Motor sport hitam menerobos jalanan dengan laju dan suara yang menggelegar, membuat siapa pun yang berada di sekitarnya tersentak kaget.
Tiba-tiba, motor itu mengerem dengan mendadak tepat di depanku, seketika itu pula aku kehilangan kendali. Motor ku terpelanting ke aspal dengan suara yang keras. "Aduh!" rintihku sambil meringis kesakitan. Kemarahan meluap, aku berteriak, "Sialan! Berhenti woy!" Perlahan, aku merangkak bangkit, mendirikan motorku yang terjatuh dengan susah payah. Dalam keadaan kesal dan napas tersengal-sengal, aku berlari menghampiri pengendara itu yang kini terhenti karena lampu merah. Dengan amarah memuncak, aku mengetuk helmnya keras. "Turun lo!" bentakku sambil memandangnya tajam. Pengendara itu, cowok berpostur tegap, hanya menoleh sebentar kepadaku, tidak menunjukkan tanda-tanda akan turun. "Heh! Lo harus tanggung jawab. Turun lo!" suaraku meninggi penuh penekanan. Dia akhirnya membuka kaca helmnya, mendekat dan dengan sombong menoyor kepalaku. "Minggir lo, Cahaya redup!" ejeknya dengan nada mengejek. Kemarahanku meledak kembali saat lampu lalu lintas itu berganti hijau. Biru tanpa berpikir panjang, langsung mengendarai motornya. Tangan Biru tiba-tiba mencengkeram tuas gas, suara bising motor tersebut memenuhi udara. Aku mengatupkan mata dan menutup telingaku yang masih terlindungi helm, menghindari gema bising itu. "Emang ini jalan punya nenek moyang lo!" seruku dengan nada tinggi, mataku yang marah menatap bayangan punggung Biru yang kian menjauh. Bunyi klakson di sekitar memaksaku untuk minggir, langkahku terburu-buru menuju motor di pinggir jalan. "Sialan, kaki gue sakit banget," keluhku pelan. Rokku tersibak, menampakkan lutut yang lecet dan berdarah sedikit. "Awas aja nanti kalau di sekolah," desisku sambil menggenggam stang motor erat-erat. Motor kubawa laju menuju sekolah, sesekali kuperiksa jam tangan di pergelangan tangan. Detak jantungku berpacu dengan cepat, rasa khawatir menggelayuti pikiranku ketika lampu merah menghalangiku untuk melaju lebih jauh. Semua ini gara-gara Biru, si preman sekolah yang suka memperlambat laju para murid lainnya. "Nanti kalau gue terlambat dan kena hukuman, gue nggak akan tinggal diam," batin ku, meski tahu dia adalah ketua geng, rasa takut sedikitpun tidak hadir di hatiku. Gerbang sekolah sudah hampir menutup saat aku tiba. "Pak, tunggu, jangan ditutup dulu!" teriakku sambil menggiring motorku lebih cepat. Pak satpam, dengan gerakan sigapnya, melambaikan tangan menyuruhku buru-buru masuk. Setelah berhasil masuk, aku menghela napas lega, tapi belum sepenuhnya bisa tenang. Aku melirik ke kejauhan, sosok pria yang tergopoh-gopoh sambil meniup peluit membuatku mengutuk nasib sial hari itu dalam hati. Baru hendak melegakan pikiran, terdengar suara nyaring yang mengejutkan. "Priiiitt! Berhenti, Cahaya, berhenti!" seru Pak Baru, guru BK, dari kejauhan. Aku berpura-pura tuli, berharap bisa lolos dari perhatian beliau, sembari merasa jantungku semakin tidak karuan. Berbagai skenario hukuman sudah melintas di benakku, membuatku semakin cemas dan geram pada hari sial ini. "Heh, Cahaya, mau kemana!" teriak Pak Baru seraya meniup peluit keras-keras. Segera aku berhenti berjalan saat Pak Baru menarik tasku dengan gerakan tegas. "Eh, Pak Baru? Baru sampai, Pak?" tanyaku, mengulum senyum tak berdosa, sembari menatap pria berkumis tebal itu yang mirip Pak Raden. Pak Baru memperhatikanku beberapa saat, seolah hatinya mulai melunak. "Kamu yang datang terlambat, Cahaya. Segera bersihkan sampah itu!" perintahnya sambil menunjuk ke arah tong sampah yang sudah meluap. Mataku terbelalak, tidak percaya. "Tapi Pak, saya nggak telat kok, kenapa harus saya yang bersihkan?" keluhku, rasa tidak adil memenuhi pikiranku. "Kamu terlambat satu menit, Cahaya," balas Pak Baru dengan tegas. Dari sudut mataku, aku melihat Biru yang celingukan, mencoba lolos tanpa perhatian. "Pak, Biru juga terlambat tapi nggak dihukum, kenapa?" protesku, menunjuk Biru yang berjalan santai, seolah tidak menyadari keberadaanku, bahkan sempat menatapku tajam. Pak Baru menoleh sejenak, kemudian kembali meniup peluitnya dengan keras. "Astaga naga!" seruku terkejut, kedua tangan cepat-cepat menutup telinga. Sementara itu, Pak Baru langsung menghampiri Biru dengan geram, menjewer telinganya dan menyeretnya hingga dekat tempatku berdiri. Melihat Biru yang meringis kesakitan, aku tak bisa menahan tawa. "Rasain lo, emang enak," godaku sambil masih terkekeh. Pak Baru dengan tegas memerintahkan, "Cepat kamu bersihkan sampah-sampah itu!" sambil menunjuk ke arah tong sampah yang sudah penuh sesak. Biru yang masih meringis kesakitan, terlihat tidak terima. "Kok saya, Pak? Kan Cahaya yang Bapak suruh," ucapnya dengan nada protes, seraya menunjuk ke arahku. Tajamnya pandangan Pak Baru langsung tertuju pada Biru. "Kalian berdua! Cepat bersihkan!" bentaknya. Kami berdua tanpa banyak kata langsung mengangkat tong sampah itu dan membuang isinya. "Semua gara-gara lo!" seru Biru dengan menyalahkan aku. "Kok gue!" balasku ketus. "Iya. Kalau bukan karena lo nunjuk gue, gue nggak akan kena hukum!" suaranya meninggi, tangannya lepas dari pegangan tong sampah yang langsung jatuh ke tanah dengan suara gedebuk. "Lo yang salah. Kalau bukan karena lo yang ngerem mendadak di jalan tadi, gue nggak akan dihukum. Gue nggak akan telat!" balasku dengan kesal. Biru menatapku dengan kedua matanya yang tajam bagaikan es. Aku bisa merasakan sekujur tubuhku menggigil di bawah sorotan itu. Keringat dingin mulai membasahi dahi. Ketika ia akhirnya berbalik, meninggalkanku dengan sisa-sisa hinaan yang tertinggal di udara, aku nyaris tidak bisa bernapas. "Dasar Biru!" pekikku dengan kekuatan terakhir. Tapi Biru, dengan langkah santai yang khas, hanya terus berjalan. Kedua tangan dimasukkannya dalam saku, seolah tidak terjadi apa-apa. Seakan dunia masih seperti semula bagi dia, tetapi bukan bagiku. Menyebalkan! Aku menyusuri koridor sekolah yang panjang sepanjang kacang panjang dengan langkah riang. Sesekali tersenyum membalas sapaan cowok-cowok yang berpapasan denganku. Di depan kelas yang akan aku masuki, sosok Biru yang dengan santainya menghalangi jalanku. Satu kaki Biru masih terjulur, menyumbat pintu, sementara aku yang ingin melewati menahan kesal. "Minggir!" seru ku dengan suara yang meninggi, tapi Biru tampak tak peduli. Irritasi menggebu, aku menaikkan volume suara, "Lo dengar nggak sih kalau gue bilang minggir!" Mataku yang indah bulat membelalak, dan pipiku mengembung, menahan kekesalan yang sebentar lagi akan meledak. "BIRUU!" pekikku, seraya Biru hanya menutup kedua telinganya, mengeluh kelelahan. "Berisik banget sih lo!" balasnya sambil masih mempertahankan posisinya yang menghalangi pintu. "Gue mau lewat dan lo ngalangin jalan gue. Lo ngerti nggak sih! Minggir!" teriakku dengan keras. Semua mata di koridor tiba-tiba tertuju ke arah kami. Teman-teman sekelas dan anak buah Biru sama-sama terpaku, mereka hanya berani menatap namun tak ada satu pun yang berani bergerak atau berkata-kata. Biru yang tenang, dengan tangannya masih melipat di depan dada, memandangku dengan senyuman meremehkan. "Kalau gue nggak mau minggir, lo mau apa?" tantangnya. Langkah Biru yang terukur mendekati, memaksaku mundur beberapa langkah untuk menghindari sentuhan langsung. Namun, dengan tiba-tiba, tangannya yang cepat mencengkeram kedua pipiku. "Gue nggak suka sama cewek modelan kayak lo!" desak Biru dengan nada penuh kebencian. Aku merasa darahku mendidih saat menatap tajam ke dalam mata Biru, mencoba menunjukkan bahwa intimidasi seperti ini tidak akan membuatku mundur. Dugh! "Aargh!"Biru ******** sambil menahan sakit di kakinya yang baru saja aku tendang dengan keras tepat di tulang keringnya. Sambil tertawa lebar, aku meledeknya, "Rasain lo! Emang enak?" Mengancam dengan mata berkilat, aku berteriak, "Apa lo liat-liat, mau gue tendang lagi!" Segera, kaki ku mengayun seolah akan menendang sekali lagi, membuat Biru mundur ketakutan, khawatir akan sakit yang mungkin datang lagi. Di dalam hati, aku tertawa terpingkal-pingkal. Aku berjalan masuk ke kelas dengan langkah santai, acuh tak acuh terhadap tatapan menusuk dari Biru yang masih terasa sakit di kakinya. Biarlah, toh dia yang mulai mengganggu ketika aku hendak masuk kelas. Beberapa teman kami yang menyaksikan, segera mengalihkan pandangan, takut terkena amarah Biru. "Sialan lo! Untung aja lo cewek, kalau nggak lo udah habis sama gue!" seru Biru dengan wajah merah padam, perasaan sakit dan marah bercampur. Aku hanya menyeringai, mengabaikannya dan duduk di bangkuku, menunggu Lala teman sebangku untuk mul
Dengan gerak cepat, aku meraih tisu dan mengelap sudut mulutku. Tak ingin sekecil apapun kuman bertengger di dalam sana. Ekspresi geram tampak jelas di wajahku . "Lo, kalau mau minum, beli sendiri, jangan nyicip punya gue dong!" bentakku kasar sambil menunjuk minumannya yang telah tersentuh bibirku. "Udah gue bilang kalau tempat ini milik gue. Kalau nggak suka, sana keluar!" Keluhan itu meluncur tajam dari mulut Biru yang menunjuk pintu kantin yang terbuka lebar sebagai bukti ia tak main-main. Gery yang berdiri tepat disampingku menggertakkan giginya, menahan amarah. "Harusnya lo yang pergi!" dia membentak balik, suara garang memenuhi udara. Biru bangkit dengan tiba-tiba, mendorong Gery yang langsung terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan. Sinar matanya tajam, penuh kebencian melawan tatapan yang sama dari Gery. Aku yang melihat Biru dan Gery yang sudah sama-sama emosi dan sama-sama mengepalkan tangannya pun membuang napas dengan kasar. "Udah, nggak usah ribut," ucapku menco
"Kebaikan apaan? Emang ada hubungannya gue sama acara itu?" gumam Biru dalam hati."Udah, sana istirahat dulu. Nanti mama akan siapin pakaian buat kamu," ucap Bu Siska sambil mengusap lengan anaknya.Biru mengerutkan dahinya sambil melangkah gontai menuju ke kamarnya. Dalam hati pun bertanya-tanya ada acara apa nanti malam sampai-sampai mamanya akan menyiapkan baju untuknya.Malam harinya, Biru semakin keheranan saat memakai baju batik yang telah di siapkan sang mama untuknya.Biru memandang refleksi dirinya di cermin, memutar-mutar tubuhnya, memastikan tiap jahitan batik itu terlihat sempurna di tubuhnya. Lampu kamar yang remang-remang menambah kesan mistis pada motif batik yang dikenakannya. "Acara apa sih, kok pakai batik segala?" tanyanya lagi, masih belum mengerti kenapa malam itu dia harus berdandan seperti akan pergi ke pesta.Bu Siska tersenyum lebar, matanya berbinar melihat anaknya yang sudah beranjak dewasa. "Ada acara spesial, Nak. Kamu akan tahu nanti," jawabnya, penuh de
Masih sulit dipercaya olehku, bagaimana aku tiba-tiba menjadi tunangan orang yang tak kukenal? Dalam hati gelisah dan pikiran berkecamuk, pertanyaan-pertanyaan tak henti bergelayut. "Gue, tunangan? Siapa, Bi? Besok gue akan menikah?" Kalimat-kalimat itu terus bergema di dalam benakku. Tiba-tiba suara papa memecah lamunanku. "Ayo, Aya, itu keluarga calon tunangan kamu sudah datang," ucapnya seraya menunjuk keluar jendela. Segera pandanganku teralih ke depan rumah. Rombongan mobil telah berhenti, beberapa orang mulai turun. Mataku tertuju pada seorang pria yang seumuran dengan papa dan seorang wanita yang tampak anggun namun cemas. Pria itu memberikan isyarat tangan, mengirimkan dua orang kembali ke dalam mobil yang lalu segera meninggalkan pekarangan rumah dengan aura misterius yang meninggalkan lebih banyak pertanyaan dalam benakku.Mereka berdua berjalan mendekat dan tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan. "Selamat malam, Aya. Saya Pak Indra, ayah dari calon suami kamu," uca
Biru terpaku di tempat, mata birunya melebar dalam ketidakpercayaan. "Nikah sama siapa, Ma?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Rasa panik melanda, bagai badai yang tak terduga, mengingat ia masih tengah duduk di bangku sekolah. Dari ambang pintu, Bu Siska, yang sedang hendak meninggalkan kamar, menoleh dan melemparkan jawaban yang santai. "Tenang saja, yang penting dia perempuan," ucapnya dengan nada yang datar. "Mama, kok jawabnya gitu sih," rengek Biru, kebingungan mewarnai suaranya. Bu Siska menatapnya dengan sorot mata yang tajam, terasa bagai peluru. "Kamu tahu, mama masih kesal sama kamu. Kamu seharusnya yang memasang cincin itu, tapi malah mama yang harus melakukannya. Kamu membuat kami malu, Biru. Sekarang, cepat siapkan dirimu!" geramnya. Meski di luar Biru tampak arogan, di hadapan ibunya, dia seperti lilin yang leleh. Dengan kepala tertunduk, ia mengangguk, namun di dalam hatinya, dia memutar berbagai rencana untuk melarikan diri. Dengan gerakan cepat, Biru mem
Panik, itulah yang kurasakan saat Biru mendekatkan wajahnya, jantungku berdetak kencang, pikiranku melayang pada segala kenangan pahit yang pernah terjadi di antara kami. Namun, saat bibirnya menyentuh keningku, aku merasakan kehangatan yang tak terduga. Kecupan itu singkat, namun cukup untuk membuat detak jantungku yang sebelumnya berpacu, kini berhenti sejenak.Saat aku membuka mata, tepuk tangan riuh rendah menggema di ruangan itu, memecah keheningan yang sempat tercipta. Bu Siska tersenyum lebar, kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mengucapkan, "Sekarang kalian sudah resmi menjadi suami istri."Papa kemudian menambahkan, "Kalian bisa tinggal di rumah ini atau di rumah Biru, bebas." Kata-katanya menggantung di udara, menambah ketegangan yang sudah terasa. Aku dan Biru saling bertukar pandang, matanya mencoba menafsirkan apa yang ada di benakku, namun aku hanya bisa memberikan tatapan yang kosong.Kami berdua berdiri di sana, dikelilingi oleh kerabat dan keluarga dekat namun s
Setelah pintu kamarku tertutup sempurna, aku bergegas menuju ke cermin besar yang terpampang di sudut ruangan. Kedua tangan berusaha sekuat tenaga menarik resleting gaun pengantin yang melekat erat di tubuhku. Aku menggerutu dalam hati, frustrasi karena gaun itu seperti menolak untuk dilepaskan dari tubuhku.“Sial! Kenapa susah banget lepasinnya!” keluhku dengan nada tinggi, sambil terus berjuang dengan resleting itu. Akhirnya, dengan satu tarikan keras, resleting itu terbuka dan punggungku terpampang nyata.Ceklek!Suara pintu yang terbuka membuatku tersentak. Refleks, aku berbalik badan, dan mataku langsung bertemu dengan pandangan Biru yang sudah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar.“Biru!” teriakku kesal, sambil cepat-cepat membalikkan badan lagi, berusaha menutupi punggung terbuka dengan kedua tangan. Hatiku berdebar keras, tidak mengerti mengapa dia bisa ada di sini.Biru hanya menyipitkan matanya, seolah mencoba memahami situasi, namun wajahnya tidak menunjukkan emosi
"Emang enak di cuekin," ucapku sambil tersenyum senang melihat adik tiriku itu di tinggal begitu saja oleh Biru, suamiku.Aku berdiri dengan menyandarkan punggung di dinding dan melipat kedua tangan di depan dada.Langkah Anggia yang gemas dan penuh amarah terdengar nyaring di lorong rumah yang sunyi. Kedua tangannya terkepal, seolah siap untuk melepaskan segala kekesalan yang dipendam. Dia berhenti sejenak, menatapku dengan pandangan tajam yang membakar. "Apaan sih lo! Emang kak Biru itu peduli sama lo!" suaranya memecah kesunyian, sinis dan menyakitkan.Aku hanya tersenyum simpul, menanggapi setiap kata yang dilontarkannya dengan ketenangan yang terlatih. "Emangnya kenapa kalau Biru nggak peduli sama gue?" tanyaku, suara penuh ketidakpedulian. Aku berdiri tegak, menghadapinya dengan wajah datar. "Gue pun juga nggak berharap kalau Biru peduli sama gue. Bodo amat! Kita menikah karena perjodohan konyol, gue dan Biru sama-sama nggak mengharapkan."Anggia mendengus keras, frustrasi de
"Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku
Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal
Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s
Dering telepon dari Biru memecah kesunyian malam yang mendebarkan. Suaranya terdengar panik, "Cepat ke rumah sakit sekarang!" Jantungku langsung berdegup kencang. Otakku membayangkan segala kemungkinan yang terburuk. Tanpa berpikir panjang, aku lari menuju rumah sakit, meninggalkan peluang untuk menangkap ob yang mungkin terlibat meracuni Papa. Kepanikan itu menguasai setiap langkahku.Dengan napas tersengal-sengal, aku melompat keluar dari mobil dan berlari secepat kilat menyusuri koridor rumah sakit yang terasa begitu panjang. Lampu-lampu overhead berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang bergerak di sepanjang dinding. Setiap detik terasa seperti jam, dan jantungku berdebar keras, seolah ingin meledak keluar dari dada.Ketika sampai di ruang VVIP, aku hampir-hampir terjatuh karena tergesa-gesa. Mengambil napas dalam-dalam, aku menekan handle pintu dan mendorongnya dengan lembut. "Papa," suaraku bergetar saat aku memanggilnya. Aku melihat Biru duduk di samping ranjang dengan ra
Dengan langkah yang ringan dan hening, aku menerobos ke dalam kegelapan kantor yang sudah sepi. Berkat pakaian serba hitam yang kukenakan, aku seperti bayangan yang sulit terlihat. Ruangan demi ruangan kulewati tanpa suara. Sesekali, cahaya dari lampu jalan yang masuk melalui jendela memantulkan siluetku di dinding.Mataku tertuju pada sosok yang tampak bergerak di ujung koridor. Jantungku berdegup kencang, namun setelah menunggu beberapa saat, aku menghela napas lega. Itu hanya pak satpam yang sedang melakukan ronda malam. Aku menunggu hingga suara langkah kaki itu menghilang sebelum aku melanjutkan misi.Dengan perlahan, aku mengintip ke dalam ruangan papa. "Cangkir kopi bekas papa," bisikku saat melihat meja kerja yang sudah rapi tanpa ada satu pun dokumen yang tersisa. Aku menyusuri ruangan itu, membuka setiap laci yang ada dengan harapan menemukan sesuatu yang terlewatkan. Namun, nihil. Tidak ada satu petunjuk pun yang tertinggal, semuanya telah bersih.Aku berdiri di tengah ruan
Mataku berkaca-kaca, aku menatap Paman Rudi dengan penuh harap ketika dia melangkah keluar dari ruang perawatan. Bibirku gemetar sedikit saat aku bertanya, "Apa yang terjadi sama Papa, Paman? Kenapa Papa bisa sakit?" Tangan Paman Rudi yang hangat memegang bahuku dengan penuh perhatian. "Tenang, Aya, Papa kamu baik-baik saja," ujar Paman Rudi dengan suara yang menenangkan. Cahaya lampu lorong rumah sakit itu terasa begitu menyilaukan bagi ku, seolah mencerminkan kecemasan yang melanda hatiku. Tangisan ku pecah, suara isakan terdengar begitu pilu di lorong yang sunyi. Paman Rudi, dengan ekspresi penuh kekhawatiran, mengusap punggung ku perlahan, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah ketakutan yang melanda.Paman Rudi menarik napas dalam-dalam, menatap aku dan suamiku, Biru, yang duduk di sampingnya dengan mata yang sayu. "Tadi papamu muntah darah," ungkapnya, suaranya berat, mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk tidak membuat anak dari atasannya ini semakin larut dalam
Anggia menatap kelas padaku. "Tapi Kak, gue nggak terbiasa duduk di belakang." Suaranya bergetar karena emosi. Jelas saja ia ingin duduk di samping Biru, suamiku yang tampan. Tanggapan Biru datang dengan ketenangan yang kontras. "Kalau nggak biasa ya di biasain," katanya, seraya menarik tangan ku memacu agar aku segera menaiki mobil. Sementara itu, aku hanya bisa tersenyum sinis. "Jangan ya, Dek. Dia suami gue," bisikku dengan nada mengejek ke telinga Anggia. Bisa kurasakan tubuhnya bergetar sementara wajahnya memerah bak delima. Aku pun dengan sengaja menyenggol bahunya, menambah rasa malu yang sudah menyesakkan dadanya.Anggia mencoba menahan amarahnya yang mendidih, napasnya terengah-engah seolah berusaha menelan setiap kata yang ingin dia lemparkan. Dia terduduk pasrah di kursi belakang mobil, matanya menatap tajam ke arah punggung Biru yang duduk di depan dengan sikap tenang. Di sisi lain, Biru hanya memperhatikan jalan, seolah tak menyadari betapa tegangnya suasana di dalam
Aku mengedipkan kedua mataku cepat, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Biru. "Em, siapa bilang gue nggak mengakui lo sebagai suami?" kataku dengan tawa renyah, seolah menyembunyikan getar di hati. Aku beranjak ingin mengelak, namun Biru dengan cepat meraih tanganku, menahan langkah. Jari-jarinya bergerak lembut mengusap pipiku, menimbulkan desir dalam dada. "Ya ampun, Biru tampan banget," batinku, terpesona sejenak pada ketampanannya yang begitu nyata. "Gue nggak mau lo terlalu dekat dengan cowok lain," bisiknya dekat sekali. Ucapannya menghangatkan ujung telingaku. Tiba-tiba, Biru mendekat, mengikis jarak di antara kami. Bibirnya menyentuh bibirku lembut tapi penuh niat. Mataku membulat, terkejut oleh gerakannya yang tak terduga. Ingin ku tolak, namun genggaman Biru semakin erat dan ciumannya semakin mendalam, membuatku terperangkap dalam hangatnya rasa yang sulit diungkapkan.Tangan Biru dengan lembut mendarat di punggungku, menepuk-nepuk seolah mengerti betapa aku keku