"Kamu nggak akan bisa membunuh Eriska, Big Ben," gumam Irfan meremehkan. "Oh ya? Mau dicicil dibawain kaki-kakinya dulu?" tawar Ben dengan pandangan tak lepas dari Ann, sang istri yang sudah terluka sana-sini, dijambak rambutnya oleh Irfan sesuka hati. "Ngegertak? Nggak mempan, Ben," kata Irfan masih sangat percaya diri. "Kamu nggak akan berani ngambil resiko yang bisa bikin perempuan ini tersiksa lebih parah!" tandasnya lagi-lagi menarik rambut Ann dan mendorongnya kasar. "Lo sentuh lagi rambutnya, gue lempar kepala Eriska ke kaki lo!" teriak Ben marah, tak tahan lagi melihat Ann diperlakukan begitu hina seperti itu."Jangan coba-coba!" balas Irfan, "aku bisa langsung pecahin kepalanya kalau kamu berani melawan!" teriaknya penuh kuasa, ia keluarkan sebuah handgun dari balik pinggangnya. "Dia nggak akan bunuh aku, Mas," sambar Ann. "Jangan lemah karena aku," pintanya sangat tegar. "Aku nggak main-main, Ben!" gertak Irfan menarik Ann mendekat padanya lagi lalu menodong pelipis A
Ben memuntahkan darah dari mulutnya setelah mendapat tusukan dari Irfan. Raungan Ann makin keras, akhirnya ia berhasil mencapai posisi Ben dan memeluk tubuh suaminya itu, sebisanya. "Mas," lirih Ann panik, ia amati wajah Ben yang sudah setengah sadar itu. "Bukan salah kamu," ucap Ben terbata, sekuat tenaga berusaha membuat istrinya tak merasa bersalah andai ia mati saat itu juga. "Bertahan ya Mas," pinta Ann sesenggukan. "Udah ah dramanya!" Irfan tiba-tiba menarik lengan Ann menjauh dari Ben, kasar. "Tonton aja akhir dari Big Ben yang tersohor," tandasnya lalu mendekat lagi pada Ben, bersiap membuat satu tusukan pungkasan di tubuh Ben yang sudah tidak berdaya. "Papa!" sebuah teriakan menghentikan langkah Irfan spontan. Eriska muncul, di belakangnya, ada Benji dan juga Bastian tampak waspada menjaganya. "Papa bunuh Ben, aku bakalan membunuh diriku sendiri!" ancamnya. "Jangan gila kamu, Eriska!" sentak Irfan, "jangan ikut campur!" "Enggak, aku harus ikut campur. Kita udah sepaka
Pandangan Ann tampak kosong, nanar tanpa fokus, air matanya masih menetes sesekali. Ia bahkan tidak mengerang kesakitan saat luka sobek di lengannya mendapat perawatan dan harus menerima beberapa jahitan. Pikiran Ann sedang melayang jauh pada Ben yang untuk kedua kalinya tengah bertaruh nyawa di ruang operasi. Segenap penyesalan menyeruak di hati Ann, andai saja ia tidak meminta untuk segera mengunjungi Christ, pasti Irfan tidak memiliki ruang untuk mencoba menculik dan memanfaatkannya demi memancing Ben. "Ann," panggil Danisha menyadarkan Ann dari lamunan. "Irfan berhasil Benji kirim ke neraka," lirihnya hampir tak terdengar. "Eriska?" gumam Ann menahan napasnya. "Masih dalam penanganan," balas Danisha. "Dia harus hidup buat ngerasain hal yang sama kayak gue, Sha.""Ane-san," Danisha menghela napas panjang. "Kalau gue jadi lo, gue udah bunuh dia sejak lama," ujarnya penuh amarah. "Dia juga nggak mau Mas Ben kenapa-napa, sama kayak gue, kami mencintai orang yang sama. Seenggaknya
Setelah dua minggu lamanya, kondisi Ben bisa dikatakan jalan di tempat. Tidak ada peningkatan yang berarti, masih angkuh dalam tidur panjangnya. Beberapa organ tubuh Ben perlu pemulihan yang sangat intensif, statusnya berubah dari yang awalnya kritis kini berubah menjadi koma. "Gimana kondisi Ben?" tanya Eriska saat Ann berkunjung ke kamar perawatannya. Kondisi Eriska sudah jauh lebih baik, rahimnya diangkat seperti yang Ann mau. Dendam Ann terbalaskan, tidak dengan melihat Eriska meregang nyawa tapi merasakan hal yang sama sepertinya. "Masih tidur," balas Ann singkat. "Gue udah denger soal Papa," kata Eriska tampak tegar. "Dengan ngebiarin gue tetep hidup, lo memelihara dendam Adyaksa, Ann," desisnya. "Kehilangan rahim, kehilangan Christ, ngeliat laki-laki yang lo cintai hidup bahagia sama keluarga dan istri tercintanya, nggak ada yang lebih menyiksa dari itu, termasuk ketika lo memilih buat mati, Eriska," gumam Ann dingin sekali. "Jadi ini balas dendam terbesar lo? Lo nggak ta
"Ane-san, aku bosan," keluh Christ menggeliatkan badannya, ia tengak-tengok ke luar jendela. "Kamu mau pulang? Bantu Mas Wanto ngerawat Chester?" tawar Ann pengertian. Christ menggeleng, "Kapan Ben bakalan bangun? Kenapa dia nggak mau ketemu sama aku?" tanyanya sangat polos. Ann menghela napas panjang dan membuangnya kasar. Ia tatap wajah damai suaminya yang tengah terlelap. Tak hanya Christ, ia pun mulai tak sabar menunggu Ben membuka mata, melihatnya dan Christ yang begitu merindukannya. Namun, sudah hampir dua bulan sejak Eriska menghilang dari kamar perawatannya, Ben pun masih enggan membuka mata. Dokter tidak bisa memastikan apakah akan ada keajaiban yang datang untuk Ben. Keadaan benar-benar terasa ambibu bagi Ann. "Ketua masih asik tamasya di alam mimpi, doain dia cepet balik dari tamasya dan kumpul sama kita lagi, ya Christ," pinta Ann lembut. "Apa nggak boleh Ben tidurnya di rumah aja? Kenapa harus di sini? Aku jadi tidur sendirian di kamarku karena Ann terus nemenin Ben
Sudah 4 bulan 18 hari lamanya Ann setia merawat Ben yang tak kunjung bangun. Ia telaten menyisir rambut Ben, memotong kuku, kumis juga jambangnya yang mulai panjang. Pun dengan merapikan beberapa helai rambut yang sedikit berantakan. Pagi dan sore Ann mengelap tubuh lelaki tercintanya yang makin kurus, tak seseksi dulu itu. Akankah Ann bosan? Sejauh ini, Ann begitu dengan senang hati tanpa mengeluh pada siapapun. Segala beban yang melingkupi hatinya Ann simpan sendiri, tak ada yang mau ia bagi. "Makan malem lo," ujar Bastian. Ia datang setiap malam, mengirim makan untuk Ann dan menyiapkan segala keperluan Ane-san selama ini. Kadang kala, Masayu akan datang menjenguk, ia menggantikan Ann seharian. Sementara Ann akan pulang, memastikan kebutuhan para hewan peliharaan di rumah, juga mengurusi Christ. Sejak Ben tak sadarkan diri, Masayu memang menjadi lebih lembut pada Ann. Meski tak akrab, keduanya tak pernah lagi berdebat. "Makasih Bang," kata Ann tersenyum tulus. Seiring waktu, Ann
Benar, suara panggilan samar dan tak jelaa itu datang dari Ben. Dari balik ventilator oksigen yang masih terpasang, juga mata yang tetap terpejam, bibir pucat Ben menyebut nama Ann. Sontak Ann menggila, ia berlari keluar ruangan, mengejar Bastian dan Masayu ke parkiran. "Mas Ben," Ann terengah. "Mas Ben sadar, dia nyebut nama gue, Bang," ujarnya menahan palsu Bastian. "Dia nyebut nama gue," ulangnya seperti tengah bermimpi. "Mama sama Ann balik ke kamar Ben, kupanggil dokter," kata Bastian membagi tugas. Masayu mengangguk, ia menggandeng jemari Ann yang masih gemetaran, mereka beriringan pergi ke kamar Ben lebih dulu. Tahu bahwa Ann pasti terguncang dan ada di antara mimpi juga kenyataan, Masayu merangkul bahu menantunya erat. Ribuan rasa meledak di dada Ann saat itu juga, lelahnya seakan menemui muara. "Dia belum buka mata Ma, tapi tadi aku denger dengan jelas kalau Mas Ben manggil namaku. Bibirnya gerak manggil namaku," lirih Ann seakan tengah berusaha meyakinkan dirinya
Dua puluh empat jam pasca hidup kembali, Ben dinyatakan dalam kondisi yang sangat bagus oleh dokter. Tubuhnya sudah melewati pemeriksaan dan pengecekan dan tidak ada organ tubuhnya yang malfungsi. Ben hanya memerlukan banyak latihan bergerak dan berjalan untuk menormalkan kembali sendi-sendi dan tulangnya. "Dia minta pindah sekolah di sini, pengin jagain Ketua tapi dia ngeluh bosan nunggu kamu bangun, tiap hari begitu," ucap Ann tertawa. "Dia jagain kamu dengan baik ya," kekeh Ben sudah mulai lancar berkomunikasi. Ann mengangguk, "Kadang dia ngomel, kenapa Ketua nggak bangun-bangun padahal dia mau cerita gimana dia ngelawan anak-anak lain yang nyoba ngerundung dia," ceritanya. "Udah ya Mas, biar dia stay di Indo aja, Christ pasti nggak mau kalau disuruh balik ke Jepang lagi. Nanti aja kalau dia udah bisa milih mau lanjut studi di Jepang atau di negara mana pun, kita bisa atur lagi," urainya. "Aku ikut kebijakan kamu, Ane-san," kata Ben lembut. "Ah, Adyaksa sekarang dipegang sama