Tiga orang nelayan memberikan tali kapal berukuran hampir satu lengan orang dewasa kepada rekannya. Mereka mengaitkan tali pada kapal rombongan pengungsi malang itu. Tangan mereka tampak lihai, kepiawain mereka yang dibarengi dengan kerja sama team membuat pekerjaan itu menjadi lebih mudah.
Awak kapal nelayan pun kembali ke kapal mereka. Rombongan pengungsi malang itu pun bersorak, rona kebahagiaan membentuk senyum di wajah-wajah lelah mereka. Mereka pun saling memeluk. Seketika semua kesedihan dan kepayahan seolah musnah, kecuali Masyitah. Ia nampak diam duduk menghadap jenzah sulungnya. Tak ada sedikit pun rona kebahagiaan, bahkan tak sedikit pun ucapan syukur yang keluar dari lisannya. Ia hanya duduk terdiam tubuhnya memaki geledak kapal.
Waktu tak lama berlalu. Dataran hijau mulai nampak jelas terlihat. Beberapa awak kapal menurunkan jangkar setelah kapal mulai menepi ke dermaga. Beberapa warga nampak berbondong-bondong menghampiri kapal mereka. Menurunkan barang-barang serta membantu mereka turun dari kapal dan membimbing mereka menuju sebuah gedung aula.Para pengungsi itu pun duduk di lantai aula menghadap satu arah. Seorang lelaki berbadan tegap memberikan sambutan kepada mereka dan menjanjikan tempat tinggal sementara untuk mereka hingga kapal siap untuk berlayar. Para pengungsi itu pun nampak bahagia, beberapa orang pun menangis haru, mereka tidak pernah berpikir akan mendapatkan tempat untuk bernaung walau hanya hingga matahari tenggelam.
Seorang laki-laki berbaju putih berlari terpogoh-pokoh ke arah aula.
"Pak, maaf menyela ada orang dari pemerintahan kota ingin bertemu dengan, Bapak," ucap lelaki berbaju putih kepada Rahman, lelaki yang berbadan tegap itu.
"Ya, tunggu sebentar," jawabnya. "Maaf bapak-ibu, saya pamit sebentar, silakan beristirahat dulu," tutupnya. Kemudian ia berjalan meninggalkan aula bersama lelaki berbaju putih itu.
Seorang laki-laki berpakaian rapi tengah duduk di sebuah ruangan.
"Selamat siang, Pak!" sapa Rahman. "Apa kabar Pak Anton?" lanjutnya.
"Baik, Pak Rahmat, oya Pak langsung saja, beberapa bulan lalu pihak pemerintah telah memberikan keputusan bahwa kita tidak bisa menampung pengungsi dari mana pun"
"Tapi Pak, mereka butuh bantuan kita," ucap Pak Rahman mencoba meyakinkan.
"Bukankah hal yang sama pula pernah Bapak ucapkan, tapi ternyata pengungsi-pengungsi itu adalah orang-orang yang memang bermasalah di negara mereka, ini menyangkut hubungan bilateral antarnegara Pak! Kita bisa mendapat maslah besar dengan melindungi mereka."
"Tapi Pak, saya berani menjamin kali ini mereka bukanlah orang yang bermasalah," ucap Rahmat dengan setengah memohon.
"Baiklah, kami berikan waktu satu minggu, setelah itu persilahkan mereka pergi atau kami akan menyeret mereka kembali ke laut," ancam Pak Anton, " Oya, jika satu saja dari mereka berbuat ulah, maka jabatanmu sebagai kepala pelabuhan akan dialihkan ke rekanmu yang lain!" Pak Anton pun bangkit dari tempatnya duduk dan pergi meninggalkan Rahmat.
"Baik Pak," tuturnya sambil menganggukkan kepala.
Rahmat berjalan kembali ke arah aula. Memastikan para pengungsi sudah mendapatkan nasi bungkus untuk makan siang. Ia nampak sangat ramah, sesekali ia menyapa dan mengajak berbincang para pengungsi itu."Pak, maaf masih ada keluarga yang belum turun dari kapal."
"Lah, kok bisa? Kenapa mereka tidak turun?"
"Ada mayat Pak, mereka menunggui mayat anaknya," jelas nelayan itu pada Rahmat.
"Innalilahi wainna ilaihi rojiun. Ya, sudah panggil teman-teman SARS untuk membantu evakuasi."
"Baik, Pak!"
Beberapa pemuda dengan jaket berwarna oranye membawa tandu ke atas kapal. Di sana Tempak seorang laki-laki sedang membujuk istrinya yang tengah berbaring, meringkuk dan menangis di samping jenazah anaknya. Di sisi lain ada seorang anak kecil berusia satu setengah tahun--Imron--tengah asik berlarian mengejar-ngejar burung gagak yang terbang dan turun silih berganti dia tas geledak kapal, dengan mata menyeriagi ke arah jenazah itu."Maaf, Pak, Bu, bisa kamu bantu untuk mengurus jenazah keluarga Bapak?" ucap salah satu dari team SARS itu dengan ramah. " Sebelumnya perkenalkan, kami dari team SARS pelabuhan Greend Land, nama saya Tio," tuturnya sembari menyodorkan tangan kanannya pada Yazid. Yazid pun menyambut uluran tangan Tio.
"Baik, Pak terima kasih sebelumnya.""Tidak! Tidak! Kalian tidak boleh menyentuh anakku," teriak Masyitah dengan menjerit-jerit. Ia berdiri dan menghalau siapa saja yang mendekat ke arah jenazah Umar dengan terus menjerit. Jeritannya pun disambut jengan jeritan anak kepala desa. Ia berlari ke arah meja yang penuh dengan tumpukan nasi bungkus.
Menghamburkannya ke segala arah, nasi-nasi itu pun berserakan di lantai aula. Ibunya berlari mencoba menenangkannya yang tengah jongkok menendang-nendangkan kakinya ke arah meja.*
Yasid memeluk istrinya meyakinkan Masyitah bahwa semua yang terjadi adalah yang terbaik. Ia pun meyakinkan perempuannya itu bahwa jenazah Umar akan diurus dengan baik.
"Bukankah kamu ingin Umar dimakamkan dengan baik? Sayang, ini adalah jawaban dari doamu." Yazid memeluk tubuh mungil Masyitah yang lemah dan kemudian tersungkur pinsan. Tangannya memberikan tanda kepada team SARS, mempersilakan mereka membereskan jenazah Umar.
"Pak, jenazahnya sudah busuk," ucap salah seorang tim SARS ke anggota tim yang lain, "sudah banyak belatung dan kondisinya sangat mengenaskan."
"Lebih baik kita segera hubungi pihak kepolisian, Pak!"
"Baiklah, tapi kita bereskan dulu jenazahnya, kita bawa turun dulu."
"Siap, Pak!" teriak mereka serentak. Mereka pun mulai membereskan jenazah Umar, memasukannya ke dalam kantong jenazah, dan kemudian menaikannya ke atas tandu. Imron yang asik mengejar-ngejar burung gagak pun terhenti dan muntah-muntah menghirup bau busuk dari jenazah kakanya itu. Yasid meletakan istrinya yang pinsan dia atas lantai kapal, kemudian menggendong anaknya. Ia pun meminta bantuan kepada tim SARS untuk menandu istrinya turun dari kapal.Sementara tiga orang anggota tim SARS sedang menyemprot sisa-sisa cairan dan daging jenazah Umar yang busuk, Yasid dan rombongan SARS yang lain turun dari kapal dengan dua tandu beriringan. Semua orang berkumpul, berdiri berjajar membentuk barisan di sisi kanan dan kiri rombongan Yazid. Mereka hanya diam, mematung, wajah-wajah mereka nampak sedih meski tak sepatah kata ucapan berduka pun keluar dari mulut mereka.
Rahmat dan seorang perempuan pun menyambut Yazid. Membimbingnya menuju sebuah ruang Unit Kesehatan Pelabuhan. Yasid hanya mengangguk dan menuruti mereka. Berjalan memasuki sebuah bangunan yang sangat mirip dengan sebuah klinik kesehatan."Tolong baringkan ibunya di sana!" perintah salah seorang perempuan beseragam perawat sambil jarinya menunjuk sebuah brangkar di sudut ruangan. "Mari Pak, biar saya priksa adiknya dan Bapak!" lanjutnya. Yasid pun hanya mengangguk pasrah dan terdiam. Matanya terus saja menatap istrinya, mengawasi seorang perawat yang sedang memasang jarum infus di lengan kiri Masyitah. Ada rasa takut yang meliputi dirinya, ia tidak sanggup untuk kehilangan lentera dalam kehidupannya, setelah ia kehilangan dua lentera--Fatimah dan Umar.
"Sus, apakah istri saya baik-baik saja?" tanya Yazid kepada perawat yang tengah memeriksanya."In syaa Allah, akan segera bangun, Pak. Sebentar lagi dokter akan segera datang untuk memeriksa kondisi istri Bapak dan semua pengungsi," jelas perawat itu."Terima kasih, Bu," ucapnya. "Bagaimana dengan jenazah anak saya, Sus?" tanyanya lagi."Jenazahnya ada di ruangmayat, Pak. Kemungkinan akan dilakukan autopsi, karena kematian anak Bapak tidak wajar. ""Tapi saya tidak yakin istri saya mengijinkan, Bu." Yazid tampak ragu dan bingung. Ia yakin istrinya pasti akan menolak hal itu, tapi ia pun menginginkan sebuah keadilan untuk anak bungsunya serta seluruh warga desa."Maaf, Pak, sekalian adiknya saya periksa." Ucapan perawat itu seketika memecahkan lamunan Yazid."Oya, silakan, Bu," tutur Yasid sambil melepaskan pelukannya dan meletakan Imron di atas brangkar. Dia mencoba menenangkan anaknya, dan meyakinka
"Permisi, Pak, Bu!" ucap seorang perempuan paruh baya yang membawa nampan berisi makanan dan beberapa buah-buahan, serta teh manis. Ia meletakannya di meja samping brangkar, tanpa banyak berbicara wanita itu pun segera meninggalkan ruangan setelah mempersilakan Yazid dan istrinya untuk menikmati makanan yang ia bawa.Yazid meraih sepiring nasi dengan sayur sop, perkedel, dan ayam goreng. "Sayang, makan dulu, ya!" Masyitah pun hanya mengangguk sebagai tanda setuju. Ia membuka mulut saat sendok yang Yazid sodorkan berada tepat di depan bibirnya. Ia mengunyah makanannya dengan tatapan mata kosong lurus ke depan. Suapan demi suapan ia telan tanpa sedikit pun menghiraukan Yazid yang sedang menyuapinya. Air matanya terus mengalir membasahi pipi. seketika ia pun berhenti mengunyah, menepis suapan Yazid dengan tangan kanan."Ayo, Sayang, dihabiskan makanannya," bujuk Yasid.Namun, istrinya hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Wajahnya
Yazid berjalan terburu-buru menuju klinik, rasa resah dan khawatir akan keadaan anak dan istrinya semakin menjadi-jadi. Ia berjalan sangat cepat hingga tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang berjalan searah dengannya. Wanita berkerudung biru itu pun terjatuh dan barang-barang yang ia bawa berserakan ke segala arah."Astaghfirullah, maaf, Mbak! Maaf l, saya terburu-buru tadi." Yazid segera membereskan barang-barang yang berserakan di atas lantai. Beberapa obat, vitamin, dan termometer. Tangannya dengan sigap dan cepat mengambil semua barang-barang itu, hingga tidak sengaja kepalanya terbentur kepala wanita itu yang tengah melakukan hal yang sama dengannya."Aduh, maaf, Mbak!" ucap Yazid dengan menganggukkan kepalanya, tatapan matanya lurus ke lantai, ia tidak berani menatap wajah wanita yang berada tepat di depannya itu, ada rasa malu dan bersalah."Iya, Pak. Tidak apa. Saya duluan, ya, Pak! Assalamualaikum." Wanita itu segera berge
Yasid memapah Umar dengan setengah berlari menuju dermaga. Mereka melewati semak-semak menghindari pasukan militer yang tengah memburu seluruh warga desa. Entah dosa apa yang telah keluarga Yasid lakukan, hingga ia harus terusir dari tanah nenek moyangnya sendiri.Umar berlari terpincang-pincang. Ia terus menelusuri jalan menuju dermaga bersama ayahnya dengan sesekali meringis menahan rasa sakit ketika luka bakar di kakinya tergesek semak dan ilalang.“Babah, bagaimana dengan Uma, Aisyah, dan Imron?” tanya Umar.“Uma dan adik-adikmu sudah menunggu di dermaga bersama istri Kepala Desa dan tetangga yang lain,” jawab Yasid meyakinkan anak lelakinya itu.Satu jam sudah mereka berlari menjauh dari desa. Seorang perempuan paruh baya berkerudung selendang hitam berlari menyambut mereka. Wajahnya tampak kaget melihat keadaan sulungnya yang sangat mengenaskan dengan kaki kanan te
Yazid berjalan terburu-buru menuju klinik, rasa resah dan khawatir akan keadaan anak dan istrinya semakin menjadi-jadi. Ia berjalan sangat cepat hingga tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang berjalan searah dengannya. Wanita berkerudung biru itu pun terjatuh dan barang-barang yang ia bawa berserakan ke segala arah."Astaghfirullah, maaf, Mbak! Maaf l, saya terburu-buru tadi." Yazid segera membereskan barang-barang yang berserakan di atas lantai. Beberapa obat, vitamin, dan termometer. Tangannya dengan sigap dan cepat mengambil semua barang-barang itu, hingga tidak sengaja kepalanya terbentur kepala wanita itu yang tengah melakukan hal yang sama dengannya."Aduh, maaf, Mbak!" ucap Yazid dengan menganggukkan kepalanya, tatapan matanya lurus ke lantai, ia tidak berani menatap wajah wanita yang berada tepat di depannya itu, ada rasa malu dan bersalah."Iya, Pak. Tidak apa. Saya duluan, ya, Pak! Assalamualaikum." Wanita itu segera berge
"Permisi, Pak, Bu!" ucap seorang perempuan paruh baya yang membawa nampan berisi makanan dan beberapa buah-buahan, serta teh manis. Ia meletakannya di meja samping brangkar, tanpa banyak berbicara wanita itu pun segera meninggalkan ruangan setelah mempersilakan Yazid dan istrinya untuk menikmati makanan yang ia bawa.Yazid meraih sepiring nasi dengan sayur sop, perkedel, dan ayam goreng. "Sayang, makan dulu, ya!" Masyitah pun hanya mengangguk sebagai tanda setuju. Ia membuka mulut saat sendok yang Yazid sodorkan berada tepat di depan bibirnya. Ia mengunyah makanannya dengan tatapan mata kosong lurus ke depan. Suapan demi suapan ia telan tanpa sedikit pun menghiraukan Yazid yang sedang menyuapinya. Air matanya terus mengalir membasahi pipi. seketika ia pun berhenti mengunyah, menepis suapan Yazid dengan tangan kanan."Ayo, Sayang, dihabiskan makanannya," bujuk Yasid.Namun, istrinya hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Wajahnya
"Sus, apakah istri saya baik-baik saja?" tanya Yazid kepada perawat yang tengah memeriksanya."In syaa Allah, akan segera bangun, Pak. Sebentar lagi dokter akan segera datang untuk memeriksa kondisi istri Bapak dan semua pengungsi," jelas perawat itu."Terima kasih, Bu," ucapnya. "Bagaimana dengan jenazah anak saya, Sus?" tanyanya lagi."Jenazahnya ada di ruangmayat, Pak. Kemungkinan akan dilakukan autopsi, karena kematian anak Bapak tidak wajar. ""Tapi saya tidak yakin istri saya mengijinkan, Bu." Yazid tampak ragu dan bingung. Ia yakin istrinya pasti akan menolak hal itu, tapi ia pun menginginkan sebuah keadilan untuk anak bungsunya serta seluruh warga desa."Maaf, Pak, sekalian adiknya saya periksa." Ucapan perawat itu seketika memecahkan lamunan Yazid."Oya, silakan, Bu," tutur Yasid sambil melepaskan pelukannya dan meletakan Imron di atas brangkar. Dia mencoba menenangkan anaknya, dan meyakinka
Tiga orang nelayan memberikan tali kapal berukuran hampir satu lengan orang dewasa kepada rekannya. Mereka mengaitkan tali pada kapal rombongan pengungsi malang itu. Tangan mereka tampak lihai, kepiawain mereka yang dibarengi dengan kerja sama team membuat pekerjaan itu menjadi lebih mudah.Awak kapal nelayan pun kembali ke kapal mereka. Rombongan pengungsi malang itu pun bersorak, rona kebahagiaan membentuk senyum di wajah-wajah lelah mereka. Mereka pun saling memeluk. Seketika semua kesedihan dan kepayahan seolah musnah, kecuali Masyitah. Ia nampak diam duduk menghadap jenzah sulungnya. Tak ada sedikit pun rona kebahagiaan, bahkan tak sedikit pun ucapan syukur yang keluar dari lisannya. Ia hanya duduk terdiam tubuhnya memaki geledak kapal.Waktu tak lama berlalu. Dataran hijau mulai nampak jelas terlihat. Beberapa awak kapal menurunkan jangkar setelah kapal mulai menepi ke dermaga. Beberapa warga nampak berbondong-bondong menghampiri kapal mereka. M
Yasid memapah Umar dengan setengah berlari menuju dermaga. Mereka melewati semak-semak menghindari pasukan militer yang tengah memburu seluruh warga desa. Entah dosa apa yang telah keluarga Yasid lakukan, hingga ia harus terusir dari tanah nenek moyangnya sendiri.Umar berlari terpincang-pincang. Ia terus menelusuri jalan menuju dermaga bersama ayahnya dengan sesekali meringis menahan rasa sakit ketika luka bakar di kakinya tergesek semak dan ilalang.“Babah, bagaimana dengan Uma, Aisyah, dan Imron?” tanya Umar.“Uma dan adik-adikmu sudah menunggu di dermaga bersama istri Kepala Desa dan tetangga yang lain,” jawab Yasid meyakinkan anak lelakinya itu.Satu jam sudah mereka berlari menjauh dari desa. Seorang perempuan paruh baya berkerudung selendang hitam berlari menyambut mereka. Wajahnya tampak kaget melihat keadaan sulungnya yang sangat mengenaskan dengan kaki kanan te