"Ane-san minta pergi sendiri hari ini, Benji nggak bisa maksa buat nemenin," desis Arino ikut panik. Ben tak memberi tanggapan. Jika boleh bercerita, pikirannya pasti kacau. Baru saja masuk ancaman lewat telepon mengenai keselamatan Ann yang memang sedang sibuk mengurus kuliahnya seorang diri. Mereka adalah orang-orang Adyaksa entah di bawah komando siapa. "Dia bilang ke kampus doang, kita ke sana langsung," ujar Ben yang langsung memegang kemudi sendiri, tak meminra Arino yang menyetir mobil seperti biasanya. "Gue coba hubungin, Ane-san," ucap Arino. Ia lantas sibuk mengutak-atik ponselnya, menunggu nada sambung terdengar dari seberang teleponnya. "Nggak diangkat?" tanya Ben. "Enggak.""Semoga dia nggak kenapa-kenapa," ujar Ben setengah berharap. "Ane-san udah jauh lebih hebat soal perlindungan diri, Men. Seenggaknya kita bisa lebih percaya sama dia.""Kalau lawannya nggak lebih dari 5 orang gue tenang, No. Tapi kalau lebih dari itu, tetep aja Ann itu perempuan," ucap Ben mengh
"Mas," Ann melebarkan senyumnya saat membuka mata dan ia temui wajah tampan sang suami. "Bisa-bisanya baru bangun dari pingsan malah senyum-senyum," kata Ben geregetan, dikecupnya kening Ann sekejap. "Apanya yang sakit, Ann?" tanyanya perhatian. "Mas, kamu panik banget ya?" tebak Ann nyengir. Ben yang sedianya sudah siap mengambilkan air minum untuk sang istri, mengurungkan niatnya. Ia duduk di sisi ranjang Ann, mengusap puncak kepalanya istrinya dalam gerakan berulang. "Menurutmu?" desis Ben gemas. "Nggak tiba-tiba gila aja udah untung lho ini," tandasnya. "Lebai sih kalau itu.""Aku serius khawatir!""Iya, aku tau. Tapi kamu kalau lagi mode panik gini jadi lucu banget Mas, kan gemes aku. Mas Ben yang biasanya garang, galak dan cool, tiba-tiba berubah gemoy gini," ujar Ann berjenggit."Kamu apa yang sakit selain di tangan?" tanya Ben tak mau menanggapi godaan sang istri. "Nggak ada, yang di tangan doang," jawab Ann mengulum bibirnya sendiri karena Ben berubah serius. "Siapa ya
Bahu Ann meluruh mendengar ucapan Ben. Ia tatap wajah tampan suaminya itu tajam, dahinya mengernyit. "Maksudku, dia udah nggak berdaya sekarang, apa mungkin dia masih punya anak buah yang bisa dia suruh buat nyerang kamu?" gumam Ben meralat ucapannya. "Kakinya doang yang nggak bisa jalan, mulutnya masih bisa ngomong. Kamu juga pernah bilang kalau dia dilindungi basis kekuatan cukup besar selama di Kupang sana," balas Ann. "Kemungkinan itu bisa juga terjadi, nanti kusuruh Benji buat cari tau," ucap Ben tersenyum. Salah bicara sedikit saja, ia bisa menggali kuburnya sendiri. "Kalau sampe ini adalah rencana Eriska, aku bakalan buru dia sampe dapet. Kamu nggak boleh ikut campur, Mas!" "Kenapa nggak boleh? Dia musuhku juga, Ann."Ann tersenyum miring, "Kalau emang kamu nganggep dia musuh yang harus dikalahin, dua kali dia nemuin kamu dan dia pulang tanpa lecet sedikitpun, Big Ben!" cecarnya. "Aku nggak bisa nyerang lawan yang lemah dan rentan kayak kondisi dia waktu itu, Ann.""Kalau
"Aku bisa aja motong semua jarinya buat bikin mereka ngaku," sebut Ben mendatangi Ann yang ikut masuk ke dalam ruangan di mana 6 orang penyerang sang istri itu ditahan. "Jangan Mas, kamu nggak perlu ngotorin tangan kamu. Aku masih baik-baik aja, tandanya mereka gagal. Yang nyuruh mereka pasti bakalan bertindak lagi," kata Ann jauh lebih sabar ketimbang sang suami. "Baiknya kita apain?" tanya Benji ikut mendekat. "Mereka udah babak belur gitu, kasih makan dulu Bang," pinta Ann. "Kasih makan?" Ben menoleh istrinya bingung. "Kalau perut mereka kenyang, otaknya bisa berpikir jauh lebih jernih. Jadi mereka bisa milih, ngaku buat bertahan hidup, atau tetep bungkam sampe mati," ujar Ann sangat taktis. "Wow!" Benji tersenyum takjub. "Nggak salah emang kita mempertahankan Ane-san yang satu ini," pujinya. "Ini kualitas namanya, Bang," ujar Ann jumawa, senyumnya melengkung cantik. "Kalau Ane-san udah kasih perintah, kita nggak bisa nolak," ucap Ben menunjuk dua orang anak buahnya untuk m
Ben menjentik abu rokoknya di asbak, pandangan dinginnya begitu menusuk dan tanpa ampun. Enam orang yang menyerang Ann sudah mengaku siapa sosok yang memerintahkan mereka dan nama Irfan muncul sebagai dalang utama. "Kita harus gimana sekarang?" tanya Benji hati-hati. "Lacak keberadaan Irfan, bunuh kalau dia ditemukan," perintah Ben lirih. "Ben," Benji mendengus pelan. "Menurut gue ada yang salah," desahnya gelisah. "Apaan?" "Aneh aja. Buat apa Irfan susah-susah nyerang Ann, nggak langsung ke lo aja?" Ben menaikkan pandangannya ke arah halaman rumahnya, "Karena dia tau Ann adalah harta gue yang paling berharga," katanya."Tapi selama ini pola dia nggak pernah nargetin orang terdekat. Dia langsung ke point-nya!" ucap Benji ngeyel. "Jadi menurut lo, ini perbuatan orang laen yang dilimpahin ke Irfan?" tebak Ben. "Iya kan?" "Siapa?" Ben menyipitkan matanya ke arah Benji. "Siapa lagi yang nggak suka posisi Ann jadi istri lo," kata Benji yakin. "Pemikiran lo sama kayak Ann. Cuma g
"Nggak jadi ngomong serius ini?" Ann mengikuti gerakan suaminya yang tengah berganti pakaian. "Ada darurat di kantor, Ann," balas Ben. "Darurat apaan sih, Mas? Soal kerjaan?" tanya Ann penasaran. Ben berhenti sekejap, "Iya," balasnya singkat. "Aku ikut ya?""Mau ngapain?" "Ya ikut suamiku ke kantor masak nggak boleh? Emang siapa tadi yang barusan telepon sih Mas?" Ann tak cukup diberi jawaban singkat oleh sang suami. Ben harus menjawabnya dengan detail dan jujur. "Benji, Irfan dateng ke kantor," ungkap Ben tak punya pilihan lain selain berkata apa adanya. "Irfan siapa? Adyaksa?" Ben mengangguk, "Orang-orang yang nyerang kamu udah ngaku kalau mereka suruhannya Irfan. Aku khawatir ini pasti ada sangkut-pautnya. Kamu masih luka dan nggak boleh kenapa-napa. Di rumah aja ya?" pintanya. "Aku harus ikut!" putus Ann berkacak pinggang serius. "Ane-san," desah Ben lirih. "Aku harus tau gimana tampangnya Irfan. Aku juga harus tau alasan kenapa dia nyuruh orang buat nyoba nyulik aku, M
Mendengar penuturan Irfan, Ben bergerak mendekati mejanya. Ia raih pedang pajangan di belakang kursi kerja itu, lantas dihunusnya langsung ke arah Irfan. "Jangan nyoba-nyoba buat memprovokasi istriku!" ancam Ben bengis. "Apanya yang memprovokasi? Aku sama Eriska udah beda kubu, Ben. Dia nggak bisa kukendalikan. Karena dia, bisnisku berhasil kalian hancurkan, dia biang kerok yang sangat mirip denganku," kata Irfan masih terlihat sangat santai. "Kamu berusaha nyari info keberadaan Christ? Bener kan tebakanku?" Ben menyungging senyum miring. "Kalian berdua pasti udah gila, berani-beraninya dateng ke sarang musuh begini," gumamnya tanpa menurunkan hunusan pedangnya. "Aku ambil resiko. Antagonis yang sebenarnya itu Eriska, Ben," sebut Irfan. "Dan kamu jadiin anak perempuan kandungmu itu sebagai tameng?" sambar Benji lirih. "Cinta itu ngerubah banyak hal, termasuk cintanya Eriska ke seorang Big Ben," desis Irfan. Ia beranjak sambil mengangkat tangan agara Ben tak menyerangnya. "Orang
"Mas," Ann menengadah, sedikit mendesah karena sentuhan Ben bermuara di bawah tulang selangkanya. "Hem?" Masih asik mengecupi leher istrinya, Ben hanya menggumam. Ia sedang dalam mood yang sangat bagus untuk bercinta, jadi, ia tidak akan membiarkan apapun menggagalkan usahanya. "Mas Ben," lirih Ann mengerang, tubuhnya melengkung indah, menggelinjang kegelian."I want you, Ane-san," bisik Ben menggigiti daun telinga Ann, mengembuskan napasnya hingga membuat bulu kuduk Ann meremang. "Nggak pa-pa di kantor?" tanya Ann sengaja menahan dada suaminya yang sudah siap menindihnya di sofa panjang. "Sensasinya beda kan?" gumam Ben menyeringai. "Kalau ada yang tiba-tiba masuk gimana?" "Emang ada yang berani? Benji juga nggak akan masuk lagi, Ann," ucap Ben dengan mata memerah yang sudah dikuasai gairah. "Ya udah," jawab Ann malu-malu. "Aku berisik dikit nggak pa-pa ya Mas?" desisnya seraya memainkan jemarinya di dada sang suami, menggoda sekali. "Nggak pa-pa, teriak juga boleh," ujar Be