Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku
"Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s
Motor sport hitam menerobos jalanan dengan laju dan suara yang menggelegar, membuat siapa pun yang berada di sekitarnya tersentak kaget. Tiba-tiba, motor itu mengerem dengan mendadak tepat di depanku, seketika itu pula aku kehilangan kendali. Motor ku terpelanting ke aspal dengan suara yang keras. "Aduh!" rintihku sambil meringis kesakitan. Kemarahan meluap, aku berteriak, "Sialan! Berhenti woy!" Perlahan, aku merangkak bangkit, mendirikan motorku yang terjatuh dengan susah payah.Dalam keadaan kesal dan napas tersengal-sengal, aku berlari menghampiri pengendara itu yang kini terhenti karena lampu merah. Dengan amarah memuncak, aku mengetuk helmnya keras. "Turun lo!" bentakku sambil memandangnya tajam. Pengendara itu, cowok berpostur tegap, hanya menoleh sebentar kepadaku, tidak menunjukkan tanda-tanda akan turun. "Heh! Lo harus tanggung jawab. Turun lo!" suaraku meninggi penuh penekanan. Dia akhirnya membuka kaca helmnya, mendekat dan dengan sombong menoyor kepalaku. "Minggir lo
Biru ******** sambil menahan sakit di kakinya yang baru saja aku tendang dengan keras tepat di tulang keringnya. Sambil tertawa lebar, aku meledeknya, "Rasain lo! Emang enak?" Mengancam dengan mata berkilat, aku berteriak, "Apa lo liat-liat, mau gue tendang lagi!" Segera, kaki ku mengayun seolah akan menendang sekali lagi, membuat Biru mundur ketakutan, khawatir akan sakit yang mungkin datang lagi. Di dalam hati, aku tertawa terpingkal-pingkal. Aku berjalan masuk ke kelas dengan langkah santai, acuh tak acuh terhadap tatapan menusuk dari Biru yang masih terasa sakit di kakinya. Biarlah, toh dia yang mulai mengganggu ketika aku hendak masuk kelas. Beberapa teman kami yang menyaksikan, segera mengalihkan pandangan, takut terkena amarah Biru. "Sialan lo! Untung aja lo cewek, kalau nggak lo udah habis sama gue!" seru Biru dengan wajah merah padam, perasaan sakit dan marah bercampur. Aku hanya menyeringai, mengabaikannya dan duduk di bangkuku, menunggu Lala teman sebangku untuk mul
Dengan gerak cepat, aku meraih tisu dan mengelap sudut mulutku. Tak ingin sekecil apapun kuman bertengger di dalam sana. Ekspresi geram tampak jelas di wajahku . "Lo, kalau mau minum, beli sendiri, jangan nyicip punya gue dong!" bentakku kasar sambil menunjuk minumannya yang telah tersentuh bibirku. "Udah gue bilang kalau tempat ini milik gue. Kalau nggak suka, sana keluar!" Keluhan itu meluncur tajam dari mulut Biru yang menunjuk pintu kantin yang terbuka lebar sebagai bukti ia tak main-main. Gery yang berdiri tepat disampingku menggertakkan giginya, menahan amarah. "Harusnya lo yang pergi!" dia membentak balik, suara garang memenuhi udara. Biru bangkit dengan tiba-tiba, mendorong Gery yang langsung terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan. Sinar matanya tajam, penuh kebencian melawan tatapan yang sama dari Gery. Aku yang melihat Biru dan Gery yang sudah sama-sama emosi dan sama-sama mengepalkan tangannya pun membuang napas dengan kasar. "Udah, nggak usah ribut," ucapku menco
"Kebaikan apaan? Emang ada hubungannya gue sama acara itu?" gumam Biru dalam hati."Udah, sana istirahat dulu. Nanti mama akan siapin pakaian buat kamu," ucap Bu Siska sambil mengusap lengan anaknya.Biru mengerutkan dahinya sambil melangkah gontai menuju ke kamarnya. Dalam hati pun bertanya-tanya ada acara apa nanti malam sampai-sampai mamanya akan menyiapkan baju untuknya.Malam harinya, Biru semakin keheranan saat memakai baju batik yang telah di siapkan sang mama untuknya.Biru memandang refleksi dirinya di cermin, memutar-mutar tubuhnya, memastikan tiap jahitan batik itu terlihat sempurna di tubuhnya. Lampu kamar yang remang-remang menambah kesan mistis pada motif batik yang dikenakannya. "Acara apa sih, kok pakai batik segala?" tanyanya lagi, masih belum mengerti kenapa malam itu dia harus berdandan seperti akan pergi ke pesta.Bu Siska tersenyum lebar, matanya berbinar melihat anaknya yang sudah beranjak dewasa. "Ada acara spesial, Nak. Kamu akan tahu nanti," jawabnya, penuh de
Masih sulit dipercaya olehku, bagaimana aku tiba-tiba menjadi tunangan orang yang tak kukenal? Dalam hati gelisah dan pikiran berkecamuk, pertanyaan-pertanyaan tak henti bergelayut. "Gue, tunangan? Siapa, Bi? Besok gue akan menikah?" Kalimat-kalimat itu terus bergema di dalam benakku. Tiba-tiba suara papa memecah lamunanku. "Ayo, Aya, itu keluarga calon tunangan kamu sudah datang," ucapnya seraya menunjuk keluar jendela. Segera pandanganku teralih ke depan rumah. Rombongan mobil telah berhenti, beberapa orang mulai turun. Mataku tertuju pada seorang pria yang seumuran dengan papa dan seorang wanita yang tampak anggun namun cemas. Pria itu memberikan isyarat tangan, mengirimkan dua orang kembali ke dalam mobil yang lalu segera meninggalkan pekarangan rumah dengan aura misterius yang meninggalkan lebih banyak pertanyaan dalam benakku.Mereka berdua berjalan mendekat dan tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan. "Selamat malam, Aya. Saya Pak Indra, ayah dari calon suami kamu," uca
"Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku
Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal
Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s
Dering telepon dari Biru memecah kesunyian malam yang mendebarkan. Suaranya terdengar panik, "Cepat ke rumah sakit sekarang!" Jantungku langsung berdegup kencang. Otakku membayangkan segala kemungkinan yang terburuk. Tanpa berpikir panjang, aku lari menuju rumah sakit, meninggalkan peluang untuk menangkap ob yang mungkin terlibat meracuni Papa. Kepanikan itu menguasai setiap langkahku.Dengan napas tersengal-sengal, aku melompat keluar dari mobil dan berlari secepat kilat menyusuri koridor rumah sakit yang terasa begitu panjang. Lampu-lampu overhead berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang bergerak di sepanjang dinding. Setiap detik terasa seperti jam, dan jantungku berdebar keras, seolah ingin meledak keluar dari dada.Ketika sampai di ruang VVIP, aku hampir-hampir terjatuh karena tergesa-gesa. Mengambil napas dalam-dalam, aku menekan handle pintu dan mendorongnya dengan lembut. "Papa," suaraku bergetar saat aku memanggilnya. Aku melihat Biru duduk di samping ranjang dengan ra
Dengan langkah yang ringan dan hening, aku menerobos ke dalam kegelapan kantor yang sudah sepi. Berkat pakaian serba hitam yang kukenakan, aku seperti bayangan yang sulit terlihat. Ruangan demi ruangan kulewati tanpa suara. Sesekali, cahaya dari lampu jalan yang masuk melalui jendela memantulkan siluetku di dinding.Mataku tertuju pada sosok yang tampak bergerak di ujung koridor. Jantungku berdegup kencang, namun setelah menunggu beberapa saat, aku menghela napas lega. Itu hanya pak satpam yang sedang melakukan ronda malam. Aku menunggu hingga suara langkah kaki itu menghilang sebelum aku melanjutkan misi.Dengan perlahan, aku mengintip ke dalam ruangan papa. "Cangkir kopi bekas papa," bisikku saat melihat meja kerja yang sudah rapi tanpa ada satu pun dokumen yang tersisa. Aku menyusuri ruangan itu, membuka setiap laci yang ada dengan harapan menemukan sesuatu yang terlewatkan. Namun, nihil. Tidak ada satu petunjuk pun yang tertinggal, semuanya telah bersih.Aku berdiri di tengah ruan
Mataku berkaca-kaca, aku menatap Paman Rudi dengan penuh harap ketika dia melangkah keluar dari ruang perawatan. Bibirku gemetar sedikit saat aku bertanya, "Apa yang terjadi sama Papa, Paman? Kenapa Papa bisa sakit?" Tangan Paman Rudi yang hangat memegang bahuku dengan penuh perhatian. "Tenang, Aya, Papa kamu baik-baik saja," ujar Paman Rudi dengan suara yang menenangkan. Cahaya lampu lorong rumah sakit itu terasa begitu menyilaukan bagi ku, seolah mencerminkan kecemasan yang melanda hatiku. Tangisan ku pecah, suara isakan terdengar begitu pilu di lorong yang sunyi. Paman Rudi, dengan ekspresi penuh kekhawatiran, mengusap punggung ku perlahan, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah ketakutan yang melanda.Paman Rudi menarik napas dalam-dalam, menatap aku dan suamiku, Biru, yang duduk di sampingnya dengan mata yang sayu. "Tadi papamu muntah darah," ungkapnya, suaranya berat, mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk tidak membuat anak dari atasannya ini semakin larut dalam
Anggia menatap kelas padaku. "Tapi Kak, gue nggak terbiasa duduk di belakang." Suaranya bergetar karena emosi. Jelas saja ia ingin duduk di samping Biru, suamiku yang tampan. Tanggapan Biru datang dengan ketenangan yang kontras. "Kalau nggak biasa ya di biasain," katanya, seraya menarik tangan ku memacu agar aku segera menaiki mobil. Sementara itu, aku hanya bisa tersenyum sinis. "Jangan ya, Dek. Dia suami gue," bisikku dengan nada mengejek ke telinga Anggia. Bisa kurasakan tubuhnya bergetar sementara wajahnya memerah bak delima. Aku pun dengan sengaja menyenggol bahunya, menambah rasa malu yang sudah menyesakkan dadanya.Anggia mencoba menahan amarahnya yang mendidih, napasnya terengah-engah seolah berusaha menelan setiap kata yang ingin dia lemparkan. Dia terduduk pasrah di kursi belakang mobil, matanya menatap tajam ke arah punggung Biru yang duduk di depan dengan sikap tenang. Di sisi lain, Biru hanya memperhatikan jalan, seolah tak menyadari betapa tegangnya suasana di dalam
Aku mengedipkan kedua mataku cepat, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Biru. "Em, siapa bilang gue nggak mengakui lo sebagai suami?" kataku dengan tawa renyah, seolah menyembunyikan getar di hati. Aku beranjak ingin mengelak, namun Biru dengan cepat meraih tanganku, menahan langkah. Jari-jarinya bergerak lembut mengusap pipiku, menimbulkan desir dalam dada. "Ya ampun, Biru tampan banget," batinku, terpesona sejenak pada ketampanannya yang begitu nyata. "Gue nggak mau lo terlalu dekat dengan cowok lain," bisiknya dekat sekali. Ucapannya menghangatkan ujung telingaku. Tiba-tiba, Biru mendekat, mengikis jarak di antara kami. Bibirnya menyentuh bibirku lembut tapi penuh niat. Mataku membulat, terkejut oleh gerakannya yang tak terduga. Ingin ku tolak, namun genggaman Biru semakin erat dan ciumannya semakin mendalam, membuatku terperangkap dalam hangatnya rasa yang sulit diungkapkan.Tangan Biru dengan lembut mendarat di punggungku, menepuk-nepuk seolah mengerti betapa aku keku