banyak disibukkan dengan kegiatan masing-masing.
Sebelum Rian bisa menjawab, Sita udah duluan maju ke depan dan segera mengaitkan tangannya di lengan cowok itu.
"Udah, udah. Yang penting Rian udah dateng ke sini." Perempuan langsing itu mulai merajuk kepada Rian. "Yan, gue yang manggil lo duluan, kenapa malah nyamperin mereka, sih?"
"Iya, kanjeng mami ratu. Maaf, di sini Rian salah," ucapnya sembari menundukkan kepalanya sedikit, berlagak hormat.
Sita langsung cemberut. "Kok gitu, sih, manggilnya. Emangnya gue kayak mami-mami banget, ya?"
Para cewek yang melihat itu sontak menunjukkan raut bingung dan iri. Emang mereka dulu sempat pacaran, tapi melihat status Sita yang kini udah menikah, apa nggak berlebihan bersikap manja dan melakukan kontak semacam itu?
Beda dengan cowok yang kebanyakan memiliki logika yang luas, mereka cukup tercengang, tetapi juga geli. Mereka udah hafal bagaimana karakter seorang Sita. Mereka udah bisa menduga Sita pasti hanya ingin menonjolkan dirinya. Dengan bergabung dengan Rian, ia tidak mau sosoknya tenggelam dibandingkan Rian di antara para tamu. Meskipun kemungkinan rasa ketertarikan cewek cantik itu masih ada walaupun hanya sedikit, dikubur oleh statusnya yang kini udah menjadi nyonya.
Sementara Rian sendiri begitu mendengar gerutuan Sita, ia hanya terkekeh pelan. "Lo nggak mungkin tega bikin gue sama suami lo saling menumpahkan darah, kan?" Melihat Sita masih memberengut kayak anak ABG, Rian terpaksa mengeluarkan jurus pamungkasnya. "Oke, gue harus manggil apa? Sayang? Cantik? Seksi?"
Sita mengulum senyum di bibirnya. "Lo emang nggak pernah berubah ya, Yan. Sama aja penggombal ulung."
Rian menanggapi dengan cengiran khasnya.
"Ya, iyalah. Rian gitu, loh," kata Lisa, teman dekat Sita, yang kini memamerkan senyum malaikatnya.
"Ya, tapi masa begitu ada Rian langsung nempel gitu, Ta? Emang nggak takut suami liat?" tanya salah satu cewek di sana.
Yang berjenis kelamin cewek langsung nimbrung dan saling mendekat dipenuhi rasa penasaran.
Rian menggaruk bagian belakang kepalanya. Ia bingung. Kenapa mendadak berubah menjadi acara gosip begini?
"Wah, kayaknya suami udah mulai bergeser, nih," celetuk Evi.
"Waduh, gawat itu," jawab cewek yang lain.
"Ah, ngawur kalian. Suami gue tetap nomer satu, dong," kata Sita tersipu malu.
Rian refleks mengangkat jempol ke arah Sita, membenarkan dengan wajah cerah. Sedangkan cowok lainnya hanya geleng-geleng kepala, nggak mampu berpartisipasi dalam hal menyaingi topik pembicaraan antar cewek.
Oh, omong-omong soal Sita. Rian jadi ingat bagaimana ia bisa memutuskan perempuan itu. Dulu waktu belum lama jadian di kelas X, sebelum mereka menjadi satu kelas di ruang XII IPS, ia mengajak Sita ke rumah dan bertemu papanya di ruang tengah. Sebagai anak yang baik, Rian memperkenalkan pacarnya kepada sang papa saat itu juga.
"Pa, kenalin pacar Rian yang baru."
"Siang, Om, nama saya Sita."
Sang papa yang saat itu tengah membaca koran perlahan mengangkat wajahnya, lalu menatap Sita. Beliau menurunkan kacamata bacanya. "Nama lengkapmu siapa?"
Sita terlihat kikuk dan tersenyum canggung. "Nama lengkap saya ... Siti Aisyah, Om."
Seketika mata Rion melotot lebar. Rian syok. Ia merasa rahangnya akan jatuh ke lantai.
"Ooohhhh, jadi nama panggilanmu diambil dari nama itu...." Sang papa manggut-manggut.
Rian luar biasa malu di depan papanya. Ia bahkan tak tahu menahu soal singkatan nama cewek itu. Kenapa dari awal nggak jujur aja, toh semua nama pasti punya arti tersendiri dari orangtua kita. Bukan malah sengaja dirahasiakan.
Berikutnya cowok tampan itu tertawa canggung. Suara tawanya benar-benar terdengar aneh.
Ia mengambil inisiatif pertama. "Oke, Pa. Aku mau antar Si ... ta, ehm, maksudku Siti Aisyah dulu."
Rian buru-buru menarik tangan Sita ke luar rumah.
"Loh, kok kita balik lagi? Katanya mau makan siang bareng di rumah?"
Rian garuk-garuk pipi. "Nggak jadi, hari ini kita makan di luar."
Tidak ada beberapa hari Rian langsung memutuskan Sita, meskipun masa pacarannya baru berlangsung dua minggu, ia tetap kukuh meninggalkan Sita tanpa mau balik lagi. Dan setelah kejadian itu, Rian selalu menjadi bahan tertawaan dari papanya.
Mengingat itu semua di masa reuni sekarang, menjadikan Rian ketawa ngakak dalam hati. Merasa betapa konyol masa remajanya dulu.
Beberapa menit kemudian, pemandu acara memberikan jeda yang awalnya waktu bisa digunakan untuk para tamu yang ingin menyumbangkan lagu di atas panggung, kini sang pemandu acara mengambil alih dan meminta agar para tamu duduk kembali. Lalu sang pemandu acara memanggil grup band ternama untuk naik ke panggung supaya bisa menghibur para tamu sambil menikmati makanan yang telah disediakan.
Sita mengajak para teman sekelas yang akrab dengannya mendekati meja bundar paling besar dan menyuarakan untuk menikmati hidangannya.
Begitu Rian duduk, pandangannya mengarah pada Beni yang duduk di seberangnya sembari menatapnya sinis.
Ia mencoba berseloroh. "Ben, tatapan lo kayak orang lagi cemburu. Lo cemburu sama gue, Ben? Aduh, Ben, tobat. Kita sesama lelaki, ingat?"
Teman-temannya pada ketawa menyaksikan candaan Rian serta wajah dongkol Beni.
"Sialan, lo! Mau gue sumpal mulut lo pake sepatu gue, hah!" pekik Beni. "Liat ini, karena lo dateng telat gue jadi korban." Beni murka sambil menunjukkan kedua tangannya yang dipenuhi bekas cubitan berwarna merah.
Mau tidak mau Rian menahan tawanya sekuat tenaga demi Beni yang tampak menderita di wajahnya.
"Sorry, Ben. Lo kan tau sendiri gimana bokap gue. Beliau nggak mau gue pulang sebelum kerjaan kelar. Bulan ini banyak proyek yang dipercayakan ke gue dan tiap hari hampir selalu gue yang pulang terakhir gara-gara ini. Gue udah kayak penunggu kantor abadi sekarang. Stres banget gue, Ben."
"Nggak ngaruh tampang melas lo di depan gue," balas Beni. Rian tertawa terbahak-bahak. "Tapi, Yan, itu kan nanti cepat atau lambat lo juga yang bakal jadi pewarisnya. Kenapa sekarang ngeluh?"
"Betul, tuh, kan nggak mungkin yang jadi pewarisnya adek lo yang bernama ... siapa itu?" sahut Prima berusaha mengingat-ingat sebuah nama di kepalanya.
"Oh, ya, gue inget. Gue pernah waktu itu ke rumah Rian, ketemu cewek narsis, item, centil, gitu kan anaknya?" Sekarang gantian Yoyok yang ikut menimpali. Antusiasnya dia sekarang seakan ikut terbawa semangat Dara waktu itu. "Kalau nggak salah dulu Beni pernah cerita, adek lo main ke kantor lo dan hampir menggoda seluruh cowok tampan di sana."
Suara tawa kembali membahana.
"Siapa, sih, namanya?" tanya salah satu cewek.
"Namanya Dara," balas Beni, membantu ingatan teman-temannya yang sudah mulai pikun.
"Oh, iya, Dara. Inget gue," serbu lainnya lagi.
"Dasar, kalian! Gitu-gitu adek yang paling gue sayang dan gemesin banget itu," ujar Rian seraya tertawa dan disambung oleh temannya yang lain.
Senandung lagu yang dinyanyikan oleh vokalis membuat sebagian orang di dalam ruangan larut dalam suaranya. Sebagian lagi melebur dalam percakapan dan candaan seru terutama di sebuah meja kelompok Rian. Mereka tak henti-hentinya saling melempar gurauan dan suara tawa pecah kemudian.
Tak selang berapa lama suasana seru itu tiba-tiba menjadi senyap. Para tamu undangan perlahan menolehkan fokus mereka pada satu titik. Lalu suara bisik-bisik terdengar. Tatapan sinis mulai merapat. Menghilangkan suasana yang mulanya santai berubah menjadi kebekuan. Mengirimkan deru napas tercekik pada perempuan yang tengah berdiri tak jauh dari mereka. Mematung di depan pintu dengan pandangan ragu dan ketakutan.
Perubahan atmosfer yang begitu kentara membuat Rian mengernyitkan dahinya. Ia tahu ada sesuatu yang salah, terlebih teman-teman yang ada di dekatnya menunjukkan sikap waspada dan diam membisu, tetapi mengarah pada satu arah.
Pelan-pelan ia membalikkan tubuhnya. Wajahnya yang tampan mengikuti pandangan teman-temannya. Kepada sosok perempuan cantik di depan pintu ruangan seraya kedua tangannya memegang erat dompet kecil dengan raut gelisah dan sarat akan rasa sakit.
Rian mengerjapkan matanya pelan. Ia tahu siapa perempuan itu.
..............................***...................................
Rian seketika terdiam. Menatap perempuan yang berdiri beberapa meter darinya.Dia ... cewek yang pernah ia lihat saat mengejar kelinci di depan rumah kecil Pak Samsudin dan istrinya—rumah yang emang khusus untuk penjaga sekolah—tempatnya berada di bagian belakang gedung olahraga.Dia ... cewek yang begitu riang ketika bercerita dengannya sambil memakan nasi bekal yang ia bawa tanpa mempertanyakan siapa namanya.Dia ... adik kelas yang ia kenal di seminggu terakhir SMA-nya.Dia ... satu-satunya cewek yang membuat Rian berpikir ulang untuk tidak menjadikannya pacar dan mencoba untuk mempertahankan kepolosannya.Dan dia ... cewek yang membuatnya membodohkan diri sendiri karena menyesal tidak mengenalnya sedari dulu.Akan tetapi, dari semua yang ia ingat, cewek itu bukan seperti cewek yang ada di bayangannya walaupun wajah itu tetap sama dan lebih dewasa. Tatapannya kini terlihat sendu, tidak memancarkan cahaya yang b
Setelah bahasan soal Inez ditutup, Beni dan yang lainnya kembali menikmati hidangan. Mereka memuji banyaknya makanan lezat yang telah dipesankan oleh Sita. Dengan bangga Sita memamerkan segala kasih sayang suaminya atas dukungan apa pun yang ia lakukan dan memberikan semua keinginkannya.Rumah tangga Sita dipenuhi cinta kasih. Para temannya ikut bahagia untuk Sita. Mereka kembali larut dalam gurauan tanpa menyadari ada salah satu temannya yang masih tenggelam dalam kesedihan.Rian masih aja mencuri pandang ke arah Inez yang kini udah sendirian lagi di tempat duduknya. Ia bahkan tidak menyentuh makanan di piringnya sama sekali. Nafsu makannya telah hilang semenjak kedatangan cewek itu.Tapi kemudian suara musik pop yang awalnya dibawakan oleh grup band di atas panggung, tiba-tiba tergantikan oleh DJ seksi yang mengisi acara, menciptakan suasana lebih meriah."Wow, nggak nyangka lo datangkan DJ juga, Ta!" seru Evi. Cewek lainnya juga pada heboh."Ya,
Hari minggu harusnya merupakan hari menggembirakan bagi semua anak sekolah. Tetapi buat Dara, minggu ini melambangkan hari yang begitu menyedihkan. Hari kelabu. Hari yang sangat suram baginya.Bagaimana tidak, setelah kemarin ia memutuskan mundur mengejar Kenn, sampai sekarang efeknya masih terasa. Ia laksana orang yang patah hati beneran.Tapi ada bedanya. Jika patah hatinya cewek remaja lain, mereka biasanya kebanyakan sedih dan menangis. Melakukan apa pun enggan. Sedangkan Dara itu beda, dia kalau udah frustrasi dan patah hati begini, bakalan kumat gilanya.Nggak percaya? Lihat aja penampilannya. Kini ia memakai baju bercorak aneh lagi. Aneh banget. Berwarna ungu kombinasi kuning, hijau, cokelat, pink, orange dan banyak lagi campuran lain. Ia juga memakai syal dengan warna senada. Bibir yang diolesi lipstik orange, menggunakan maskara, dan kelopak mata yang dibubuhkan warna ungu dan gold
Satu jam lebih Dara mencatok rambut keritingnya dibantu oleh Tukiyem. Kini rambutnya terlihat lurus dan lembut. Nggak sia-sia juga ia tadi sampai mengobrak-abrik majalah fashion kebanggaannya, membaca halaman berisikan tentang memadukan busana serta makeup secara benar.Lihat, sekarang ia tampak sempurna dengan gaun warna biru tua motif berkerut di lengan dan beberapa bagian lekukan tubuh yang tepat. Riasannya juga lebih natural dan nggak terlalu mencolok. Sehingga penampilannya kini terlihat cute dan manis.Jika Dara lagi normal emang kayak gitu, dandanan pun mengikuti kenormalannya. Nggak menyimpang dan masih dalam kaidah yang lurus.Setelah berpose ini itu ala model di depan cermin, Dara akhirnya tersenyum lebar. Ia udah puas dengan penampilannya, dan kali ini ia juga udah siap berkelana mencari gebetan baru yang super keren dan tampan."Mamaaaa, aku udah siaaaap!" teria
"Uh, gagal lagi deh dapet cowok tampan!" gerutu Dara sambil mengentak-entakkan telapak kakinya ke lantai.Iya, dia emang nggak pakai alas kaki apa pun. Sepatunya yang ia lempar ke sembarang tempat itu juga dibiarkan begitu aja. Nggak tahu ada di mana. Ia tinggal keluar dengan membawa kekesalan sampai ke ubun-ubun.Cewek itu sekarang ada di luar, di depan pagar tinggi sebagai pintu masuk utama. Bibirnya mengerucut sebal, kedua tangannya terlipat di depan dada. Berdiri seraya menatap jalan raya yang dilalui berbagai macam kendaraan."Masih lama nggak sih acaranya?" tanyanya pada diri sendiri. Sesekali ia melihat jam tangan. "Kalo tau gini mending gue tadi nggak ikutan mama ke sini deh."Ia cemberut. Tangannya mencengkeram asal tanaman pucuk merah di sampingnya, lalu ia cabut beberapa daun dan diremas-remas hingga tak berbentuk."Aduh-aduh, panas." Telapak kakinya kepanasan. Otomatis ia berje
Bunyi genderang perang berdentum-dentum di pikiran Dara. Sorak-sorai beramai-ramai mengobarkan semangat kemenangan. Nyanyian perasaan pun ikut mengalun seakan memberikan tambahan energi, mendorong suasana hati kian hidup.Ya, sang pencinta sekarang kelihatannya telah kembali. Harum bunga mekar pun kini tengah mengurai, menebarkan pesona hingga sang gelombang putus asa musnah, hilang dan bergantikan kekuatan dengan harapan baru.Patah hati? Nggak ada! Sedih? Udah lupa! Yang ada saat ini hanya rasa bahagia yang begitu menggelora. Perasaan Dara meledak-ledak, bergolak hebat, hampir menyaingi gejolak semangat pemuda dalam memberantas pemberontakan.Emang gitu. Dara emang lagi bahagia. Hanya karena ia berhasil memperoleh nomor HP kakak kelas incarannya—Ari.Dara yakin, kali ini ia akan berhasil menggaet gebetannya. Kenn dan Ari tentu berbeda.Jika sama Kenn, belum apa-apa Dara udah do
Rian berjalan ogah-ogahan. Bukan bermaksud untuk tidak sopan pada tamu yang datang untuk berkunjung, melainkan emang hari ini dia males ngapa-ngapain selain di rumah dan kumpul keluarga. Ia bahkan hari ini udah janji pada dirinya sendiri mau ngajak papanya main catur bersama. Mumpung libur kerja, ia nggak mau keluar dan melakukan sesuatu yang membosankan di luar.Padahal kalau dipikir-pikir tiap minggu atau libur kerja gini, dia biasanya ada aja kegiatan di luar. Dari pergi ke gym, belanja kebutuhan khusus pria, atau bahkan ngopi di kafe yang secangkir harganya ratusan ribu rupiah.Nah, sekarang aneh banget, kan?Ya, emang aneh. Keanehan itu muncul setelah pulang dari acara reuni. Lebih tepatnya usai pertemuannya dengan Inez.Rian menarik tubuhnya tetap jalan ke ruang tamu. Ada kepala menyembul dari balik sofa. Punggungnya yang tegak dan potongan rambut klimis ala mafia yang selalu ditata rapi ke belakang sontak membuat Rian memasang wajah makin males.
Brak!Suara bantingan pintu mobil terdengar cukup keras."Ar, lo marah?"Tanpa menghiraukan pertanyaan dari sahabat gilanya tersebut, Ari terus berjalan ke arah pintu masuk rumahnya dengan membawa kekesalan yang menggunung."Ar, beneran lo marah? Serius?"Lagi-lagi Ari nggak menjawab apa pun. Ia malah semakin mempercepat langkah sembari mencengkeram kuat kepalan tangan. Rasanya ia ingin sekali menonjok orang saat ini juga."Ah, masa gitu doang marah? Cemen lo, Ar!"Sontak Ari berhenti tepat saat kakinya menapak di anak tangga pertama. Ia kemudian berbalik dengan tampang murka."Gitu doang, lo bilang?!" Ari mendelik, sedangkan Alvin nyengir tanpa dosa. "Gara-gara tingkah lo, kita semua diusir dari bioskop. Berkat ulah lo juga, cewek-cewek ganjen itu ... argh, udahlah!" Ari kembali berbalik sembari memijat pelipisnya. Kepalanya nyut
Brak!Pintu itu dibuka agak kasar oleh seseorang hingga membuat Inez kaget dan terbangun dari tidurnya. Dan benar saja orang itu penculiknya, cowok brengsek yang juga adalah ayah tirinya Inez.Ari terdiam sejenak. Ia tidak boleh terlalu lama di satu titik jika tidak mau ketahuan, apalagi ada anak sekecil Tio dan Bella. Tempat persembunyian mereka terlalu berisiko dan ia tak mau terjadi sesuatu terhadap mereka semua.Setelah berpikir beberapa saat, ia memutuskan mengajak mereka menjauh dari gudang. Ia meminta Dara menghubungi Rian, juga polisi untuk menyergap si pelaku secepat mungkin.Sementara itu, Inez yang terbangun dari tidurnya menyipitkan mata tatkala sinar matahari pagi masuk melalui pintu yang dibuka dan tepat mengenai netranya."Selamat pagi, Sayang."Mendengar suara menjijikkan yang ia kenal tersebut, seketika Inez tersadar, lalu menoleh ke arah sumber suara. Netranya membelalak panik. Saat Inez hendak bergerak ia merasa tangan dan kakinya tak bisa berfungsi. Sehingga ia haru
Hari ini demi sang kakak, Dara terpaksa bolos sekolah. Mau bagaimana lagi, semalam kakaknya pulang larut malam dalam kondisi yang mengenaskan. Baju kantor yang kusut, bau dan kotor. Belum lagi rambut yang acak-acakan dan dengan wajahnya yang begitu menyedihkan.Saat ia menyerbu kamarnya dan memaksa Rian untuk bicara, ternyata hal yang mengejutkan terjadi. Calon kakak iparnya diculik.Oh, tidak! Itu memang hanya pemikiran Dara, akan tetapi begitu sang kakak menceritakan awal mula Inez menghilang, tentu saja semua berpusat pada kemungkinan tersebut. Dan Dara sangat yakin calon kakak iparnya yang cantik itu pasti diculik oleh pria brengsek yang telah memerkosanya dulu.Membayangkan kenangan buruk dari calon kakak iparnya itu lagi, Dara merasakan kesedihan yang mendalam. Menurutnya memori tersebut sangat kejam dan memilukan.Maka dari itu, pagi-pagi meski ia pamitnya pergi sekolah—saat ia tiba di depan gerbang dan setelah menyuruh sopir pribadinya pulang—nyatanya ia tidak masuk melainkan m
Rian segera memarkirkan mobilnya di depan minimarket begitu melihat mobil yang ditumpangi Desi dan Dina telah berjalan menjauh. Cowok itu sontak berlari mengejar Devita yang berjalan tak seberapa jauh darinya.Rian sengaja menunggu sampai Devita berbelok, di sebuah gang yang cukup sepi ia memanggil Devita yang kini menoleh ke arahnya."Tante, selamat malam," sapa Rian dengan sopan saat sudah tepat di depan Devita, dan memang saat ini waktu menunjukkan pukul 6.00 malam."Nak Rian? Malam juga. Ada apa kok malam-malam ke sini?" jawab Devita, dahinya berkerut bingung."Begini, Tante. Saya cuma mau tanya, apa ... Inez sudah pulang ke rumah?"Ada sekilas kilatan kaget terlintas di mata itu. "Bukannya Inez bersama Nak Rian?" tanya balik Devita. Tiba-tiba pandangannya meredup dan berubah sedih. "Semenjak Inez memutuskan pergi dari rumah, sampai sekarang dia nggak pernah pulang, Nak," lanjutnya, lalu berubah panik. "Katakan sama tante, apa terjadi sesuatu dengan Inez?"Sejenak Rian terlihat rag
Sore hari sekitar pukul 16.45 Rian tiba di depan rumah kontrakan yang bergaya minimalis, tentu saja menemui pujaan hatinya. Ia buru-buru memarkir mobil dan turun sambil membawa dua buket bunga yaitu mawar merah dan bunga tulip putih. Inilah alasan mengapa ia telat datang. Sepulang kerja bukannya langsung menemui sang pacar sesuai janjinya, ia malah mendatangi toko bunga terlebih dahulu.Cowok itu tak tahu pacarnya menyukai bunga apa, karena ia takut salah sehingga ia memilih dua macam bunga sekaligus agar nanti sang kekasih bisa memilih sendiri di antara kedua bunga tersebut. Setahu Rian dari pengalaman dia sebagai playboy selama ini—dari banyaknya cewek yang ia kencani—mereka lebih dominan menyukai bunga mawar dan tulip putih. Tapi jika nanti Inez tidak menyukai keduanya, ia akan dengan senang hati mengantar cewek yang dicintainya itu langsung ke toko bunga untuk memilih bunga kesukaannya secara langsung. Jangan lupa ia juga membelikan cokelat berbentuk hati untuk Inez dan berharap g
Menilik raut wajah dan gelagat aneh dari kekasihnya, membuat Rian tak kuasa menahan rasa penasarannya."Siapa, Sayang?" tanya Rian.Inez tersentak."Oh, nggak siapa-siapa kok." Gugup menghinggapi. Ia menggenggam ponselnya kuat-kuat. "Cuma iklan nggak penting," lanjutnya sembari berusaha tersenyum senatural mungkin.Inez tak mau memberitahukan kepada Rian, bukan bermaksud apa-apa, ia hanya tak ingin membuatnya khawatir. Ia sudah terlalu banyak membebani dan merepotkan Rian.Meski Inez berusaha keras menampilkan wajah senormal apa pun, tetap saja senyum kaku dan gestur tubuhnya tak bisa membohongi Rian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, mencoba mengerti dan tak mau memaksa kekasihnya untuk jujur padanya. Ia yakin Inez mempunyai alasan sendiri, ketika saatnya tiba ia percaya bahwa kekasihnya akan mengutarakan semuanya."Ya udah gue cabut dulu," ujar Rian, berdiri seraya merapikan kemejanya."Kok cepat banget?" Inez berkata cepat seraya ikut berdiri, menatap kecewa ke arah cowok yang dici
Andin terperangah mendengar Ari bertanya kepadanya bahwa siapa cewek yang pantas untuk menjadi pacarnya? Dan apakah itu dirinya?Andin terdiam sambil berpikir. Apakah ia harus mengiyakan?Tentu saja siapa cewek yang nggak ingin punya pacar sebaik Ari. Selain baik, cowok itu sangat setia.Sejak ia bertemu Ari di tempat karaoke yang dipesan Alvin dan menyuruhnya serta teman-temannya untuk menjebak Ari waktu itu, ia sudah sangat terkesan dengan kesetiaannya yang notabene tidak tergoda sama sekali atas rayuan mereka. Bahkan bisa dikatakan rencana mereka gagal total.Tapi bagi Andin, jarang ada cowok yang begitu setia akan pasangannya dan tidak tergoda satu pun oleh banyaknya cewek cantik yang mengelilinginya. Apalagi menurutnya, Ari terlihat tampan, kalem dan begitu menghargai cewek.Andin membasahi bibirnya gugup. "Ar, bukan gitu maksud gue—""Lalu apa?"Tatapan Ari masih begitu dingin. Ia sebenarnya tidak mempunyai kecurigaan apa pun terhadapnya, bahwa perubahan sikap Dara ada sangkut p
Sejak Dara berani berkata jujur di depan Rian, Inez, dan Ari waktu itu, kini hubungan keduanya makin adem ayem dan sejahtera. Dara tak lagi menuntut Ari untuk menciumnya ataupun melakukan sesuatu yang nyeleneh, di mana Dara selalu ingin menerkam Ari dengan khayalan tingkat tingginya.Ari juga merasa aman tatkala melihat perubahan Dara sekarang. Sejujurnya inilah yang diinginkan Ari dalam sebuah hubungan. Seperti air mengalir, tak harus terburu-buru seolah dikejar sesuatu. Bahkan Ari sangat bersyukur karena kini ia tak pernah mengalami mimpi buruk lagi.Dara yang sekarang adalah cewek yang lumayan terkendali. Ia tak pernah lagi meminta hal-hal yang tak disukai Ari, tidak memaksa melakukan suatu hal yang berlebihan dalam berpacaran. Walaupun dalam mengungkapkan sesuatu masih dengan gaya lebay, tetapi itu tak membuat Ari muak atau menjauhinya. Bisa dibilang ia udah mulai terbiasa dengan tingkah absurd Dara. Selama itu masih dalam batas wajar, Ari rasa semua bisa diterima.Siang ini tampa
"Kamu nggak akan meninggalkanku kan, Sayang? Kamu nggak akan mengkhianatiku, kan?""Kenapa? Apa kamu takut aku akan mengkhianatimu seperti kamu mengkhianati suamimu yang dulu?"Devita terperangah. Hatinya mendadak getir. Ia meneguk ludahnya kasar, lalu mengangguk pelan.Fery mendengkus. Ia mengangkat tangannya, menjepit dagu Devita sambil tersenyum sinis. "Tenang saja. Aku nggak akan meninggalkanmu selama kamu menuruti semua yang aku mau."Setelahnya, ia beranjak keluar dari kamar, meninggalkan Devita yang menatapnya sedih.Melewati dapur, Fery melihat Inez sedang meraih teko di meja makan. Gadis itu menuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya. Gerakan gadis itu sangat tenang dan terlihat tak menyadari kedatangannya. Tiba-tiba Fery tertegun. Ia merasa leher jenjang itu sangat mulus, indah dan cantik. Setiap tegukan yang Inez minum, Fery merasa tubuhnya bereaksi tak normal.Ini adalah reaksi kesekian kalinya tiap ia menatap Inez. Dari dulu dan sampai sekarang, tidak pernah berubah.
"Halo, Tante," sapa Rian ramah. "Halo juga, Nak Rian. Makasih sudah antar Inez pulang. Tante benar-benar khawatir, nggak biasanya Inez keluar pagi-pagi sekali." "Sama-sama. Apa tante nggak tau? Dalam minggu ini Inez mendapatkan shift pagi untuk menggantikan temannya yang lagi cuti kerja. Mungkin juga nanti bisa sampai lembur." "Benarkah? Inez belum mengatakannya pada Tante," kata Devita sambil menatap Inez yang saat ini tampak memalingkan mukanya ke arah lain, menghindari tatapan beliau. Dalam hal ini Rian sengaja berbohong untuk mengantisipasi Inez jika ingin keluar pagi lagi. Itu supaya kekasihnya mempunyai alasan kuat agar terhindar dari kecurigaan sang mama tentang rentetan pertanyaan yang tidak ingin didengar gadis itu. Tentu saja juga untuk mengurangi interaksi antara Inez dan ayah tiri brengseknya. "Melihat kini tante disibukkan oleh seseorang yang telah kembali ke rumah, mungkin Inez belum ada kesempatan untuk menyampaikannya sama tante." "Jadi begitu," balas Devita gugup