Biru terpaku di tempat, mata birunya melebar dalam ketidakpercayaan. "Nikah sama siapa, Ma?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Rasa panik melanda, bagai badai yang tak terduga, mengingat ia masih tengah duduk di bangku sekolah.
Dari ambang pintu, Bu Siska, yang sedang hendak meninggalkan kamar, menoleh dan melemparkan jawaban yang santai. "Tenang saja, yang penting dia perempuan," ucapnya dengan nada yang datar. "Mama, kok jawabnya gitu sih," rengek Biru, kebingungan mewarnai suaranya. Bu Siska menatapnya dengan sorot mata yang tajam, terasa bagai peluru. "Kamu tahu, mama masih kesal sama kamu. Kamu seharusnya yang memasang cincin itu, tapi malah mama yang harus melakukannya. Kamu membuat kami malu, Biru. Sekarang, cepat siapkan dirimu!" geramnya. Meski di luar Biru tampak arogan, di hadapan ibunya, dia seperti lilin yang leleh. Dengan kepala tertunduk, ia mengangguk, namun di dalam hatinya, dia memutar berbagai rencana untuk melarikan diri. Dengan gerakan cepat, Biru membuka jendela kamarnya dan melirik ke luar. Setelah yakin keadaan aman, ia melompat keluar. "Cuma segini, Pa, pengamanannya?" gumamnya dengan nada mengejek, takjub bahwa keamanan rumahnya begitu mudah untuk ditembus. Langkah Biru baru saja dimulai ketika tiba-tiba ada yang mencengkeram baju bagian belakangnya dengan kuat. Ia menoleh dan mendapati Om Bram, tangan kanan Pak Indra, dengan tatapan tajam. "Mau kemana? Jangan kira aku nggak tau kalau kamu lompat dari jendela. Sejak tadi aku ngawasin kamu," ucap Om Bram dengan suara yang rendah tapi penuh ancaman. Biru menghela napas berat, raut wajahnya mencerminkan frustrasi dan kemarahan yang mendalam. "Lepas! Gue nggak mau nikah, Om!" teriaknya sambil dengan keras menepis tangan Bram. Perebutan yang keras terjadi di antara mereka. Biru terus berusaha melepaskan diri, tapi dengan cepat Bram berhasil menguasai dan menyeretnya kembali. "Cuma segini kemampuan kamu? Ketua geng?" cibir Bram dengan sinisme yang menajam. Sementara itu, Pak Indra yang telah berdiri tidak jauh dari mereka, mengarahkan pandangan dinginnya kepada Biru. "Jangan biarkan dia di dalam mobil sendiri," perintahnya kepada Bram, yang kemudian dengan taat mendorong Biru ke dalam mobil. *** Aku mengepal erat tangan yang terasa dingin, berusaha meredakan kegugupan yang menghantui sejak pagi. Dua makeup artist sibuk dengan jemari terampil mereka, menyapukan bedak dan eyeshadow di wajahku. "Mbak Aya cantik banget, pasti pengantin prianya juga tampan," komentar salah satunya sambil mengatur gaun putih yang melingkar di tubuhku. Aku membalas dengan senyuman tipis. Sebuah bayangan calon suamiku yang tak pernah kutemui sejak ia tidak muncul saat tunangan kami membuatku merasa was-was. "Kalau nanti dia nggak datang, aku pasti malu," bisikku lirih, perasaan malu dan khawatir berseliweran dalam pikiranku. Ketakutan itu makin menjadi ketika Anggia tiba-tiba berteriak kasar, "Heh, Aya! Lo cepat keluar. Di panggil papa!" Mata Anggia menyapu tubuhku dari atas sampai bawah dengan penuh kebencian. Anggia menarikku dengan kekuatan yang cukup besar, membuatku hampir terjatuh. "Lo dengar nggak sih gue ngomong apa. Buruan turun!" teriaknya, urat-urat di lehernya tampak menonjol, matanya menyala-nyala penuh amarah. "Apaan sih lo! Gue bisa jalan sendiri tanpa lo dampingi," balasku dengan nada tinggi, berusaha melepaskan genggaman tangannya yang semakin mengencang. "Jangan sok lo! Ingat, calon suami lo juga nggak akan datang. Jadi lo nggak usah ngerasa sok cantik!" Anggia menyindir dengan nada sinis, mencoba menghunjamkan setiap kata ke dalam hatiku. Sudut bibirku terangkat menjadi senyum sinis. "Kenapa? Lo iri sama gue? Gue emang lebih cantik kok," ucapku sambil menggoda, melihat wajah Anggia yang semakin memerah karena marah. "Halah, bentar lagi juga lo bakal malu. Cepat keluar," desisnya, mendorongku agar bergerak lebih cepat. Kedua tangannya masih menggenggam lenganku, tak memberiku kesempatan untuk melawan. Langkahku pelan menelusuri lorong rumah bersama Anggita yang mengenggam tanganku. Dari ujung koridor, Papa dan Tante Ayuni mendekat dengan senyum lebar. "Ya ampun, sayang, cantik banget," puji Tante Ayuni sambil tersenyum ke arah Papa. Senyum itu terasa hambar, seolah hanya sebuah topeng untuk menutupi ketidakikhlasan di hadapanku. "Papa bangga lihat Aya sudah besar," ucap Papa dengan nada haru, matanya menatapku penuh arti. Perlahan, dia dan Tante Ayuni memandu langkahku menuju ruang tamu, di mana calon suamiku sudah menunggu. Saat aku memasuki ruangan, pandanganku langsung tertuju pada seorang pria yang duduk dengan tenang, mengenakan setelan jas yang tampak mahal. Mataku tak bisa menyembunyikan kejutan saat bertemu pandang dengannya. "Lo!" seru kami bersamaan saat kami saling memandang terkejut. Dia bergerak mendekat, menarikku ke sudut ruangan. "Ngapain lo kesini!" nada suaranya penuh kekesalan. "Lo yang ngapain di sini!" balasku, tak mau kalah. "Demi apa? Jadi lo yang mau nikah sama gue?" kejut dan amarah bercampur dalam tatapan tajam yang dia lemparkan ke arahku. Kulirik Biru dengan tatapan yang tajam dan sinis. "Mana gue tau kalau lo calon suami gue. Kalau tau, gue juga ogah kali!" teriakku, memotong keheningan. Sementara itu, Biru mengepalkan kedua tangannya, urat lehernya menonjol sebagai tanda ia sedang menahan amarah. "Kenapa sih harus lo!" Teriak kami bersamaan, suara kami menyatu di udara yang tegang. Kami terengah-engah, dan secara instinktif, kami memilih untuk saling membelakangi, seolah-olah mencari ruang untuk bernafas. Para orang tua dan tamu undangan di sekitar kami mulai bertukar pandang, kebingungan dan rasa ingin tahu bercampur dalam ekspresi mereka. Dengan langkah cepat, Pak Indra dan Bu Siska menghampiri, mencoba meredam situasi. "Ayo duduk, pak penghulu sudah menunggu," bisik Bu Siska dengan nada yang menenangkan. "Biru, cepat duduk!" perintah Pak Indra, tegas pada putranya. Dengan langkah berat, aku dan Biru mendekati penghulu dan duduk bersebelahan, masih dengan rasa tidak nyaman menguar di antara kami. Jantungku berdegup kencang, semakin tidak terkendali saat Biru menjabat tangan papaku. Kemudian dengan napas dalam, Biru mengucapkan ijab qobul dengan suara yang lantang dan jelas. "Bagaimana para saksi? Sah?" tanya penghulu. "Sah!" jawab para saksi serempak. Semuanya berjalan begitu cepat, sehingga aku merasa linglung, hingga suara lembut memerintahkan untuk mencium tangan Biru, yang akhirnya membuyarkan lamunanku. "Aya, ayo cium tangan suami kamu," tegur papa dengan lembut. Hah! Aku mengedipkan kedua mataku, sekilas aku melirik ke arah Biru yang tampak dingin. Dengan ragu aku meraih tangan Biru yang terulur menggantung di udara. Aku mencium punggung tangannya. "Biru, kamu cium kening Cahaya," ucap Bu Siska yang membuatku berdiri mematung. "Demi apa? Biru mau cium kening gue? Nggak, ini nggak boleh terjadi!" batinku dengan kedua mata terpejam rapat.Panik, itulah yang kurasakan saat Biru mendekatkan wajahnya, jantungku berdetak kencang, pikiranku melayang pada segala kenangan pahit yang pernah terjadi di antara kami. Namun, saat bibirnya menyentuh keningku, aku merasakan kehangatan yang tak terduga. Kecupan itu singkat, namun cukup untuk membuat detak jantungku yang sebelumnya berpacu, kini berhenti sejenak.Saat aku membuka mata, tepuk tangan riuh rendah menggema di ruangan itu, memecah keheningan yang sempat tercipta. Bu Siska tersenyum lebar, kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mengucapkan, "Sekarang kalian sudah resmi menjadi suami istri."Papa kemudian menambahkan, "Kalian bisa tinggal di rumah ini atau di rumah Biru, bebas." Kata-katanya menggantung di udara, menambah ketegangan yang sudah terasa. Aku dan Biru saling bertukar pandang, matanya mencoba menafsirkan apa yang ada di benakku, namun aku hanya bisa memberikan tatapan yang kosong.Kami berdua berdiri di sana, dikelilingi oleh kerabat dan keluarga dekat namun s
Setelah pintu kamarku tertutup sempurna, aku bergegas menuju ke cermin besar yang terpampang di sudut ruangan. Kedua tangan berusaha sekuat tenaga menarik resleting gaun pengantin yang melekat erat di tubuhku. Aku menggerutu dalam hati, frustrasi karena gaun itu seperti menolak untuk dilepaskan dari tubuhku.“Sial! Kenapa susah banget lepasinnya!” keluhku dengan nada tinggi, sambil terus berjuang dengan resleting itu. Akhirnya, dengan satu tarikan keras, resleting itu terbuka dan punggungku terpampang nyata.Ceklek!Suara pintu yang terbuka membuatku tersentak. Refleks, aku berbalik badan, dan mataku langsung bertemu dengan pandangan Biru yang sudah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar.“Biru!” teriakku kesal, sambil cepat-cepat membalikkan badan lagi, berusaha menutupi punggung terbuka dengan kedua tangan. Hatiku berdebar keras, tidak mengerti mengapa dia bisa ada di sini.Biru hanya menyipitkan matanya, seolah mencoba memahami situasi, namun wajahnya tidak menunjukkan emosi
"Emang enak di cuekin," ucapku sambil tersenyum senang melihat adik tiriku itu di tinggal begitu saja oleh Biru, suamiku.Aku berdiri dengan menyandarkan punggung di dinding dan melipat kedua tangan di depan dada.Langkah Anggia yang gemas dan penuh amarah terdengar nyaring di lorong rumah yang sunyi. Kedua tangannya terkepal, seolah siap untuk melepaskan segala kekesalan yang dipendam. Dia berhenti sejenak, menatapku dengan pandangan tajam yang membakar. "Apaan sih lo! Emang kak Biru itu peduli sama lo!" suaranya memecah kesunyian, sinis dan menyakitkan.Aku hanya tersenyum simpul, menanggapi setiap kata yang dilontarkannya dengan ketenangan yang terlatih. "Emangnya kenapa kalau Biru nggak peduli sama gue?" tanyaku, suara penuh ketidakpedulian. Aku berdiri tegak, menghadapinya dengan wajah datar. "Gue pun juga nggak berharap kalau Biru peduli sama gue. Bodo amat! Kita menikah karena perjodohan konyol, gue dan Biru sama-sama nggak mengharapkan."Anggia mendengus keras, frustrasi de
Ketegangan memenuhi ruangan saat aku mendapati diriku diperintah oleh Biru untuk mengerjakan tugasnya. "Dia pikir gue pembantunya, apa?" gumamku dalam hati sambil tangan terus mengetik jawaban tugas yang bukan milikku. "Tunggu aja, Biru. Lo pasti akan menyesal telah memperlakukan gue seperti ini!" ucapku penuh ancaman namun masih terkendali. Kesal, namun dengan segala upaya aku menyelesaikan tugas tersebut, sambil dalam hati tertawa kecil membayangkan kejadian esok hari di sekolah. "Gue udah nggak sabar lihat wajah lo yang panik," bisikku sembari menyimpan buku tugas Biru dan membaringkan tubuh, melupakan tentang keberadaan Biru yang entah dimana. Sungguh aku tidak peduli.Dalam benakku, skenario demi skenario mulai terbentuk, setiap detilnya dirancang untuk membuat Biru merasakan penyesalan mendalam. Seulas senyum licik merekah di wajahku, membayangkan kepanikan yang akan melanda Biru ketika mengetahui balasan yang telah aku siapkan."Jadi tidak sabar menunggu pagi," gumamnya
"Biru sialan! Gue benci sama lo!" teriakku sambil menatap mobil yang di kendarai olehnya yang kian menjauh meninggalkan aku sendirian di tempat ini.Rasa marah, benci, dan kesal menjadi satu. Mungkin saat ini kepalaku sudah keluar asapnya. Entah kenapa ingin rasanya aku marah dengan papa yang bisa-bisanya mempunyai ide menjodohkanku dengan cowok yang tak punya hati itu. Siapa lagi kalau bukan Biru sialan itu."Astaga! Bisa telat nih gue," gumamku saat melihat jam yang ada di pergelangan tanganku. Jarak tempatku berdiri dengan sekolah masih sangat jauh. Dan sekarang aku tak tahu harus bagaimana. Segera aku mengambil ponselku untuk memesan taksi atau ojek online yang bisa membawaku ke sekolah dengan cepat."Astaga! Kenapa nggak ada satu pun ojek yang bisa aku pesan? Taksi pun tak ada," desahku pelan. Tak ada lagi harapanku untuk tiba di sekolah tepat waktu.Sudah bisa di tebak aku akan terlambat ke sekolah dan akan mendapat hukuman.Namun, tiba-tiba secercah harapan muncul saat mata i
Biru berdiri di depan meja Bu Amel, kedua tangannya mengepal di samping tubuhnya. "Kenapa saya dihukum Bu? Saya salah apa?" tanyanya dengan suara gemetar. Jantungnya berdegup keras, matanya penuh kebingungan memandang wajah muram Bu Amel. Bu Amel menghela napas berat sebelum menunjuk tajam pada Biru. "Kamu masih tanya apa salah kamu?" suaranya meninggi penuh amarah. Dengan gerakan tegas, ia menyodorkan buku tugas tebal yang telah dibawa. "Ini lihat!" Biru menerima buku itu dengan perlahan. Detik berikutnya, matanya terbelalak membaca judul puisi 'Bu Amel'. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar menahan rasa kaget dan tak percaya. Dari sudut kelas, aku menatap adegan itu. Senyum tipis menghiasi wajahku, alis terangkat penuh kemenangan. "Rasain lo!" gumamku dalam hati, antusias melihat Biru terpaksa berlari mengelilingi lapangan tiga kali putaran sebagai hukuman.Biru terperanjat, matanya terbelalak ketika melihat judul puisi itu. "Tapi, Bu, ini bukan tulisan saya!" serunya, suaranya t
"Loh, makanan gue," gumamku saat Biru dengan mudahnya mengambil makanan yang di bawa Lala."Woy, apa-apaan lo!" teriakku tak terima begitu Biru duduk manis dan menyantap makananku dengan seenaknya. Jelas saja aku tidak terima, perutku sudah keroncongan tak ada isinya dengan mudahnya Biru mengambil jatah makananku. Kalau dia mau makan kenapa nggak pesan sendiri!Ingin rasanya aku tabok wajahnya yang songong itu biar dia bisa menghargai orang sedikit saja. Biar pun dia suami ku tapi sikapnya yang arogan membuatku sangat membencinya."Udah Aya, biarin aja. Gue akan pesan lagi buat kita," ucap Lala mencoba menenangkan.Dia menarik aku untuk kembali duduk di tempatku lagi. "Nggak. Gue nggak akan terima. Kalau dia mau makan harusnya dia pesan sendiri. Kenapa harus ngambil makanan gue!" Aku kembali berdiri, meski Lala menghalangi langkahku tapi aku tak peduli. Emosi sudah berada di ubun-ubun.Aku melepaskan tangan Lala yang masih setia menarikku sambil mengumpat Biru."Maksud lo apa! Itu
"Kenapa harus Cahaya sih, Bu!" protes Biru kesal. Terlihat sekali kalau ia membenciku."Em, teman lainnya saja Bu, yang mentorin Biru," aku jug ikut protes. Mengingat hubunganku dengan Biru yang tak pernah akur serta kita sama sekali tidak pernah cocok dalam pemikiran.Bukannya kita belajar yang ada kita malah tawuran.Aku melirik ke arah Biru dengan tatapan tajam. Malas saja kalau aku yang menjadi mentor belajarnya. Mana mau dia mengakui kalau aku ada di atasnya.Bu Wanti terdiam sejenak lalu menggelengkan kepalanya."Nggak ada yang lebih tepat selain kamu, Cahaya," Bu Wanti menegaskan."Tapi Bu, Biru nggak mau sama saya. Eh, maksudnya saya yang menjadi mentornya," ucapku sedikit protes dengan ide wali kelasku itu.Bu Wanti menoleh ke arah Biru yang duduk terdiam. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini.Bu Wanti melangkah lebih dekat di bangku Biru. Ia tampak menghela napas panjang."Nilai kamu itu sangat buruk Biru. Kalau kamu nggak mau di mentorin sama Cahaya, ibu yakin kamu ng