Sejak pemulihan Ben, praktis, semua urusan klan menjadi otoritas Ann. Ia yang memerintahkan pencarian Irfan Adyaksa, juga penjagaan ketat pada Eriska. "Masak apa, Sayang?" tegur Ben yang turun dari kamar ke dapur, melihat istrinya sibuk sekali sendirian. "Ehm, aku coba bikin dimsum Mas," kekeh Ann. "Tapi bentuknya jelek banget gini," ujarnya cekikikan. Ben tersenyum, "Boleh dicobain nggak?" tanyanya meneliti hasil karya sang istri. "Nanti dulu, harus dikukus dulu Mas," kata Ann. Ia pukul jemari sang suami yang sudah siap mengambil sepotong dimsum. "Aku nggak PD tauk," gumamnya. "Kenapa nggak PD? Keliatan enak banget kok. Usahamu udah maksimal juga, keliatan dari mukamu yang belepotan tepung," gemas Ben. "Aku liat resep di aplikasi Mas, Christ hobi banget makan dimsum. Aku pengin bisa masakin dia sendiri, kan dia ada alergi udang, jadi biar nggak usah beli. Kalau beli kan kita nggak tau campurannya apa aja," cerita Ann. "Sesayang itu kamu sama Christ, Ann," puji Ben. "Pad
"Di sana, Papa bakalan urus semu keperluan kamu, dan tolong, jangan berantem sama Mama," pesan Ben dalam perjalanan mengantar istrinya ke bandara. "Iya," Ann mengangguk ringan. "Kamu cepetan nyusul ya Mas," pintanya. "Pasti," sahut Ben lalu mencium pelipis kiri istrinya sayang. "Enggak, aku nggak akan macem-macem sama Eriska," ujarnya tertawa saat melihat ekspresi Ann yang berubah galak. "Kamu mencurigakan," sungut Ann."Kamu bisa sumpahin aku apa aja kalau aku bohongin kamu, Ann," kekeh Ben gemas. "Sebaliknya, jangan genit sama orang-orangku di Jepang sana. Wajah mereka lebih oriental dan jauh lebih perkasa!" ancamnya. "Apaan," Ann berjenggit. "Nggak mungkin ya aku berkhianat, cintaku habis di kamu, Mas," ujarnya meyakinkan. "Sama halnya aku Ann, cintaku habis di kamu. Kita ngejaga ketat Eriska itu buat mancing Irfan. Aku yakin mereka berdua, bapak sama anak itu punya rencana besar buat ngehancurin kita, aku nggak bisa percaya salah satunya. Kalau Eriska hancur, Irfan juga sama,
"Mereka minta Eriska sebagai ganti Ann," bisik Bastian di samping telinga Ben. Mendengar laporan dari Bastian, Ben memejamkan matanya sebentar. Pikirannya jelas kalut apalagi saat tahu bahwa sang istri dikatakan menghilang dari bandara tepat sebelum waktu keberangkatan pesawatnya. Hanya menemukan Galang dan dua anak buah yang ia tugaskan untuk mengawal Ann, Ben langsung tahu siapa pengkhianat yang menusuknya dari belakang. "Lo pilih, mau gue yang potong perut lo, atau lo mau lakuin sendiri," bisik Ben di samping telinga Galang yang sudah babak belur dihajarnya bersama Bastian. "Ampun, Bang," mohon Galang tersendat, darah menghiasi wajah dan tubuhnya. "Pacar gue mereka culik juga, gue nggak punya pilihan," katanya ketakutan. "Lo tau gue nggak pernah mau nerima alasan, Lang.""Demi Tuhan Bang, gue setia sama perkumpulan.""Tapi lo tumbalin Ane-san buat nyelametin pacar lo, itu namanya loyal?" gertak Ben lagi-lagi menghunus pedangnya untuk mengancam. "Mereka ngancem mau ngebunuh gue
"Kayaknya kamu emang nggak terlalu penting bagi Big Ben. Udah hampir 24 jam dan dia belom ke sini nyari kamu," ucap Irfan menghadapi Ann yang diikat kaki dan tangannya di dalam sebuah ruangan. "Dia nggak akan dateng kayak yang kamu harapkan," tandas Ann menyeringai. "Tunggu aja kabar Eriska mati di tangan Mas Ben," tambahnya angkuh. "Ben nggak akan bisa membunuh Eriska, Ane-san," Irfan tertawa meremehkan. "Dia bakalan memilih hancur seluruh tubuh ketimbang menggores kulit halus anakku. Kamu nggak pernah denger kisah cinta mereka yang udah kayak Romeo dan Juliet?" "Cih," Ann mendecih jijik. "Eriska cuma masa lalu yang harus dibuang ke tempat sampah bagi Mas Ben, jangan merasa besar kepala cuma karena Mas Ben rela kena tembak Eriska dulunya," gumamnya. "Ane-san," desis Irfan sengaja menyemburkan asap rokoknya ke arah wajah Ann. "Berhentilah meyakini perasaan Ben ke kamu, cintanya habis di Eriska, percayalah.""Jangan memprovokasi, itu nggak akan ngebuat aku salah paham sama Mas Ben.
"Kamu nggak akan bisa membunuh Eriska, Big Ben," gumam Irfan meremehkan. "Oh ya? Mau dicicil dibawain kaki-kakinya dulu?" tawar Ben dengan pandangan tak lepas dari Ann, sang istri yang sudah terluka sana-sini, dijambak rambutnya oleh Irfan sesuka hati. "Ngegertak? Nggak mempan, Ben," kata Irfan masih sangat percaya diri. "Kamu nggak akan berani ngambil resiko yang bisa bikin perempuan ini tersiksa lebih parah!" tandasnya lagi-lagi menarik rambut Ann dan mendorongnya kasar. "Lo sentuh lagi rambutnya, gue lempar kepala Eriska ke kaki lo!" teriak Ben marah, tak tahan lagi melihat Ann diperlakukan begitu hina seperti itu."Jangan coba-coba!" balas Irfan, "aku bisa langsung pecahin kepalanya kalau kamu berani melawan!" teriaknya penuh kuasa, ia keluarkan sebuah handgun dari balik pinggangnya. "Dia nggak akan bunuh aku, Mas," sambar Ann. "Jangan lemah karena aku," pintanya sangat tegar. "Aku nggak main-main, Ben!" gertak Irfan menarik Ann mendekat padanya lagi lalu menodong pelipis A
Ben memuntahkan darah dari mulutnya setelah mendapat tusukan dari Irfan. Raungan Ann makin keras, akhirnya ia berhasil mencapai posisi Ben dan memeluk tubuh suaminya itu, sebisanya. "Mas," lirih Ann panik, ia amati wajah Ben yang sudah setengah sadar itu. "Bukan salah kamu," ucap Ben terbata, sekuat tenaga berusaha membuat istrinya tak merasa bersalah andai ia mati saat itu juga. "Bertahan ya Mas," pinta Ann sesenggukan. "Udah ah dramanya!" Irfan tiba-tiba menarik lengan Ann menjauh dari Ben, kasar. "Tonton aja akhir dari Big Ben yang tersohor," tandasnya lalu mendekat lagi pada Ben, bersiap membuat satu tusukan pungkasan di tubuh Ben yang sudah tidak berdaya. "Papa!" sebuah teriakan menghentikan langkah Irfan spontan. Eriska muncul, di belakangnya, ada Benji dan juga Bastian tampak waspada menjaganya. "Papa bunuh Ben, aku bakalan membunuh diriku sendiri!" ancamnya. "Jangan gila kamu, Eriska!" sentak Irfan, "jangan ikut campur!" "Enggak, aku harus ikut campur. Kita udah sepaka
Pandangan Ann tampak kosong, nanar tanpa fokus, air matanya masih menetes sesekali. Ia bahkan tidak mengerang kesakitan saat luka sobek di lengannya mendapat perawatan dan harus menerima beberapa jahitan. Pikiran Ann sedang melayang jauh pada Ben yang untuk kedua kalinya tengah bertaruh nyawa di ruang operasi. Segenap penyesalan menyeruak di hati Ann, andai saja ia tidak meminta untuk segera mengunjungi Christ, pasti Irfan tidak memiliki ruang untuk mencoba menculik dan memanfaatkannya demi memancing Ben. "Ann," panggil Danisha menyadarkan Ann dari lamunan. "Irfan berhasil Benji kirim ke neraka," lirihnya hampir tak terdengar. "Eriska?" gumam Ann menahan napasnya. "Masih dalam penanganan," balas Danisha. "Dia harus hidup buat ngerasain hal yang sama kayak gue, Sha.""Ane-san," Danisha menghela napas panjang. "Kalau gue jadi lo, gue udah bunuh dia sejak lama," ujarnya penuh amarah. "Dia juga nggak mau Mas Ben kenapa-napa, sama kayak gue, kami mencintai orang yang sama. Seenggaknya
Setelah dua minggu lamanya, kondisi Ben bisa dikatakan jalan di tempat. Tidak ada peningkatan yang berarti, masih angkuh dalam tidur panjangnya. Beberapa organ tubuh Ben perlu pemulihan yang sangat intensif, statusnya berubah dari yang awalnya kritis kini berubah menjadi koma. "Gimana kondisi Ben?" tanya Eriska saat Ann berkunjung ke kamar perawatannya. Kondisi Eriska sudah jauh lebih baik, rahimnya diangkat seperti yang Ann mau. Dendam Ann terbalaskan, tidak dengan melihat Eriska meregang nyawa tapi merasakan hal yang sama sepertinya. "Masih tidur," balas Ann singkat. "Gue udah denger soal Papa," kata Eriska tampak tegar. "Dengan ngebiarin gue tetep hidup, lo memelihara dendam Adyaksa, Ann," desisnya. "Kehilangan rahim, kehilangan Christ, ngeliat laki-laki yang lo cintai hidup bahagia sama keluarga dan istri tercintanya, nggak ada yang lebih menyiksa dari itu, termasuk ketika lo memilih buat mati, Eriska," gumam Ann dingin sekali. "Jadi ini balas dendam terbesar lo? Lo nggak ta