Tak memedulikan lukanya yang belum terbalut sempurna, Ben memanfaatkan kesempatan. Ia dorong tubuh Ann hingga terbaring di ranjang, lanjut ia kecupi wajah dan leher istrinya itu. Meski sempat menahan Ben agar tidak bertindak lebih dari sekadar mencium, toh Ann akhirnya kalah dan ia tidak bisa memberi perlawanan. "Sshh," Ben meringis, ia hentikan aktivitasnya sejenak karena nyeri di perutnya terasa menusuk hingga ke punggung. "Kamu harusnya istirahat, bukan malah bercinta," ucap Ann memukul pelan dada suaminya. Sudah siap bangkit, lengan Ben menahan bahunya hingga ia pasrah ada di bawah suaminya itu. "Bercinta bikin aku lebih cepet sembuh, Ane-san," balas Ben mengerling, ia harus mencairkan suasana agar Ann tak lagi ketus padanya. "Beneran nggak pa-pa?" tanya Ann sengaja menangkup kedua sisi rahang Ben. "Nanti kalau aku nggak kuat, aku bakalan berhenti sendiri," balas Ben. Ann tersenyum dan mengangguk. Harus ia akui, tubuhnya pun merindukan sentuhan Ben dan bercinta menjadi salah
Sejak pemulihan Ben, praktis, semua urusan klan menjadi otoritas Ann. Ia yang memerintahkan pencarian Irfan Adyaksa, juga penjagaan ketat pada Eriska. "Masak apa, Sayang?" tegur Ben yang turun dari kamar ke dapur, melihat istrinya sibuk sekali sendirian. "Ehm, aku coba bikin dimsum Mas," kekeh Ann. "Tapi bentuknya jelek banget gini," ujarnya cekikikan. Ben tersenyum, "Boleh dicobain nggak?" tanyanya meneliti hasil karya sang istri. "Nanti dulu, harus dikukus dulu Mas," kata Ann. Ia pukul jemari sang suami yang sudah siap mengambil sepotong dimsum. "Aku nggak PD tauk," gumamnya. "Kenapa nggak PD? Keliatan enak banget kok. Usahamu udah maksimal juga, keliatan dari mukamu yang belepotan tepung," gemas Ben. "Aku liat resep di aplikasi Mas, Christ hobi banget makan dimsum. Aku pengin bisa masakin dia sendiri, kan dia ada alergi udang, jadi biar nggak usah beli. Kalau beli kan kita nggak tau campurannya apa aja," cerita Ann. "Sesayang itu kamu sama Christ, Ann," puji Ben. "Pad
"Di sana, Papa bakalan urus semu keperluan kamu, dan tolong, jangan berantem sama Mama," pesan Ben dalam perjalanan mengantar istrinya ke bandara. "Iya," Ann mengangguk ringan. "Kamu cepetan nyusul ya Mas," pintanya. "Pasti," sahut Ben lalu mencium pelipis kiri istrinya sayang. "Enggak, aku nggak akan macem-macem sama Eriska," ujarnya tertawa saat melihat ekspresi Ann yang berubah galak. "Kamu mencurigakan," sungut Ann."Kamu bisa sumpahin aku apa aja kalau aku bohongin kamu, Ann," kekeh Ben gemas. "Sebaliknya, jangan genit sama orang-orangku di Jepang sana. Wajah mereka lebih oriental dan jauh lebih perkasa!" ancamnya. "Apaan," Ann berjenggit. "Nggak mungkin ya aku berkhianat, cintaku habis di kamu, Mas," ujarnya meyakinkan. "Sama halnya aku Ann, cintaku habis di kamu. Kita ngejaga ketat Eriska itu buat mancing Irfan. Aku yakin mereka berdua, bapak sama anak itu punya rencana besar buat ngehancurin kita, aku nggak bisa percaya salah satunya. Kalau Eriska hancur, Irfan juga sama,
"Mereka minta Eriska sebagai ganti Ann," bisik Bastian di samping telinga Ben. Mendengar laporan dari Bastian, Ben memejamkan matanya sebentar. Pikirannya jelas kalut apalagi saat tahu bahwa sang istri dikatakan menghilang dari bandara tepat sebelum waktu keberangkatan pesawatnya. Hanya menemukan Galang dan dua anak buah yang ia tugaskan untuk mengawal Ann, Ben langsung tahu siapa pengkhianat yang menusuknya dari belakang. "Lo pilih, mau gue yang potong perut lo, atau lo mau lakuin sendiri," bisik Ben di samping telinga Galang yang sudah babak belur dihajarnya bersama Bastian. "Ampun, Bang," mohon Galang tersendat, darah menghiasi wajah dan tubuhnya. "Pacar gue mereka culik juga, gue nggak punya pilihan," katanya ketakutan. "Lo tau gue nggak pernah mau nerima alasan, Lang.""Demi Tuhan Bang, gue setia sama perkumpulan.""Tapi lo tumbalin Ane-san buat nyelametin pacar lo, itu namanya loyal?" gertak Ben lagi-lagi menghunus pedangnya untuk mengancam. "Mereka ngancem mau ngebunuh gue
"Kayaknya kamu emang nggak terlalu penting bagi Big Ben. Udah hampir 24 jam dan dia belom ke sini nyari kamu," ucap Irfan menghadapi Ann yang diikat kaki dan tangannya di dalam sebuah ruangan. "Dia nggak akan dateng kayak yang kamu harapkan," tandas Ann menyeringai. "Tunggu aja kabar Eriska mati di tangan Mas Ben," tambahnya angkuh. "Ben nggak akan bisa membunuh Eriska, Ane-san," Irfan tertawa meremehkan. "Dia bakalan memilih hancur seluruh tubuh ketimbang menggores kulit halus anakku. Kamu nggak pernah denger kisah cinta mereka yang udah kayak Romeo dan Juliet?" "Cih," Ann mendecih jijik. "Eriska cuma masa lalu yang harus dibuang ke tempat sampah bagi Mas Ben, jangan merasa besar kepala cuma karena Mas Ben rela kena tembak Eriska dulunya," gumamnya. "Ane-san," desis Irfan sengaja menyemburkan asap rokoknya ke arah wajah Ann. "Berhentilah meyakini perasaan Ben ke kamu, cintanya habis di Eriska, percayalah.""Jangan memprovokasi, itu nggak akan ngebuat aku salah paham sama Mas Ben.
"Kamu nggak akan bisa membunuh Eriska, Big Ben," gumam Irfan meremehkan. "Oh ya? Mau dicicil dibawain kaki-kakinya dulu?" tawar Ben dengan pandangan tak lepas dari Ann, sang istri yang sudah terluka sana-sini, dijambak rambutnya oleh Irfan sesuka hati. "Ngegertak? Nggak mempan, Ben," kata Irfan masih sangat percaya diri. "Kamu nggak akan berani ngambil resiko yang bisa bikin perempuan ini tersiksa lebih parah!" tandasnya lagi-lagi menarik rambut Ann dan mendorongnya kasar. "Lo sentuh lagi rambutnya, gue lempar kepala Eriska ke kaki lo!" teriak Ben marah, tak tahan lagi melihat Ann diperlakukan begitu hina seperti itu."Jangan coba-coba!" balas Irfan, "aku bisa langsung pecahin kepalanya kalau kamu berani melawan!" teriaknya penuh kuasa, ia keluarkan sebuah handgun dari balik pinggangnya. "Dia nggak akan bunuh aku, Mas," sambar Ann. "Jangan lemah karena aku," pintanya sangat tegar. "Aku nggak main-main, Ben!" gertak Irfan menarik Ann mendekat padanya lagi lalu menodong pelipis A
Ben memuntahkan darah dari mulutnya setelah mendapat tusukan dari Irfan. Raungan Ann makin keras, akhirnya ia berhasil mencapai posisi Ben dan memeluk tubuh suaminya itu, sebisanya. "Mas," lirih Ann panik, ia amati wajah Ben yang sudah setengah sadar itu. "Bukan salah kamu," ucap Ben terbata, sekuat tenaga berusaha membuat istrinya tak merasa bersalah andai ia mati saat itu juga. "Bertahan ya Mas," pinta Ann sesenggukan. "Udah ah dramanya!" Irfan tiba-tiba menarik lengan Ann menjauh dari Ben, kasar. "Tonton aja akhir dari Big Ben yang tersohor," tandasnya lalu mendekat lagi pada Ben, bersiap membuat satu tusukan pungkasan di tubuh Ben yang sudah tidak berdaya. "Papa!" sebuah teriakan menghentikan langkah Irfan spontan. Eriska muncul, di belakangnya, ada Benji dan juga Bastian tampak waspada menjaganya. "Papa bunuh Ben, aku bakalan membunuh diriku sendiri!" ancamnya. "Jangan gila kamu, Eriska!" sentak Irfan, "jangan ikut campur!" "Enggak, aku harus ikut campur. Kita
Pandangan Ann tampak kosong, nanar tanpa fokus, air matanya masih menetes sesekali. Ia bahkan tidak mengerang kesakitan saat luka sobek di lengannya mendapat perawatan dan harus menerima beberapa jahitan. Pikiran Ann sedang melayang jauh pada Ben yang untuk kedua kalinya tengah bertaruh nyawa di ruang operasi. Segenap penyesalan menyeruak di hati Ann, andai saja ia tidak meminta untuk segera mengunjungi Christ, pasti Irfan tidak memiliki ruang untuk mencoba menculik dan memanfaatkannya demi memancing Ben. "Ann," panggil Danisha menyadarkan Ann dari lamunan. "Irfan berhasil Benji kirim ke neraka," lirihnya hampir tak terdengar. "Eriska?" gumam Ann menahan napasnya. "Masih dalam penanganan," balas Danisha. "Dia harus hidup buat ngerasain hal yang sama kayak gue, Sha.""Ane-san," Danisha menghela napas panjang. "Kalau gue jadi lo, gue udah bunuh dia sejak lama," ujarnya penuh amarah. "Dia juga nggak mau Mas Ben kenapa-napa, sama kayak gue, kami mencintai orang yang sama. Seenggaknya
"Baru pertama kali ini aku liburan ke Eropa. Mimpi apa aku bisa ke sini sama orang yang paling berarti di hidupku," desis Ann lirih. Matanya mengitar takjub, masih tidak percaya pada apa yang kini tengah dialaminya. London tengah ada di awal musim gugur saat ini. Suhu udara cukup dingin untuk kulit Ann yang terbiasa dengan suhu tropis khatulistiwa. Ia sampai memeluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menghangatkan tubuhnya. Liburan musim panas di Inggris Raya baru akan selesai dan Westminster cukup sepi dari wisatawan di bulan-bulan ini. "Pilihan yang tepat kita keluar malam hari, untungnya Christ udah akrab sama Lala, jadi kita bisa keluar malem-malem gini, biar Christ istirahat," ujar Ben sengaja merangkul leher istrinya mesra. "Lala udah kenal Danisha lama, jadi kayaknya Christ sering diajak jalan bareng juga sama Lala, makanya mereka cepet akrab," gumam Ann. "Mas, indah banget Inggris Raya," ujarnya tak hentinya berdecak. Meninggalkan
Ann menyesap teh melati buatan Ben sambil memejamkan mata. Sungguh pagi yang begitu damai dan menenangkan baginya, tanpa beban. Christ sedang sarapan pagi bersama Ben di ruang makan, sedangkan Ann sendiri duduk di halaman belakang, sesekali mengusap punggung Chester yang kini memang sengaja diboyong ke rumah baru demi memulihkan kesehatannya. Minggu depan kuliah Ann sebagai Maba akan dimulai, jadi, ia sengaja menikmati momen-momen emas ini tanpa gangguan. "Ane-san, berangkat seolah dulu," kata Christ mendatangi Ann sambil membungkukkan badannya. "Oke, hati-hati ya, semangat sekolahnya!" balas Ann melambaikan tangannya ceria, menatap punggung kecil nan kokoh Christ yang berlalu menjauh. Untuk kegiatan sekolah dan les privat yang harus dijalani Christ, Ann menyiagakan seorang sopir antar-jemput. Ben juga meminta Sony untuk menjadi penjaga Christ selama berkegiatan di luar rumah. "Kamu nggak ada agenda ke mana-mana hari ini, Ann?" tegur Ben yang menyusul duduk di seberang Ann, menent
"Hai, Christoper!" sapa Eriska yang sudah datang lebih dulu di sebuah coutage tempat mereka dijadwalkan bertemu. Seperti rencana, Ann dan Ben mengantar Christ bertemu dengan Eriska. Satu titik balik kehidupan Christ akan ditentukan hari ini. Ann tidak tahu apa yang tengah dirancang oleh Eriska untuk mengusiknya lagi, tapi ia percaya Ben bisa mengatasi gangguan Eriska lebih baik ketimbang sebelumnya."Mami Eris," balas Christ melambaikan tangan sekenanya, juga memberi senyum simpul yang asing. "Kamu tambah tinggi ya," puji Eriska. "Makanmu pasti enak-enak pas ikut Ben," katanya. "Makasih udah menuhin permintaanku," tambahnya ke arah Ben sambil memeluk Christ yang tampak canggung. "Gue pengin urusan kita segera selesai," balas Ben. "Biar Christ mesen makanan dulu ya," tandas Eriska. "Aku udah makan sama Ann dan Ben sebelum ke sini," ucap Christ sangat fasih. "Kata Ann, Mami kangen sama aku," gumamnya. "Iya," jawab Eriska mengangguk. "Mami nggak bawa makanan kesukaanku?" tembak Ch
Setelah sekian lama tidak beraktivitas di ranjang karena kondisi kesehatannya, Ben cukup berhati-hati bergerak. Ann lebih banyak memimpin permainan, sang istri berbalik memegang posisi dominan. "Joanna," Ben mengerang lirih, menikmati pemandangan sang istri yang meliuk-liuk di atasnya. "Berasa liat aku di Queen's Diary lagi ya Mas," goda Ann masih sempat bercanda. "Ini lebih juara sensasinya," balas Ben merem-melek, terbakar gairah. Ann terkikik, ia bergerak makin cepat, tapi tetap berhati-hati. Ben yang tengah berbaring di bawahnya itu masih belum sembuh total, jadi mereka tidak boleh bermain liar. "Ane-san!" Ben mengeja panggilan istrinya, ia tiba di puncak dengan senyuman lepas yang puas. "Wah," deru napas Ann masih terengah, "lega, Big Ben? 250 juta transfer ke rekeningku ya," candanya lucu. Ia bangkit dan duduk di sebelah suaminya, membiarkan Ben meriah selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Nggak 300 juta sekalian?" tawar Ben. Ann mengangguk, "Boleh. Dikasih 500 juta lebi
Setitik air mata Ann jatuh, ia berpaling agar tak ketahuan tengah bersedih. Sesak di dadanya berusaha ia sembunyikan sebisa mungkin, hatinya telah jatuh teramat banyak pada Christ. "Kenapa aku harus milih? Aku udah tinggal di sini kan?" gumam Christ lugu. "Kamu bukan anggota keluarga, Eriska minta kamu kembali ke keluarga kamu," ungkap Ben gamblang, terdengar sangat tega. "Ane-san," Christ menoleh Ann, "apa aku harus milih? Aku aku harus ikut Mami Eris?" tanyanya hampir menangis. "Kamu boleh tetep tinggal di sini kalau kamu mau, Christ," jawab Ann. "Asal kamu memilih tinggal bersama kami, kamu boleh tinggal selamanya di sini," sambar Ben. Christ terdiam, ia tampak bingung dan hanya memainkan kancing bajunya sebagai bentuk pelarian. Anak sekecil Christ tentu mempunyai banyak perspektif pada setiap orang yang pernah merawatnya. Ann meski galak dan tegas, tidak pernah memukul atau menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan Ben, meski ia keras dan kejam, selalu menekan Christ dengan
"Marah, Ane-san?" tegur Ben yang menyadari perubahan sikap istrinya semenjak pulang dari rumah makan tadi siang. "Hem?" Ann melirik suaminya sekejap, lantas fokus lagi memainkan ponselnya. "Kamu marah sama aku, Ann?" ulang Ben sabar. "Marah? Emangnya kamu kenapa?" tanya Ann balik. Ben mendecak, ia tahu Ann sedang tidak mau diajak mengobrol. Istrinya ini tengah marah, enggan ditanya-tanya tapi jika Ben tak acuh, kemarahan itu akan semakin membesar. "Coba bilang, salahku di mana?" pancing Ben. "Wah," Ann tertawa dalam tatapan piasnya yang tak menyangka. "Nggak sadar salahnya?" "Oke, aku salah ngambil keputusan setuju sama Eriska? Bener?" "Terus?" "Aku mengabaikan kamu," desis Ben meringis, takut salah. "Bukan cuma mengabaikan, Mas. Aku nggak kamu anggep ada di tempat itu. Seharusnya kamu tanya dulu keputusanku, kan?" sergah Ann bagai siap memuntahkan lahar panas dari mulutnya. "Iya, aku minta maaf," ungkap Ben tak mau memperpanjang masalah. Salah atau tidak salah, ia tetap ha
"How's life, Ann? Kamu bahagia?" tanya Eriska yang ditemui oleh Ann di sebuah rumah makan besar. Ann melirik sang suami yang duduk di sebelahnya. Ben tampak tak acuh, ia itarkan pandangan ke sekeliling, enggak bertemu tatap dengan Eriska. Dari sorot matanya, tampak Eriska masih begitu mendamba suami Ann itu. "Gue nggak punya alasan buat nggak bahagia setelah suami masih hidup di sisi gue," jawab Ann jumawa. "Asal nggak ada orang yang mengusik kami lagi, gue yakin bahagia selamanya," gumamnya. "Ben," Eriska tersenyum, mencoba mengambil perhatian mantan pacarnya itu. "Aku nggak akan ngusik kalian lagi. Cuma satu penginku, aku diijinin buat ketemu sama Christ. Sekarang udah nggak ada Papa yang bakalan nyakitin dia, boleh nggak Christ disuruh milih, mau ikut aku atau kalian? Aku janji, setelah Christ milih, aku nggak akan pernah muncul dalam kehidupan kalian lagi," ujarnya. Ben yang semula tak peduli akhirnya memfokuskan pandangannya pada Eriska. Keduanya bertemu tatap, diam dan tak a
Proses recovery Ben memakan banyak waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Selama itu, Ann setia mendampingi, membantu sang suami mendapatkan tubuh bugarnya lagi. "Dua tusukan yang nggak akan pernah bisa dilupain," desis Ann sambil menunjuk bekas luka di dada dan perut Ben yang kancing kemejanya sengaja tidak dikancingkan. "Nggak kamu bikin tato, Mas?" tanyanya. Ben menggeleng, "Luka tembak ini sengaja kutato karena pengin kuhilangkan. Kalau luka tusuk beda cerita, ini award perasaanku atas kamu Ann. Aku terluka buat ngelindungin kamu, itu kebanggaan tersendiri," ujarnya. "Tapi aku jadi ngerasa bersalah kalau liat bekas luka ini. Kamu ada di ambang kematian selama 5 bulan, gimana aku nggak sedih.""Apa mau kutato aja biar kamu nggak sedih?" tawar Ben. Gelengan Ann berikan, "Kalau kamu nggak ngeliat aku sebagai bentuk kesalahan, sedihku bisa ganti jadi kebahagiaan kok Mas," ucapnya lembut, plin-plan. Senyuman Ben terkembang, ia kibaskan lagi pedangnya untuk kembali memulai latiha
Dua puluh empat jam pasca hidup kembali, Ben dinyatakan dalam kondisi yang sangat bagus oleh dokter. Tubuhnya sudah melewati pemeriksaan dan pengecekan dan tidak ada organ tubuhnya yang malfungsi. Ben hanya memerlukan banyak latihan bergerak dan berjalan untuk menormalkan kembali sendi-sendi dan tulangnya. "Dia minta pindah sekolah di sini, pengin jagain Ketua tapi dia ngeluh bosan nunggu kamu bangun, tiap hari begitu," ucap Ann tertawa. "Dia jagain kamu dengan baik ya," kekeh Ben sudah mulai lancar berkomunikasi. Ann mengangguk, "Kadang dia ngomel, kenapa Ketua nggak bangun-bangun padahal dia mau cerita gimana dia ngelawan anak-anak lain yang nyoba ngerundung dia," ceritanya. "Udah ya Mas, biar dia stay di Indo aja, Christ pasti nggak mau kalau disuruh balik ke Jepang lagi. Nanti aja kalau dia udah bisa milih mau lanjut studi di Jepang atau di negara mana pun, kita bisa atur lagi," urainya. "Aku ikut kebijakan kamu, Ane-san," kata Ben lembut. "Ah, Adyaksa sekarang dipegang sama