Biru ******** sambil menahan sakit di kakinya yang baru saja aku tendang dengan keras tepat di tulang keringnya.
Sambil tertawa lebar, aku meledeknya, "Rasain lo! Emang enak?" Mengancam dengan mata berkilat, aku berteriak, "Apa lo liat-liat, mau gue tendang lagi!" Segera, kaki ku mengayun seolah akan menendang sekali lagi, membuat Biru mundur ketakutan, khawatir akan sakit yang mungkin datang lagi. Di dalam hati, aku tertawa terpingkal-pingkal. Aku berjalan masuk ke kelas dengan langkah santai, acuh tak acuh terhadap tatapan menusuk dari Biru yang masih terasa sakit di kakinya. Biarlah, toh dia yang mulai mengganggu ketika aku hendak masuk kelas. Beberapa teman kami yang menyaksikan, segera mengalihkan pandangan, takut terkena amarah Biru. "Sialan lo! Untung aja lo cewek, kalau nggak lo udah habis sama gue!" seru Biru dengan wajah merah padam, perasaan sakit dan marah bercampur. Aku hanya menyeringai, mengabaikannya dan duduk di bangkuku, menunggu Lala teman sebangku untuk mulai belajar bersama. "Aya, hati-hati lo ya. Udah nggak usah lawan Biru lagi," bisik Lala dengan serius sambil mencuri pandang ke arah Biru dan kru-nya. "Gue khawatir kalau lo di apa-apain sama mereka." "Gue harus berani, La. Kalau gue takut, dia jadi tambah kesetanan mem-bully gue," sahutku dengan suara rendah, pandangan tetap mengawasi Biru yang duduk berdampingan dengan Jeno dan Radit di sudut kelas, masing-masing seolah membentuk barisan pembela setia. Tiba-tiba, keheningan kami buyar saat Bu Ana memasuki ruangan dengan langkah gesit. "Selamat pagi, anak-anak," sambutnya ceria. "Selamat pagi, Bu," jawab kami kompak. "Siapkan buku dan kita sambung pelajaran yang tertunda," lanjut Bu Ana sambil berjalan mengitari kelas. Semua patuh, kecuali Biru. Bu Ana menghampirinya dengan tatapan tajam. "Biru, mana bukumu? Kenapa tidak kau keluarkan?" Kami menahan napas, menantikan adegan selanjutnya. Biru, dengan santainya menjawab tanpa mengindahkan teguran Bu Ana, "Buku saya dibawa Cahaya, Bu," ucapnya sambil menoleh kepadaku dengan tatapan yang menyiratkan tantangan. Ketika kata-kata itu terlontar, tiba-tiba saja semua mata tertuju padaku. Aku dapat merasakan pandangan tajam dari teman-teman sekelasku, seolah-olah mereka semua ingin mengonfirmasi apakah memang aku yang membawa buku Biru. Aku merasa begitu terjepit. “Gue?” ucapku sambil menunjuk diri sendiri dengan kebingungan yang tergambar jelas di wajahku. Kepala kusegerakan menggeleng cepat. “Nggak Bu, saya nggak bawa buku Biru,” sahutku mencoba membantah. Biru tak berhenti menudingku, “Benar Bu, saya nggak bohong. Tadi pagi, Cahaya bilang kalau pinjam buku saya,” katanya lagi. Tetapi aku sama sekali tidak ingat meminjam buku apapun dari Biru. Dalam hati aku bertanya-tanya, “Sejak kapan gue pinjam bukunya? Ini mustahil. Apakah dia hanya bermimpi?” sambil aku menggelengkan kepala. “Heh, Biru. Sejak kapan gue pinjam buku lo? Ini buku gue sendiri. Gue nggak pernah tuh pinjam buku lo,” tegas aku, sambil memperlihatkan buku yang kugenggam erat kepada Bu Ana. Biru, dengan senyum sinisnya, hanya diam menyeringai, tak memberikan jawaban. Emosi di kelas mulai memanas. Bu Ana yang sudah tak tahan dengan keributan ini segera mengambil tindakan. "Sudah-sudah! Biru kamu keluar!" teriaknya dengan tegas. Dia selalu mengingatkan bahwa setiap siswa harus membawa buku masing-masing sesuai peraturan, dan yang tidak membawa buku tidak diizinkan mengikuti pelajaran hari itu. Dengan langkah ringan Biru melangkah keluar kelas, bahkan dia bersiul tanpa parasaan bersalah sedikit pun. Aku menggelengkan kepala. Heran saja, sudah sampai di kelas bukannya belajar tapi malah cari-cari alasan agar keluar kelas tanpa mengikuti pelajaran. Lalu untuk apa berangkat ke sekolah? Pelajaran terus berlanjut tanpa halangan sedikit pun hingga pergantian pelajaran. Namun Biru sampai sekarang tidak kembali masuk ke kelas. "Aya, ke kantin yuk," ajak Lala yang sudah berdiri di samping tempatku duduk. Aku segera memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas. "Ayo, gue udah lapar," ucapku seraya berjalan bersisihan dengan Lala keluar kelas menuju ke kantin. Suasana di koridor sekolah memang sangat riuh saat jam istirahat. Suara bercakap-cakap dan gelak tawa siswa terdengar memenuhi lorong. Tiba-tiba, suara panggilan memecah kegaduhan, "Aya," seru seseorang. Aku dan Lala, yang sedang asyik bercerita, segera menoleh mencari sumber suara tersebut. Ketika mataku tertuju pada sosok yang memanggil, bibirku spontan berbisik, "Gery," nama cowok tampan yang ternyata adalah pemilik suara tadi. Rambutnya yang sedikit berantakan dan senyum yang menghiasi wajahnya membuat jantungku berdegup kencang seketika. Dia mendekat dengan langkah santainya. "Lo mau ke kantin, Aya?" tanya Gery sambil menatapku dengan tatapan yang membuat aku semakin gugup. "Iya, gue sama Lala mau makan di kantin," jawabku berusaha terdengar tenang. Lala, sahabatku, hanya tersenyum melihat interaksi antara aku dan Gery. Cowok di depanku itu tersenyum semakin lebar, memamerkan barisan gigi putihnya yang rapi. "Gue ikut ya, gue juga lapar," katanya seraya memegang perutnya yang rata, membuatku dan Lala terkekeh. Kami bertiga berjalan beriringan menuju kantin. Di sepanjang jalan, siswa lain terlihat sibuk dengan kelompok mereka masing-masing, membuat suasana semakin hidup. Kami mencari tempat duduk yang cukup untuk bertiga, dan akhirnya memilih meja di sudut kantin yang tidak terlalu ramai. Siang itu, di bawah sorotan matahari yang menembus jendela kantin, kami menikmati makan siang bersama yang penuh tawa dan cerita. Saat aku, Lala dan Gery menikmati makan siang kami, tiba-tiba Biru datang. Tangan Biru terkepal erat ketika ia melangkah dengan gagah ke meja kami, tatapannya menusuk dan sikapnya yang arogan membuat suasana kantin menjadi tegang. Siswa lain memalingkan muka, mencoba menghindari konfrontasi. Duduk di seberangku, Lala memegang garpu dan pisau dengan erat, rasa takut terpancar dari matanya. Sementara Gery, dengan dada yang membusung, mencoba untuk menenangkan situasi. "Ini tempat gue!" teriak Biru, suaranya menggema, menarik perhatian semua orang di kantin. Udara seolah membeku, detik-detik berikutnya terasa seperti jam. Aku menatap Biru dengan tenang, berusaha untuk tidak terprovokasi. "Perasaan ini tempat umum deh, bukan tempat lo," sahutku dengan suara yang mencoba terdengar tenang namun tegas. Gery yang tidak ingin situasi semakin memanas, mencoba mengintervensi. "Biru, kita baru aja makan. Lo bisa pilih tempat yang lain," ucapnya, berusaha meredakan ketegangan. Namun Biru tampaknya tidak terima, matanya menyala dengan api kemarahan. "Nggak usah ikut campur urusan gue. Gue mau duduk di sini. Lo mau apa!" bentaknya, hampir menantang. Biru menarik kursi di belakangnya dan duduk di sampingku. Dengan santainya ia meraih minumanku dan meminumnya. Sontak saja aku membulatkan kedua mataku. "Biru! Itu minuman punya gue!" teriakku kesal saat melihat es boba milikku di sedot oleh cowok lucknut di sampingku itu. "Berisik! Bisa nggak sih lo itu nggak teriak-teriak!" seru Biru seraya menyumpal mulutku dengan es boba milikku yang baru saja ia minum itu. Artinya sedotan bekasnya masuk ke dalam mulutku. "Biru! Lo jorok banget sih jadi orang!" teriakku. "Nyebelin banget!"Dengan gerak cepat, aku meraih tisu dan mengelap sudut mulutku. Tak ingin sekecil apapun kuman bertengger di dalam sana. Ekspresi geram tampak jelas di wajahku . "Lo, kalau mau minum, beli sendiri, jangan nyicip punya gue dong!" bentakku kasar sambil menunjuk minumannya yang telah tersentuh bibirku. "Udah gue bilang kalau tempat ini milik gue. Kalau nggak suka, sana keluar!" Keluhan itu meluncur tajam dari mulut Biru yang menunjuk pintu kantin yang terbuka lebar sebagai bukti ia tak main-main. Gery yang berdiri tepat disampingku menggertakkan giginya, menahan amarah. "Harusnya lo yang pergi!" dia membentak balik, suara garang memenuhi udara. Biru bangkit dengan tiba-tiba, mendorong Gery yang langsung terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan. Sinar matanya tajam, penuh kebencian melawan tatapan yang sama dari Gery. Aku yang melihat Biru dan Gery yang sudah sama-sama emosi dan sama-sama mengepalkan tangannya pun membuang napas dengan kasar. "Udah, nggak usah ribut," ucapku menco
"Kebaikan apaan? Emang ada hubungannya gue sama acara itu?" gumam Biru dalam hati."Udah, sana istirahat dulu. Nanti mama akan siapin pakaian buat kamu," ucap Bu Siska sambil mengusap lengan anaknya.Biru mengerutkan dahinya sambil melangkah gontai menuju ke kamarnya. Dalam hati pun bertanya-tanya ada acara apa nanti malam sampai-sampai mamanya akan menyiapkan baju untuknya.Malam harinya, Biru semakin keheranan saat memakai baju batik yang telah di siapkan sang mama untuknya.Biru memandang refleksi dirinya di cermin, memutar-mutar tubuhnya, memastikan tiap jahitan batik itu terlihat sempurna di tubuhnya. Lampu kamar yang remang-remang menambah kesan mistis pada motif batik yang dikenakannya. "Acara apa sih, kok pakai batik segala?" tanyanya lagi, masih belum mengerti kenapa malam itu dia harus berdandan seperti akan pergi ke pesta.Bu Siska tersenyum lebar, matanya berbinar melihat anaknya yang sudah beranjak dewasa. "Ada acara spesial, Nak. Kamu akan tahu nanti," jawabnya, penuh de
Masih sulit dipercaya olehku, bagaimana aku tiba-tiba menjadi tunangan orang yang tak kukenal? Dalam hati gelisah dan pikiran berkecamuk, pertanyaan-pertanyaan tak henti bergelayut. "Gue, tunangan? Siapa, Bi? Besok gue akan menikah?" Kalimat-kalimat itu terus bergema di dalam benakku. Tiba-tiba suara papa memecah lamunanku. "Ayo, Aya, itu keluarga calon tunangan kamu sudah datang," ucapnya seraya menunjuk keluar jendela. Segera pandanganku teralih ke depan rumah. Rombongan mobil telah berhenti, beberapa orang mulai turun. Mataku tertuju pada seorang pria yang seumuran dengan papa dan seorang wanita yang tampak anggun namun cemas. Pria itu memberikan isyarat tangan, mengirimkan dua orang kembali ke dalam mobil yang lalu segera meninggalkan pekarangan rumah dengan aura misterius yang meninggalkan lebih banyak pertanyaan dalam benakku.Mereka berdua berjalan mendekat dan tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan. "Selamat malam, Aya. Saya Pak Indra, ayah dari calon suami kamu," uca
Biru terpaku di tempat, mata birunya melebar dalam ketidakpercayaan. "Nikah sama siapa, Ma?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Rasa panik melanda, bagai badai yang tak terduga, mengingat ia masih tengah duduk di bangku sekolah. Dari ambang pintu, Bu Siska, yang sedang hendak meninggalkan kamar, menoleh dan melemparkan jawaban yang santai. "Tenang saja, yang penting dia perempuan," ucapnya dengan nada yang datar. "Mama, kok jawabnya gitu sih," rengek Biru, kebingungan mewarnai suaranya. Bu Siska menatapnya dengan sorot mata yang tajam, terasa bagai peluru. "Kamu tahu, mama masih kesal sama kamu. Kamu seharusnya yang memasang cincin itu, tapi malah mama yang harus melakukannya. Kamu membuat kami malu, Biru. Sekarang, cepat siapkan dirimu!" geramnya. Meski di luar Biru tampak arogan, di hadapan ibunya, dia seperti lilin yang leleh. Dengan kepala tertunduk, ia mengangguk, namun di dalam hatinya, dia memutar berbagai rencana untuk melarikan diri. Dengan gerakan cepat, Biru mem
Panik, itulah yang kurasakan saat Biru mendekatkan wajahnya, jantungku berdetak kencang, pikiranku melayang pada segala kenangan pahit yang pernah terjadi di antara kami. Namun, saat bibirnya menyentuh keningku, aku merasakan kehangatan yang tak terduga. Kecupan itu singkat, namun cukup untuk membuat detak jantungku yang sebelumnya berpacu, kini berhenti sejenak.Saat aku membuka mata, tepuk tangan riuh rendah menggema di ruangan itu, memecah keheningan yang sempat tercipta. Bu Siska tersenyum lebar, kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mengucapkan, "Sekarang kalian sudah resmi menjadi suami istri."Papa kemudian menambahkan, "Kalian bisa tinggal di rumah ini atau di rumah Biru, bebas." Kata-katanya menggantung di udara, menambah ketegangan yang sudah terasa. Aku dan Biru saling bertukar pandang, matanya mencoba menafsirkan apa yang ada di benakku, namun aku hanya bisa memberikan tatapan yang kosong.Kami berdua berdiri di sana, dikelilingi oleh kerabat dan keluarga dekat namun s
Setelah pintu kamarku tertutup sempurna, aku bergegas menuju ke cermin besar yang terpampang di sudut ruangan. Kedua tangan berusaha sekuat tenaga menarik resleting gaun pengantin yang melekat erat di tubuhku. Aku menggerutu dalam hati, frustrasi karena gaun itu seperti menolak untuk dilepaskan dari tubuhku.“Sial! Kenapa susah banget lepasinnya!” keluhku dengan nada tinggi, sambil terus berjuang dengan resleting itu. Akhirnya, dengan satu tarikan keras, resleting itu terbuka dan punggungku terpampang nyata.Ceklek!Suara pintu yang terbuka membuatku tersentak. Refleks, aku berbalik badan, dan mataku langsung bertemu dengan pandangan Biru yang sudah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar.“Biru!” teriakku kesal, sambil cepat-cepat membalikkan badan lagi, berusaha menutupi punggung terbuka dengan kedua tangan. Hatiku berdebar keras, tidak mengerti mengapa dia bisa ada di sini.Biru hanya menyipitkan matanya, seolah mencoba memahami situasi, namun wajahnya tidak menunjukkan emosi
"Emang enak di cuekin," ucapku sambil tersenyum senang melihat adik tiriku itu di tinggal begitu saja oleh Biru, suamiku.Aku berdiri dengan menyandarkan punggung di dinding dan melipat kedua tangan di depan dada.Langkah Anggia yang gemas dan penuh amarah terdengar nyaring di lorong rumah yang sunyi. Kedua tangannya terkepal, seolah siap untuk melepaskan segala kekesalan yang dipendam. Dia berhenti sejenak, menatapku dengan pandangan tajam yang membakar. "Apaan sih lo! Emang kak Biru itu peduli sama lo!" suaranya memecah kesunyian, sinis dan menyakitkan.Aku hanya tersenyum simpul, menanggapi setiap kata yang dilontarkannya dengan ketenangan yang terlatih. "Emangnya kenapa kalau Biru nggak peduli sama gue?" tanyaku, suara penuh ketidakpedulian. Aku berdiri tegak, menghadapinya dengan wajah datar. "Gue pun juga nggak berharap kalau Biru peduli sama gue. Bodo amat! Kita menikah karena perjodohan konyol, gue dan Biru sama-sama nggak mengharapkan."Anggia mendengus keras, frustrasi de
Ketegangan memenuhi ruangan saat aku mendapati diriku diperintah oleh Biru untuk mengerjakan tugasnya. "Dia pikir gue pembantunya, apa?" gumamku dalam hati sambil tangan terus mengetik jawaban tugas yang bukan milikku. "Tunggu aja, Biru. Lo pasti akan menyesal telah memperlakukan gue seperti ini!" ucapku penuh ancaman namun masih terkendali. Kesal, namun dengan segala upaya aku menyelesaikan tugas tersebut, sambil dalam hati tertawa kecil membayangkan kejadian esok hari di sekolah. "Gue udah nggak sabar lihat wajah lo yang panik," bisikku sembari menyimpan buku tugas Biru dan membaringkan tubuh, melupakan tentang keberadaan Biru yang entah dimana. Sungguh aku tidak peduli.Dalam benakku, skenario demi skenario mulai terbentuk, setiap detilnya dirancang untuk membuat Biru merasakan penyesalan mendalam. Seulas senyum licik merekah di wajahku, membayangkan kepanikan yang akan melanda Biru ketika mengetahui balasan yang telah aku siapkan."Jadi tidak sabar menunggu pagi," gumamnya