"Lo sengaja muncul di tempat umum dan rame begini, nggak mau ambil resiko?" tegur Ann penuh aura permusuhan. Sementara, Eriska yang ada di seberang Ann tersenyum simpul. Ia memang sengaja mendatangi sekolah Christ, mencari celah agar bisa bertemu adik tirinya itu. Namun, Ann jauh lebih waspada menjelang keberangkatan Christ ke Jepang, ia kawal ketat hari-hari terakhir Christ bersekolah di Indonesia. "Gue cuma pengin ketemu Christ, anak yang lo rampas dari gue," ucap Eriska tampak tenang. "Anak? Gue rampas?" Ann tertawa meremehkan. "Lo masih naif dan merasa sebagai alpha women ya, Eriska. Bahkan di tengah kondisi fisik lo yang sekarang sangat terbatas," hinanya sengaja. "Jangan melebar ke mana-mana. Balikin Christ ke gue!" sengal Eriska terpancing. "Nggak akan!" sambar Ann. "Enak aja mau main ambil. Christ bukan barang dan berhenti make Christ buat ngedeketin suami gue lagi!" ancamnya. "Ben bakalan ninggalin lo kalau Christ kembali ke gue. Rasa cintanya ke Christ udah ngalahin se
"Apa Ane-san nggak bisa ikut ke Jepang nemenin aku?" tanya Christ tampak sedih. Ini malam terakhir ia tidur ditemani Ann sebelum berangkat bertolak ke Jepang esok pagi. "Aku bakalan sering jenguk ke sana ya," balas Ann mengusap kepala Christ lembut. "Nurut apa kata Danisha, ikuti semua latihan yang diajarin sama orang-orang di sana!" pesannya.Christ mengangguk. Ia hela napas panjang sebentar sebelum akhirnya berbaring di ranjang. "Ann," panggil Christ lirih."Hem?" gumam Ann menyempatkan diri melihat mata indah Christ sebelum beranjak. "Makasih udah menyayangiku," kata Christ sangat dewasa. Senyum tampannya benar-benar melelehkan hati siapa saja yang menatapnya. "Iya, Christ," jawab Ann mengangguk lemah. "Selamat tidur," tukasnya lalu mengecup kening Christ. Sejak tinggal di tengah-tengah Ann dan Ben, Christ hanya meminta ditemani tidur selama dua minggu lamanya. Setelahnya, Christ cukup mandiri dan hanya sesekali meminta Ann tetap di sampingnya sampai ia tertidur lelap. "Ann,"
"Kalian berantem?" tanya Bastian saat pagi hari ia datang untuk mengantar kepergian Christ tapi tidak menemui Ann. "Cuma salah paham," jawab Ben tanpa mengalihkan pandangannya dari ponselnya."Kalau Ann sampe milih balik ke rumah lama, artinya kalian nggak sekedar salah paham, Ketua.""Eriska muncul nemuin Ann, tapi dia nggak cerita sama gue," urai Ben lirih. "Kapan?" Bastian mendekat dan duduk di seberang Ben, ia mencomot onion ring yang Ben masak sendiri untuk Christ itu."Beberapa hari yang lalu, ke sekolahnya Christ. Eriska ngomong hal-hal yang bertentangan sama yang dia bilang ke gue, itu yang jadi pokok masalah," cerita Ben sesekali meneguk kopi hitamnya.Ben saat sedang banyak pikiran biasanya akan meneguk bergelas-gelas kopi pahit di pagi hari dan meminum wine-nya di malam hari. Kebiasaan itu timbul setelah dulu ia ditinggalkan oleh Ann dan harus hancur sendirian. "Dan lo nggak nyusul Ane-san ke rumah lama? Lo biarin dia berangkat sendiri, tidur di rumah lama dalam keadaan
Benar kata Bastian, semua bisa selesai dengan bercinta. Terbukti, setelah saling bertukar pagutan, Ann tak menolak sama sekali saat Ben membopongnya masuk ke dalam kamar. Beruntung, situasi rumah lama Ben memang sedang sepi, hari ini bukan jadwal tukang bersih-bersih untuk datang. "Ini hukuman karena kamu asal kabur-kaburan!" bisik Ben sangat sensual. "Ampun, Big Ben," canda Ann sengaja sedikit mendesah, menambah gairah Ben yang sedang sibuk memompa tubuhnya. "Come on Ane-san, kamu selalu pinter mancing-mancing gini," kata Ben mempercepat gerakannya. Ann makin mengerang liar, tubuhnya melengkung indah, keenakan. Ia memejamkan mata rapat, menikmati sensasi gelenyar panas yang menguasai tubuhnya. "Joanna!" sambil mengucap nama Ann, Ben tiba di puncaknya. Peluh yang membasahi keningnya diseka lembut oleh sang istri. Lalu, Ben berguling di sebelah Ann, mengatur napas tapi tangan kirinya masih sempat mengusap lembut pipi sang istri. Keduanya tenggelam dalam kediaman yang cukup lama,
"Aku bakalan sering-sering ke sana, jangan ngelawan Danisha atau kamu bakalan diajak gelud sama dia," pesan Ann seraya meremas kedua pundak Christ. Matanya mengembun, hampir menangis tapi Ann tahan sekuat tenaga. "Aku tau ini buat kebaikanku. Aku nggak akan bikin Ben marah sama kamu, Ane-san," ungkap Christ lirih. "Kamu nggak gitu Christ," sangkal Ann. "Aku sayang kalian beneran, aku nggak bohong," tandas Christ. "Jangan lupain aku ya," pintanya. "Siapa yang mau ngelupain kamu," sergah Ben spontan menggendong Christ dalam pelukannya. "Jadi hebat dan kuat, kami bakalan sering-sering ke sana, nanti berlatih pedang lagi sama Ketua!" katanya. "Siap!" balas Christ memberi hormat pada Ben. "Aku nggak mau kembali ke Mami Eris, Ben," ujarnya. "Kamu kukirim ke Jepang, bukan kupulangin ke Eriska," desah Ben. Ia turunkan Christ di depan tangga pesawat. "Baik-baik, Christopher Wisanggeni," ucapnya melambaikan tangan. "Christ!" tahan Ann memeluk erat tubuh mungil itu, "baik-baik ya," katany
"Bennedicth!" Eriska berusaha merangsek masuk ke dalam ruang kerja Ben meski Arino nampak mati-matian menahan kursi rodanya. Ia datang sendiri, tanpa kawalan siapapun. "Biarin, No," ucap Ben menghela napas panjang, bersiap menghadapi serangan. Buru-buru Eriska mendekat, sekuat tenaga ia berusaha bangkit dari kursi rodanya tapi tak bisa. Mau tak mau, Ben mengalah dan berdiri mendekat. "Lo nganter nyawa?" tanya Ben membungkukkan badannya dengan sengaja. "Kamu ke manain Christ, hah?" sengal Eriska marah. "Kamu sembunyiin dia ke mana?" tanyanya sedikit marah. "Apa sih," Ben kembali menegakkan punggungnya. "Bukan urusan lo, gue bawa dia ke mana," tandasnya. "Kamu jahat Ben!" "Jahat sama lo, maksudnya?" tanya Ben mengerutkan dahi. "Aku udah rela ngeliat dia dari jauh, nggak meminta dia dibalikin ke aku, kenapa kamu malah kirim dia pergi jauh lagi dari aku?" teriak Eriska kehilangan kendali. "Mengirim dan ngurus Christ adalah otoritas istri gue, lo salah kalau lo ngedatengin gue dar
"Ane-san minta pergi sendiri hari ini, Benji nggak bisa maksa buat nemenin," desis Arino ikut panik. Ben tak memberi tanggapan. Jika boleh bercerita, pikirannya pasti kacau. Baru saja masuk ancaman lewat telepon mengenai keselamatan Ann yang memang sedang sibuk mengurus kuliahnya seorang diri. Mereka adalah orang-orang Adyaksa entah di bawah komando siapa. "Dia bilang ke kampus doang, kita ke sana langsung," ujar Ben yang langsung memegang kemudi sendiri, tak meminra Arino yang menyetir mobil seperti biasanya. "Gue coba hubungin, Ane-san," ucap Arino. Ia lantas sibuk mengutak-atik ponselnya, menunggu nada sambung terdengar dari seberang teleponnya. "Nggak diangkat?" tanya Ben. "Enggak.""Semoga dia nggak kenapa-kenapa," ujar Ben setengah berharap. "Ane-san udah jauh lebih hebat soal perlindungan diri, Men. Seenggaknya kita bisa lebih percaya sama dia.""Kalau lawannya nggak lebih dari 5 orang gue tenang, No. Tapi kalau lebih dari itu, tetep aja Ann itu perempuan," ucap Ben mengh
"Mas," Ann melebarkan senyumnya saat membuka mata dan ia temui wajah tampan sang suami. "Bisa-bisanya baru bangun dari pingsan malah senyum-senyum," kata Ben geregetan, dikecupnya kening Ann sekejap. "Apanya yang sakit, Ann?" tanyanya perhatian. "Mas, kamu panik banget ya?" tebak Ann nyengir. Ben yang sedianya sudah siap mengambilkan air minum untuk sang istri, mengurungkan niatnya. Ia duduk di sisi ranjang Ann, mengusap puncak kepalanya istrinya dalam gerakan berulang. "Menurutmu?" desis Ben gemas. "Nggak tiba-tiba gila aja udah untung lho ini," tandasnya. "Lebai sih kalau itu.""Aku serius khawatir!""Iya, aku tau. Tapi kamu kalau lagi mode panik gini jadi lucu banget Mas, kan gemes aku. Mas Ben yang biasanya garang, galak dan cool, tiba-tiba berubah gemoy gini," ujar Ann berjenggit."Kamu apa yang sakit selain di tangan?" tanya Ben tak mau menanggapi godaan sang istri. "Nggak ada, yang di tangan doang," jawab Ann mengulum bibirnya sendiri karena Ben berubah serius. "Siapa ya