Yasid memapah Umar dengan setengah berlari menuju dermaga. Mereka melewati semak-semak menghindari pasukan militer yang tengah memburu seluruh warga desa. Entah dosa apa yang telah keluarga Yasid lakukan, hingga ia harus terusir dari tanah nenek moyangnya sendiri.
Umar berlari terpincang-pincang. Ia terus menelusuri jalan menuju dermaga bersama ayahnya dengan sesekali meringis menahan rasa sakit ketika luka bakar di kakinya tergesek semak dan ilalang.
“Babah, bagaimana dengan Uma, Aisyah, dan Imron?” tanya Umar.
“Uma dan adik-adikmu sudah menunggu di dermaga bersama istri Kepala Desa dan tetangga yang lain,” jawab Yasid meyakinkan anak lelakinya itu.
Satu jam sudah mereka berlari menjauh dari desa. Seorang perempuan paruh baya berkerudung selendang hitam berlari menyambut mereka. Wajahnya tampak kaget melihat keadaan sulungnya yang sangat mengenaskan dengan kaki kanan terbakar hingga ke lutut.
“Umar, bagaimana ini terjadi?” tanya wanita itu kepada Umar. Tangannya meraba wajah lelaki berusia dua puluh tahun di hadapannya dengan gemetar, kemudian memeluk buah hatinya dengan erat, air matanya tumpah hingga membasahi baju laki-laki itu.
“Rumah kita dibakar dan aku terkunci di dalam saat membereskan barang-barang yang akan kubawa. Setelah aku berhasil mendobrak pintu dan keluar, kakiku tertimpa bara api,” papar Umar kepada ibunya.
Masyita menangis, ia tak mampu menerima semua keadaan ini. Bagaimana mungkin setelah semua dunia yang dimilikinya harus diikhlaskan, sekarang ia harus melihat anaknya menahan rasa sakit. Masyita adalah seorang ibu yang sangat menyayangi buah hatinya, bahkan iya menempatkan mereka di atas segala urusan.
Yasid memeluk istrinya, mencoba menenangkan.
“Isbirni, ya, Habibati. Yakinlah Allah pasti akan mengganti segala kepayahan ini dengan hal yang lebih baik.” Yasid mengusap kepala dan mengecup dahi wanita kesayangannya.
“In Syaa Allah,” bisik Masyita.
Mereka pun bergegas menaiki kapal untuk berhijrah mencari Tanah Surga, tanah dengan seribu harapan. Berbekal cerita nenek moyang, mereka mengarungi samudra lepas. Tak peduli dengan badai yang mungkin saja menghadang di tengah perjalanan mereka.
Yazid mendudukkan Umar di geladak kapal, dekat tiang. Bukan hanya keluarga Yazid yang melarikan diri dari desanya, tetapi hampir seluruh warga desa. Mereka berdesak-desakan di atas kapal yang ‘tak cukup besar.
Masyita mendekati anaknya, memandang lekat kaki Umar yang terbakar. Ia menurunkan Imron dari gendongannya. Air matanya mengalir, sesekali kedua tangannya bergantian mengusap pipi. Sedangkan bungsunya--Imron--sedang asyik menikmati manisnya jelabi di tangan kanannya. Bayi laki-laki berumur satu tahun itu tampak bahagia, bahkan tak mengerti apa yang sedang terjadi sebenarnya.
Kapal terus berjalan menyusuri laut lepas, Yazid tampak sedang berbincang dengan Bapak Kepala Desa dan pemilik kapal. Dari kejauhan tampak kapal berukuran lebih besar mendekat. Ada sedikit rasa cemas dalam hati Yasid. Perlahan kapal itu semakin mendekat, hingga menimbulkan gelombang yang cukup kuat untuk menghantam kapal yang ditumpanginya hingga nyaris terbalik.
Semua wanita dalam kapal terpekik ketakutan ketika melihat bendera negara mereka berkibar di atas kapal. Tampak beberapa orang menurunkan sekoci, Yazid langsung mengenali siapa yang ada di dalam sekoci—Neville—jendral yang terkenal memiliki seribu nyawa dan hidup tanpa hati.
Neville dan pasukannya berhamburan di atas kapal dengan senjata lengkap. Yazid berlari ke arah istri dan anak-anaknya. Dua orang tentara menahannya dan satu orang yang lain mengacungkan senjata ke arah kepala.
Laki-laki bertubuh tegap itu menyuruh anak buahnya untuk mengambil bahan bakar dan para gadis. Umar berlari terpincang dengan satu kaki, mencoba mengejar para tentara yang menyeret Fathimah—adiknya—ke atas sekoci. Sebuah letupan senjata laras panjang membuat semua tangan menutup telinga. Waktu seolah berhenti, seketika semua mata terbelalak, dan serentak mulut mereka berteriak, kemudian membisu.
Mashita berlari ke arah anaknya yang tersungkur, proyektil senapan itu menghancurkan semua organ tubuh di rongga dada Umar, hancur dan berhamburan, menjadi serpihan-serpihan daging. Seorang perempuan meringkuk di kaki ibunya, kemudian jatuh pingsan. Bau darah dan cekaman ketakutan mengiringi kepergian para gadis dan prajurit-prajurit biadab itu. Seorang dari tiga prajurit terakhir menendang perut Yazid, hingga ia terhuyung dan jatuh.
“Uma ... Ma ... af,” ucap Umar dengan terbata. Masyita memeluk erat anaknya, seolah ia telah mengerti anak laki-lakinya akan segera meninggal. Mulutnya terkunci, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Sebuah sekoci datang mendekat dan melemparkan beberapa ikat dayung ke atas geledak kapal. Yazid mencoba berdiri dan berjalan merangsek menembus orang-orang yang mengerumuni istri dan anaknya.
*
Hari berlalu, begitu pahit. Tanpa tawa, hampir-hampir seisi kapal nyaris bisu. Tidak terdengar mereka berbicara setelah kejadian hari itu. Hanya sesekali terdengar teriakan ketakutan dari seorang perempuan yang saat itu tersungkur pingsan.
Masyitah hanya duduk terdiam di samping jenazah anaknya selama empat hari. Lalat mulai datang menghampiri lezatnya aroma jasad yang mulai membusuk. Burung-burung gagak bertengger di pinggiran kapal, anak-anak kecil berlarian mengejar
burung pemakan bangkai itu. Sesekali orang tua mereka mencegahnya, sebagai penghormatan kepada keluarga Yazid.
*
Kepala Desa menghampiri Yazid yang sedang duduk di samping Masyita.
“Yazid, kami warga desa menyampaikan rasa duka yang mendalam, kami sudah berunding tentang kondisi kita saat ini,” ucap Pak Kepala Desa. “Saat ini kita sudah kehabisan bahan bakar dan makanan. Warga sudah mulai kehabisan tenaga untuk mendayung kapal. Jika kapal kebanyakan muatan mungkin kita akan tenggelam. Dan bau yang timbul dari ....”
“Begitu kejikah kalian pada kami?” Masyita berdiri dan berjalan berputar telunjuknya menunjuk semua orang yang ada di sana. “Jika kalian ingin membuang anakku, biar aku pun ikut menceburkan diri ke laut. Bukankah beban kalian akan berkurang?” teriak Masyita.
“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Yazid dengan berteriak kepada istrinya.
“Untuk apa aku di sini jika semua duniaku sudah hilang? Fathimah ... dan sekarang Umar.”
“Apa kamu lupa denganku dan Imron? Aku tidak pernah berpikir kesedihan membuatmu lupa bahwa kami pun adalah bagian dari hidupmu.”
“Jika kau mau, kau bisa menenggelamkan diri bersama kami.” Ucapan Masyita membuat Yazid segera memeluk istrinya.
“Tidak, aku tidak ingin membiarkanmu menderita di akhirat, cukup penderitaanmu di dunia, ya, Habibati. Ingatlah Allah tidak mengampuni orang-orang yang putus asa dari rahmat-Nya.” Yazid tetap memeluk istrinya dan mereka pun jatuh terhuyung di atas geledak kapal. “Sayang, semua yang mereka bicarakan benar. Kita harus memikirkan maslahat dan masfsadat untuk orang banyak.”
Masyitah menangis meraung-raung dalam pelukan suaminya di samping jenazah Umar. Hampa, sakit hati, kecewa semua bercampur dalam hatinya. Dunianya menjadi sangat gelap. Dia hanya menginginkan anaknya dimakamkan layaknya manusia.
“Berdoalah, bukankah doa ibu adalah doa terbaik untuk anaknya,” bisik Yazid di telinga istrinya. Masyita hanya mengangguk.
“Pak Kades ... Pak Kades .... Ada nelayan.” Seorang warga berteriak memecah keheningan.
Lima orang awak kapal nelayan berjalan menghampiri Pak Kades dan mengatakan bahwa akan menarik kapal mereka hingga ke daratan terdekat untuk mengisi bahan bakar dan makan.
Tiga orang nelayan memberikan tali kapal berukuran hampir satu lengan orang dewasa kepada rekannya. Mereka mengaitkan tali pada kapal rombongan pengungsi malang itu. Tangan mereka tampak lihai, kepiawain mereka yang dibarengi dengan kerja sama team membuat pekerjaan itu menjadi lebih mudah.Awak kapal nelayan pun kembali ke kapal mereka. Rombongan pengungsi malang itu pun bersorak, rona kebahagiaan membentuk senyum di wajah-wajah lelah mereka. Mereka pun saling memeluk. Seketika semua kesedihan dan kepayahan seolah musnah, kecuali Masyitah. Ia nampak diam duduk menghadap jenzah sulungnya. Tak ada sedikit pun rona kebahagiaan, bahkan tak sedikit pun ucapan syukur yang keluar dari lisannya. Ia hanya duduk terdiam tubuhnya memaki geledak kapal.Waktu tak lama berlalu. Dataran hijau mulai nampak jelas terlihat. Beberapa awak kapal menurunkan jangkar setelah kapal mulai menepi ke dermaga. Beberapa warga nampak berbondong-bondong menghampiri kapal mereka. M
"Sus, apakah istri saya baik-baik saja?" tanya Yazid kepada perawat yang tengah memeriksanya."In syaa Allah, akan segera bangun, Pak. Sebentar lagi dokter akan segera datang untuk memeriksa kondisi istri Bapak dan semua pengungsi," jelas perawat itu."Terima kasih, Bu," ucapnya. "Bagaimana dengan jenazah anak saya, Sus?" tanyanya lagi."Jenazahnya ada di ruangmayat, Pak. Kemungkinan akan dilakukan autopsi, karena kematian anak Bapak tidak wajar. ""Tapi saya tidak yakin istri saya mengijinkan, Bu." Yazid tampak ragu dan bingung. Ia yakin istrinya pasti akan menolak hal itu, tapi ia pun menginginkan sebuah keadilan untuk anak bungsunya serta seluruh warga desa."Maaf, Pak, sekalian adiknya saya periksa." Ucapan perawat itu seketika memecahkan lamunan Yazid."Oya, silakan, Bu," tutur Yasid sambil melepaskan pelukannya dan meletakan Imron di atas brangkar. Dia mencoba menenangkan anaknya, dan meyakinka
"Permisi, Pak, Bu!" ucap seorang perempuan paruh baya yang membawa nampan berisi makanan dan beberapa buah-buahan, serta teh manis. Ia meletakannya di meja samping brangkar, tanpa banyak berbicara wanita itu pun segera meninggalkan ruangan setelah mempersilakan Yazid dan istrinya untuk menikmati makanan yang ia bawa.Yazid meraih sepiring nasi dengan sayur sop, perkedel, dan ayam goreng. "Sayang, makan dulu, ya!" Masyitah pun hanya mengangguk sebagai tanda setuju. Ia membuka mulut saat sendok yang Yazid sodorkan berada tepat di depan bibirnya. Ia mengunyah makanannya dengan tatapan mata kosong lurus ke depan. Suapan demi suapan ia telan tanpa sedikit pun menghiraukan Yazid yang sedang menyuapinya. Air matanya terus mengalir membasahi pipi. seketika ia pun berhenti mengunyah, menepis suapan Yazid dengan tangan kanan."Ayo, Sayang, dihabiskan makanannya," bujuk Yasid.Namun, istrinya hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Wajahnya
Yazid berjalan terburu-buru menuju klinik, rasa resah dan khawatir akan keadaan anak dan istrinya semakin menjadi-jadi. Ia berjalan sangat cepat hingga tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang berjalan searah dengannya. Wanita berkerudung biru itu pun terjatuh dan barang-barang yang ia bawa berserakan ke segala arah."Astaghfirullah, maaf, Mbak! Maaf l, saya terburu-buru tadi." Yazid segera membereskan barang-barang yang berserakan di atas lantai. Beberapa obat, vitamin, dan termometer. Tangannya dengan sigap dan cepat mengambil semua barang-barang itu, hingga tidak sengaja kepalanya terbentur kepala wanita itu yang tengah melakukan hal yang sama dengannya."Aduh, maaf, Mbak!" ucap Yazid dengan menganggukkan kepalanya, tatapan matanya lurus ke lantai, ia tidak berani menatap wajah wanita yang berada tepat di depannya itu, ada rasa malu dan bersalah."Iya, Pak. Tidak apa. Saya duluan, ya, Pak! Assalamualaikum." Wanita itu segera berge