Yazid berjalan terburu-buru menuju klinik, rasa resah dan khawatir akan keadaan anak dan istrinya semakin menjadi-jadi. Ia berjalan sangat cepat hingga tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang berjalan searah dengannya. Wanita berkerudung biru itu pun terjatuh dan barang-barang yang ia bawa berserakan ke segala arah.
"Astaghfirullah, maaf, Mbak! Maaf l, saya terburu-buru tadi." Yazid segera membereskan barang-barang yang berserakan di atas lantai. Beberapa obat, vitamin, dan termometer. Tangannya dengan sigap dan cepat mengambil semua barang-barang itu, hingga tidak sengaja kepalanya terbentur kepala wanita itu yang tengah melakukan hal yang sama dengannya.
"Aduh, maaf, Mbak!" ucap Yazid dengan menganggukkan kepalanya, tatapan matanya lurus ke lantai, ia tidak berani menatap wajah wanita yang berada tepat di depannya itu, ada rasa malu dan bersalah.
"Iya, Pak. Tidak apa. Saya duluan, ya, Pak! Assalamualaikum." Wanita itu segera bergegas meninggalkan Yazid dan berjalan ke arah aula tempat para pengungsi lain berkumpul. Mereka tidak sempat saling berkenalan, saling melihat wajah pun tidak. Yazid melanjutkan perjalanannya menuju klinik. Ia segera mendorong pintu dan masuk ke dalam klinik. Ia berjalan ke arah kamar tempat istrinya di rawat. Seorang wanita paru baya sedang duduk di samping brangkar Masyitah. Mereka sedang berbincang, sesekali mereka terlihat sama-sama menyeka air mata.Ya, itu Sofiyah, istri Pak Kades Ilham, tentangga mereka, sekaligus ibu dari calon istri Umar. Ia memangku Imron yang sedang asik menikmati pisang ambon yang ukurannya hampir sama dengan lengannya. Wajah Sofiyah terlihat lebih tirus dari pada satu bulan yang lalu, matanya cekung, gari-garis di sekitar matanya nampak begitu jelas. Matanya bengkak, ia pasti banyak menangis akhir-akhir ini.
"Assalamualaikum warahmatullahi, Eh, Ada Ka Sofiyah, mana Ilham, Ka, Bagaimana keadaan Alya?" Ilham adalah teman sebayanya, mereka bahkan selalu sekolah, bermain, bahkan bekerja di tempat yang sama.
"Bang Ilham sedang mengurus warga desa, perihal tempat tinggal sementara. Alya, Alhamdulillah sedang tertidur setelah diberikan obat penenang. Sepertinya, jiwanya terguncang karena kejadian saat itu." Sofiyah mengembuskan napas panjang dan berat. Tak hanya mereka, semua pengungsi merasakan hal yang sama. Meskipun saat ini mereka bisa tinggal dengan tenang. Namun, itu hanya sementara. Mereka bisa kapan saja dikembalikan ke laut atau mungkin parahnya, akan dikembalikan ke negara mereka lagi.
Imron, melangkah ke atas brangkar dan tenggelam dalam pelukan ibunya. Ia meminta untuk minum ASI, kemudian terlelap tidur. Masyitah membaringkan anak bungsunya itu tepat di samping kanannya. Dan melanjutkan pembicaraannya dengan Sofiyah.
Yazid bergegas untuk mengambil air mineral di atas tumpukan kardus di sudut kamar itu. Tidak sengaja badannya bertabrakan dengan seorang wanita.
"Astaghfirullah," ucap Yazid berbarengan dengan wanita itu. Kali ini Yazid menatap wajahnya, senyum yang mengembang di wajah wanita itu sungguh sangat manis seolah menghipnotisnya untuk membalas senyuman itu, binar matanya seolah bersinar teduh seperti sinar purnama di malam yang gulita.
Yazid memalingkan pandangannya ke atas Masyitah, ada rasa khawatir istrinya akan cemburu. Namun, ternyata Masyita sama sekali tidak melihat ke arah mereka. Ada rasa tenang dan bergemuruh di dalam hatinya. Lisannya terus ber-istigfar, ia tahu pasti ada sesuatu yang salah pada dirinya.
"Pak Yazid, yah?" tanya wanita bermata sipit. "Bapak ditunggu Kak Rahmat di Rumah. Oya sebelumnya perkenalkan, saya Melati, adik kak Rahmat," paparnya lagi.
"Baik, Bu saya akan segera ke sana," balas Yazid.
"Dengan saya saja, Pak. Bapak Belum tau rumah kami, kan?"
"Oh, iya, bener, juga, ya," jawab Yazid gugup.
Yazid segera menghampiri istrinya untuk berpamitan. Masyitah mengangguk sebagai tanda setuju. Yazid pun berpamita dengan Sofiyah, memintanya untuk tetap tinggal beberapa waktu menemani Masyitah sampai ia pulang. Shofiyah pun menyetujuinya.
Yazid dan Melati berjalan bersama dengan jarak yang cukup jauh. Mereka tampak malu dan canggung satu sama lain. Tidak banyak hal yang mereka bicarakan. Yazid lebih banyak diam dan hanya berbicara jika Melati melontarkan pertanyaan padanya.
"Mari, Pak, itu rumah kami," ucap Melati seraya menunjuk rumah yang cukup megah dengan halaman yang luas, ada dua mobil terparkir di halaman.
Rumah itu tidak terlalu jauh dari pelabuhan dan klinik, hanya sepuluh menit perjalanan. Setelah Melati membuka gerbang dan mempersilakan Yazid masuk, Rahmat keluar dari pintu rumahnya. Mendekati mereka berdua dan memberikan salam. Kemudian membimbing Yazid masuk kedalam rumah mereka, rumah yang sangat besar, ruang tamunya pun cukup luas. Rumah dengan detail ornamen-ornamen cantik khas Eropa. Dinding yang bercat putih nampak cantik dan elegan dengan beberapa lukisan yang menggantung di sana.
Yazid pun dipersilahkan duduk di atas sofa abu muda, ber-cover kain beludru yang empuk. Mereka tidak hanya berdua, ada Ilham, dan empat orang lainnya yang belum Yazid kenal. Rahmat pun memperkenalkan mereka satu per satu. Seorang dari kepolisian dan tiga orang lainnya adalah advokat dari LSM yang akan membantu mereka dalam mengurus kasus ini.
Rahmat menyodorkan beberapa map yang berisi berkas-berkas yang harus Yazid tanda tangani. Rahmat membimbing dan menjelaskan dengan sabar, hingga Yazid memahaminya. Yazid pun segera menanda tangani semua berkas-berkas itu.
Melati datang membawa nampan dengan secangkir teh hangat di atasnya. Ilham, Rahmat dan lainnya sedang asik bercengkrama. Mereka tidak terlihat seperti orang yang baru kenal. Tidak ada rasa canggung satu sama lain. Memang Ilham adalah orang yang sangat super dan memiliki kemampuan bergaul yang luar biasa. Penampilannya yang rapi, wajahnya yang tampan serta kata-katanya yang sopan membuatnya di suakai oleh siapa pun. bahkan oleh orang- orang yang baru mengenalnya sekalipun.
"Silakan, Pak." Melati mempersilakan Yazid untuk menikmati minuman yang sudah ia siapkan. Tak lupa pula ia menyodokar beberapa toples yang memang sudah dari awal berada di atas meja. Ia menundukan kepalanya dan menyembunyikan senyuman yang tersungging di bibirnya. Tidak ada satupun orang yang menyadari tingkahnya yang aneh.
"Terima kasih," ucap Yazid. Suara lembut melati membuat jantungnya berdegup tak beraturan. Rona merah nampak di pipi putih Yazid. Dia pun malu-malu menahan senyum dan menutupinya dengan tangan kiri. Melati pun pergi ke arah dapur meninggalkan mereka. Yazid menundukan kepalanya sambil mencuri pandang ke arah Melati berlalu. Ada rasa yang menyeruak, tapi ia segera menepisnya. Ia menyadari bahwa itu bukanlah sesuatu yang benar. Dia adalah laki-laki yang beristri. Ia sadar betul rasa itu hanya akan memperumit masalah kehidupan rumah tangganya dengan Masyitah.
"Gimana, Zid?" tanya Ilham. "Kalo ada yang gak paham mending ditanyain aja," lanjutnya.
"Sudah, kok." Pertanyaan Ilham menyelmatkannya dari perseteruan jiwanya sendiri. Yazid pun melanjutkan pembicaraan mereka perihal kasus pelanggaran ham yang mereka alami.
Yasid memapah Umar dengan setengah berlari menuju dermaga. Mereka melewati semak-semak menghindari pasukan militer yang tengah memburu seluruh warga desa. Entah dosa apa yang telah keluarga Yasid lakukan, hingga ia harus terusir dari tanah nenek moyangnya sendiri.Umar berlari terpincang-pincang. Ia terus menelusuri jalan menuju dermaga bersama ayahnya dengan sesekali meringis menahan rasa sakit ketika luka bakar di kakinya tergesek semak dan ilalang.“Babah, bagaimana dengan Uma, Aisyah, dan Imron?” tanya Umar.“Uma dan adik-adikmu sudah menunggu di dermaga bersama istri Kepala Desa dan tetangga yang lain,” jawab Yasid meyakinkan anak lelakinya itu.Satu jam sudah mereka berlari menjauh dari desa. Seorang perempuan paruh baya berkerudung selendang hitam berlari menyambut mereka. Wajahnya tampak kaget melihat keadaan sulungnya yang sangat mengenaskan dengan kaki kanan te
Tiga orang nelayan memberikan tali kapal berukuran hampir satu lengan orang dewasa kepada rekannya. Mereka mengaitkan tali pada kapal rombongan pengungsi malang itu. Tangan mereka tampak lihai, kepiawain mereka yang dibarengi dengan kerja sama team membuat pekerjaan itu menjadi lebih mudah.Awak kapal nelayan pun kembali ke kapal mereka. Rombongan pengungsi malang itu pun bersorak, rona kebahagiaan membentuk senyum di wajah-wajah lelah mereka. Mereka pun saling memeluk. Seketika semua kesedihan dan kepayahan seolah musnah, kecuali Masyitah. Ia nampak diam duduk menghadap jenzah sulungnya. Tak ada sedikit pun rona kebahagiaan, bahkan tak sedikit pun ucapan syukur yang keluar dari lisannya. Ia hanya duduk terdiam tubuhnya memaki geledak kapal.Waktu tak lama berlalu. Dataran hijau mulai nampak jelas terlihat. Beberapa awak kapal menurunkan jangkar setelah kapal mulai menepi ke dermaga. Beberapa warga nampak berbondong-bondong menghampiri kapal mereka. M
"Sus, apakah istri saya baik-baik saja?" tanya Yazid kepada perawat yang tengah memeriksanya."In syaa Allah, akan segera bangun, Pak. Sebentar lagi dokter akan segera datang untuk memeriksa kondisi istri Bapak dan semua pengungsi," jelas perawat itu."Terima kasih, Bu," ucapnya. "Bagaimana dengan jenazah anak saya, Sus?" tanyanya lagi."Jenazahnya ada di ruangmayat, Pak. Kemungkinan akan dilakukan autopsi, karena kematian anak Bapak tidak wajar. ""Tapi saya tidak yakin istri saya mengijinkan, Bu." Yazid tampak ragu dan bingung. Ia yakin istrinya pasti akan menolak hal itu, tapi ia pun menginginkan sebuah keadilan untuk anak bungsunya serta seluruh warga desa."Maaf, Pak, sekalian adiknya saya periksa." Ucapan perawat itu seketika memecahkan lamunan Yazid."Oya, silakan, Bu," tutur Yasid sambil melepaskan pelukannya dan meletakan Imron di atas brangkar. Dia mencoba menenangkan anaknya, dan meyakinka
"Permisi, Pak, Bu!" ucap seorang perempuan paruh baya yang membawa nampan berisi makanan dan beberapa buah-buahan, serta teh manis. Ia meletakannya di meja samping brangkar, tanpa banyak berbicara wanita itu pun segera meninggalkan ruangan setelah mempersilakan Yazid dan istrinya untuk menikmati makanan yang ia bawa.Yazid meraih sepiring nasi dengan sayur sop, perkedel, dan ayam goreng. "Sayang, makan dulu, ya!" Masyitah pun hanya mengangguk sebagai tanda setuju. Ia membuka mulut saat sendok yang Yazid sodorkan berada tepat di depan bibirnya. Ia mengunyah makanannya dengan tatapan mata kosong lurus ke depan. Suapan demi suapan ia telan tanpa sedikit pun menghiraukan Yazid yang sedang menyuapinya. Air matanya terus mengalir membasahi pipi. seketika ia pun berhenti mengunyah, menepis suapan Yazid dengan tangan kanan."Ayo, Sayang, dihabiskan makanannya," bujuk Yasid.Namun, istrinya hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Wajahnya