Share

Bab 2

Biru ******** sambil menahan sakit di kakinya yang baru saja aku tendang dengan keras tepat di tulang keringnya. 

Sambil tertawa lebar, aku meledeknya, "Rasain lo! Emang enak?" Mengancam dengan mata berkilat, aku berteriak, "Apa lo liat-liat, mau gue tendang lagi!" 

Segera, kaki ku mengayun seolah akan menendang sekali lagi, membuat Biru mundur ketakutan, khawatir akan sakit yang mungkin datang lagi. 

 Di dalam hati, aku tertawa terpingkal-pingkal. Aku berjalan masuk ke kelas dengan langkah santai, acuh tak acuh terhadap tatapan menusuk dari Biru yang masih terasa sakit di kakinya. Biarlah, toh dia yang mulai mengganggu ketika aku hendak masuk kelas. 

Beberapa teman kami yang menyaksikan, segera mengalihkan pandangan, takut terkena amarah Biru. 

 "Sialan lo! Untung aja lo cewek, kalau nggak lo udah habis sama gue!" seru Biru dengan wajah merah padam, perasaan sakit dan marah bercampur. 

Aku hanya menyeringai, mengabaikannya dan duduk di bangkuku, menunggu Lala teman sebangku untuk mulai belajar bersama.

"Aya, hati-hati lo ya. Udah nggak usah lawan Biru lagi," bisik Lala dengan serius sambil mencuri pandang ke arah Biru dan kru-nya. "Gue khawatir kalau lo di apa-apain sama mereka." 

 "Gue harus berani, La. Kalau gue takut, dia jadi tambah kesetanan mem-bully gue," sahutku dengan suara rendah, pandangan tetap mengawasi Biru yang duduk berdampingan dengan Jeno dan Radit di sudut kelas, masing-masing seolah membentuk barisan pembela setia. 

 Tiba-tiba, keheningan kami buyar saat Bu Ana memasuki ruangan dengan langkah gesit. "Selamat pagi, anak-anak," sambutnya ceria. 

"Selamat pagi, Bu," jawab kami kompak.

 "Siapkan buku dan kita sambung pelajaran yang tertunda," lanjut Bu Ana sambil berjalan mengitari kelas. Semua patuh, kecuali Biru. Bu Ana menghampirinya dengan tatapan tajam.

 "Biru, mana bukumu? Kenapa tidak kau keluarkan?" Kami menahan napas, menantikan adegan selanjutnya. Biru, dengan santainya menjawab tanpa mengindahkan teguran Bu Ana, "Buku saya dibawa Cahaya, Bu," ucapnya sambil menoleh kepadaku dengan tatapan yang menyiratkan tantangan.

Ketika kata-kata itu terlontar, tiba-tiba saja semua mata tertuju padaku. Aku dapat merasakan pandangan tajam dari teman-teman sekelasku, seolah-olah mereka semua ingin mengonfirmasi apakah memang aku yang membawa buku Biru. Aku merasa begitu terjepit. 

 “Gue?” ucapku sambil menunjuk diri sendiri dengan kebingungan yang tergambar jelas di wajahku. Kepala kusegerakan menggeleng cepat. “Nggak Bu, saya nggak bawa buku Biru,” sahutku mencoba membantah. 

 Biru tak berhenti menudingku, “Benar Bu, saya nggak bohong. Tadi pagi, Cahaya bilang kalau pinjam buku saya,” katanya lagi. 

Tetapi aku sama sekali tidak ingat meminjam buku apapun dari Biru. Dalam hati aku bertanya-tanya, “Sejak kapan gue pinjam bukunya? Ini mustahil. Apakah dia hanya bermimpi?” sambil aku menggelengkan kepala. 

 “Heh, Biru. Sejak kapan gue pinjam buku lo? Ini buku gue sendiri. Gue nggak pernah tuh pinjam buku lo,” tegas aku, sambil memperlihatkan buku yang kugenggam erat kepada Bu Ana. 

 Biru, dengan senyum sinisnya, hanya diam menyeringai, tak memberikan jawaban. Emosi di kelas mulai memanas. Bu Ana yang sudah tak tahan dengan keributan ini segera mengambil tindakan. 

"Sudah-sudah! Biru kamu keluar!" teriaknya dengan tegas. Dia selalu mengingatkan bahwa setiap siswa harus membawa buku masing-masing sesuai peraturan, dan yang tidak membawa buku tidak diizinkan mengikuti pelajaran hari itu.

Dengan langkah ringan Biru melangkah keluar kelas, bahkan dia bersiul tanpa parasaan bersalah sedikit pun.

Aku menggelengkan kepala. Heran saja, sudah sampai di kelas bukannya belajar tapi malah cari-cari alasan agar keluar kelas tanpa mengikuti pelajaran. Lalu untuk apa berangkat ke sekolah?

Pelajaran terus berlanjut tanpa halangan sedikit pun hingga pergantian pelajaran. Namun Biru sampai sekarang tidak kembali masuk ke kelas.

"Aya, ke kantin yuk," ajak Lala yang sudah berdiri di samping tempatku duduk.

Aku segera memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas. "Ayo, gue udah lapar," ucapku seraya berjalan bersisihan dengan Lala keluar kelas menuju ke kantin.

Suasana di koridor sekolah memang sangat riuh saat jam istirahat. Suara bercakap-cakap dan gelak tawa siswa terdengar memenuhi lorong. Tiba-tiba, suara panggilan memecah kegaduhan, "Aya," seru seseorang. Aku dan Lala, yang sedang asyik bercerita, segera menoleh mencari sumber suara tersebut.

Ketika mataku tertuju pada sosok yang memanggil, bibirku spontan berbisik, "Gery," nama cowok tampan yang ternyata adalah pemilik suara tadi. Rambutnya yang sedikit berantakan dan senyum yang menghiasi wajahnya membuat jantungku berdegup kencang seketika.

Dia mendekat dengan langkah santainya. "Lo mau ke kantin, Aya?" tanya Gery sambil menatapku dengan tatapan yang membuat aku semakin gugup.

"Iya, gue sama Lala mau makan di kantin," jawabku berusaha terdengar tenang. Lala, sahabatku, hanya tersenyum melihat interaksi antara aku dan Gery.

Cowok di depanku itu tersenyum semakin lebar, memamerkan barisan gigi putihnya yang rapi. "Gue ikut ya, gue juga lapar," katanya seraya memegang perutnya yang rata, membuatku dan Lala terkekeh.

Kami bertiga berjalan beriringan menuju kantin. Di sepanjang jalan, siswa lain terlihat sibuk dengan kelompok mereka masing-masing, membuat suasana semakin hidup.

Kami mencari tempat duduk yang cukup untuk bertiga, dan akhirnya memilih meja di sudut kantin yang tidak terlalu ramai. Siang itu, di bawah sorotan matahari yang menembus jendela kantin, kami menikmati makan siang bersama yang penuh tawa dan cerita.

Saat aku, Lala dan Gery menikmati makan siang kami, tiba-tiba Biru datang. Tangan Biru terkepal erat ketika ia melangkah dengan gagah ke meja kami, tatapannya menusuk dan sikapnya yang arogan membuat suasana kantin menjadi tegang. Siswa lain memalingkan muka, mencoba menghindari konfrontasi.

Duduk di seberangku, Lala memegang garpu dan pisau dengan erat, rasa takut terpancar dari matanya. Sementara Gery, dengan dada yang membusung, mencoba untuk menenangkan situasi.

"Ini tempat gue!" teriak Biru, suaranya menggema, menarik perhatian semua orang di kantin. Udara seolah membeku, detik-detik berikutnya terasa seperti jam.

Aku menatap Biru dengan tenang, berusaha untuk tidak terprovokasi. "Perasaan ini tempat umum deh, bukan tempat lo," sahutku dengan suara yang mencoba terdengar tenang namun tegas.

Gery yang tidak ingin situasi semakin memanas, mencoba mengintervensi. "Biru, kita baru aja makan. Lo bisa pilih tempat yang lain," ucapnya, berusaha meredakan ketegangan.

Namun Biru tampaknya tidak terima, matanya menyala dengan api kemarahan. "Nggak usah ikut campur urusan gue. Gue mau duduk di sini. Lo mau apa!" bentaknya, hampir menantang.

Biru menarik kursi di belakangnya dan duduk di sampingku. Dengan santainya ia meraih minumanku dan meminumnya. Sontak saja aku membulatkan kedua mataku. 

"Biru! Itu minuman punya gue!" teriakku kesal saat melihat es boba milikku di sedot oleh cowok lucknut di sampingku itu. 

"Berisik! Bisa nggak sih lo itu nggak teriak-teriak!" seru Biru seraya menyumpal mulutku dengan es boba milikku yang baru saja ia minum itu. 

Artinya sedotan bekasnya masuk ke dalam mulutku.

"Biru! Lo jorok banget sih jadi orang!" teriakku. "Nyebelin banget!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status