Dengan gerak cepat, aku meraih tisu dan mengelap sudut mulutku. Tak ingin sekecil apapun kuman bertengger di dalam sana. Ekspresi geram tampak jelas di wajahku .
"Lo, kalau mau minum, beli sendiri, jangan nyicip punya gue dong!" bentakku kasar sambil menunjuk minumannya yang telah tersentuh bibirku. "Udah gue bilang kalau tempat ini milik gue. Kalau nggak suka, sana keluar!" Keluhan itu meluncur tajam dari mulut Biru yang menunjuk pintu kantin yang terbuka lebar sebagai bukti ia tak main-main. Gery yang berdiri tepat disampingku menggertakkan giginya, menahan amarah. "Harusnya lo yang pergi!" dia membentak balik, suara garang memenuhi udara. Biru bangkit dengan tiba-tiba, mendorong Gery yang langsung terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan. Sinar matanya tajam, penuh kebencian melawan tatapan yang sama dari Gery. Aku yang melihat Biru dan Gery yang sudah sama-sama emosi dan sama-sama mengepalkan tangannya pun membuang napas dengan kasar. "Udah, nggak usah ribut," ucapku mencoba meredakan suasana. "Oke, gue akan pergi." Pilihan kata-kata mengalah, demi menghindari pertarungan yang mungkin sebentar lagi akan meledak. Dengan langkah cepat, aku menarik tangan Lala yang terlihat pucat pasi karena ketakutan. Kami meninggalkan kantin yang kini terasa sumpek, selera makanku benar-benar lenyap. Lala menggenggam tanganku semakin erat, tubuhnya bergetar hebat seperti dilanda gempa. Dalam keadaan seperti itu, kata-kata hanya bisa sedikit menghibur. "Udah, nggak usah takut La. Lo aman sama gue," bisikku sambil memandang matanya yang berkaca-kaca. Dia menggigit bibirnya, ketakutan masih tergambar jelas. "Tapi Aya, gue takut kalau lo diapa-apain sama Biru. Dia kayak monster yang siap menerkam," katanya dengan suara gemetar. Aku hanya tersenyum mencoba meyakinkannya, "Tenang aja, Biru nggak akan berani sentuh gue. Percaya sama gue, ya." Sementara itu, Gery yang tiba-tiba muncul memberikan semangat tambahan, "Tenang, La. Gue juga di sini kok, nggak akan biarin apa-apa terjadi sama Cahaya." Gery menatapku dengan senyuman penuh keyakinan. Aku merasa jantungku berdegup kencang, merasakan kehangatan dari kata-kata Gery, sementara Lala memberikan senyum tipis lalu mengangguk pelan. Kami bertiga kemudian melangkah meninggalkan area itu, menuju ke kelas masing-masing dengan pikiran dan rasa yang masih belum sepenuhnya tenang. Ketika kami melangkahkan kaki masuk ke dalam kelas, Lala berbisik padaku, ada semburat kekhawatiran di suaranya. "Aya, liat tuh si Biru liatan lo mulu," ucapnya sambil memiringkan kepalanya ke arah Biru. Aku segera menoleh, menangkap tatapan Biru yang segera dialihkannya begitu bertemu dengan pandanganku. Merasa sedikit tidak nyaman, aku membalas bisikan Lala dengan nada berusaha santai. "Udah biarin aja, nggak usah lo liatin mulu. Katanya lo takut tapi kok lo ngadep sana mulu. Jangan-jangan lo naksir ya sama dia," candaanku sembari menahan tawa. Tak disangka, Lala terlihat kesal dan seketika mencubit pinggangku dengan cukup kuat. "Apaan sih Aya!" sergahnya, membuat beberapa teman sekelas menoleh ke arah kami. Aku hanya bisa tertawa terbahak, menikmati momen kecil kebersamaan kami di tengah rutinitas sekolah yang kadang bisa terasa monoton. Aku dan Lala berjalan menembus keramaian koridor sekolah, sambil suara bel pulang bergema. Di belakang, kelompok Biru bersama Jeno dan Radit terlihat berjalan cepat menuju parkiran. Lala sesekali menoleh ke belakang dengan raut wajah tegang. "Hei, La, santai saja," bisikku sambil menepuk-nepuk bahu Lala yang kaku. "Ada apa sih?" "Ada gengnya Biru," jawab Lala seraya matahari sore menyilaukan pandangannya. Aku mengerutkan dahi, lalu coba menerka dengan nada bersahabat. "Tapi kenapa pipi lo merah gitu, La?" Sontak, ekspresi Lala berubah menjadi lebih gusar, seakan aku telah memencet tombol paniknya. "Lo suka Jeno, ya? Atau Radit?" tanyaku lagi dengan nada yang menggoda. Dengan refleks, Lala mencubit lenganku keras. "Aduh, kenapa sih?" keluhku sambil mengusap lenganku yang terasa perih. Seraya merajut senyum, aku tak menyerah untuk mengorek lebih dalam. "Udah ngaku aja, La. Rahasia kita kok." "Mana ada. Nggak kok," elaknya lagi sembari menepis tangan saya dengan isyarat tidak mau tahu. Tapi tersenyum canggung. Tingkah Lala yang salah tingkah ini selalu berhasil mengundang tawaku. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil menertawakan kejenakaan sahabatku. "Aya, gue udah di jemput tuh. Lo hati-hati ya," Lala menunjuk ke arah mobil yang terparkir dekat gerbang. Aku hanya mengangguk tanda setuju. “Oke, hati-hati juga ya, Lala. Sampai ketemu besok,” kataku, melambaikan tangan menanggapi lambaian Lala. Setelah berpisah, langkahku menuju parkiran disertai tawa yang ku tahan. Di parkiran, raut wajah Biru tampak merah padam, mulutnya mondar-mandir menggerutu. “Rasain lo! Itu akibatnya kalau lo berani sama Cahaya Abadi!” batinku sambil melirik ban motor Biru yang kempes. “Kenapa? Kempes ya? Tinggal dorong ke depan aja. Tuh, tukang tambal ban ada di sana,” ucapku seraya menunjuk bengkel tak jauh dari sekolahan, suaraku santai namun penuh dengan ejekan terselubung. “Pasti lo yang ngempesin ban gue!” teriak Biru, menuding dengan emosi yang memuncak. Aku hanya tersenyum sinis. “Jangan asal tuduh, bro. Fitnah itu lebih kejam dari pada nikah,” balasku, nada suaraku penuh tantangan. “Sialan lo! Awas aja, Cahaya redup!” ancam Biru sambil menggertakkan gigi. Aku hanya mengangkat visor helmku dan menjulurkan lidah, kemudian memacu motorku meninggalkan Biru yang semakin berang, namun tak ada sedikitpun penyesalan dalam hatiku. Saat aku melangkah masuk ke dalam rumah, suasana yang tidak biasa langsung menyambutku. Ruang tamu tampak seperti medan perang, dengan orang-orang yang berlalu-lalang membawa bermacam-macam barang. Di tengah keramaian itu, papaku berdiri, mengarahkan mereka dengan suara yang terdengar tegas dan teratur. "Pa, tumben di rumah?" sapaanku menerobos kebisingan itu. Papaku menoleh, matanya berbinar ketika melihatku. "Iya, sayang. Besok ada acara penting. Kamu harus di rumah ya," katanya, suaranya lembut, menyelimuti rasa penasaran yang mulai memuncak dalam dadaku. Dia mendekat, memeluk pundakku dengan hangat. "Acara apa, Pa?" desakku, rasa ingin tahu itu kian menggebu. Papa hanya tertawa, suara tawanya menggema di antara suara ribut di ruang tamu. "Pokoknya ada acara spesial. Kamu harus di rumah," ujarnya, senyumannya misterius. "Oke, Pa," jawabku, meski dalam hati bertumpuk pertanyaan yang belum terjawab. Aku melirik sekeliling, mencoba menerka apa yang sedang dipersiapkan, namun semua masih terlihat samar, meninggalkan aku dalam tanya yang makin dalam. *** Di sisi lain, Biru tengah menahan kekesalan karena ban motornya kempes. Ia bersama Jeno dan Radit membawa motor sport hitam itu ke bengkel yang tak jauh dari sekolah. "Sialan, pasti si Cahaya itu yang kempesin motor gue!" seru Biru kesal. "Ngomong-ngomong, Cahaya itu cantik juga ya," celetuk Radit. Biru yang kesal pun menoyor kepala Radit yang memakai helm sambil menatap tajam sahabatnya itu. "Sorry bro, namanya juga gue cowok normal, liat yang bening gitu gue juga ngiler kali," ucap Radit sambil tertawa. "Udah-udah, ayo pulang. Nanti malam kita ngumpul di base camp," ucap Jeno menengahi. Mereka bertiga pun berpisah. Sesampainya di rumah Biru di sambut hangat oleh Bu Siska dan Pak Indra tampak datar-datar saja. "Bi, sayang. Sini kamu duduk dulu," ucap Bu Siska menepuk sofa di sampingnya. Meminta anak semata wayangnya untuk duduk di sampingnya. "Ada apa sih Ma?" Biru dengan malas duduk di sofa di samping mamanya. Bu Siska tersenyum lembut. "Nanti malam, kamu ikut mama sama papa ya. Ada acara penting di rumah teman papa," ucap Bu Siska dengan menarik tangan putranya dan di bawanya ke dalam pangkuannya. "Nggak ah, Ma. Nanti malam Biru ada acara sendiri," jawab Biru menolak ajakan mamanya. "Mau tidak mau, kamu harus ikut. Semua demi kebaikan kamu!" seru Pak Indra dengan menatap tajam Biru. "Tapi Pa," Bu Siska menggenggam erat tangan Biru, matanya berkaca-kaca sambil menggelengkan kepalanya menatap putranya. Memintanya untuk tidak membantah apa yang di ucapkan oleh papanya."Kebaikan apaan? Emang ada hubungannya gue sama acara itu?" gumam Biru dalam hati."Udah, sana istirahat dulu. Nanti mama akan siapin pakaian buat kamu," ucap Bu Siska sambil mengusap lengan anaknya.Biru mengerutkan dahinya sambil melangkah gontai menuju ke kamarnya. Dalam hati pun bertanya-tanya ada acara apa nanti malam sampai-sampai mamanya akan menyiapkan baju untuknya.Malam harinya, Biru semakin keheranan saat memakai baju batik yang telah di siapkan sang mama untuknya.Biru memandang refleksi dirinya di cermin, memutar-mutar tubuhnya, memastikan tiap jahitan batik itu terlihat sempurna di tubuhnya. Lampu kamar yang remang-remang menambah kesan mistis pada motif batik yang dikenakannya. "Acara apa sih, kok pakai batik segala?" tanyanya lagi, masih belum mengerti kenapa malam itu dia harus berdandan seperti akan pergi ke pesta.Bu Siska tersenyum lebar, matanya berbinar melihat anaknya yang sudah beranjak dewasa. "Ada acara spesial, Nak. Kamu akan tahu nanti," jawabnya, penuh de
Masih sulit dipercaya olehku, bagaimana aku tiba-tiba menjadi tunangan orang yang tak kukenal? Dalam hati gelisah dan pikiran berkecamuk, pertanyaan-pertanyaan tak henti bergelayut. "Gue, tunangan? Siapa, Bi? Besok gue akan menikah?" Kalimat-kalimat itu terus bergema di dalam benakku. Tiba-tiba suara papa memecah lamunanku. "Ayo, Aya, itu keluarga calon tunangan kamu sudah datang," ucapnya seraya menunjuk keluar jendela. Segera pandanganku teralih ke depan rumah. Rombongan mobil telah berhenti, beberapa orang mulai turun. Mataku tertuju pada seorang pria yang seumuran dengan papa dan seorang wanita yang tampak anggun namun cemas. Pria itu memberikan isyarat tangan, mengirimkan dua orang kembali ke dalam mobil yang lalu segera meninggalkan pekarangan rumah dengan aura misterius yang meninggalkan lebih banyak pertanyaan dalam benakku.Mereka berdua berjalan mendekat dan tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan. "Selamat malam, Aya. Saya Pak Indra, ayah dari calon suami kamu," uca
Biru terpaku di tempat, mata birunya melebar dalam ketidakpercayaan. "Nikah sama siapa, Ma?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Rasa panik melanda, bagai badai yang tak terduga, mengingat ia masih tengah duduk di bangku sekolah. Dari ambang pintu, Bu Siska, yang sedang hendak meninggalkan kamar, menoleh dan melemparkan jawaban yang santai. "Tenang saja, yang penting dia perempuan," ucapnya dengan nada yang datar. "Mama, kok jawabnya gitu sih," rengek Biru, kebingungan mewarnai suaranya. Bu Siska menatapnya dengan sorot mata yang tajam, terasa bagai peluru. "Kamu tahu, mama masih kesal sama kamu. Kamu seharusnya yang memasang cincin itu, tapi malah mama yang harus melakukannya. Kamu membuat kami malu, Biru. Sekarang, cepat siapkan dirimu!" geramnya. Meski di luar Biru tampak arogan, di hadapan ibunya, dia seperti lilin yang leleh. Dengan kepala tertunduk, ia mengangguk, namun di dalam hatinya, dia memutar berbagai rencana untuk melarikan diri. Dengan gerakan cepat, Biru mem
Panik, itulah yang kurasakan saat Biru mendekatkan wajahnya, jantungku berdetak kencang, pikiranku melayang pada segala kenangan pahit yang pernah terjadi di antara kami. Namun, saat bibirnya menyentuh keningku, aku merasakan kehangatan yang tak terduga. Kecupan itu singkat, namun cukup untuk membuat detak jantungku yang sebelumnya berpacu, kini berhenti sejenak.Saat aku membuka mata, tepuk tangan riuh rendah menggema di ruangan itu, memecah keheningan yang sempat tercipta. Bu Siska tersenyum lebar, kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mengucapkan, "Sekarang kalian sudah resmi menjadi suami istri."Papa kemudian menambahkan, "Kalian bisa tinggal di rumah ini atau di rumah Biru, bebas." Kata-katanya menggantung di udara, menambah ketegangan yang sudah terasa. Aku dan Biru saling bertukar pandang, matanya mencoba menafsirkan apa yang ada di benakku, namun aku hanya bisa memberikan tatapan yang kosong.Kami berdua berdiri di sana, dikelilingi oleh kerabat dan keluarga dekat namun s
Setelah pintu kamarku tertutup sempurna, aku bergegas menuju ke cermin besar yang terpampang di sudut ruangan. Kedua tangan berusaha sekuat tenaga menarik resleting gaun pengantin yang melekat erat di tubuhku. Aku menggerutu dalam hati, frustrasi karena gaun itu seperti menolak untuk dilepaskan dari tubuhku.“Sial! Kenapa susah banget lepasinnya!” keluhku dengan nada tinggi, sambil terus berjuang dengan resleting itu. Akhirnya, dengan satu tarikan keras, resleting itu terbuka dan punggungku terpampang nyata.Ceklek!Suara pintu yang terbuka membuatku tersentak. Refleks, aku berbalik badan, dan mataku langsung bertemu dengan pandangan Biru yang sudah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar.“Biru!” teriakku kesal, sambil cepat-cepat membalikkan badan lagi, berusaha menutupi punggung terbuka dengan kedua tangan. Hatiku berdebar keras, tidak mengerti mengapa dia bisa ada di sini.Biru hanya menyipitkan matanya, seolah mencoba memahami situasi, namun wajahnya tidak menunjukkan emosi
"Emang enak di cuekin," ucapku sambil tersenyum senang melihat adik tiriku itu di tinggal begitu saja oleh Biru, suamiku.Aku berdiri dengan menyandarkan punggung di dinding dan melipat kedua tangan di depan dada.Langkah Anggia yang gemas dan penuh amarah terdengar nyaring di lorong rumah yang sunyi. Kedua tangannya terkepal, seolah siap untuk melepaskan segala kekesalan yang dipendam. Dia berhenti sejenak, menatapku dengan pandangan tajam yang membakar. "Apaan sih lo! Emang kak Biru itu peduli sama lo!" suaranya memecah kesunyian, sinis dan menyakitkan.Aku hanya tersenyum simpul, menanggapi setiap kata yang dilontarkannya dengan ketenangan yang terlatih. "Emangnya kenapa kalau Biru nggak peduli sama gue?" tanyaku, suara penuh ketidakpedulian. Aku berdiri tegak, menghadapinya dengan wajah datar. "Gue pun juga nggak berharap kalau Biru peduli sama gue. Bodo amat! Kita menikah karena perjodohan konyol, gue dan Biru sama-sama nggak mengharapkan."Anggia mendengus keras, frustrasi de
Ketegangan memenuhi ruangan saat aku mendapati diriku diperintah oleh Biru untuk mengerjakan tugasnya. "Dia pikir gue pembantunya, apa?" gumamku dalam hati sambil tangan terus mengetik jawaban tugas yang bukan milikku. "Tunggu aja, Biru. Lo pasti akan menyesal telah memperlakukan gue seperti ini!" ucapku penuh ancaman namun masih terkendali. Kesal, namun dengan segala upaya aku menyelesaikan tugas tersebut, sambil dalam hati tertawa kecil membayangkan kejadian esok hari di sekolah. "Gue udah nggak sabar lihat wajah lo yang panik," bisikku sembari menyimpan buku tugas Biru dan membaringkan tubuh, melupakan tentang keberadaan Biru yang entah dimana. Sungguh aku tidak peduli.Dalam benakku, skenario demi skenario mulai terbentuk, setiap detilnya dirancang untuk membuat Biru merasakan penyesalan mendalam. Seulas senyum licik merekah di wajahku, membayangkan kepanikan yang akan melanda Biru ketika mengetahui balasan yang telah aku siapkan."Jadi tidak sabar menunggu pagi," gumamnya
"Biru sialan! Gue benci sama lo!" teriakku sambil menatap mobil yang di kendarai olehnya yang kian menjauh meninggalkan aku sendirian di tempat ini.Rasa marah, benci, dan kesal menjadi satu. Mungkin saat ini kepalaku sudah keluar asapnya. Entah kenapa ingin rasanya aku marah dengan papa yang bisa-bisanya mempunyai ide menjodohkanku dengan cowok yang tak punya hati itu. Siapa lagi kalau bukan Biru sialan itu."Astaga! Bisa telat nih gue," gumamku saat melihat jam yang ada di pergelangan tanganku. Jarak tempatku berdiri dengan sekolah masih sangat jauh. Dan sekarang aku tak tahu harus bagaimana. Segera aku mengambil ponselku untuk memesan taksi atau ojek online yang bisa membawaku ke sekolah dengan cepat."Astaga! Kenapa nggak ada satu pun ojek yang bisa aku pesan? Taksi pun tak ada," desahku pelan. Tak ada lagi harapanku untuk tiba di sekolah tepat waktu.Sudah bisa di tebak aku akan terlambat ke sekolah dan akan mendapat hukuman.Namun, tiba-tiba secercah harapan muncul saat mata i
Biru mendekatiku yang tengah terkulai tak berdaya di atas kasur. Cahaya sore yang malas-malasan menerobos masuk melalui celah jendela, menambah kelesuan di ruang itu. Dengan lembut, ia menggoyang-goyangkan bahu ku, penuh perhatian. "Aya, kamu masih ingat tawaran mama nggak?" tanyanya dengan suara yang menggema kehangatan. Aku mengerjap, berusaha mengumpulkan ingatan yang terasa berantakan. "Yang mana?" Aku memiringkan kepala, mencoba memori yang berkelebat tak pasti. "Aku nggak ingat," jawabku akhirnya, sambil menghela napas panjang.Suasana kamar yang hanya diterangi cahaya lampu tidur, aku terbaring lemas di atas kasur dengan pikiran yang melayang-layang. Biru, dengan raut wajah yang kecewa, ikut berbaring di kasur sambil memegang ponselnya. "Yang liburan itu loh, kamu mau nggak?" tanya Biru dengan nada yang sedikit memaksa, mencoba menggoda ku dengan gambar-gambar destinasi yang indah di layar ponselnya.Aku hanya menghela napas, mataku yang sayu menatap ke arah Biru, "Nggak,
Waktu seakan berlari, mengejar detik yang tak tergenggam. Papa Erwin baru saja tiba dari rumah sakit, dan hari ini adalah hari ujian yang menentukan untuk aku dan Biru. Saat sarapan, suara papa memecah keheningan. "Kalian sudah persiapkan diri dengan matang, aku yakin kalian berdua bisa meraih nilai sempurna," katanya dengan tatapan yang menunjukkan kepercayaan mendalam. Biru, dengan senyuman simpulnya, menanggapi, "Semoga Pa, doakan Biru ya," katanya sambil sesekali melirik ke arahku. Papa mengangguk, tangannya terasa hangat di pundak Biru. "Tentu, aku doakan kalian berdua," sahutnya seraya tersenyum. Biru mendekat, berbisik dengan nada gurau namun serius, "Jangan lupa janji kamu. Kalau aku dapat nilai tinggi, aku akan mendapat hak ku sebagai suamimu. Otomatis aku resmi menjadi suami kamu ya." Sejenak, aku terdiam, merasakan detak jantungku yang memburu. "Benarkah sudah saatnya?" gumamku dalam hati sambil mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran itu terus bergulat di kepala, mem
"Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku
Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal
Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s
Dering telepon dari Biru memecah kesunyian malam yang mendebarkan. Suaranya terdengar panik, "Cepat ke rumah sakit sekarang!" Jantungku langsung berdegup kencang. Otakku membayangkan segala kemungkinan yang terburuk. Tanpa berpikir panjang, aku lari menuju rumah sakit, meninggalkan peluang untuk menangkap ob yang mungkin terlibat meracuni Papa. Kepanikan itu menguasai setiap langkahku.Dengan napas tersengal-sengal, aku melompat keluar dari mobil dan berlari secepat kilat menyusuri koridor rumah sakit yang terasa begitu panjang. Lampu-lampu overhead berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang bergerak di sepanjang dinding. Setiap detik terasa seperti jam, dan jantungku berdebar keras, seolah ingin meledak keluar dari dada.Ketika sampai di ruang VVIP, aku hampir-hampir terjatuh karena tergesa-gesa. Mengambil napas dalam-dalam, aku menekan handle pintu dan mendorongnya dengan lembut. "Papa," suaraku bergetar saat aku memanggilnya. Aku melihat Biru duduk di samping ranjang dengan ra
Dengan langkah yang ringan dan hening, aku menerobos ke dalam kegelapan kantor yang sudah sepi. Berkat pakaian serba hitam yang kukenakan, aku seperti bayangan yang sulit terlihat. Ruangan demi ruangan kulewati tanpa suara. Sesekali, cahaya dari lampu jalan yang masuk melalui jendela memantulkan siluetku di dinding.Mataku tertuju pada sosok yang tampak bergerak di ujung koridor. Jantungku berdegup kencang, namun setelah menunggu beberapa saat, aku menghela napas lega. Itu hanya pak satpam yang sedang melakukan ronda malam. Aku menunggu hingga suara langkah kaki itu menghilang sebelum aku melanjutkan misi.Dengan perlahan, aku mengintip ke dalam ruangan papa. "Cangkir kopi bekas papa," bisikku saat melihat meja kerja yang sudah rapi tanpa ada satu pun dokumen yang tersisa. Aku menyusuri ruangan itu, membuka setiap laci yang ada dengan harapan menemukan sesuatu yang terlewatkan. Namun, nihil. Tidak ada satu petunjuk pun yang tertinggal, semuanya telah bersih.Aku berdiri di tengah ruan
Mataku berkaca-kaca, aku menatap Paman Rudi dengan penuh harap ketika dia melangkah keluar dari ruang perawatan. Bibirku gemetar sedikit saat aku bertanya, "Apa yang terjadi sama Papa, Paman? Kenapa Papa bisa sakit?" Tangan Paman Rudi yang hangat memegang bahuku dengan penuh perhatian. "Tenang, Aya, Papa kamu baik-baik saja," ujar Paman Rudi dengan suara yang menenangkan. Cahaya lampu lorong rumah sakit itu terasa begitu menyilaukan bagi ku, seolah mencerminkan kecemasan yang melanda hatiku. Tangisan ku pecah, suara isakan terdengar begitu pilu di lorong yang sunyi. Paman Rudi, dengan ekspresi penuh kekhawatiran, mengusap punggung ku perlahan, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah ketakutan yang melanda.Paman Rudi menarik napas dalam-dalam, menatap aku dan suamiku, Biru, yang duduk di sampingnya dengan mata yang sayu. "Tadi papamu muntah darah," ungkapnya, suaranya berat, mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk tidak membuat anak dari atasannya ini semakin larut dalam