"Sus, apakah istri saya baik-baik saja?" tanya Yazid kepada perawat yang tengah memeriksanya.
"In syaa Allah, akan segera bangun, Pak. Sebentar lagi dokter akan segera datang untuk memeriksa kondisi istri Bapak dan semua pengungsi," jelas perawat itu.
"Terima kasih, Bu," ucapnya. "Bagaimana dengan jenazah anak saya, Sus?" tanyanya lagi.
"Jenazahnya ada di ruang
mayat, Pak. Kemungkinan akan dilakukan autopsi, karena kematian anak Bapak tidak wajar. ""Tapi saya tidak yakin istri saya mengijinkan, Bu." Yazid tampak ragu dan bingung. Ia yakin istrinya pasti akan menolak hal itu, tapi ia pun menginginkan sebuah keadilan untuk anak bungsunya serta seluruh warga desa.
"Maaf, Pak, sekalian adiknya saya periksa." Ucapan perawat itu seketika memecahkan lamunan Yazid.
"Oya, silakan, Bu," tutur Yasid sambil melepaskan pelukannya dan meletakan Imron di atas brangkar. Dia mencoba menenangkan anaknya, dan meyakinkannya bahwa suster itu baik dan tidak akan menyakiti Imron. Imron pun hanya mengangguk dan tersenyum pada ayahnya. Yazid pun membalas senyuman bungsunya diiringi air mata yang turun membasahi kedua pipinya.
Perawat itu membuka baju di bagian dada Imron. Tulang rusuknya tampak begitu jelas, perutnya pun sangat cekung. Kulitnya mulai bersisik. Ia nampak sangat kurus.
"Pak, sepertinya anak Bapak ada kemungkinan mengidap gizi buruk, ini mungkin saja terjadi karena kurangnya asupan makanan."
"Iya, Bu." Yazid hanya mengangguk, ia tidak tau harus berbicara apa, hanya ada rasa bersalah di dalam hatinya. Andai saja ia tidak melawan keputusan pemerintah di negaranya, mereka pasti tidak akan menderita seperti ini.
" Kami akan coba memberikan vitamin, susu, dan biskuit untuk meningkatkan gizi dan berat badan si dedennya, ya, Pak."
Yazid pun hanya mengangguk lesu.
"Silakan Pak Yazid dan dedenya makan dulu, kemudian istirahat, saya pamit dulu," ucap perawat itu sambil menunjuk kepada seorang laki-laki berbaju putih yang membawa nampan berisi tiga piring makanan dan segelas susu. "Minumnya silakan ambil saja di situ ya, Pak," lanjutnya sambil menunjuk ke arah tumpukan kardus air mineral. Yazid pun hanya mengangguk, matanya masih saja terpaku pada tubuh istrinya yang tengah terbaring di atas brangkar di sudut ruangan itu.
Setelah perawat itu pergi meninggalkan mereka, Yazid pun berjalan ke arah istrinya yang terbaring, tetapi anaknya menagis meronta-ronta dan berteriak-teriak meminta makan. Ia pun mengurungkan langkah, mendudukkan anaknya di atas brangkar kemudian ia mengambil sepiring nasi serta segelas susu yang langsung di sambar oleh Imron. Imron pun meminumnya hingga tandas. Suapan demi suapan dilahap habis tanpa jeda oleh anak laki-laki berusia satu setengah tahun itu. Setelah menghabiskan makanan di piring pertamanya, ia pun meminta piring ke dua. Imron makan dengan sangat lahap seperti anak yang nyaris tidak pernah makan seumur hidupnya.
Setelah selesai makan, Imron pun tertidur. Yazid memutuskan untuk tidak mengenyangkan perutnya, ia hanya makan lima suap sisa Imron dan sebotol air mineral. Ia menyisakan sepiring nasi untuk istri tercintanya, Masyitah.
Yazid berjalan untuk melihat istrinya. Ia pun berdiri tepat di samping brangkar tempat Masyitah tertidur pulas. Matanya berkaca, tubuhnya bergetar, rasa bersalah pun berkecamuk di dalam dada Yazid. Ia put tak dapat menahan air mata yang jatuh mengajak sungai di pipinya.
Masyitah tampak sangat layu. Matanya cekung, kulitnya pun tak seperti sebelumnya, kini nampak kusam, dan lebih gelap. Rasa bersalah menyeretnya ke dalam lamunannya, melesat ke masa lalu. Masa di mana ia meminang Masyitah dan berjanji kepada orang tuanya untuk menjaga dan membahagiakannya.
"Ayah, saya berjanji akan membahagiakan putri semata wayangmu, Ayah," ucap Yazid kala itu pada bapak mertuanya.
Namun, semua janjinya kini hanyalah sebuah janji yang tak dapat dia tepati. Keadaan Masyitah saat ini sangat jauh dari kata bahagia. Segala sakit dan penderitaan menghampiri silih berganti hanya karena keputusan yang Yazid buat. Yazid pun lemas, ia tersungkur dan menangis, kepalanya ia sandarkan pada brangkar. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu, selamat sing, Pak Yazid," Suara itu sontak mengagetkan Yazid. Ia tidak sadar jika Rahmat sudah berdiri tepat di sampingnya. "Bagaimana Pak, sudah makan siangnya?" lanjut Rahmat. Yazid pun merasa canggung, ia pun mengusap air matanya dan segera berdiri. Ia merasa malu dan tidak nyaman. Namun, ia hanya bisa tersenyum dan menganggukkan kepalanya."Wa'alaikum salam warahmatullah, Pak. Belum, Pak. Eh, sudah Pak," ucap Yazid gugup.
"Yang benar, sudah atau belum?" tanya Rahmat dengan senyum menggoda Yazid.
"Sudah Pak, tadi saya menghabiskan sisa Imron," jawabnya.
"Bapak makan saja dulu, kalau Bapak belum makan, saya tidak bisa melanjutkan pembicaraan."
"Tidak, Pak. Saya menyimpan makanan itu untuk istri saya, Pak," terangnya.
"Tidak usah khawatir, Pak. Nanti kalau Bu Masyitah bangun, kamu segera memberikan makanan untuk beliau, sekarang Bapak makan dulu. Saya tunggu di sebelah sana l, ya, Pak. Santai saja, ya, Pak." Rahmat pun meninggalkan Yazid dan berjalan menuju kursi yang tadi ia tunjuk dengan jari telunjuknya. Yazid pun berjalan mengambil makanannya dan melahapnya habis dalam hitungan menit. Sungguh itu adalah makanan ternikmat yang pernah ia makan. Tak henti-hentinya lisannya memuji nama Tuhan-nya. Ia pun meletakan piring yang benar-benar bersih, ia pun menjilati ujung jarinya dan berdoa, doa yang menandai bahwa ia sudah selesai makan.Rahmat mendekatinya dan mereka saling berbincang.
"Pak, ada kemungkinan jenazah anak Bapak akan di autopsi. Pihak kepolisian membutuhkan persetujuan dari keluarga. Proses autopsi akan di lakukan di rumah sakit pusat. Tidak bisa di sini Pak, karena keterbatasan alat dan tenaga kesehata," papar Rahmat kepada Yazid. Laki-laki itu memiliki tatapan mata yang teduh dan tutur kata yang lembut serta tertata rapi. Cara bicaranya benar-benar menunjukan bahwa dia adalah orang dari kalangan terpelajar dan berbudi.
"Tapi, Pak Rahmat ... saya harus minta persetujuan istri dulu," balasnya. "Saya takut beliau tidak ridha." Yazid pun berdiri dan berjalan ke arah tempat istrinya terbaring. "Sudah banyak hal buruk menimpanya, dan semua harus dia lewati meski sangat berat," lanjutnya dengan mata berkaca. Tangannya mengusap kepala istrinya yang masih tertidur dan ia pun mencium kening Masyitah.
"Tapi Pak, ini juga untuk kebaikan kalian semua, hasil autopsi bisa menjadi bukti bahwa sudah terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemerintah. Nanti Bapak dan warga pengungsi akan dibantu oleh pengacara dan beberapa lembaga HAM. Ini juga bisa menjadi jalan untuk keluarga Pak Yazid bertemu dengan sang putri," papar Rahmat. "Maaf, Pak, sebelumnya, saya sudah mendengat beberapa informasi dari Bapak Kepala Desa."
Yasid pun bingung apa yang harus ia katakan. Semua yang dikatakan oleh Rahmat adalah benar. Namun ia tidak mungkin mengambil keputusan begitu saja tanpa melibatkan Masyitah.
Uhuk ... Uhuk ....Tiba-tiba terdengar suara batuk yang memecah keheningan di ruangan itu.
"Alhamdulillah," ucap Yazid sambil memeluk tubuh istrinya. Ia pun bangkit dan mengambil botol air minum. "Minum dulu, Sayang!" lanjutnya.
Rahmat pun datang menghampiri mereka.
"Alhamdulillah, segera pulih ya, Bu." Rahmat pun melemparkan senyumannya ke arah Masyitah. Namun, masyitah hanya diam dengan tatapan mata yang kosong. "Oya, Pak besok saya ke sini lagi, ya Pak. Silakan Ibu dan Bapak beristirahat dulu," ucap Rahmat berpamitan kepada Yazid. "Mari, Bu." Ia pun berjalan menuju pintu keluar ruangan itu."Permisi, Pak, Bu!" ucap seorang perempuan paruh baya yang membawa nampan berisi makanan dan beberapa buah-buahan, serta teh manis. Ia meletakannya di meja samping brangkar, tanpa banyak berbicara wanita itu pun segera meninggalkan ruangan setelah mempersilakan Yazid dan istrinya untuk menikmati makanan yang ia bawa.Yazid meraih sepiring nasi dengan sayur sop, perkedel, dan ayam goreng. "Sayang, makan dulu, ya!" Masyitah pun hanya mengangguk sebagai tanda setuju. Ia membuka mulut saat sendok yang Yazid sodorkan berada tepat di depan bibirnya. Ia mengunyah makanannya dengan tatapan mata kosong lurus ke depan. Suapan demi suapan ia telan tanpa sedikit pun menghiraukan Yazid yang sedang menyuapinya. Air matanya terus mengalir membasahi pipi. seketika ia pun berhenti mengunyah, menepis suapan Yazid dengan tangan kanan."Ayo, Sayang, dihabiskan makanannya," bujuk Yasid.Namun, istrinya hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Wajahnya
Yazid berjalan terburu-buru menuju klinik, rasa resah dan khawatir akan keadaan anak dan istrinya semakin menjadi-jadi. Ia berjalan sangat cepat hingga tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang berjalan searah dengannya. Wanita berkerudung biru itu pun terjatuh dan barang-barang yang ia bawa berserakan ke segala arah."Astaghfirullah, maaf, Mbak! Maaf l, saya terburu-buru tadi." Yazid segera membereskan barang-barang yang berserakan di atas lantai. Beberapa obat, vitamin, dan termometer. Tangannya dengan sigap dan cepat mengambil semua barang-barang itu, hingga tidak sengaja kepalanya terbentur kepala wanita itu yang tengah melakukan hal yang sama dengannya."Aduh, maaf, Mbak!" ucap Yazid dengan menganggukkan kepalanya, tatapan matanya lurus ke lantai, ia tidak berani menatap wajah wanita yang berada tepat di depannya itu, ada rasa malu dan bersalah."Iya, Pak. Tidak apa. Saya duluan, ya, Pak! Assalamualaikum." Wanita itu segera berge
Yasid memapah Umar dengan setengah berlari menuju dermaga. Mereka melewati semak-semak menghindari pasukan militer yang tengah memburu seluruh warga desa. Entah dosa apa yang telah keluarga Yasid lakukan, hingga ia harus terusir dari tanah nenek moyangnya sendiri.Umar berlari terpincang-pincang. Ia terus menelusuri jalan menuju dermaga bersama ayahnya dengan sesekali meringis menahan rasa sakit ketika luka bakar di kakinya tergesek semak dan ilalang.“Babah, bagaimana dengan Uma, Aisyah, dan Imron?” tanya Umar.“Uma dan adik-adikmu sudah menunggu di dermaga bersama istri Kepala Desa dan tetangga yang lain,” jawab Yasid meyakinkan anak lelakinya itu.Satu jam sudah mereka berlari menjauh dari desa. Seorang perempuan paruh baya berkerudung selendang hitam berlari menyambut mereka. Wajahnya tampak kaget melihat keadaan sulungnya yang sangat mengenaskan dengan kaki kanan te
Tiga orang nelayan memberikan tali kapal berukuran hampir satu lengan orang dewasa kepada rekannya. Mereka mengaitkan tali pada kapal rombongan pengungsi malang itu. Tangan mereka tampak lihai, kepiawain mereka yang dibarengi dengan kerja sama team membuat pekerjaan itu menjadi lebih mudah.Awak kapal nelayan pun kembali ke kapal mereka. Rombongan pengungsi malang itu pun bersorak, rona kebahagiaan membentuk senyum di wajah-wajah lelah mereka. Mereka pun saling memeluk. Seketika semua kesedihan dan kepayahan seolah musnah, kecuali Masyitah. Ia nampak diam duduk menghadap jenzah sulungnya. Tak ada sedikit pun rona kebahagiaan, bahkan tak sedikit pun ucapan syukur yang keluar dari lisannya. Ia hanya duduk terdiam tubuhnya memaki geledak kapal.Waktu tak lama berlalu. Dataran hijau mulai nampak jelas terlihat. Beberapa awak kapal menurunkan jangkar setelah kapal mulai menepi ke dermaga. Beberapa warga nampak berbondong-bondong menghampiri kapal mereka. M
Yazid berjalan terburu-buru menuju klinik, rasa resah dan khawatir akan keadaan anak dan istrinya semakin menjadi-jadi. Ia berjalan sangat cepat hingga tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang berjalan searah dengannya. Wanita berkerudung biru itu pun terjatuh dan barang-barang yang ia bawa berserakan ke segala arah."Astaghfirullah, maaf, Mbak! Maaf l, saya terburu-buru tadi." Yazid segera membereskan barang-barang yang berserakan di atas lantai. Beberapa obat, vitamin, dan termometer. Tangannya dengan sigap dan cepat mengambil semua barang-barang itu, hingga tidak sengaja kepalanya terbentur kepala wanita itu yang tengah melakukan hal yang sama dengannya."Aduh, maaf, Mbak!" ucap Yazid dengan menganggukkan kepalanya, tatapan matanya lurus ke lantai, ia tidak berani menatap wajah wanita yang berada tepat di depannya itu, ada rasa malu dan bersalah."Iya, Pak. Tidak apa. Saya duluan, ya, Pak! Assalamualaikum." Wanita itu segera berge
"Permisi, Pak, Bu!" ucap seorang perempuan paruh baya yang membawa nampan berisi makanan dan beberapa buah-buahan, serta teh manis. Ia meletakannya di meja samping brangkar, tanpa banyak berbicara wanita itu pun segera meninggalkan ruangan setelah mempersilakan Yazid dan istrinya untuk menikmati makanan yang ia bawa.Yazid meraih sepiring nasi dengan sayur sop, perkedel, dan ayam goreng. "Sayang, makan dulu, ya!" Masyitah pun hanya mengangguk sebagai tanda setuju. Ia membuka mulut saat sendok yang Yazid sodorkan berada tepat di depan bibirnya. Ia mengunyah makanannya dengan tatapan mata kosong lurus ke depan. Suapan demi suapan ia telan tanpa sedikit pun menghiraukan Yazid yang sedang menyuapinya. Air matanya terus mengalir membasahi pipi. seketika ia pun berhenti mengunyah, menepis suapan Yazid dengan tangan kanan."Ayo, Sayang, dihabiskan makanannya," bujuk Yasid.Namun, istrinya hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Wajahnya
"Sus, apakah istri saya baik-baik saja?" tanya Yazid kepada perawat yang tengah memeriksanya."In syaa Allah, akan segera bangun, Pak. Sebentar lagi dokter akan segera datang untuk memeriksa kondisi istri Bapak dan semua pengungsi," jelas perawat itu."Terima kasih, Bu," ucapnya. "Bagaimana dengan jenazah anak saya, Sus?" tanyanya lagi."Jenazahnya ada di ruangmayat, Pak. Kemungkinan akan dilakukan autopsi, karena kematian anak Bapak tidak wajar. ""Tapi saya tidak yakin istri saya mengijinkan, Bu." Yazid tampak ragu dan bingung. Ia yakin istrinya pasti akan menolak hal itu, tapi ia pun menginginkan sebuah keadilan untuk anak bungsunya serta seluruh warga desa."Maaf, Pak, sekalian adiknya saya periksa." Ucapan perawat itu seketika memecahkan lamunan Yazid."Oya, silakan, Bu," tutur Yasid sambil melepaskan pelukannya dan meletakan Imron di atas brangkar. Dia mencoba menenangkan anaknya, dan meyakinka
Tiga orang nelayan memberikan tali kapal berukuran hampir satu lengan orang dewasa kepada rekannya. Mereka mengaitkan tali pada kapal rombongan pengungsi malang itu. Tangan mereka tampak lihai, kepiawain mereka yang dibarengi dengan kerja sama team membuat pekerjaan itu menjadi lebih mudah.Awak kapal nelayan pun kembali ke kapal mereka. Rombongan pengungsi malang itu pun bersorak, rona kebahagiaan membentuk senyum di wajah-wajah lelah mereka. Mereka pun saling memeluk. Seketika semua kesedihan dan kepayahan seolah musnah, kecuali Masyitah. Ia nampak diam duduk menghadap jenzah sulungnya. Tak ada sedikit pun rona kebahagiaan, bahkan tak sedikit pun ucapan syukur yang keluar dari lisannya. Ia hanya duduk terdiam tubuhnya memaki geledak kapal.Waktu tak lama berlalu. Dataran hijau mulai nampak jelas terlihat. Beberapa awak kapal menurunkan jangkar setelah kapal mulai menepi ke dermaga. Beberapa warga nampak berbondong-bondong menghampiri kapal mereka. M
Yasid memapah Umar dengan setengah berlari menuju dermaga. Mereka melewati semak-semak menghindari pasukan militer yang tengah memburu seluruh warga desa. Entah dosa apa yang telah keluarga Yasid lakukan, hingga ia harus terusir dari tanah nenek moyangnya sendiri.Umar berlari terpincang-pincang. Ia terus menelusuri jalan menuju dermaga bersama ayahnya dengan sesekali meringis menahan rasa sakit ketika luka bakar di kakinya tergesek semak dan ilalang.“Babah, bagaimana dengan Uma, Aisyah, dan Imron?” tanya Umar.“Uma dan adik-adikmu sudah menunggu di dermaga bersama istri Kepala Desa dan tetangga yang lain,” jawab Yasid meyakinkan anak lelakinya itu.Satu jam sudah mereka berlari menjauh dari desa. Seorang perempuan paruh baya berkerudung selendang hitam berlari menyambut mereka. Wajahnya tampak kaget melihat keadaan sulungnya yang sangat mengenaskan dengan kaki kanan te