Kurang dari lima menit, Dara baru masuk ke kelas X-1 dan mendapati Udin udah bertengger di samping Frel—sahabat karibnya—yang sepertinya tanpa cewek itu sadari begitu melihat Frel tengah asyik mengerjakan soal di buku paket pelajaran.
Mengingat jam pertama ada pelajaran matematika, mungkin ia lagi mencoba mengisi beberapa pertanyaan tersebut. Sahabatnya itu emang kayak gitu, dari kecil Frel tergolong sangat cerdas mengenai semua pelajaran eksak. Makanya, Dara nggak kaget sahabat baiknya itu bisa masuk di sekolah elit ini lewat jalur beasiswa prestasi yang kebanyakan diisi oleh jajaran anak-anak dari kalangan teratas.
Mumpung Frel masih belum nyadar, cepat-cepat Dara duduk di bangkunya Udin yang bersebelahan dengan Daniel, si cowok berwajah hitam dan berperut gendut hingga para teman di kelas sering menyebutnya "Kuda Nil".
"Ra, lo ngapain minta tukar bangku sama Udin?"
"Ssttttt, kuda nil diem. Berisik!" jawab Dara sambil melotot tajam.
Daniel langsung jadi patung. Benar kata Udin, emang dia nggak perlu ngebantah cewek satu ini, kalau kumat bisa-bisa dia ketiban sial kayak waktu dulu.
Ya, waktu dulu. Waktu acara MOS. Dia pernah kena hukuman menari jaepong lantaran si Dara kumat. Ditanya siapa bisa nari jaepong, eh, malah Dara asal jeplak aja nunjuk dirinya jago tarian tersebut. Alhasil, karena beban tubuhnya yang sangat subur—ia yang pada saat itu gugup tingkat dewa—akhirnya harus jatuh tengkurap di lantai disebabkan tersandung kakinya sendiri.
Otomatis karena aksinya, semua pada tertawa. Tak terkecuali para OSIS. Ia layaknya badut sedang berpesta dalam tempat yang salah. Sungguh memalukan. Dan ia nggak mau kejadian tersebut menimpanya kembali kalau sampai mengganggu Dara lagi.
Dari ekor matanya, Dara tahu kini Frel udah sadar dan sontak melihat ke arahnya. Namun, ia berlagak diam aja tak menoleh sedikit pun, meski sahabatnya itu terlihat kaget dan kecewa.
Tiba-tiba Bu Sari masuk dengan membawa malapetaka sebuah ulangan dadakan yang membuat Dara syok setengah hidup. Ia belum belajar apa pun, sama kayak teman sekelasnya yang sedang geger menentang ulangan tersebut.
"Tapi bu, harusnya kan info dulu sebelum mau ulangan," protes Adam terdengar di pendengaran Dara.
'Bagus, Dam, bagus!' Dara mendukung meski cuma dalam hati.
"Betul itu, Bu. Harusnya ada pemberitahuan terlebih dahulu, biar kami bisa siapin, Bu," sahut Udin.
"Maksudnya Udin pasti belum siapin kertas contekan tuh, Bu," potong Daniel seketika.
"Nah, itu juga betul, Bu," tambah Udin lagi, dan refleks kedua tangannya membungkam mulutnya sendiri lantaran terlalu bersemangat hingga tidak sadar telah salah ucap.
"HAHAHAHAHAHAHAHAHA." Semua tertawa membahana, gaduh dan berisiknya minta ampun.
Dara masih diam, pelan-pelan ia berpaling ke arah Kenn yang tempatnya berada tepat di belakang Frel—dekat jendela—seperti biasa, cowok itu terlihat dingin dengan wajah datar, tapi benar-benar keren. Dara langsung lumer, rasanya ia ingin sekali menjerit dan jingkrak-jingkrak saat itu juga.
Namun, ia urung. Ia kan dalam tahap menjalankan rencana baru. Harus tetap tenang dong.
Sementara itu, kelas semakin ramai dan heboh, saling berebut bicara dan protes. Bahkan Maya—cewek favorit Udin yang katanya mirip dengan idolanya Elvy Sukaesih—juga ikut andil, mengeluh dengan gaya yang dibuat-buat.
Hingga membuat Bu Sari—guru yang terkenal dengan kekillerannya—kontan menyambar penggaris sepanjang 1m dan dipukulkannya ke atas meja dengan kencang, sampai-sampai tuh penggaris patah menjadi tiga bagian.
Semua seketika terdiam. Takut bercampur ngeri. Mereka kicep dan langsung menuruti perintah Bu Sari untuk menyiapkan semua peralatan tulis dan kertas kosong.
"Mampus!" gumam Dara saat tengah melihat soal-soal di tangannya.
Ini sih meski ia belajar seribu kali sambil kayang pun nggak akan pernah bisa. Pertanyaannya susah begini.
Cewek itu pucat sambil garuk-garuk belakang leher. Biasanya kalau ulangan super sulit kayak gini, ia selalu mengandalkan Frel dan tinggal salin tuh jawaban. Nah sekarang, emangnya apa yang bisa ia perbuat?
Dara membentur-benturkan dahinya di atas meja. Ia frustrasi, rasanya pengin nyemplung aja ke rawa-rawa.
"Lo kenapa, Ra?" tanya Daniel panik. Ia takut teman sebangkunya itu kerasukan setan penunggu kelas.
Pertanyaan dari Daniel menjadikan kegiatan Dara terhenti, lalu menoleh ke samping dengan sorot yang menakutkan. Daniel kelabakan, cowok itu cepat-cepat menunduk seraya pura-pura menulis jawaban. Padahal hanya tulisan lingkaran bulat, kosong nggak jauh beda dengan isi di otaknya sekarang.
Tiba-tiba ponsel Dara bergetar pelan dari dalam saku. Ia merogohnya dan mendapatkan pesan dari jasa mata-mata yang dibiayai Rian—Detektif Conan—yang nama kontak udah ia ubah seenak jidatnya.
Detektif Conan: Nona Dara, semua latar belakang yang diinginkan sudah kami dapatkan.
'Wah, cepet juga tuh orang. Baru aja kemarin pesennya, sekarang udah dapat tuh info.'
Dengan segera ia mengetik balasan.
Dara: 😱😱
Dara: Bagus.Dara: Kirim ke sini ya 😍💃Edan! Kirim pesan udah kayak ngirim sama si doi aja. Emang luar biasa tuh anak.
Tak berapa lama ponsel Dara kembali bergetar. Ia membuka file P*F yang barusan masuk di ponselnya. Dan astaga ... mata itu seketika melotot, sampai bola matanya hampir nongol keluar. Dara benar-benar kaget, ia nyaris berteriak kalau aja ia nggak cepat-cepat tersadar dan buru-buru membekap mulutnya sendiri.
Ini salah satu alasan kenapa ia harus pindah bangku agak jauh. Agar gerakan mencurigakan darinya nggak terdeteksi siapa pun, apalagi sama Kenn. Bangku dia kan di depan Kenn dan Tomi, tentu dia nggak bakal bisa apa-apa jika ia masih menetap di sana.
Oh tidak-tidak. Itu nggak boleh terjadi. Misinya harus berhasil tanpa ada kendala apa pun.
Dara tengak-tengok ke segala arah. Terlihat Udin—si biang kerok—sedang melakukan aksi gilanya. Apa lagi kalau bukan menyontek jawaban milik Frel dan ketahuan Bu Sari. Dasar bodoh! Ia aja sembilan tahun lebih kerjaannya cuma nyontek jawaban Frel, tapi hanya lima kali ia ketahuan. Hebat kan? Sedangkan Udin, baru sekali aja udah tertangkap basah. Ck, payah!
Menurut Dara, dia hebat. Tapi emang apa hebatnya kalau cuma ahli dalam bidang menyontek? Di sini yang bego sebenarnya siapa, sih?
Berhubung Bu Sari lagi ngamuk sama Udin, ia kini lebih memilih sesuatu yang lebih penting. Mengorbankan nilai ulangannya sendiri, Dara lekas masuk ke kolong meja. Pun tak menghiraukan tatapan bertanya dari Daniel.
Ia mengeluarkan ponselnya lagi dan segera menghubungi kontak bernamakan Detektif Conan.
"Detektif Conan, filenya udah gue baca nih." seru Dara bersemangat meski dalam keadaan berbisik-bisik di telepon.
"Maaf, Non, jangan sebut saya seperti itu."
"Ah, gitu ya, hehehe. Pokoknya gitu deh. Tapi tunggu, i-itu beneran infonya?"
"Iya, Non. Sudah kami selidiki semuanya."
"Gue sih agak ragu, ya, bisa nggak sih gue dikasih satu bukti Kenn lagi apa gitu? Biar gue bener-bener percaya."
Hening. Di seberang sana, pria berkacamata hitam yang menelepon Dara sedang mengecek sebuah jadwal seseorang. Ia berpikir sejenak, kemudian angkat suara lagi.
"Bisa. Dilihat dari jadwalnya, kebetulan siang nanti Kenn sedang ada pertemuan dengan rekanan di luar. Nona Dara bisa langsung kami tunjukkan dalam jarak aman."
"Woaah, boleh-boleh." Dara semringah. "Gue setuju. Alamat ketemuannya nanti dikirim aja lewat Hp gue."
"Baik, Non. Ada yang perlu ditanyakan lagi?"
"Ee ... untuk sementara ini, nggak dulu. Gue—"
BRUAK!!
Suara gebrakan meja terdengar keras dari atas kepala Dara.
"Lagi ngapain kamu di bawah meja, hah?!"
'Mati gue!'
Dara tahu itu suara Bu Sari. Seketika ia mematikan teleponnya.
"CEPAT KELUAR!!"
DUG!
"Aduh!" Saking paniknya, kepalanya sampai kepentok meja. "I-iya, Bu." Dara cepat-cepat keluar dari persembunyian. "Halo, Bu. Eh, Bu Sari makin cantik aja deh. Oh, ya, Bu Sari tau nggak—" ucapannya terpotong tatkala sang guru tak menggubris, malah semakin melotot kejam, "hehehehe...," tambah Dara akhirnya, sambil cengengesan nggak jelas.
Lima detik berlalu, ia baru sadar. Ada keheningan yang sangat kentara di ruang kelasnya. Ia memberanikan diri untuk menolehkan mukanya ke beberapa titik di bangku. Ternyata cukup banyak yang udah kosong melompong tanpa penghuni.
'Eh? Lagi di mana anak-anak?'
Sontak tubuhnya segera merapat ke arah Daniel. "Nil, yang lain pada ke mana?" tanyanya sambil berbisik.
Melihat Daniel nggak bereaksi, tanpa banyak mikir Dara menendang kaki tuh cowok hingga refleks berteriak, "S-sembilan anak dihukum di luar!"
Ups. Daniel bego!
Bu Sari berkacak pinggang seraya menyemburkan kalimat mematikannya, "KALIAN BERDUA JUGA DIHUKUM!!"
Dara dan Daniel kontan terperanjat. Dara pun baru nyadar bahwa Bu Sari sedari tadi belum berpindah ke mana-mana. Masih di depan bangku mereka.
Mati. Sekarang Dara pun yakin, riwayatnya bakalan tamat.
***
Lift berhenti di lantai 3, kembali ke lantai tempat kelasnya berada. Ia melongokkan kepalanya terlebih dahulu sebelum yakin untuk keluar. Ia takut akan ketemu Frel lagi.Sudah dua kali ia memencet tombol angka di lift dari turun menjadi naik lagi lantaran sahabatnya tak pernah patah semangat mengejarnya.
Dara tau ia perlu memberikan penjelasan kepada Frel alasan mengapa ia menjauh darinya. Tapi menurut dia, bukan saat ini. Waktunya belum tepat. Ia udah berjanji pada diri sendiri, sebelum semua menjadi jelas ia tidak akan memberikan alasan apa pun pada Frel.
Melihat di luar lift nggak ada tanda-tanda kedatangan Frel, ia baru berani keluar. Dara mengembuskan napasnya lega, tapi beberapa detik kemudian bibirnya manyun layaknya istri yang nggak dikasih uang belanja dari suaminya.
Eh, nggak ding. Kan usia Dara belum pantas buat nikah, ia juga nggak kekurangan uang sama sekali.
Dara memasang bibir gitu, soalnya ia teringat di kelas tadi. Ia benar-benar sial. Wajar aja si Daniel nggak bereaksi, nah si guru killer masih betah nongkrong di depan bangku mereka.
Untung aja hukumannya nggak diminta bergabung sama kesembilan temannya di luar, itu berarti ia akan gabung bersama Frel serta Kenn yang dihukum lantaran memberikan contekan, sedangkan si Udin, Tomi dan teman-teman lainnya mendapat hukuman karena ketahuan menyontek.
Hukuman Dara masih dalam tahap ringan kok, disuruh menulis kalimat penyesalan sampai sepuluh lembar. Eh, bukan. Ditambah lima lembar sih, jadinya total menulis lima belas lembar penuh. Itu gara-gara Bu Sari melihat kertas jawabannya belum terisi satu pun.
Lihat, demi Kenn ia bahkan mengabaikan nasib ulangannya meski kertas jawaban masih kosong melompong kayak kain putih tanpa noda.
Yeaah, walaupun tangannya kali ini rasanya mau lepas, ia tetap akan berpikir positif. Di balik kesulitan pasti ada kemudahan, kan? Ya, siapa tahu habis ini ia akan mendapat berkah yang tak terduga.
Nah, benar dugaannya. Tuhan menjawab doa Dara. Kala ia berjalan lunglai di koridor, ia menemukan pemandangan yang luar biasa baginya.
Dari kejauhan, ada tiga kakak kelas terlihat berjalan ke arahnya. Mereka sangat populer di sekolah ini. Gimana nggak populer, selain terkenal dengan ketampanannya, mereka bertiga termasuk cowok yang menduduki Ketua OSIS, Wakil Ketua OSIS dan Sekretaris.
Dan khusus yang menyandang Sekretaris adalah cowok yang membuatnya tertarik ke dalam sebuah ingatan yang pernah ia alami. Masa di mana MOS berlangsung.
"Kamu yang duduk diurutan nomor dua, bisa maju ke depan?"
"Saya, Kak?"
"Iya. Sekarang maju."
Dara maju dengan senyuman manis di wajah. "Ada apa ya, Kak?"
"Kamu bawa hp, ya?"
Tanpa curiga Dara mengangguk-anggukkan kepalanya dengan antusias. "Ah, kakak mau minta nomor hp saya, ya? Boleh-boleh. Boleh banget malah."
"Heh, nggak usah kepedean!" pekik cowok dengan name tag Wakil Ketua OSIS.
Dara menggerutu. "Kan saya ngomongnya sama teman kakak yang Sekretaris. Kok situ yang sewot? Oh, saya tau! Kakak cemburu, ya...?"
Alvin yang saat itu menjabat Wakil Ketua OSIS spontan melotot dan menampangkan wajah murka.
"Cewek item kayak lo, nggak level gue!" celetuk Alvin mulai emosi.
Udah pakai kata lo, gue. Pupus udah pembicaraan formal jika udah sama Dara.
"Tapi kan item manis, Kak."
Alvin langsung muntah seember. Sedangkan teman-teman yang lain pada cekikikan melihat tontonan gratis di depan mata.
Sementara Ari—sang Sekretaris OSIS—terpaksa nahan tawa sambil menundukkan kepalanya.
"Dari awal selama mengikuti MOS, peraturannya dilarang bawa hp. Jadi kamu saya hukum. Ikut saya keluar," perintah Ari kemudian, meski masih dalam tahap kalem.
Dara meringis menyadari kesalahannya. Mau nggak mau ia mengikuti Ari dari belakang.
Ari mengajak Dara ke sebuah taman di sebelah kantin. Taman di sini memang ada dua. Di belakang gedung guru dan sebelah kantin bagian luar kelas.
Cowok itu berhenti di sebuah sekumpulan bunga warna-warni. Ia menatap Dara. "Dalam dua hari ini, kamu udah dapat hukuman apa aja?"
Mendapati cewek di depannya itu masih tetap diam sambil senyum-senyum sendiri, serta-merta membuatnya mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi.
"Kamu kenapa? Kamu dengar saya?"
Dara masih diam. Khayalan-khayalan indah bertebaran di kepalanya. Di benaknya sekarang, Ari seperti sosok pangeran ganteng dari negara Korea yang di kelilingi oleh banyak bunga dan terpaan hangat mentari. Wajah cowok itu bersinar, bersih dan senyuman manisnya menjadikan kian sempurna.
"Dara? Kamu nggak apa-apa?" pertanyaan serta tambahan memegang tangan, menimbulkan kejut listrik di tubuh Dara.
Ia terkesiap dan matanya mulai berkelip-kelip. "Kakak tau nama saya? Tau dari mana? Kan kita belum pernah kenalan?" tanya Dara heboh.
Walaupun Ari bingung, bukannya jawaban yang ia dapat malah pertanyaan beruntun yang keluar dari bibir cewek tersebut, tetapi ia akhirnya memilih tersenyum kecil.
"Papan nama yang kamu kalungkan di leher kan udah cukup jelas."
"Oh, iya, ya. Hehehe...." Dara cengengesan. "Tapi nggak adil banget sih, kakak bisa tau nama saya dengan mudah sedangkan saya nggak."
"Maksud kamu?"
"Maksud saya ... eee, hehehe ... yaaa, itu ... kakak juga sebutin dong namanya siapa."
Doeng! Seketika Ari melongo. Emang ini acara perkenalan, apa!
"Ari."
Bagus. Ia menyebutkan namanya tanpa sadar, yang sontak membuat Dara menyambar tangan tuh cowok dan disatukan dengan tangannya sebagai salam perkenalan. Jangan lupa, perkenalan yang sangat menggebu dan berapi-api.
"Makasih Kak Ari, makasih. Nama saya Adara Salsabila. Panggil saya Dara, ya...."
Tampak Ari mengerjapkan matanya pelan. Tapi tetap diam. Mungkin terlalu syok mengetahui ada spesies macam Dara di alam bumi yang indah ini.
Tak selang berapa lama, ia berdeham. Dara terkejut dan refleks melepaskan genggaman tangannya. Benar-benar nggak tau malu!
"Gini aja, sebagai hukumannya kamu sekarang rayu bunga di depan itu."
"Eh, maksudnya saya disuruh merayu bunga mawar itu, Kak?"
Cowok di depannya mengangguk.
Mata Dara membelalak. "Kak Ari nggak salah? Ini kan bunga? Mana ada manusia disuruh merayu bunga? Sampai mulut berbusa pun tuh bunga juga nggak bakal jawab, Kak."
Ari menggelengkan kepalanya. "Nggak ada yang salah. Ayo, dimulai. Atau mau ditambah hukumannya?"
"T-tunggu-tunggu, Kak." Dara gelagapan dan panik. Ia mengerang dengan wajah frustrasi. "Kak, ngapain sih harus bunga?! malu tau, Kak. Daripada bunga mending saya milih kakak aja. Udah ganteng, manis lagi," lanjutnya.
Dengan kepercayaan diri yang tinggi ia berjalan mendekat ke arah bunga mawar merah tersebut, lantas ia hirup dengan penuh penghayatan. "Yaaa ... meskipun wajah saya bagaikan bunga semerbak mewangi, tapi tetap aja merayu bunga itu nggak ada kamusnya. Ih, amit-amit, deh." Selepasnya ia berbalik menghadap Ari. "Gimana, Kak, saya boleh dong merayu Kak Ari?"
Di luar dugaan Ari yang sejak tadi diam, kali ini mendadak salah tingkah. Ia senyum-senyum bercampur malu, lalu mengusap belakang lehernya. Wajah dan telinganya pun berubah jadi memerah.
Kenangan itu sampai sekarang masih membuat Dara gemas. Membekas di ingatannya. Jarang ada cowok seperti itu. Momen yang nggak pernah bisa Dara lupa hingga sekarang.
Dan ketika ia masih mesam-mesem mengingat kejadian yang tak bisa ia lupakan tersebut, tanpa ia sadari ketiga kakak kelasnya kini udah berhenti tepat di depannya. Menatap aneh pada cewek yang saat ini berdiri tepat di tengah, menghalangi jalan mereka.
"Wooooaaah, kayaknya ada tembok tak kasatmata lagi memblokir jalan kita, nih!" celetuk Alvin dengan suara yang sengaja dikerasin.
Dara tersentak. Ia mencoba memfokuskan pandangannya kepada mereka bertiga. Mengerjap-ngerjap polos. Serius, kali ini polos banget soalnya si Dara emang lagi kaget.
"Lo ngomong apa sih, Vin?! Nggak sopan banget," sahut Kevan pelan sembari menatap Alvin tajam.
"Tau tuh, Kev. Tuh anak emang perlu dihajar."
"Enak aja! Bukan gue yang dihajar, tapi lo!" balas Alvin begitu mendengar Ari mulai jadi kompor.
"Nggak salah? Beberapa hari lalu siapa yang udah kena gampar karena ketahuan janji sama dua cewek sekaligus. Enak nggak tuh? Hahahaha...." Ari tertawa ngakak.
Namun seperti biasa, Kevan hanya geleng-geleng kepala melihat dua kelakuan sobatnya. Kemudian beralih melihat cewek yang masih berdiri dengan pandangan bingung.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Kevan dengan sorot khawatir.
"Lo ngomong sama siapa, Kev?" Alvin mulai lagi.
"Nggak usah pedulikan dia," tukas Kevan sembari tersenyum ke arah Dara. "Lo butuh bantuan? Atau ada yang mau lo omongin?"
Dara yang saat ini kesadarannya udah mulai terkumpul, spontan mengangguk-anggukkan kepala seraya tersenyum cerah, nunjukin giginya.
"Eh, bentar-bentar! Kok ada gigi terbang tapi nggak ada orangnya, ya?" Sedetik kemudian kepala Alvin celangak-celinguk. "Mana orangnya?" imbuhnya tanpa memperhatikan Dara.
Songong banget emang tuh cowok. Dara mati kutu. Pucat pasi. Ia tau apa yang Alvin maksud.
Akan tetapi tak selang berapa lama, Dara kesal juga. Ia mengepalkan kedua tangan di masing-masing sisi tubuhnya sambil matanya mendelik marah.
"Gue mau nyapa Kak Ari bukan lo!" semprot Dara langsung.
"Eh, si panci gosong marah, hahaha...." Bukannya tersinggung, Alvin malah menimpali dengan santai sembari terbahak-bahak.
Kevan—Ketua OSIS SMA bakti Airlangga—menghela napas lelah. Sahabatnya itu emang terkadang rada kelewatan jika bercanda.
"Ar, lo kenal dia?" tanya Alvin pada akhirnya, seraya menoleh ke arah Ari.
Masalahnya Ari hanya diam aja. Ia mengerutkan dahinya seolah-olah berusaha berpikir keras.
"Udaaaaah, lo pasti nggak kenal. Ayo, kita lanjut jalan!" serobot Alvin sebelum sahabatnya menjawab satu patah kata pun.
Selain menyeret Ari, ia juga mengajak paksa Kevan yang dari awal sebenarnya nggak setuju sama sikap Alvin. Tapi mau gimana lagi, tuh cowok kali ini ngotot banget, seakan nggak mau dibantah.
Padahal, sesudah mereka lanjut jalan, diam-diam si Alvin menengok ke belakang dan menjulurkan lidahnya. Mengejek siapa lagi kalau bukan Dara. Yang membuat Dara seketika mencak-mencak di tempat.
Hahaha ... kasian banget Dara.
...........................***.........................
Dara ingin melabrak orang. Siang ini ia ingin makan orang. Ia ingin sekali mematahkan tulang leher orang. Pengin mencakar wajah songong kakak kelasnya yang bernama Alvin. Tapi mana bisa?Tuh cowok emang belagu banget. Banyak tingkah. Andai aja tadi nggak ada cowok sableng satu itu, palingan ia sekarang bisa lebih dekat lagi dengan Ari.Pokoknya tuh cowok perlu dimusnahkan. Nyebelin, nyindir kulitnya yang nggak bisa dilihat segala, pakai acara bawa kata-kata giginya terbang semua, lagi. Kan, sialan!Arrrgggghhhh!Dara benar-benar kesal. Ia masuk ke dalam rumahnya dengan memasang wajah bak serigala marah.Para pembantunya bahkan nggak berani mendekat sedikit pun. Apalagi saat ini tuan dan nyonya nggak ada di rumah. Masih di kantor masing-masing. Mereka nggak mau bermasalah dengan Dara dalam keadaan seperti sekarang ini.Terlihat Dara berjalan dalam hening, tidak ter
Dering ponsel Rian terdengar saat ia baru saja memarkirkan mobilnya di depan sebuah hotel berbintang. Ia turun dari mobil sambil meraih ponsel dari sakunya."Halo?""Woy, udah sampai mana, lo?" teriak suara dari seberang telepon, hingga membuat Rian sedikit menjauhkan ponsel dari jangkauan telinganya. "Nih, banyak yang pada nanyain lo, terutama para cewek.""Kenapa pada nanyain gue?" tanya Rian sambil mengerutkan dahinya. "Harusnya lo yang mujur saat nggak ada gue," imbuhnya sembari berjalan dengan sebelah tangan berada di balik saku celananya."Mujur dari mananya? Bukannya mujur tapi babak belur gue kena cubitan dari tadi karena lo nggak dateng-dateng."Rian seketika tergelak. "Gue udah di area parkir hotel. Lo tenang aja, Ben. Penyelamat lo bakal datang bentar lagi."Beni—sahabat Rian sejak duduk di SMA—mengeluarkan sumpah serapah karena kepedean Rian yang nggak pernah berubah dari dulu.Rian makin ketawa kenceng,
Rian seketika terdiam. Menatap perempuan yang berdiri beberapa meter darinya.Dia ... cewek yang pernah ia lihat saat mengejar kelinci di depan rumah kecil Pak Samsudin dan istrinya—rumah yang emang khusus untuk penjaga sekolah—tempatnya berada di bagian belakang gedung olahraga.Dia ... cewek yang begitu riang ketika bercerita dengannya sambil memakan nasi bekal yang ia bawa tanpa mempertanyakan siapa namanya.Dia ... adik kelas yang ia kenal di seminggu terakhir SMA-nya.Dia ... satu-satunya cewek yang membuat Rian berpikir ulang untuk tidak menjadikannya pacar dan mencoba untuk mempertahankan kepolosannya.Dan dia ... cewek yang membuatnya membodohkan diri sendiri karena menyesal tidak mengenalnya sedari dulu.Akan tetapi, dari semua yang ia ingat, cewek itu bukan seperti cewek yang ada di bayangannya walaupun wajah itu tetap sama dan lebih dewasa. Tatapannya kini terlihat sendu, tidak memancarkan cahaya yang b
Setelah bahasan soal Inez ditutup, Beni dan yang lainnya kembali menikmati hidangan. Mereka memuji banyaknya makanan lezat yang telah dipesankan oleh Sita. Dengan bangga Sita memamerkan segala kasih sayang suaminya atas dukungan apa pun yang ia lakukan dan memberikan semua keinginkannya.Rumah tangga Sita dipenuhi cinta kasih. Para temannya ikut bahagia untuk Sita. Mereka kembali larut dalam gurauan tanpa menyadari ada salah satu temannya yang masih tenggelam dalam kesedihan.Rian masih aja mencuri pandang ke arah Inez yang kini udah sendirian lagi di tempat duduknya. Ia bahkan tidak menyentuh makanan di piringnya sama sekali. Nafsu makannya telah hilang semenjak kedatangan cewek itu.Tapi kemudian suara musik pop yang awalnya dibawakan oleh grup band di atas panggung, tiba-tiba tergantikan oleh DJ seksi yang mengisi acara, menciptakan suasana lebih meriah."Wow, nggak nyangka lo datangkan DJ juga, Ta!" seru Evi. Cewek lainnya juga pada heboh."Ya,
Hari minggu harusnya merupakan hari menggembirakan bagi semua anak sekolah. Tetapi buat Dara, minggu ini melambangkan hari yang begitu menyedihkan. Hari kelabu. Hari yang sangat suram baginya.Bagaimana tidak, setelah kemarin ia memutuskan mundur mengejar Kenn, sampai sekarang efeknya masih terasa. Ia laksana orang yang patah hati beneran.Tapi ada bedanya. Jika patah hatinya cewek remaja lain, mereka biasanya kebanyakan sedih dan menangis. Melakukan apa pun enggan. Sedangkan Dara itu beda, dia kalau udah frustrasi dan patah hati begini, bakalan kumat gilanya.Nggak percaya? Lihat aja penampilannya. Kini ia memakai baju bercorak aneh lagi. Aneh banget. Berwarna ungu kombinasi kuning, hijau, cokelat, pink, orange dan banyak lagi campuran lain. Ia juga memakai syal dengan warna senada. Bibir yang diolesi lipstik orange, menggunakan maskara, dan kelopak mata yang dibubuhkan warna ungu dan gold
Satu jam lebih Dara mencatok rambut keritingnya dibantu oleh Tukiyem. Kini rambutnya terlihat lurus dan lembut. Nggak sia-sia juga ia tadi sampai mengobrak-abrik majalah fashion kebanggaannya, membaca halaman berisikan tentang memadukan busana serta makeup secara benar.Lihat, sekarang ia tampak sempurna dengan gaun warna biru tua motif berkerut di lengan dan beberapa bagian lekukan tubuh yang tepat. Riasannya juga lebih natural dan nggak terlalu mencolok. Sehingga penampilannya kini terlihat cute dan manis.Jika Dara lagi normal emang kayak gitu, dandanan pun mengikuti kenormalannya. Nggak menyimpang dan masih dalam kaidah yang lurus.Setelah berpose ini itu ala model di depan cermin, Dara akhirnya tersenyum lebar. Ia udah puas dengan penampilannya, dan kali ini ia juga udah siap berkelana mencari gebetan baru yang super keren dan tampan."Mamaaaa, aku udah siaaaap!" teria
"Uh, gagal lagi deh dapet cowok tampan!" gerutu Dara sambil mengentak-entakkan telapak kakinya ke lantai.Iya, dia emang nggak pakai alas kaki apa pun. Sepatunya yang ia lempar ke sembarang tempat itu juga dibiarkan begitu aja. Nggak tahu ada di mana. Ia tinggal keluar dengan membawa kekesalan sampai ke ubun-ubun.Cewek itu sekarang ada di luar, di depan pagar tinggi sebagai pintu masuk utama. Bibirnya mengerucut sebal, kedua tangannya terlipat di depan dada. Berdiri seraya menatap jalan raya yang dilalui berbagai macam kendaraan."Masih lama nggak sih acaranya?" tanyanya pada diri sendiri. Sesekali ia melihat jam tangan. "Kalo tau gini mending gue tadi nggak ikutan mama ke sini deh."Ia cemberut. Tangannya mencengkeram asal tanaman pucuk merah di sampingnya, lalu ia cabut beberapa daun dan diremas-remas hingga tak berbentuk."Aduh-aduh, panas." Telapak kakinya kepanasan. Otomatis ia berje
Bunyi genderang perang berdentum-dentum di pikiran Dara. Sorak-sorai beramai-ramai mengobarkan semangat kemenangan. Nyanyian perasaan pun ikut mengalun seakan memberikan tambahan energi, mendorong suasana hati kian hidup.Ya, sang pencinta sekarang kelihatannya telah kembali. Harum bunga mekar pun kini tengah mengurai, menebarkan pesona hingga sang gelombang putus asa musnah, hilang dan bergantikan kekuatan dengan harapan baru.Patah hati? Nggak ada! Sedih? Udah lupa! Yang ada saat ini hanya rasa bahagia yang begitu menggelora. Perasaan Dara meledak-ledak, bergolak hebat, hampir menyaingi gejolak semangat pemuda dalam memberantas pemberontakan.Emang gitu. Dara emang lagi bahagia. Hanya karena ia berhasil memperoleh nomor HP kakak kelas incarannya—Ari.Dara yakin, kali ini ia akan berhasil menggaet gebetannya. Kenn dan Ari tentu berbeda.Jika sama Kenn, belum apa-apa Dara udah do
Brak!Pintu itu dibuka agak kasar oleh seseorang hingga membuat Inez kaget dan terbangun dari tidurnya. Dan benar saja orang itu penculiknya, cowok brengsek yang juga adalah ayah tirinya Inez.Ari terdiam sejenak. Ia tidak boleh terlalu lama di satu titik jika tidak mau ketahuan, apalagi ada anak sekecil Tio dan Bella. Tempat persembunyian mereka terlalu berisiko dan ia tak mau terjadi sesuatu terhadap mereka semua.Setelah berpikir beberapa saat, ia memutuskan mengajak mereka menjauh dari gudang. Ia meminta Dara menghubungi Rian, juga polisi untuk menyergap si pelaku secepat mungkin.Sementara itu, Inez yang terbangun dari tidurnya menyipitkan mata tatkala sinar matahari pagi masuk melalui pintu yang dibuka dan tepat mengenai netranya."Selamat pagi, Sayang."Mendengar suara menjijikkan yang ia kenal tersebut, seketika Inez tersadar, lalu menoleh ke arah sumber suara. Netranya membelalak panik. Saat Inez hendak bergerak ia merasa tangan dan kakinya tak bisa berfungsi. Sehingga ia haru
Hari ini demi sang kakak, Dara terpaksa bolos sekolah. Mau bagaimana lagi, semalam kakaknya pulang larut malam dalam kondisi yang mengenaskan. Baju kantor yang kusut, bau dan kotor. Belum lagi rambut yang acak-acakan dan dengan wajahnya yang begitu menyedihkan.Saat ia menyerbu kamarnya dan memaksa Rian untuk bicara, ternyata hal yang mengejutkan terjadi. Calon kakak iparnya diculik.Oh, tidak! Itu memang hanya pemikiran Dara, akan tetapi begitu sang kakak menceritakan awal mula Inez menghilang, tentu saja semua berpusat pada kemungkinan tersebut. Dan Dara sangat yakin calon kakak iparnya yang cantik itu pasti diculik oleh pria brengsek yang telah memerkosanya dulu.Membayangkan kenangan buruk dari calon kakak iparnya itu lagi, Dara merasakan kesedihan yang mendalam. Menurutnya memori tersebut sangat kejam dan memilukan.Maka dari itu, pagi-pagi meski ia pamitnya pergi sekolah—saat ia tiba di depan gerbang dan setelah menyuruh sopir pribadinya pulang—nyatanya ia tidak masuk melainkan m
Rian segera memarkirkan mobilnya di depan minimarket begitu melihat mobil yang ditumpangi Desi dan Dina telah berjalan menjauh. Cowok itu sontak berlari mengejar Devita yang berjalan tak seberapa jauh darinya.Rian sengaja menunggu sampai Devita berbelok, di sebuah gang yang cukup sepi ia memanggil Devita yang kini menoleh ke arahnya."Tante, selamat malam," sapa Rian dengan sopan saat sudah tepat di depan Devita, dan memang saat ini waktu menunjukkan pukul 6.00 malam."Nak Rian? Malam juga. Ada apa kok malam-malam ke sini?" jawab Devita, dahinya berkerut bingung."Begini, Tante. Saya cuma mau tanya, apa ... Inez sudah pulang ke rumah?"Ada sekilas kilatan kaget terlintas di mata itu. "Bukannya Inez bersama Nak Rian?" tanya balik Devita. Tiba-tiba pandangannya meredup dan berubah sedih. "Semenjak Inez memutuskan pergi dari rumah, sampai sekarang dia nggak pernah pulang, Nak," lanjutnya, lalu berubah panik. "Katakan sama tante, apa terjadi sesuatu dengan Inez?"Sejenak Rian terlihat rag
Sore hari sekitar pukul 16.45 Rian tiba di depan rumah kontrakan yang bergaya minimalis, tentu saja menemui pujaan hatinya. Ia buru-buru memarkir mobil dan turun sambil membawa dua buket bunga yaitu mawar merah dan bunga tulip putih. Inilah alasan mengapa ia telat datang. Sepulang kerja bukannya langsung menemui sang pacar sesuai janjinya, ia malah mendatangi toko bunga terlebih dahulu.Cowok itu tak tahu pacarnya menyukai bunga apa, karena ia takut salah sehingga ia memilih dua macam bunga sekaligus agar nanti sang kekasih bisa memilih sendiri di antara kedua bunga tersebut. Setahu Rian dari pengalaman dia sebagai playboy selama ini—dari banyaknya cewek yang ia kencani—mereka lebih dominan menyukai bunga mawar dan tulip putih. Tapi jika nanti Inez tidak menyukai keduanya, ia akan dengan senang hati mengantar cewek yang dicintainya itu langsung ke toko bunga untuk memilih bunga kesukaannya secara langsung. Jangan lupa ia juga membelikan cokelat berbentuk hati untuk Inez dan berharap g
Menilik raut wajah dan gelagat aneh dari kekasihnya, membuat Rian tak kuasa menahan rasa penasarannya."Siapa, Sayang?" tanya Rian.Inez tersentak."Oh, nggak siapa-siapa kok." Gugup menghinggapi. Ia menggenggam ponselnya kuat-kuat. "Cuma iklan nggak penting," lanjutnya sembari berusaha tersenyum senatural mungkin.Inez tak mau memberitahukan kepada Rian, bukan bermaksud apa-apa, ia hanya tak ingin membuatnya khawatir. Ia sudah terlalu banyak membebani dan merepotkan Rian.Meski Inez berusaha keras menampilkan wajah senormal apa pun, tetap saja senyum kaku dan gestur tubuhnya tak bisa membohongi Rian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, mencoba mengerti dan tak mau memaksa kekasihnya untuk jujur padanya. Ia yakin Inez mempunyai alasan sendiri, ketika saatnya tiba ia percaya bahwa kekasihnya akan mengutarakan semuanya."Ya udah gue cabut dulu," ujar Rian, berdiri seraya merapikan kemejanya."Kok cepat banget?" Inez berkata cepat seraya ikut berdiri, menatap kecewa ke arah cowok yang dici
Andin terperangah mendengar Ari bertanya kepadanya bahwa siapa cewek yang pantas untuk menjadi pacarnya? Dan apakah itu dirinya?Andin terdiam sambil berpikir. Apakah ia harus mengiyakan?Tentu saja siapa cewek yang nggak ingin punya pacar sebaik Ari. Selain baik, cowok itu sangat setia.Sejak ia bertemu Ari di tempat karaoke yang dipesan Alvin dan menyuruhnya serta teman-temannya untuk menjebak Ari waktu itu, ia sudah sangat terkesan dengan kesetiaannya yang notabene tidak tergoda sama sekali atas rayuan mereka. Bahkan bisa dikatakan rencana mereka gagal total.Tapi bagi Andin, jarang ada cowok yang begitu setia akan pasangannya dan tidak tergoda satu pun oleh banyaknya cewek cantik yang mengelilinginya. Apalagi menurutnya, Ari terlihat tampan, kalem dan begitu menghargai cewek.Andin membasahi bibirnya gugup. "Ar, bukan gitu maksud gue—""Lalu apa?"Tatapan Ari masih begitu dingin. Ia sebenarnya tidak mempunyai kecurigaan apa pun terhadapnya, bahwa perubahan sikap Dara ada sangkut p
Sejak Dara berani berkata jujur di depan Rian, Inez, dan Ari waktu itu, kini hubungan keduanya makin adem ayem dan sejahtera. Dara tak lagi menuntut Ari untuk menciumnya ataupun melakukan sesuatu yang nyeleneh, di mana Dara selalu ingin menerkam Ari dengan khayalan tingkat tingginya.Ari juga merasa aman tatkala melihat perubahan Dara sekarang. Sejujurnya inilah yang diinginkan Ari dalam sebuah hubungan. Seperti air mengalir, tak harus terburu-buru seolah dikejar sesuatu. Bahkan Ari sangat bersyukur karena kini ia tak pernah mengalami mimpi buruk lagi.Dara yang sekarang adalah cewek yang lumayan terkendali. Ia tak pernah lagi meminta hal-hal yang tak disukai Ari, tidak memaksa melakukan suatu hal yang berlebihan dalam berpacaran. Walaupun dalam mengungkapkan sesuatu masih dengan gaya lebay, tetapi itu tak membuat Ari muak atau menjauhinya. Bisa dibilang ia udah mulai terbiasa dengan tingkah absurd Dara. Selama itu masih dalam batas wajar, Ari rasa semua bisa diterima.Siang ini tampa
"Kamu nggak akan meninggalkanku kan, Sayang? Kamu nggak akan mengkhianatiku, kan?""Kenapa? Apa kamu takut aku akan mengkhianatimu seperti kamu mengkhianati suamimu yang dulu?"Devita terperangah. Hatinya mendadak getir. Ia meneguk ludahnya kasar, lalu mengangguk pelan.Fery mendengkus. Ia mengangkat tangannya, menjepit dagu Devita sambil tersenyum sinis. "Tenang saja. Aku nggak akan meninggalkanmu selama kamu menuruti semua yang aku mau."Setelahnya, ia beranjak keluar dari kamar, meninggalkan Devita yang menatapnya sedih.Melewati dapur, Fery melihat Inez sedang meraih teko di meja makan. Gadis itu menuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya. Gerakan gadis itu sangat tenang dan terlihat tak menyadari kedatangannya. Tiba-tiba Fery tertegun. Ia merasa leher jenjang itu sangat mulus, indah dan cantik. Setiap tegukan yang Inez minum, Fery merasa tubuhnya bereaksi tak normal.Ini adalah reaksi kesekian kalinya tiap ia menatap Inez. Dari dulu dan sampai sekarang, tidak pernah berubah.
"Halo, Tante," sapa Rian ramah. "Halo juga, Nak Rian. Makasih sudah antar Inez pulang. Tante benar-benar khawatir, nggak biasanya Inez keluar pagi-pagi sekali." "Sama-sama. Apa tante nggak tau? Dalam minggu ini Inez mendapatkan shift pagi untuk menggantikan temannya yang lagi cuti kerja. Mungkin juga nanti bisa sampai lembur." "Benarkah? Inez belum mengatakannya pada Tante," kata Devita sambil menatap Inez yang saat ini tampak memalingkan mukanya ke arah lain, menghindari tatapan beliau. Dalam hal ini Rian sengaja berbohong untuk mengantisipasi Inez jika ingin keluar pagi lagi. Itu supaya kekasihnya mempunyai alasan kuat agar terhindar dari kecurigaan sang mama tentang rentetan pertanyaan yang tidak ingin didengar gadis itu. Tentu saja juga untuk mengurangi interaksi antara Inez dan ayah tiri brengseknya. "Melihat kini tante disibukkan oleh seseorang yang telah kembali ke rumah, mungkin Inez belum ada kesempatan untuk menyampaikannya sama tante." "Jadi begitu," balas Devita gugup