"Ane-san, aku bosan," keluh Christ menggeliatkan badannya, ia tengak-tengok ke luar jendela. "Kamu mau pulang? Bantu Mas Wanto ngerawat Chester?" tawar Ann pengertian. Christ menggeleng, "Kapan Ben bakalan bangun? Kenapa dia nggak mau ketemu sama aku?" tanyanya sangat polos. Ann menghela napas panjang dan membuangnya kasar. Ia tatap wajah damai suaminya yang tengah terlelap. Tak hanya Christ, ia pun mulai tak sabar menunggu Ben membuka mata, melihatnya dan Christ yang begitu merindukannya. Namun, sudah hampir dua bulan sejak Eriska menghilang dari kamar perawatannya, Ben pun masih enggan membuka mata. Dokter tidak bisa memastikan apakah akan ada keajaiban yang datang untuk Ben. Keadaan benar-benar terasa ambibu bagi Ann. "Ketua masih asik tamasya di alam mimpi, doain dia cepet balik dari tamasya dan kumpul sama kita lagi, ya Christ," pinta Ann lembut. "Apa nggak boleh Ben tidurnya di rumah aja? Kenapa harus di sini? Aku jadi tidur sendirian di kamarku karena Ann terus nemenin Ben
Sudah 4 bulan 18 hari lamanya Ann setia merawat Ben yang tak kunjung bangun. Ia telaten menyisir rambut Ben, memotong kuku, kumis juga jambangnya yang mulai panjang. Pun dengan merapikan beberapa helai rambut yang sedikit berantakan. Pagi dan sore Ann mengelap tubuh lelaki tercintanya yang makin kurus, tak seseksi dulu itu. Akankah Ann bosan? Sejauh ini, Ann begitu dengan senang hati tanpa mengeluh pada siapapun. Segala beban yang melingkupi hatinya Ann simpan sendiri, tak ada yang mau ia bagi. "Makan malem lo," ujar Bastian. Ia datang setiap malam, mengirim makan untuk Ann dan menyiapkan segala keperluan Ane-san selama ini. Kadang kala, Masayu akan datang menjenguk, ia menggantikan Ann seharian. Sementara Ann akan pulang, memastikan kebutuhan para hewan peliharaan di rumah, juga mengurusi Christ. Sejak Ben tak sadarkan diri, Masayu memang menjadi lebih lembut pada Ann. Meski tak akrab, keduanya tak pernah lagi berdebat. "Makasih Bang," kata Ann tersenyum tulus. Seiring waktu, Ann
Benar, suara panggilan samar dan tak jelaa itu datang dari Ben. Dari balik ventilator oksigen yang masih terpasang, juga mata yang tetap terpejam, bibir pucat Ben menyebut nama Ann. Sontak Ann menggila, ia berlari keluar ruangan, mengejar Bastian dan Masayu ke parkiran. "Mas Ben," Ann terengah. "Mas Ben sadar, dia nyebut nama gue, Bang," ujarnya menahan palsu Bastian. "Dia nyebut nama gue," ulangnya seperti tengah bermimpi. "Mama sama Ann balik ke kamar Ben, kupanggil dokter," kata Bastian membagi tugas. Masayu mengangguk, ia menggandeng jemari Ann yang masih gemetaran, mereka beriringan pergi ke kamar Ben lebih dulu. Tahu bahwa Ann pasti terguncang dan ada di antara mimpi juga kenyataan, Masayu merangkul bahu menantunya erat. Ribuan rasa meledak di dada Ann saat itu juga, lelahnya seakan menemui muara. "Dia belum buka mata Ma, tapi tadi aku denger dengan jelas kalau Mas Ben manggil namaku. Bibirnya gerak manggil namaku," lirih Ann seakan tengah berusaha meyakinkan dirinya
Dua puluh empat jam pasca hidup kembali, Ben dinyatakan dalam kondisi yang sangat bagus oleh dokter. Tubuhnya sudah melewati pemeriksaan dan pengecekan dan tidak ada organ tubuhnya yang malfungsi. Ben hanya memerlukan banyak latihan bergerak dan berjalan untuk menormalkan kembali sendi-sendi dan tulangnya. "Dia minta pindah sekolah di sini, pengin jagain Ketua tapi dia ngeluh bosan nunggu kamu bangun, tiap hari begitu," ucap Ann tertawa. "Dia jagain kamu dengan baik ya," kekeh Ben sudah mulai lancar berkomunikasi. Ann mengangguk, "Kadang dia ngomel, kenapa Ketua nggak bangun-bangun padahal dia mau cerita gimana dia ngelawan anak-anak lain yang nyoba ngerundung dia," ceritanya. "Udah ya Mas, biar dia stay di Indo aja, Christ pasti nggak mau kalau disuruh balik ke Jepang lagi. Nanti aja kalau dia udah bisa milih mau lanjut studi di Jepang atau di negara mana pun, kita bisa atur lagi," urainya. "Aku ikut kebijakan kamu, Ane-san," kata Ben lembut. "Ah, Adyaksa sekarang dipegang sama
Proses recovery Ben memakan banyak waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Selama itu, Ann setia mendampingi, membantu sang suami mendapatkan tubuh bugarnya lagi. "Dua tusukan yang nggak akan pernah bisa dilupain," desis Ann sambil menunjuk bekas luka di dada dan perut Ben yang kancing kemejanya sengaja tidak dikancingkan. "Nggak kamu bikin tato, Mas?" tanyanya. Ben menggeleng, "Luka tembak ini sengaja kutato karena pengin kuhilangkan. Kalau luka tusuk beda cerita, ini award perasaanku atas kamu Ann. Aku terluka buat ngelindungin kamu, itu kebanggaan tersendiri," ujarnya. "Tapi aku jadi ngerasa bersalah kalau liat bekas luka ini. Kamu ada di ambang kematian selama 5 bulan, gimana aku nggak sedih.""Apa mau kutato aja biar kamu nggak sedih?" tawar Ben. Gelengan Ann berikan, "Kalau kamu nggak ngeliat aku sebagai bentuk kesalahan, sedihku bisa ganti jadi kebahagiaan kok Mas," ucapnya lembut, plin-plan. Senyuman Ben terkembang, ia kibaskan lagi pedangnya untuk kembali memulai latiha
"How's life, Ann? Kamu bahagia?" tanya Eriska yang ditemui oleh Ann di sebuah rumah makan besar. Ann melirik sang suami yang duduk di sebelahnya. Ben tampak tak acuh, ia itarkan pandangan ke sekeliling, enggak bertemu tatap dengan Eriska. Dari sorot matanya, tampak Eriska masih begitu mendamba suami Ann itu. "Gue nggak punya alasan buat nggak bahagia setelah suami masih hidup di sisi gue," jawab Ann jumawa. "Asal nggak ada orang yang mengusik kami lagi, gue yakin bahagia selamanya," gumamnya. "Ben," Eriska tersenyum, mencoba mengambil perhatian mantan pacarnya itu. "Aku nggak akan ngusik kalian lagi. Cuma satu penginku, aku diijinin buat ketemu sama Christ. Sekarang udah nggak ada Papa yang bakalan nyakitin dia, boleh nggak Christ disuruh milih, mau ikut aku atau kalian? Aku janji, setelah Christ milih, aku nggak akan pernah muncul dalam kehidupan kalian lagi," ujarnya. Ben yang semula tak peduli akhirnya memfokuskan pandangannya pada Eriska. Keduanya bertemu tatap, diam dan tak a
"Marah, Ane-san?" tegur Ben yang menyadari perubahan sikap istrinya semenjak pulang dari rumah makan tadi siang. "Hem?" Ann melirik suaminya sekejap, lantas fokus lagi memainkan ponselnya. "Kamu marah sama aku, Ann?" ulang Ben sabar. "Marah? Emangnya kamu kenapa?" tanya Ann balik. Ben mendecak, ia tahu Ann sedang tidak mau diajak mengobrol. Istrinya ini tengah marah, enggan ditanya-tanya tapi jika Ben tak acuh, kemarahan itu akan semakin membesar. "Coba bilang, salahku di mana?" pancing Ben. "Wah," Ann tertawa dalam tatapan piasnya yang tak menyangka. "Nggak sadar salahnya?" "Oke, aku salah ngambil keputusan setuju sama Eriska? Bener?" "Terus?" "Aku mengabaikan kamu," desis Ben meringis, takut salah. "Bukan cuma mengabaikan, Mas. Aku nggak kamu anggep ada di tempat itu. Seharusnya kamu tanya dulu keputusanku, kan?" sergah Ann bagai siap memuntahkan lahar panas dari mulutnya. "Iya, aku minta maaf," ungkap Ben tak mau memperpanjang masalah. Salah atau tidak salah, ia tetap ha
Setitik air mata Ann jatuh, ia berpaling agar tak ketahuan tengah bersedih. Sesak di dadanya berusaha ia sembunyikan sebisa mungkin, hatinya telah jatuh teramat banyak pada Christ. "Kenapa aku harus milih? Aku udah tinggal di sini kan?" gumam Christ lugu. "Kamu bukan anggota keluarga, Eriska minta kamu kembali ke keluarga kamu," ungkap Ben gamblang, terdengar sangat tega. "Ane-san," Christ menoleh Ann, "apa aku harus milih? Aku aku harus ikut Mami Eris?" tanyanya hampir menangis. "Kamu boleh tetep tinggal di sini kalau kamu mau, Christ," jawab Ann. "Asal kamu memilih tinggal bersama kami, kamu boleh tinggal selamanya di sini," sambar Ben. Christ terdiam, ia tampak bingung dan hanya memainkan kancing bajunya sebagai bentuk pelarian. Anak sekecil Christ tentu mempunyai banyak perspektif pada setiap orang yang pernah merawatnya. Ann meski galak dan tegas, tidak pernah memukul atau menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan Ben, meski ia keras dan kejam, selalu menekan Christ dengan