Serangan militer membuat Yasid dan keluarganya harus melarikan diri bersama penduduk kampung lainnya. penyergapam tentara militer membuatnya harus kehilangan anak bungsunya yang menyebabkan istrinya depresi ditambah lagi dengan kekejian para prajurit yang menculik anak gadisnya. penjarahan dan penculitan yang dilakukan oleh pasukan biadab itu menyebabkan kapal terdampar di Green Land--tempat bermulanya konflik keluarga dan perangbatin. perkenalannya dengan keluarga Rahmat menjadi secercah harapan untuk mendapatkan keadilan danpertemuan dengan anaknya. Namun, hal itu pula yang menjadi awal kerumitan hidupnya. Akankah keluarga Yasid akan menemukan kebahagiaan kembali, ataukah mereka akan mencri kebahagiaan masih-masing?
View MoreYazid berjalan terburu-buru menuju klinik, rasa resah dan khawatir akan keadaan anak dan istrinya semakin menjadi-jadi. Ia berjalan sangat cepat hingga tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang berjalan searah dengannya. Wanita berkerudung biru itu pun terjatuh dan barang-barang yang ia bawa berserakan ke segala arah."Astaghfirullah, maaf, Mbak! Maaf l, saya terburu-buru tadi." Yazid segera membereskan barang-barang yang berserakan di atas lantai. Beberapa obat, vitamin, dan termometer. Tangannya dengan sigap dan cepat mengambil semua barang-barang itu, hingga tidak sengaja kepalanya terbentur kepala wanita itu yang tengah melakukan hal yang sama dengannya."Aduh, maaf, Mbak!" ucap Yazid dengan menganggukkan kepalanya, tatapan matanya lurus ke lantai, ia tidak berani menatap wajah wanita yang berada tepat di depannya itu, ada rasa malu dan bersalah."Iya, Pak. Tidak apa. Saya duluan, ya, Pak! Assalamualaikum." Wanita itu segera berge
"Permisi, Pak, Bu!" ucap seorang perempuan paruh baya yang membawa nampan berisi makanan dan beberapa buah-buahan, serta teh manis. Ia meletakannya di meja samping brangkar, tanpa banyak berbicara wanita itu pun segera meninggalkan ruangan setelah mempersilakan Yazid dan istrinya untuk menikmati makanan yang ia bawa.Yazid meraih sepiring nasi dengan sayur sop, perkedel, dan ayam goreng. "Sayang, makan dulu, ya!" Masyitah pun hanya mengangguk sebagai tanda setuju. Ia membuka mulut saat sendok yang Yazid sodorkan berada tepat di depan bibirnya. Ia mengunyah makanannya dengan tatapan mata kosong lurus ke depan. Suapan demi suapan ia telan tanpa sedikit pun menghiraukan Yazid yang sedang menyuapinya. Air matanya terus mengalir membasahi pipi. seketika ia pun berhenti mengunyah, menepis suapan Yazid dengan tangan kanan."Ayo, Sayang, dihabiskan makanannya," bujuk Yasid.Namun, istrinya hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Wajahnya
"Sus, apakah istri saya baik-baik saja?" tanya Yazid kepada perawat yang tengah memeriksanya."In syaa Allah, akan segera bangun, Pak. Sebentar lagi dokter akan segera datang untuk memeriksa kondisi istri Bapak dan semua pengungsi," jelas perawat itu."Terima kasih, Bu," ucapnya. "Bagaimana dengan jenazah anak saya, Sus?" tanyanya lagi."Jenazahnya ada di ruangmayat, Pak. Kemungkinan akan dilakukan autopsi, karena kematian anak Bapak tidak wajar. ""Tapi saya tidak yakin istri saya mengijinkan, Bu." Yazid tampak ragu dan bingung. Ia yakin istrinya pasti akan menolak hal itu, tapi ia pun menginginkan sebuah keadilan untuk anak bungsunya serta seluruh warga desa."Maaf, Pak, sekalian adiknya saya periksa." Ucapan perawat itu seketika memecahkan lamunan Yazid."Oya, silakan, Bu," tutur Yasid sambil melepaskan pelukannya dan meletakan Imron di atas brangkar. Dia mencoba menenangkan anaknya, dan meyakinka
Tiga orang nelayan memberikan tali kapal berukuran hampir satu lengan orang dewasa kepada rekannya. Mereka mengaitkan tali pada kapal rombongan pengungsi malang itu. Tangan mereka tampak lihai, kepiawain mereka yang dibarengi dengan kerja sama team membuat pekerjaan itu menjadi lebih mudah.Awak kapal nelayan pun kembali ke kapal mereka. Rombongan pengungsi malang itu pun bersorak, rona kebahagiaan membentuk senyum di wajah-wajah lelah mereka. Mereka pun saling memeluk. Seketika semua kesedihan dan kepayahan seolah musnah, kecuali Masyitah. Ia nampak diam duduk menghadap jenzah sulungnya. Tak ada sedikit pun rona kebahagiaan, bahkan tak sedikit pun ucapan syukur yang keluar dari lisannya. Ia hanya duduk terdiam tubuhnya memaki geledak kapal.Waktu tak lama berlalu. Dataran hijau mulai nampak jelas terlihat. Beberapa awak kapal menurunkan jangkar setelah kapal mulai menepi ke dermaga. Beberapa warga nampak berbondong-bondong menghampiri kapal mereka. M
Yasid memapah Umar dengan setengah berlari menuju dermaga. Mereka melewati semak-semak menghindari pasukan militer yang tengah memburu seluruh warga desa. Entah dosa apa yang telah keluarga Yasid lakukan, hingga ia harus terusir dari tanah nenek moyangnya sendiri.Umar berlari terpincang-pincang. Ia terus menelusuri jalan menuju dermaga bersama ayahnya dengan sesekali meringis menahan rasa sakit ketika luka bakar di kakinya tergesek semak dan ilalang.“Babah, bagaimana dengan Uma, Aisyah, dan Imron?” tanya Umar.“Uma dan adik-adikmu sudah menunggu di dermaga bersama istri Kepala Desa dan tetangga yang lain,” jawab Yasid meyakinkan anak lelakinya itu.Satu jam sudah mereka berlari menjauh dari desa. Seorang perempuan paruh baya berkerudung selendang hitam berlari menyambut mereka. Wajahnya tampak kaget melihat keadaan sulungnya yang sangat mengenaskan dengan kaki kanan te
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments