"Permisi, Pak, Bu!" ucap seorang perempuan paruh baya yang membawa nampan berisi makanan dan beberapa buah-buahan, serta teh manis. Ia meletakannya di meja samping brangkar, tanpa banyak berbicara wanita itu pun segera meninggalkan ruangan setelah mempersilakan Yazid dan istrinya untuk menikmati makanan yang ia bawa.
Yazid meraih sepiring nasi dengan sayur sop, perkedel, dan ayam goreng. "Sayang, makan dulu, ya!" Masyitah pun hanya mengangguk sebagai tanda setuju. Ia membuka mulut saat sendok yang Yazid sodorkan berada tepat di depan bibirnya. Ia mengunyah makanannya dengan tatapan mata kosong lurus ke depan. Suapan demi suapan ia telan tanpa sedikit pun menghiraukan Yazid yang sedang menyuapinya. Air matanya terus mengalir membasahi pipi. seketika ia pun berhenti mengunyah, menepis suapan Yazid dengan tangan kanan.
"Ayo, Sayang, dihabiskan makanannya," bujuk Yasid.
Namun, istrinya hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Wajahnya pucat dan datar. Masyitah membuka selumut yang menutupi sebagian badannya dan melemparkannya dengan kedua kaki. Mulutnya mulai berteriak-teriak, tangan kanannya menarik jarum infus yang menempel di tangan kiri, darah mengucur menimbulkan noda pada sepray yang tadinya putih tanpa motif.
"Aku benci hidupku, aku benci hidupku!!" teriaknya dengan menangis meraung-raung. Masyitah pun mendorong suaminya hingga piring yang ada di tangan laki-laki itu terlempar ke lantai dan menimbulkan suara berisik, nasi pun berhamburan berserakan di atas lantai. Yazid terhuyung dan jatuh ke belakang, badannya membentur kursi yang berada di sebelahnya. Ia segera bangkit dan memeluk istri tercintanya.
"Istigfar, Sayang. Istighfar!" ucapnya lembut sambil mendekap Masyitah.
"Untuk apa aku harus ber-istigfar, untuk apa?" teriak Masyitah. "Aku sudah menyembah-Nya, tapi Dia mengambil semua yang kumiliki," tangis Masyitah semakin menjadi-jadi.
"Sayang, sudah, Yang sudah!" bujuk bujuk laki-laki berhidung mancung itu.
"Apa? Apa? Apa dengan istighfar Fatimah bisa kembali? Umar bisa hidup lagi? Apa kita bisa kembali lagi ke rumah kita yang besar, hidup dengan normal, hah, jawab, jawab Yazid Ibrahim!" teriak Masyitah sambil mendorong tubuh suaminya. Masyitah terus saja mendorong badan Yazid. Namun, Yazid memeluk badan kurus istrinya dengan lebih erat. Ia pun terus menciumi kening wanita itu hingga ia tenang.
Masyitah pun terdiam, ruangan menjadi sangat hening, hingga detak jarum jam dinding terdengar jelas seirama dengan detak jantung mereka. Seekor cicak tampak terdiam di dinding, seorah-olah sedang mengawasi sepasang suami istri yang kacau.
Di sisi lain, para pengungsi harus menunggu makan siang mereka karena ulah anak Pak Kades. Beberapa di antara mereka sudah mulai bergaul dengan warga masyarakat setempat, dan sebagian yang lain memilih untuk beristirahat, berbaring di lantai untuk tidur ataupun hanya sekedar meluruskan tulang belakang.
Matahari mulai tergelincir ke barat. Jarum jam sudah menunjukan pukul tiga sore. Azan Asar pun berkumandang. Para pengungsi pun segera merduyun-duyun mendatangi tempat suara azan itu berasal.
*
Yazid membujuk istrinya agar tenang, Masyitah pun beristigfar. Ia membalas pelukan laki-laki yang sangat mencintainya itu. Yazid mengusap-usap punggung istrinya dan melepaskan pelukannya.
"Sayang, kita salat dulu, ya."
"Ia."
Jawaban Masyitah membentuk lekuk senyum di wajah Yazid. Yazid membimbing istrinya turun dari brangkar dan berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudu. Setelah kembali dari kamar mandi ia membantu Masyitah naik ke berangkar dan memastikan istrinya menunaikan salat, kemudian ia bergegas untuk salat berjamaah di masdij.
Setelah kejadian tadi, Yazid menjadi lebih khawatir dengan keadaan istrinya. Ia pun sebenarnya enggan untuk meninggalkan istrinya sendirian, apa pun bisa saja terjadi. Bahkan sesuatu yang tidak pernah dipikirkan olehnya sekali pun.
Yazid segera mandi dan mengganti pakaiannya. Ia mengenakan gamis berwana putih sebatas lutut dan kain sarung kotak-kotak berwarna dasar hitam. Ia bergegas keluar, berjalan cepat menuju masjid.
Beberapa orang berlarian memasuki pintu masjid saat iqomah dikumandangkan, begitu pula dengan Yazid. Ia mempercepat langkahnya, dan melanjutkan shaf paling belakang, merapatkan shaf kemudian bertakbir. Ada gemuruh di dalam dadanya yang membuat air matanya turun. Ia sangat bersyukur bisa salat berjamaah lagi, meskipun tidak di tempat tinggalnya sendiri. Ada rasa aman dalam hatinya saat kepalanya menyentuh sajadah untuk bersujud. Rasa sesak, sesal, amarah, dan kebahagiaan bercampur menjadi satu.
Seusai salat Yazid memutuskan untuk duduk sejenak di sudut masjid untuk berdzikir dan membaca Al-Qur'an. Hingga ia tidak sadar ada seseorang yang dari tadi duduk di sampingnya dan menunggu."Assalamu'alaikum."
"Astagfirullah," ucap Yazid kaget. "Wa'alaikum salam warahmatullah," lanjutnya.
"Bisa kita bicara sebentar, Pak? Di luar saja, yuk. Tidak boleh berbicara masalah duniawi di dalam masjid." Rahmat mengajak Yazid untuk keluar masjid. Mereka pun berjalan ke arah taman dan duduk di samping kolam ikan. "Bagaimana, dengan pembicaraan kita tadi pagi, Pak?"
Yazid menghela napas panjang, tangannya meraih tempat pakan ikan yang tersedia si samping kolam, dan menyebarkannya ke dalam kolam. Ikan-ikan dan kura-kura berkerumun memperebutkan makanan. Yazid pun tersenyum lesu sambil mengembuskan napas panjang.
"Sepertinya istri saya belum bisa diajak berbicara tentang masalah itu, Pak, saya mohon maaf."
"Kemudian bagaimana? Ini adalah kesempatan yang penting untuk Bapak dan para pengungsi. Kita bisa mengantongi bukti-bukti untuk menuntut keadilan di mata dunia. Pak, ini bukan hanya untuk keluarga Bapak, tapi juga untuk kemaslahatan banyak orang. Seharusnya, Bapak bisa lebih bijak dalam hal ini." Rahmat mencoba meyakinkan Yazid. Memaparkan pendapatnya dan memintanya untuk berpikir ulang jika ingin membatalkan autopsi jenazah Umar.
Yazid pun bimbang, ia takut istrinya tidak mengijinkan, dan jiwanya terguncang. Ia takut istrinya setres, jatuh sakit atau pun gila. Namun, di sisi lain ia berpikir bahwa memang benar apa yang di katakan Rahmat. Ia pun berpikir mungkin ini adalah jalan agar ia bisa bertemu lagi dengan Fatimah, purti semata wayangnya. Rasa rindu yang berkecamuk di dalam hatinya membuatnya yakin bahwa ini adalah secercah cahaya untuk mendapatkan keadilan.
"Baik, Pak, saya setuju," ucapnya mantap. "Bismillah," lanjutnya.
Rahmat menawarkan pelukan kepada Yazid dan Yazid pun menyambut pelukannya.
"Ya, sudah nanti sore kita urus berkas-berkas yang harus Bapak tanda tangani."
"Tapi saya tidak bisa sekarang Pak, saya tidak bisa meninggalkan istri dan anak bungsu saya terlalu lama," ucap Yazid mencoba menjelaskan keadaannya.
"Ia, Pak, nanti Bada Isya bagaimana?"
"In syaa Allah, saya bisa, Pak."
Yazid pun berdiri dan berpamitan kepada Rahmat untuk kembali ke klinik untuk menjaga anak dan istrinya. Ia khawatir dan takut sesuatu yang buruk terjadi kepada mereka. Setelah kejadian di kapal yang menewaskan sulungnya saat itu, membuatnya menjadi selalu was-was dan diliputi ketakutan. Ia merasa sedang di awasi dari kejauhan.
Yazid berjalan terburu-buru menuju klinik, rasa resah dan khawatir akan keadaan anak dan istrinya semakin menjadi-jadi. Ia berjalan sangat cepat hingga tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang berjalan searah dengannya. Wanita berkerudung biru itu pun terjatuh dan barang-barang yang ia bawa berserakan ke segala arah."Astaghfirullah, maaf, Mbak! Maaf l, saya terburu-buru tadi." Yazid segera membereskan barang-barang yang berserakan di atas lantai. Beberapa obat, vitamin, dan termometer. Tangannya dengan sigap dan cepat mengambil semua barang-barang itu, hingga tidak sengaja kepalanya terbentur kepala wanita itu yang tengah melakukan hal yang sama dengannya."Aduh, maaf, Mbak!" ucap Yazid dengan menganggukkan kepalanya, tatapan matanya lurus ke lantai, ia tidak berani menatap wajah wanita yang berada tepat di depannya itu, ada rasa malu dan bersalah."Iya, Pak. Tidak apa. Saya duluan, ya, Pak! Assalamualaikum." Wanita itu segera berge
Yasid memapah Umar dengan setengah berlari menuju dermaga. Mereka melewati semak-semak menghindari pasukan militer yang tengah memburu seluruh warga desa. Entah dosa apa yang telah keluarga Yasid lakukan, hingga ia harus terusir dari tanah nenek moyangnya sendiri.Umar berlari terpincang-pincang. Ia terus menelusuri jalan menuju dermaga bersama ayahnya dengan sesekali meringis menahan rasa sakit ketika luka bakar di kakinya tergesek semak dan ilalang.“Babah, bagaimana dengan Uma, Aisyah, dan Imron?” tanya Umar.“Uma dan adik-adikmu sudah menunggu di dermaga bersama istri Kepala Desa dan tetangga yang lain,” jawab Yasid meyakinkan anak lelakinya itu.Satu jam sudah mereka berlari menjauh dari desa. Seorang perempuan paruh baya berkerudung selendang hitam berlari menyambut mereka. Wajahnya tampak kaget melihat keadaan sulungnya yang sangat mengenaskan dengan kaki kanan te
Tiga orang nelayan memberikan tali kapal berukuran hampir satu lengan orang dewasa kepada rekannya. Mereka mengaitkan tali pada kapal rombongan pengungsi malang itu. Tangan mereka tampak lihai, kepiawain mereka yang dibarengi dengan kerja sama team membuat pekerjaan itu menjadi lebih mudah.Awak kapal nelayan pun kembali ke kapal mereka. Rombongan pengungsi malang itu pun bersorak, rona kebahagiaan membentuk senyum di wajah-wajah lelah mereka. Mereka pun saling memeluk. Seketika semua kesedihan dan kepayahan seolah musnah, kecuali Masyitah. Ia nampak diam duduk menghadap jenzah sulungnya. Tak ada sedikit pun rona kebahagiaan, bahkan tak sedikit pun ucapan syukur yang keluar dari lisannya. Ia hanya duduk terdiam tubuhnya memaki geledak kapal.Waktu tak lama berlalu. Dataran hijau mulai nampak jelas terlihat. Beberapa awak kapal menurunkan jangkar setelah kapal mulai menepi ke dermaga. Beberapa warga nampak berbondong-bondong menghampiri kapal mereka. M
"Sus, apakah istri saya baik-baik saja?" tanya Yazid kepada perawat yang tengah memeriksanya."In syaa Allah, akan segera bangun, Pak. Sebentar lagi dokter akan segera datang untuk memeriksa kondisi istri Bapak dan semua pengungsi," jelas perawat itu."Terima kasih, Bu," ucapnya. "Bagaimana dengan jenazah anak saya, Sus?" tanyanya lagi."Jenazahnya ada di ruangmayat, Pak. Kemungkinan akan dilakukan autopsi, karena kematian anak Bapak tidak wajar. ""Tapi saya tidak yakin istri saya mengijinkan, Bu." Yazid tampak ragu dan bingung. Ia yakin istrinya pasti akan menolak hal itu, tapi ia pun menginginkan sebuah keadilan untuk anak bungsunya serta seluruh warga desa."Maaf, Pak, sekalian adiknya saya periksa." Ucapan perawat itu seketika memecahkan lamunan Yazid."Oya, silakan, Bu," tutur Yasid sambil melepaskan pelukannya dan meletakan Imron di atas brangkar. Dia mencoba menenangkan anaknya, dan meyakinka
Yazid berjalan terburu-buru menuju klinik, rasa resah dan khawatir akan keadaan anak dan istrinya semakin menjadi-jadi. Ia berjalan sangat cepat hingga tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang berjalan searah dengannya. Wanita berkerudung biru itu pun terjatuh dan barang-barang yang ia bawa berserakan ke segala arah."Astaghfirullah, maaf, Mbak! Maaf l, saya terburu-buru tadi." Yazid segera membereskan barang-barang yang berserakan di atas lantai. Beberapa obat, vitamin, dan termometer. Tangannya dengan sigap dan cepat mengambil semua barang-barang itu, hingga tidak sengaja kepalanya terbentur kepala wanita itu yang tengah melakukan hal yang sama dengannya."Aduh, maaf, Mbak!" ucap Yazid dengan menganggukkan kepalanya, tatapan matanya lurus ke lantai, ia tidak berani menatap wajah wanita yang berada tepat di depannya itu, ada rasa malu dan bersalah."Iya, Pak. Tidak apa. Saya duluan, ya, Pak! Assalamualaikum." Wanita itu segera berge
"Permisi, Pak, Bu!" ucap seorang perempuan paruh baya yang membawa nampan berisi makanan dan beberapa buah-buahan, serta teh manis. Ia meletakannya di meja samping brangkar, tanpa banyak berbicara wanita itu pun segera meninggalkan ruangan setelah mempersilakan Yazid dan istrinya untuk menikmati makanan yang ia bawa.Yazid meraih sepiring nasi dengan sayur sop, perkedel, dan ayam goreng. "Sayang, makan dulu, ya!" Masyitah pun hanya mengangguk sebagai tanda setuju. Ia membuka mulut saat sendok yang Yazid sodorkan berada tepat di depan bibirnya. Ia mengunyah makanannya dengan tatapan mata kosong lurus ke depan. Suapan demi suapan ia telan tanpa sedikit pun menghiraukan Yazid yang sedang menyuapinya. Air matanya terus mengalir membasahi pipi. seketika ia pun berhenti mengunyah, menepis suapan Yazid dengan tangan kanan."Ayo, Sayang, dihabiskan makanannya," bujuk Yasid.Namun, istrinya hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Wajahnya
"Sus, apakah istri saya baik-baik saja?" tanya Yazid kepada perawat yang tengah memeriksanya."In syaa Allah, akan segera bangun, Pak. Sebentar lagi dokter akan segera datang untuk memeriksa kondisi istri Bapak dan semua pengungsi," jelas perawat itu."Terima kasih, Bu," ucapnya. "Bagaimana dengan jenazah anak saya, Sus?" tanyanya lagi."Jenazahnya ada di ruangmayat, Pak. Kemungkinan akan dilakukan autopsi, karena kematian anak Bapak tidak wajar. ""Tapi saya tidak yakin istri saya mengijinkan, Bu." Yazid tampak ragu dan bingung. Ia yakin istrinya pasti akan menolak hal itu, tapi ia pun menginginkan sebuah keadilan untuk anak bungsunya serta seluruh warga desa."Maaf, Pak, sekalian adiknya saya periksa." Ucapan perawat itu seketika memecahkan lamunan Yazid."Oya, silakan, Bu," tutur Yasid sambil melepaskan pelukannya dan meletakan Imron di atas brangkar. Dia mencoba menenangkan anaknya, dan meyakinka
Tiga orang nelayan memberikan tali kapal berukuran hampir satu lengan orang dewasa kepada rekannya. Mereka mengaitkan tali pada kapal rombongan pengungsi malang itu. Tangan mereka tampak lihai, kepiawain mereka yang dibarengi dengan kerja sama team membuat pekerjaan itu menjadi lebih mudah.Awak kapal nelayan pun kembali ke kapal mereka. Rombongan pengungsi malang itu pun bersorak, rona kebahagiaan membentuk senyum di wajah-wajah lelah mereka. Mereka pun saling memeluk. Seketika semua kesedihan dan kepayahan seolah musnah, kecuali Masyitah. Ia nampak diam duduk menghadap jenzah sulungnya. Tak ada sedikit pun rona kebahagiaan, bahkan tak sedikit pun ucapan syukur yang keluar dari lisannya. Ia hanya duduk terdiam tubuhnya memaki geledak kapal.Waktu tak lama berlalu. Dataran hijau mulai nampak jelas terlihat. Beberapa awak kapal menurunkan jangkar setelah kapal mulai menepi ke dermaga. Beberapa warga nampak berbondong-bondong menghampiri kapal mereka. M
Yasid memapah Umar dengan setengah berlari menuju dermaga. Mereka melewati semak-semak menghindari pasukan militer yang tengah memburu seluruh warga desa. Entah dosa apa yang telah keluarga Yasid lakukan, hingga ia harus terusir dari tanah nenek moyangnya sendiri.Umar berlari terpincang-pincang. Ia terus menelusuri jalan menuju dermaga bersama ayahnya dengan sesekali meringis menahan rasa sakit ketika luka bakar di kakinya tergesek semak dan ilalang.“Babah, bagaimana dengan Uma, Aisyah, dan Imron?” tanya Umar.“Uma dan adik-adikmu sudah menunggu di dermaga bersama istri Kepala Desa dan tetangga yang lain,” jawab Yasid meyakinkan anak lelakinya itu.Satu jam sudah mereka berlari menjauh dari desa. Seorang perempuan paruh baya berkerudung selendang hitam berlari menyambut mereka. Wajahnya tampak kaget melihat keadaan sulungnya yang sangat mengenaskan dengan kaki kanan te