Share

Bab 6

Biru terpaku di tempat, mata birunya melebar dalam ketidakpercayaan. "Nikah sama siapa, Ma?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Rasa panik melanda, bagai badai yang tak terduga, mengingat ia masih tengah duduk di bangku sekolah. 

 Dari ambang pintu, Bu Siska, yang sedang hendak meninggalkan kamar, menoleh dan melemparkan jawaban yang santai. "Tenang saja, yang penting dia perempuan," ucapnya dengan nada yang datar. 

 "Mama, kok jawabnya gitu sih," rengek Biru, kebingungan mewarnai suaranya. 

 Bu Siska menatapnya dengan sorot mata yang tajam, terasa bagai peluru. "Kamu tahu, mama masih kesal sama kamu. Kamu seharusnya yang memasang cincin itu, tapi malah mama yang harus melakukannya. Kamu membuat kami malu, Biru. Sekarang, cepat siapkan dirimu!" geramnya. 

 Meski di luar Biru tampak arogan, di hadapan ibunya, dia seperti lilin yang leleh. Dengan kepala tertunduk, ia mengangguk, namun di dalam hatinya, dia memutar berbagai rencana untuk melarikan diri. 

 Dengan gerakan cepat, Biru membuka jendela kamarnya dan melirik ke luar. Setelah yakin keadaan aman, ia melompat keluar. "Cuma segini, Pa, pengamanannya?" gumamnya dengan nada mengejek, takjub bahwa keamanan rumahnya begitu mudah untuk ditembus.

Langkah Biru baru saja dimulai ketika tiba-tiba ada yang mencengkeram baju bagian belakangnya dengan kuat. Ia menoleh dan mendapati Om Bram, tangan kanan Pak Indra, dengan tatapan tajam. 

 "Mau kemana? Jangan kira aku nggak tau kalau kamu lompat dari jendela. Sejak tadi aku ngawasin kamu," ucap Om Bram dengan suara yang rendah tapi penuh ancaman. 

 Biru menghela napas berat, raut wajahnya mencerminkan frustrasi dan kemarahan yang mendalam. "Lepas! Gue nggak mau nikah, Om!" teriaknya sambil dengan keras menepis tangan Bram. 

 Perebutan yang keras terjadi di antara mereka. Biru terus berusaha melepaskan diri, tapi dengan cepat Bram berhasil menguasai dan menyeretnya kembali. 

 "Cuma segini kemampuan kamu? Ketua geng?" cibir Bram dengan sinisme yang menajam. 

 Sementara itu, Pak Indra yang telah berdiri tidak jauh dari mereka, mengarahkan pandangan dinginnya kepada Biru. "Jangan biarkan dia di dalam mobil sendiri," perintahnya kepada Bram, yang kemudian dengan taat mendorong Biru ke dalam mobil.

***

Aku mengepal erat tangan yang terasa dingin, berusaha meredakan kegugupan yang menghantui sejak pagi. Dua makeup artist sibuk dengan jemari terampil mereka, menyapukan bedak dan eyeshadow di wajahku. 

"Mbak Aya cantik banget, pasti pengantin prianya juga tampan," komentar salah satunya sambil mengatur gaun putih yang melingkar di tubuhku. 

Aku membalas dengan senyuman tipis. Sebuah bayangan calon suamiku yang tak pernah kutemui sejak ia tidak muncul saat tunangan kami membuatku merasa was-was. 

 "Kalau nanti dia nggak datang, aku pasti malu," bisikku lirih, perasaan malu dan khawatir berseliweran dalam pikiranku.

 Ketakutan itu makin menjadi ketika Anggia tiba-tiba berteriak kasar, "Heh, Aya! Lo cepat keluar. Di panggil papa!" Mata Anggia menyapu tubuhku dari atas sampai bawah dengan penuh kebencian.

Anggia menarikku dengan kekuatan yang cukup besar, membuatku hampir terjatuh. "Lo dengar nggak sih gue ngomong apa. Buruan turun!" teriaknya, urat-urat di lehernya tampak menonjol, matanya menyala-nyala penuh amarah.

"Apaan sih lo! Gue bisa jalan sendiri tanpa lo dampingi," balasku dengan nada tinggi, berusaha melepaskan genggaman tangannya yang semakin mengencang.

"Jangan sok lo! Ingat, calon suami lo juga nggak akan datang. Jadi lo nggak usah ngerasa sok cantik!" Anggia menyindir dengan nada sinis, mencoba menghunjamkan setiap kata ke dalam hatiku.

Sudut bibirku terangkat menjadi senyum sinis. "Kenapa? Lo iri sama gue? Gue emang lebih cantik kok," ucapku sambil menggoda, melihat wajah Anggia yang semakin memerah karena marah.

"Halah, bentar lagi juga lo bakal malu. Cepat keluar," desisnya, mendorongku agar bergerak lebih cepat. Kedua tangannya masih menggenggam lenganku, tak memberiku kesempatan untuk melawan.

Langkahku pelan menelusuri lorong rumah bersama Anggita yang mengenggam tanganku. Dari ujung koridor, Papa dan Tante Ayuni mendekat dengan senyum lebar. 

 "Ya ampun, sayang, cantik banget," puji Tante Ayuni sambil tersenyum ke arah Papa. Senyum itu terasa hambar, seolah hanya sebuah topeng untuk menutupi ketidakikhlasan di hadapanku. 

 "Papa bangga lihat Aya sudah besar," ucap Papa dengan nada haru, matanya menatapku penuh arti. Perlahan, dia dan Tante Ayuni memandu langkahku menuju ruang tamu, di mana calon suamiku sudah menunggu. 

 Saat aku memasuki ruangan, pandanganku langsung tertuju pada seorang pria yang duduk dengan tenang, mengenakan setelan jas yang tampak mahal. Mataku tak bisa menyembunyikan kejutan saat bertemu pandang dengannya. 

 "Lo!" seru kami bersamaan saat kami saling memandang terkejut. 

 Dia bergerak mendekat, menarikku ke sudut ruangan. 

"Ngapain lo kesini!" nada suaranya penuh kekesalan. 

 "Lo yang ngapain di sini!" balasku, tak mau kalah. 

 "Demi apa? Jadi lo yang mau nikah sama gue?" kejut dan amarah bercampur dalam tatapan tajam yang dia lemparkan ke arahku.

Kulirik Biru dengan tatapan yang tajam dan sinis. "Mana gue tau kalau lo calon suami gue. Kalau tau, gue juga ogah kali!" teriakku, memotong keheningan. 

Sementara itu, Biru mengepalkan kedua tangannya, urat lehernya menonjol sebagai tanda ia sedang menahan amarah. 

 "Kenapa sih harus lo!" Teriak kami bersamaan, suara kami menyatu di udara yang tegang. 

Kami terengah-engah, dan secara instinktif, kami memilih untuk saling membelakangi, seolah-olah mencari ruang untuk bernafas. 

 Para orang tua dan tamu undangan di sekitar kami mulai bertukar pandang, kebingungan dan rasa ingin tahu bercampur dalam ekspresi mereka. Dengan langkah cepat, Pak Indra dan Bu Siska menghampiri, mencoba meredam situasi. 

 "Ayo duduk, pak penghulu sudah menunggu," bisik Bu Siska dengan nada yang menenangkan. 

"Biru, cepat duduk!" perintah Pak Indra, tegas pada putranya. Dengan langkah berat, aku dan Biru mendekati penghulu dan duduk bersebelahan, masih dengan rasa tidak nyaman menguar di antara kami.

 Jantungku berdegup kencang, semakin tidak terkendali saat Biru menjabat tangan papaku. Kemudian dengan napas dalam, Biru mengucapkan ijab qobul dengan suara yang lantang dan jelas. 

 "Bagaimana para saksi? Sah?" tanya penghulu. 

"Sah!" jawab para saksi serempak. 

Semuanya berjalan begitu cepat, sehingga aku merasa linglung, hingga suara lembut memerintahkan untuk mencium tangan Biru, yang akhirnya membuyarkan lamunanku.

"Aya, ayo cium tangan suami kamu," tegur papa dengan lembut.

Hah! Aku mengedipkan kedua mataku, sekilas aku melirik ke arah Biru yang tampak dingin.

Dengan ragu aku meraih tangan Biru yang terulur menggantung di udara. Aku mencium punggung tangannya. 

"Biru, kamu cium kening Cahaya," ucap Bu Siska yang membuatku berdiri mematung. 

"Demi apa? Biru mau cium kening gue? Nggak, ini nggak boleh terjadi!" batinku dengan kedua mata terpejam rapat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status