Masih sulit dipercaya olehku, bagaimana aku tiba-tiba menjadi tunangan orang yang tak kukenal? Dalam hati gelisah dan pikiran berkecamuk, pertanyaan-pertanyaan tak henti bergelayut. "Gue, tunangan? Siapa, Bi? Besok gue akan menikah?" Kalimat-kalimat itu terus bergema di dalam benakku.
Tiba-tiba suara papa memecah lamunanku. "Ayo, Aya, itu keluarga calon tunangan kamu sudah datang," ucapnya seraya menunjuk keluar jendela. Segera pandanganku teralih ke depan rumah. Rombongan mobil telah berhenti, beberapa orang mulai turun. Mataku tertuju pada seorang pria yang seumuran dengan papa dan seorang wanita yang tampak anggun namun cemas. Pria itu memberikan isyarat tangan, mengirimkan dua orang kembali ke dalam mobil yang lalu segera meninggalkan pekarangan rumah dengan aura misterius yang meninggalkan lebih banyak pertanyaan dalam benakku. Mereka berdua berjalan mendekat dan tersenyum hangat sambil mengulurkan tangan. "Selamat malam, Aya. Saya Pak Indra, ayah dari calon suami kamu," ucapnya seraya menjabat tanganku. Aku hanya bisa menatapnya bingung, belum sepenuhnya menerima kenyataan ini. Papa tersenyum sambil menarikku ke dalam rumah, "Ayo masuk, kita bicara lebih nyaman di dalam." Di dalam rumah, suasana sudah dipersiapkan untuk pertemuan ini. Ruang tamu penuh dengan hiasan bunga dan kue-kue yang menggoda selera. Tante Ayuni tersenyum ramah pada para tamu yang datang sedangkan Anggia, ia duduk dengan menatap marah ke arahku. Wanita yang datang bersama Pak Indra duduk di seberangku, dia memperkenalkan diri sebagai Ibu Siska. Matanya terus menatapku, seolah mencoba membaca pikiranku. "Kami tahu ini mendadak, Aya, tapi kami merasa kamu dan Bi sangat cocok," ujarnya dengan lembut. Aku terdiam, mencoba mencerna segalanya. Di satu sisi, rasa terkejut masih mendominasi, namun di sisi lain, kehangatan yang ditunjukkan oleh kedua orang tua ini membuatku merasa sedikit lega. Aku menoleh ke arah pintu saat seorang pria muda masuk. Dia berjalan dengan tergesa menuju ke arahku, lalu memberikan senyum yang membuat hati ini berdebar. Pria itu mengatakan sesuatu pada Pak Indra dengan berbisik lalu ia keluar dari ruangan. Aku mengerutkan dahi, tapi tak berani bertanya. "Aya, maaf ya calon suamimu masih dalam perjalanan ke sini," kata Pak Indra dengan nada tak enak hati. Bu Siska mengulurkan tangan dan menggenggam tanganku. Sentuhan tangannya memberikan rasa yang hangat, campuran antara ketakutan dan kegembiraan. "Ada apa? Apa cowok yang akan jadi tunangan gue kabur?" tanyaku dalam hati saat melihat mata Bu Siska berkaca-kaca dan menyiratkan ketakutan dan kekhawatiran. Di ruangan yang tenang, Papa dan Pak Indra sedang asyik serius membahas detail pertunangan ku dengan Bi. Waktu terus berlalu hingga hampir setengah jam, namun Bi, calon tunanganku, masih belum juga muncul. Mataku berpindah-pindah mencari sosoknya yang tak kunjung datang. "Aya, maaf ya, sudah malam tapi Bi belum juga datang. Mama akan mewakili Bi memakaikan cincin tunangan ini di jari kamu. Tenang saja besok pagi Bi akan datang untuk menikahimu," kata Bu Siska dengan lembut, sambil mengeluarkan kotak cincin berkilauan. Kejutan itu membuatku terdiam sejenak, hati serasa terhenti. Ketika pandanganku secara tidak sengaja tertuju ke samping, aku menangkap senyum sinis yang tersungging di bibir Anggia. Saudara tiriku itu seolah merasa puas melihat calon tunanganku yang tidak datang. "Aya, berikan jari kamu sama mamanya Bi," ujar Pak Erwin, papaku mengejutkanku. Dengan perasaan bercampur aduk, aku menatap wanita yang duduk di depanku itu. Bu Siska, dengan senyuman yang menenangkan, seolah memberikan kekuatan padaku yang tampak ragu dan cemas. Dengan napas yang terengah-engah dan jantung berdebar, tanganku yang gemetar perlahan terulur. Sinar gemerlap dari cincin permata itu terpasang di jari manisku. Suasana di ruangan pun bergema dengan suara tepuk tangan dan ucapan syukur dari para tamu. Anggia melangkah masuk ke kamarku tanpa permisi, wajahnya penuh sindiran saat acara selesai dan tamu telah pergi. Dia langsung melontarkan kata-kata yang memojokkan, "Sukurin, Biru nggak mau datang buat tunangan sama lo, gimana besok? Pasti saat ini Biru udah kabur dari rumah," kata Anggia dengan nada mencemooh. Aku hanya diam, membiarkan kata-katanya menggantung di udara kamar yang tiba-tiba terasa pengap. Dalam hati, aku tidak bisa menebak apa yang akan terjadi esok hari. "Kenapa diam? Pasti sangat malu karena calon tunangannya nggak datang. Kasian banget sih lo Aya," ejeknya sambil menatapku dengan pandangan sinis. "Berisik! Sana keluar," bentakku sambil menunjuk ke arah pintu. "Nanti lo ngadu yang nggak-nggak lagi sama nyokap lo dan nyalahin gue!" Ketika aku menyuruhnya keluar, wajah Anggia memerah karena kesal. Dia membalas dengan nada tinggi, "Sombong! Liat aja besok lo pasti akan malu seumur hidup lo karena Biru nggak akan pernah datang. Dan lo akan di ketawain banyak orang!" Dengan langkah berat, Anggia beranjak meninggalkan kamarku, menutup pintu dengan hentakan yang membuktikan amarahnya. Aku terlonjak kaget, seandainya aku nggak memakai pakaian yang membuatku sulit bernafas ini mungkin sudah aku ajak baku hantam suadara tiriku yang mulutnya pedas bak bon cabe itu. "Kenapa Biru? Nggak mungkin Biru, nama Biru di kota ini sangat banyak dan nggak mungkin Biru Samudra, cowok sekelasku yang rese itu," gumamku menepis pikiran buruk yang ada di dalam otakku. Tapi kenapa Anggia mengatakan kalau calon suamiku itu Biru-nya? Bukankah yang dia maksud itu Biru musuhku itu? Aku benar-benar bingung dengan semua ini. *** Di sisi lain, Biru membeku sejenak saat layar ponselnya berkedip-kedip menampilkan notifikasi dari para anggota gengnya. Pada layar itu tertulis pesan mendesak bahwa salah satu dari mereka mendapatkan serangan. Meskipun sedang dalam perjalanan ke sebuah acara penting bersama orang tuanya, kekhawatiran mendalam terpantul dari sorot matanya. "Gue harus ke sana," gumamnya pelan, mencoba meredam gelisah yang meluap. Saat mobil orang tuanya mengalir perlahan mengikuti arus lalu lintas, Biru dengan cekatan memutar kemudi, mencari celah untuk bermanuver. Ketika jalanan sedikit terbuka, ia segera mempercepat laju mobilnya, membelah keramaian menuju base camp. Begitu tiba, pertanyaan terlontar dari mulutnya secepat detak jantungnya. "Siapa yang kena serang? Kondisinya gimana?" Bukan hanya keadaan yang mendadak kacau, tapi penampilannya yang sangat tidak biasa—mengenakan batik—juga menarik perhatian dan keheranan Jeno dan Radit, rekan-rekannya. Jeno mengerutkan kening, bingung, "Lo kenapa pakai batik sih? Mau ke nikahan ya?" Pandangan serupa terhempas dari Radit dan yang lainnya, meningkatkan kebingungan di udara yang sudah tegang. Atmosfer base camp itu, kini, tidak hanya dirundung kekhawatiran tapi juga rasa ingin tahu yang amat besar tentang pilihan pakaian sang ketua. Biru mendengus kesal. "Gue sama nyokap bokap ada acara," katanya, suaranya berusaha tegar meski kecewa. Anggota gengnya mengangguk mengerti, matanya terbakar dengan semangat. "Cepat, siap-siap. Kita serbu mereka!" seru Biru, raut wajahnya memperlihatkan determinasi. Mereka mengangguk, bersiap menyusun strategi balas dendam. Kendaraan Biru menderu memecah keheningan malam, menuju markas musuh. Hanya beberapa meter setelah mereka meninggalkan markas mereka, tiba-tiba sebuah mobil menerjang, menghadang jalan mereka. "Sial!" teriak Biru, frustrasi. Seorang pria muda dengan wibawa tiba-tiba muncul di sampingnya, menatapnya dengan tegas. "Pulang!" perintahnya, suara penuh otoritas. "Tapi Om, Biru akan..." sela salah satu temannya dengan rasa was-was. "Cepat pulang. Aku hanya menjalankan tugas!" potong pria itu, tak tergoyahkan. Biru terdiam, jelas tak punya pilihan. "Kita tunda dulu," teriak Biru, menoleh ke anggota gengnya melalui jendela mobil. Jeno dan Radit mengangguk paham, mengetahui posisi Biru yang rumit sebagai anak konglomerat. Plak! Sebuah tamparan keras mendarat, saat Biru memasuki rumah, pipinya panas terasa pedih. Wajah ayahnya memerah, urat-urat di lehernya menonjol, mata menatap tajam penuh kemarahan. "Ini yang kamu inginkan! mencoreng nama baik keluarga kita!" teriak Pak Indra, suaranya bergema di ruang tamu. Biru, kepalanya tertunduk, merasakan setiap kata itu seperti cambuk menyakitkan. Tidak ada jawaban yang bisa dia berikan, hanya diam membisu. "Jika kamu berani kabur lagi, ingat, papa akan tarik semua fasilitasmu!" Pak Indra menambahkan dengan nada tegas, yang belum pernah Biru rasakan sebelumnya dari sang papa. Pak Indra memandang seorang pria di sudut ruangan. "Awasi dia. Jangan sampai dia kabur lagi hingga acara besok selesai!" perintahnya dengan tegas. Keesokan harinya, di tengah kegelisahan Biru, sang mama memasuki kamar dengan membawa setelan jas rapi. "Sebenarnya ada acara apa sih, Ma? Sampai-sampai aku nggak boleh kemana-mana?" tanya Biru dengan rasa penasaran yang menggumpal. "Nggak usah banyak tanya. Cepat siap-siap, sebentar lagi kamu akan menikah," jawab mamanya singkat. "Apa, menikah?!" rasa terkejut menyergap Biru, lebih mengejutkan dari tamparan semalam.Biru terpaku di tempat, mata birunya melebar dalam ketidakpercayaan. "Nikah sama siapa, Ma?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Rasa panik melanda, bagai badai yang tak terduga, mengingat ia masih tengah duduk di bangku sekolah. Dari ambang pintu, Bu Siska, yang sedang hendak meninggalkan kamar, menoleh dan melemparkan jawaban yang santai. "Tenang saja, yang penting dia perempuan," ucapnya dengan nada yang datar. "Mama, kok jawabnya gitu sih," rengek Biru, kebingungan mewarnai suaranya. Bu Siska menatapnya dengan sorot mata yang tajam, terasa bagai peluru. "Kamu tahu, mama masih kesal sama kamu. Kamu seharusnya yang memasang cincin itu, tapi malah mama yang harus melakukannya. Kamu membuat kami malu, Biru. Sekarang, cepat siapkan dirimu!" geramnya. Meski di luar Biru tampak arogan, di hadapan ibunya, dia seperti lilin yang leleh. Dengan kepala tertunduk, ia mengangguk, namun di dalam hatinya, dia memutar berbagai rencana untuk melarikan diri. Dengan gerakan cepat, Biru mem
Panik, itulah yang kurasakan saat Biru mendekatkan wajahnya, jantungku berdetak kencang, pikiranku melayang pada segala kenangan pahit yang pernah terjadi di antara kami. Namun, saat bibirnya menyentuh keningku, aku merasakan kehangatan yang tak terduga. Kecupan itu singkat, namun cukup untuk membuat detak jantungku yang sebelumnya berpacu, kini berhenti sejenak.Saat aku membuka mata, tepuk tangan riuh rendah menggema di ruangan itu, memecah keheningan yang sempat tercipta. Bu Siska tersenyum lebar, kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mengucapkan, "Sekarang kalian sudah resmi menjadi suami istri."Papa kemudian menambahkan, "Kalian bisa tinggal di rumah ini atau di rumah Biru, bebas." Kata-katanya menggantung di udara, menambah ketegangan yang sudah terasa. Aku dan Biru saling bertukar pandang, matanya mencoba menafsirkan apa yang ada di benakku, namun aku hanya bisa memberikan tatapan yang kosong.Kami berdua berdiri di sana, dikelilingi oleh kerabat dan keluarga dekat namun s
Setelah pintu kamarku tertutup sempurna, aku bergegas menuju ke cermin besar yang terpampang di sudut ruangan. Kedua tangan berusaha sekuat tenaga menarik resleting gaun pengantin yang melekat erat di tubuhku. Aku menggerutu dalam hati, frustrasi karena gaun itu seperti menolak untuk dilepaskan dari tubuhku.“Sial! Kenapa susah banget lepasinnya!” keluhku dengan nada tinggi, sambil terus berjuang dengan resleting itu. Akhirnya, dengan satu tarikan keras, resleting itu terbuka dan punggungku terpampang nyata.Ceklek!Suara pintu yang terbuka membuatku tersentak. Refleks, aku berbalik badan, dan mataku langsung bertemu dengan pandangan Biru yang sudah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar.“Biru!” teriakku kesal, sambil cepat-cepat membalikkan badan lagi, berusaha menutupi punggung terbuka dengan kedua tangan. Hatiku berdebar keras, tidak mengerti mengapa dia bisa ada di sini.Biru hanya menyipitkan matanya, seolah mencoba memahami situasi, namun wajahnya tidak menunjukkan emosi
"Emang enak di cuekin," ucapku sambil tersenyum senang melihat adik tiriku itu di tinggal begitu saja oleh Biru, suamiku.Aku berdiri dengan menyandarkan punggung di dinding dan melipat kedua tangan di depan dada.Langkah Anggia yang gemas dan penuh amarah terdengar nyaring di lorong rumah yang sunyi. Kedua tangannya terkepal, seolah siap untuk melepaskan segala kekesalan yang dipendam. Dia berhenti sejenak, menatapku dengan pandangan tajam yang membakar. "Apaan sih lo! Emang kak Biru itu peduli sama lo!" suaranya memecah kesunyian, sinis dan menyakitkan.Aku hanya tersenyum simpul, menanggapi setiap kata yang dilontarkannya dengan ketenangan yang terlatih. "Emangnya kenapa kalau Biru nggak peduli sama gue?" tanyaku, suara penuh ketidakpedulian. Aku berdiri tegak, menghadapinya dengan wajah datar. "Gue pun juga nggak berharap kalau Biru peduli sama gue. Bodo amat! Kita menikah karena perjodohan konyol, gue dan Biru sama-sama nggak mengharapkan."Anggia mendengus keras, frustrasi de
Ketegangan memenuhi ruangan saat aku mendapati diriku diperintah oleh Biru untuk mengerjakan tugasnya. "Dia pikir gue pembantunya, apa?" gumamku dalam hati sambil tangan terus mengetik jawaban tugas yang bukan milikku. "Tunggu aja, Biru. Lo pasti akan menyesal telah memperlakukan gue seperti ini!" ucapku penuh ancaman namun masih terkendali. Kesal, namun dengan segala upaya aku menyelesaikan tugas tersebut, sambil dalam hati tertawa kecil membayangkan kejadian esok hari di sekolah. "Gue udah nggak sabar lihat wajah lo yang panik," bisikku sembari menyimpan buku tugas Biru dan membaringkan tubuh, melupakan tentang keberadaan Biru yang entah dimana. Sungguh aku tidak peduli.Dalam benakku, skenario demi skenario mulai terbentuk, setiap detilnya dirancang untuk membuat Biru merasakan penyesalan mendalam. Seulas senyum licik merekah di wajahku, membayangkan kepanikan yang akan melanda Biru ketika mengetahui balasan yang telah aku siapkan."Jadi tidak sabar menunggu pagi," gumamnya
"Biru sialan! Gue benci sama lo!" teriakku sambil menatap mobil yang di kendarai olehnya yang kian menjauh meninggalkan aku sendirian di tempat ini.Rasa marah, benci, dan kesal menjadi satu. Mungkin saat ini kepalaku sudah keluar asapnya. Entah kenapa ingin rasanya aku marah dengan papa yang bisa-bisanya mempunyai ide menjodohkanku dengan cowok yang tak punya hati itu. Siapa lagi kalau bukan Biru sialan itu."Astaga! Bisa telat nih gue," gumamku saat melihat jam yang ada di pergelangan tanganku. Jarak tempatku berdiri dengan sekolah masih sangat jauh. Dan sekarang aku tak tahu harus bagaimana. Segera aku mengambil ponselku untuk memesan taksi atau ojek online yang bisa membawaku ke sekolah dengan cepat."Astaga! Kenapa nggak ada satu pun ojek yang bisa aku pesan? Taksi pun tak ada," desahku pelan. Tak ada lagi harapanku untuk tiba di sekolah tepat waktu.Sudah bisa di tebak aku akan terlambat ke sekolah dan akan mendapat hukuman.Namun, tiba-tiba secercah harapan muncul saat mata i
Biru berdiri di depan meja Bu Amel, kedua tangannya mengepal di samping tubuhnya. "Kenapa saya dihukum Bu? Saya salah apa?" tanyanya dengan suara gemetar. Jantungnya berdegup keras, matanya penuh kebingungan memandang wajah muram Bu Amel. Bu Amel menghela napas berat sebelum menunjuk tajam pada Biru. "Kamu masih tanya apa salah kamu?" suaranya meninggi penuh amarah. Dengan gerakan tegas, ia menyodorkan buku tugas tebal yang telah dibawa. "Ini lihat!" Biru menerima buku itu dengan perlahan. Detik berikutnya, matanya terbelalak membaca judul puisi 'Bu Amel'. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar menahan rasa kaget dan tak percaya. Dari sudut kelas, aku menatap adegan itu. Senyum tipis menghiasi wajahku, alis terangkat penuh kemenangan. "Rasain lo!" gumamku dalam hati, antusias melihat Biru terpaksa berlari mengelilingi lapangan tiga kali putaran sebagai hukuman.Biru terperanjat, matanya terbelalak ketika melihat judul puisi itu. "Tapi, Bu, ini bukan tulisan saya!" serunya, suaranya t
"Loh, makanan gue," gumamku saat Biru dengan mudahnya mengambil makanan yang di bawa Lala."Woy, apa-apaan lo!" teriakku tak terima begitu Biru duduk manis dan menyantap makananku dengan seenaknya. Jelas saja aku tidak terima, perutku sudah keroncongan tak ada isinya dengan mudahnya Biru mengambil jatah makananku. Kalau dia mau makan kenapa nggak pesan sendiri!Ingin rasanya aku tabok wajahnya yang songong itu biar dia bisa menghargai orang sedikit saja. Biar pun dia suami ku tapi sikapnya yang arogan membuatku sangat membencinya."Udah Aya, biarin aja. Gue akan pesan lagi buat kita," ucap Lala mencoba menenangkan.Dia menarik aku untuk kembali duduk di tempatku lagi. "Nggak. Gue nggak akan terima. Kalau dia mau makan harusnya dia pesan sendiri. Kenapa harus ngambil makanan gue!" Aku kembali berdiri, meski Lala menghalangi langkahku tapi aku tak peduli. Emosi sudah berada di ubun-ubun.Aku melepaskan tangan Lala yang masih setia menarikku sambil mengumpat Biru."Maksud lo apa! Itu
Biru mendekatiku yang tengah terkulai tak berdaya di atas kasur. Cahaya sore yang malas-malasan menerobos masuk melalui celah jendela, menambah kelesuan di ruang itu. Dengan lembut, ia menggoyang-goyangkan bahu ku, penuh perhatian. "Aya, kamu masih ingat tawaran mama nggak?" tanyanya dengan suara yang menggema kehangatan. Aku mengerjap, berusaha mengumpulkan ingatan yang terasa berantakan. "Yang mana?" Aku memiringkan kepala, mencoba memori yang berkelebat tak pasti. "Aku nggak ingat," jawabku akhirnya, sambil menghela napas panjang.Suasana kamar yang hanya diterangi cahaya lampu tidur, aku terbaring lemas di atas kasur dengan pikiran yang melayang-layang. Biru, dengan raut wajah yang kecewa, ikut berbaring di kasur sambil memegang ponselnya. "Yang liburan itu loh, kamu mau nggak?" tanya Biru dengan nada yang sedikit memaksa, mencoba menggoda ku dengan gambar-gambar destinasi yang indah di layar ponselnya.Aku hanya menghela napas, mataku yang sayu menatap ke arah Biru, "Nggak,
Waktu seakan berlari, mengejar detik yang tak tergenggam. Papa Erwin baru saja tiba dari rumah sakit, dan hari ini adalah hari ujian yang menentukan untuk aku dan Biru. Saat sarapan, suara papa memecah keheningan. "Kalian sudah persiapkan diri dengan matang, aku yakin kalian berdua bisa meraih nilai sempurna," katanya dengan tatapan yang menunjukkan kepercayaan mendalam. Biru, dengan senyuman simpulnya, menanggapi, "Semoga Pa, doakan Biru ya," katanya sambil sesekali melirik ke arahku. Papa mengangguk, tangannya terasa hangat di pundak Biru. "Tentu, aku doakan kalian berdua," sahutnya seraya tersenyum. Biru mendekat, berbisik dengan nada gurau namun serius, "Jangan lupa janji kamu. Kalau aku dapat nilai tinggi, aku akan mendapat hak ku sebagai suamimu. Otomatis aku resmi menjadi suami kamu ya." Sejenak, aku terdiam, merasakan detak jantungku yang memburu. "Benarkah sudah saatnya?" gumamku dalam hati sambil mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran itu terus bergulat di kepala, mem
"Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku
Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal
Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s
Dering telepon dari Biru memecah kesunyian malam yang mendebarkan. Suaranya terdengar panik, "Cepat ke rumah sakit sekarang!" Jantungku langsung berdegup kencang. Otakku membayangkan segala kemungkinan yang terburuk. Tanpa berpikir panjang, aku lari menuju rumah sakit, meninggalkan peluang untuk menangkap ob yang mungkin terlibat meracuni Papa. Kepanikan itu menguasai setiap langkahku.Dengan napas tersengal-sengal, aku melompat keluar dari mobil dan berlari secepat kilat menyusuri koridor rumah sakit yang terasa begitu panjang. Lampu-lampu overhead berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang bergerak di sepanjang dinding. Setiap detik terasa seperti jam, dan jantungku berdebar keras, seolah ingin meledak keluar dari dada.Ketika sampai di ruang VVIP, aku hampir-hampir terjatuh karena tergesa-gesa. Mengambil napas dalam-dalam, aku menekan handle pintu dan mendorongnya dengan lembut. "Papa," suaraku bergetar saat aku memanggilnya. Aku melihat Biru duduk di samping ranjang dengan ra
Dengan langkah yang ringan dan hening, aku menerobos ke dalam kegelapan kantor yang sudah sepi. Berkat pakaian serba hitam yang kukenakan, aku seperti bayangan yang sulit terlihat. Ruangan demi ruangan kulewati tanpa suara. Sesekali, cahaya dari lampu jalan yang masuk melalui jendela memantulkan siluetku di dinding.Mataku tertuju pada sosok yang tampak bergerak di ujung koridor. Jantungku berdegup kencang, namun setelah menunggu beberapa saat, aku menghela napas lega. Itu hanya pak satpam yang sedang melakukan ronda malam. Aku menunggu hingga suara langkah kaki itu menghilang sebelum aku melanjutkan misi.Dengan perlahan, aku mengintip ke dalam ruangan papa. "Cangkir kopi bekas papa," bisikku saat melihat meja kerja yang sudah rapi tanpa ada satu pun dokumen yang tersisa. Aku menyusuri ruangan itu, membuka setiap laci yang ada dengan harapan menemukan sesuatu yang terlewatkan. Namun, nihil. Tidak ada satu petunjuk pun yang tertinggal, semuanya telah bersih.Aku berdiri di tengah ruan
Mataku berkaca-kaca, aku menatap Paman Rudi dengan penuh harap ketika dia melangkah keluar dari ruang perawatan. Bibirku gemetar sedikit saat aku bertanya, "Apa yang terjadi sama Papa, Paman? Kenapa Papa bisa sakit?" Tangan Paman Rudi yang hangat memegang bahuku dengan penuh perhatian. "Tenang, Aya, Papa kamu baik-baik saja," ujar Paman Rudi dengan suara yang menenangkan. Cahaya lampu lorong rumah sakit itu terasa begitu menyilaukan bagi ku, seolah mencerminkan kecemasan yang melanda hatiku. Tangisan ku pecah, suara isakan terdengar begitu pilu di lorong yang sunyi. Paman Rudi, dengan ekspresi penuh kekhawatiran, mengusap punggung ku perlahan, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah ketakutan yang melanda.Paman Rudi menarik napas dalam-dalam, menatap aku dan suamiku, Biru, yang duduk di sampingnya dengan mata yang sayu. "Tadi papamu muntah darah," ungkapnya, suaranya berat, mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk tidak membuat anak dari atasannya ini semakin larut dalam