"Ann," panggil Ben lembut. "Kamu kalau lagi kesel sukanya bikin keputusan spontan yang nggak masuk akal.""Aku nggak mau Eriska make Christ buat deketin kamu lagi, Mas.""Itu nggak akan terjadi, Ann.""Udah terjadi lho Mas. Dia berani nemuin kamu dengan manfaatin kondisinya yang nggak sempurna, ngemis belas kasih. Dia tau kalau kamu nggak mungkin tega ngebunuh dia, makanya yang dia temuin itu kamu, bukan aku. Seharusnya kalau dia emang ada urusan masalah Christ, dia temuin aku, sama kayak dulu pas dia masih punya kekuatan buat ngancam dan nyakitin aku. Kalau menurut kamu aku bakalan diem karena sekarang dia cacat, kamu salah Mas. Selamanya aku nggak akan pernah tinggal diem. Aku bakalan tuntut segalanya yang udah dia ambil dari aku. Dia berani muncul lagi sekarang, kubuat dia nggak akan pernah bisa dapetin apa yang dia mau!" tegas Ann panjang lebar dan penuh penekanan. "Bukan Christ yang sebenernya dia mau, tapi dapetin simpati kamu lagi!" tambahnya berapi. Ben terdiam, melawan kalim
"Kalau Christ dikirim lagi ke Jepang, Danisha yang akan bertanggungjawab. Gimana? Ann setuju?" tawar Taka di pertemuan keluarga, sengaja mengumpulkan beberapa anggota klan dari luar kota juga demi membuat keputusan. "Kalau itu untuk kebaikan, aku setuju aja, Pa," ucap Ann. "Ketua?" Taka menoleh Ben. "Atur aja," balas Ben mengangguk lemah. "Kedatangan Eriska yang nggak pernah diprediksi sebelumnya bisa jadi peringatan kita, Adyaksa masih berusaha buat ngusik Takahashi," katanya. "Kita nggak boleh lengah," ucap Benji. "Eriska itu berbahaya Ben," tandasnya. "Ketua!" sengal Ben melirik kakaknya tajam. "Gue tau apa yang harus gue lakuin," tandasnya tak suka. "Maksud gue, Ketua," Benji menundukkan kepalanya, meralat ucapannya. "Ancaman serius ini nggak boleh terulang. Cukup dua kali kita lengah," tambahnya."Gue tau," Ben meneguk minuman keras miliknya. Ia meringis sebentar, menikmati sensasi menggigit di tenggorokannya sambil menoleh Ann, "gue bakalan jagain Ane-san," ucapnya. "Buka
"Lo sengaja muncul di tempat umum dan rame begini, nggak mau ambil resiko?" tegur Ann penuh aura permusuhan. Sementara, Eriska yang ada di seberang Ann tersenyum simpul. Ia memang sengaja mendatangi sekolah Christ, mencari celah agar bisa bertemu adik tirinya itu. Namun, Ann jauh lebih waspada menjelang keberangkatan Christ ke Jepang, ia kawal ketat hari-hari terakhir Christ bersekolah di Indonesia. "Gue cuma pengin ketemu Christ, anak yang lo rampas dari gue," ucap Eriska tampak tenang. "Anak? Gue rampas?" Ann tertawa meremehkan. "Lo masih naif dan merasa sebagai alpha women ya, Eriska. Bahkan di tengah kondisi fisik lo yang sekarang sangat terbatas," hinanya sengaja. "Jangan melebar ke mana-mana. Balikin Christ ke gue!" sengal Eriska terpancing. "Nggak akan!" sambar Ann. "Enak aja mau main ambil. Christ bukan barang dan berhenti make Christ buat ngedeketin suami gue lagi!" ancamnya. "Ben bakalan ninggalin lo kalau Christ kembali ke gue. Rasa cintanya ke Christ udah ngalahin se
"Apa Ane-san nggak bisa ikut ke Jepang nemenin aku?" tanya Christ tampak sedih. Ini malam terakhir ia tidur ditemani Ann sebelum berangkat bertolak ke Jepang esok pagi. "Aku bakalan sering jenguk ke sana ya," balas Ann mengusap kepala Christ lembut. "Nurut apa kata Danisha, ikuti semua latihan yang diajarin sama orang-orang di sana!" pesannya.Christ mengangguk. Ia hela napas panjang sebentar sebelum akhirnya berbaring di ranjang. "Ann," panggil Christ lirih."Hem?" gumam Ann menyempatkan diri melihat mata indah Christ sebelum beranjak. "Makasih udah menyayangiku," kata Christ sangat dewasa. Senyum tampannya benar-benar melelehkan hati siapa saja yang menatapnya. "Iya, Christ," jawab Ann mengangguk lemah. "Selamat tidur," tukasnya lalu mengecup kening Christ. Sejak tinggal di tengah-tengah Ann dan Ben, Christ hanya meminta ditemani tidur selama dua minggu lamanya. Setelahnya, Christ cukup mandiri dan hanya sesekali meminta Ann tetap di sampingnya sampai ia tertidur lelap. "Ann,"
"Kalian berantem?" tanya Bastian saat pagi hari ia datang untuk mengantar kepergian Christ tapi tidak menemui Ann. "Cuma salah paham," jawab Ben tanpa mengalihkan pandangannya dari ponselnya."Kalau Ann sampe milih balik ke rumah lama, artinya kalian nggak sekedar salah paham, Ketua.""Eriska muncul nemuin Ann, tapi dia nggak cerita sama gue," urai Ben lirih. "Kapan?" Bastian mendekat dan duduk di seberang Ben, ia mencomot onion ring yang Ben masak sendiri untuk Christ itu."Beberapa hari yang lalu, ke sekolahnya Christ. Eriska ngomong hal-hal yang bertentangan sama yang dia bilang ke gue, itu yang jadi pokok masalah," cerita Ben sesekali meneguk kopi hitamnya.Ben saat sedang banyak pikiran biasanya akan meneguk bergelas-gelas kopi pahit di pagi hari dan meminum wine-nya di malam hari. Kebiasaan itu timbul setelah dulu ia ditinggalkan oleh Ann dan harus hancur sendirian. "Dan lo nggak nyusul Ane-san ke rumah lama? Lo biarin dia berangkat sendiri, tidur di rumah lama dalam keadaan
Benar kata Bastian, semua bisa selesai dengan bercinta. Terbukti, setelah saling bertukar pagutan, Ann tak menolak sama sekali saat Ben membopongnya masuk ke dalam kamar. Beruntung, situasi rumah lama Ben memang sedang sepi, hari ini bukan jadwal tukang bersih-bersih untuk datang. "Ini hukuman karena kamu asal kabur-kaburan!" bisik Ben sangat sensual. "Ampun, Big Ben," canda Ann sengaja sedikit mendesah, menambah gairah Ben yang sedang sibuk memompa tubuhnya. "Come on Ane-san, kamu selalu pinter mancing-mancing gini," kata Ben mempercepat gerakannya. Ann makin mengerang liar, tubuhnya melengkung indah, keenakan. Ia memejamkan mata rapat, menikmati sensasi gelenyar panas yang menguasai tubuhnya. "Joanna!" sambil mengucap nama Ann, Ben tiba di puncaknya. Peluh yang membasahi keningnya diseka lembut oleh sang istri. Lalu, Ben berguling di sebelah Ann, mengatur napas tapi tangan kirinya masih sempat mengusap lembut pipi sang istri. Keduanya tenggelam dalam kediaman yang cukup lama,
"Aku bakalan sering-sering ke sana, jangan ngelawan Danisha atau kamu bakalan diajak gelud sama dia," pesan Ann seraya meremas kedua pundak Christ. Matanya mengembun, hampir menangis tapi Ann tahan sekuat tenaga. "Aku tau ini buat kebaikanku. Aku nggak akan bikin Ben marah sama kamu, Ane-san," ungkap Christ lirih. "Kamu nggak gitu Christ," sangkal Ann. "Aku sayang kalian beneran, aku nggak bohong," tandas Christ. "Jangan lupain aku ya," pintanya. "Siapa yang mau ngelupain kamu," sergah Ben spontan menggendong Christ dalam pelukannya. "Jadi hebat dan kuat, kami bakalan sering-sering ke sana, nanti berlatih pedang lagi sama Ketua!" katanya. "Siap!" balas Christ memberi hormat pada Ben. "Aku nggak mau kembali ke Mami Eris, Ben," ujarnya. "Kamu kukirim ke Jepang, bukan kupulangin ke Eriska," desah Ben. Ia turunkan Christ di depan tangga pesawat. "Baik-baik, Christopher Wisanggeni," ucapnya melambaikan tangan. "Christ!" tahan Ann memeluk erat tubuh mungil itu, "baik-baik ya," katany
"Bennedicth!" Eriska berusaha merangsek masuk ke dalam ruang kerja Ben meski Arino nampak mati-matian menahan kursi rodanya. Ia datang sendiri, tanpa kawalan siapapun. "Biarin, No," ucap Ben menghela napas panjang, bersiap menghadapi serangan. Buru-buru Eriska mendekat, sekuat tenaga ia berusaha bangkit dari kursi rodanya tapi tak bisa. Mau tak mau, Ben mengalah dan berdiri mendekat. "Lo nganter nyawa?" tanya Ben membungkukkan badannya dengan sengaja. "Kamu ke manain Christ, hah?" sengal Eriska marah. "Kamu sembunyiin dia ke mana?" tanyanya sedikit marah. "Apa sih," Ben kembali menegakkan punggungnya. "Bukan urusan lo, gue bawa dia ke mana," tandasnya. "Kamu jahat Ben!" "Jahat sama lo, maksudnya?" tanya Ben mengerutkan dahi. "Aku udah rela ngeliat dia dari jauh, nggak meminta dia dibalikin ke aku, kenapa kamu malah kirim dia pergi jauh lagi dari aku?" teriak Eriska kehilangan kendali. "Mengirim dan ngurus Christ adalah otoritas istri gue, lo salah kalau lo ngedatengin gue dar