Share

Bab 4

"Kebaikan apaan? Emang ada hubungannya gue sama acara itu?" gumam Biru dalam hati.

"Udah, sana istirahat dulu. Nanti mama akan siapin pakaian buat kamu," ucap Bu Siska sambil mengusap lengan anaknya.

Biru mengerutkan dahinya sambil melangkah gontai menuju ke kamarnya. Dalam hati pun bertanya-tanya ada acara apa nanti malam sampai-sampai mamanya akan menyiapkan baju untuknya.

Malam harinya, Biru semakin keheranan saat memakai baju batik yang telah di siapkan sang mama untuknya.

Biru memandang refleksi dirinya di cermin, memutar-mutar tubuhnya, memastikan tiap jahitan batik itu terlihat sempurna di tubuhnya. Lampu kamar yang remang-remang menambah kesan mistis pada motif batik yang dikenakannya. "Acara apa sih, kok pakai batik segala?" tanyanya lagi, masih belum mengerti kenapa malam itu dia harus berdandan seperti akan pergi ke pesta.

Bu Siska tersenyum lebar, matanya berbinar melihat anaknya yang sudah beranjak dewasa. "Ada acara spesial, Nak. Kamu akan tahu nanti," jawabnya, penuh dengan misteri. Biru hanya bisa mengangkat bahu, tapi dalam hatinya, rasa penasaran mulai menggebu.

"Wah, ganteng banget anak mama," puji Bu Siska lagi, matanya memeriksa setiap detail dari pakaian Biru. 

"Anakmu ini sudah ganteng dari sananya Ma," sahut Biru sambil memeluk mamanya dengan hangat. Bu Siska mengelus lengan Biru dengan sayang, rasa haru tercampur bangga terpancar dari wajahnya.

Di luar dugaan Biru, malam itu ternyata menjadi malam yang sangat berarti. Keluarga  terdekat telah berkumpul di ruang tamu, semua mata tertuju padanya saat dia melangkah masuk. 

Biru menggaruk kepalanya yang tidak gatal melihat papa dan omnya juga mengenakan batik. 

"Wah, kamu gagah sekali Bi. Pantas saja papamu pengen cepat nikahkan kamu," celetuk salah satu om Biru yang sangat dekat dengan Biru.

"Apaan sih Om," dengus Biru tak suka. 

Biru terdiam, apa benar ia akan di nikahkan? Sama siapa?

Rombongan keluarga Biru pun berangkat menuju ke rumah calon mempelai wanita.

***

Ketika keheranan muncul di wajahku, tangan sang penata rias yang terampil terus mengayun dan menorehkan makeup tebal di wajahku, membuatku tampak seperti ondel-ondel. Rasa gerah dan tidak nyaman mulai menyusup di balik lapisan kebaya yang kugunakan. 

"Sebenarnya ada acara apaan sih? Kenapa harus overdressed begini?" gumamku pelan.

 Setelah sang MUA selesai berkreasi dengan wajahku dan pergi meninggalkanku sendiri di ruangan, aku berdiri di depan cermin. Ada sedikit tawa yang terlepas ketika melihat hasilnya. 

"Ternyata gue cantik juga dengan gaya kek gini," aku berbisik kagum pada pantulan diriku. 

 Namun, suasana berubah ketika pintu tiba-tiba terbuka dengan cepat dan Anggia, saudara tiriku, masuk dengan wajah muram. 

“Masih sempat ketawa? Puas ya, udah berhasil merebut Biru dari gue!" serangannya tajam membuatku terkejut. 

 Kerutan di dahiku menjadi semakin dalam. "Maksud lo apa? Gue beneran nggak ngerti," kataku dengan nada kebingungan yang tulus. 

 Dia melangkah maju, amarahnya terlihat jelas. "Stop acting as if you know nothing!" bentaknya, meninggikan suara. 

 Jujur, aku benar-benar tak mengerti. "Gue  serius, Gi. Gue sama sekali nggak tau apa yang lo bicarakan," jawabku, mencoba meredam situasi yang memanas.

Setelah mendengar tanggapan bingungku, Anggia semakin geram. Dengan langkah cepat, dia mendekat hingga jarak antara kami hanya beberapa sentimeter. Napasnya terengah, menunjukkan betapa emosinya telah memuncak. 

"Jangan pura-pura polos! Semua orang tahu lo yang menggoda Biru sampai dia meninggalin gue," teriaknya, matanya berkaca-kaca menahan amarah dan kesedihan.

Aku terkejut, tubuhku kaku. "Tapi, itu sama sekali nggak benar," sahutku lemah, berusaha menenangkan situasi. 

"Gimana caranya gue godain Biru. Gue sama Biru aja musuhan. Hadeeh!" batinku bingung.

"Gue sama Biru cuma teman, Anggia. Gue nggak pernah ada maksud lebih dari itu."

Anggia menggeleng keras, rambut panjangnya terayun. "Bullshit! Gue lihat cara lo pandang dia, cara lo tersenyum padanya!" ucapnya sambil menunjuk-nunjuk ke arahku. Air mata mulai berjatuhan dari matanya, meninggalkan jejak mascara yang luntur.

Hatiku terasa berat, saudara tiriku malah menuduhku merebut Biru darinya. "Anggia, coba tenang dan dengarin gue," pintaku, tanganku terulur ingin meraih tangan Anggia tapi dia menghindar.

"Tenang? Setelah lo rampas semua dari gue?" Anggia menatapku dengan rasa sakit yang mendalam, kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan meninggalkan ruangan dengan langkah gontai, meninggalkanku sendirian dengan kebingungan dan kehancuran hubungan yang tak pernah kusangka.

Diam membisu, aku merenung panjang, menelaah tudingan Anggia yang terasa tak masuk akal. "Kenapa harus Biru? Kami saja selama ini berjarak bak kutub." Keluhku dalam gundah, merasa sendiri dalam perangkap kata-kata saudara tiriku. 

 "Heran, Papa juga kenapa pilih pakai outfit ini?" Gerutuku sambil menatap lemas ke cermin, tak paham dengan selera papa yang tiba-tiba itu.

 Ketika aku tenggelam dalam keluh kesah, pintu kamarku terdorong terbuka. "Cahaya, apa yang telah kamu lakukan pada anakku? Selalu saja membuat Anggia sakit hati!" bentak Tante Ayuni dengan nada tinggi, yang memotong lamunanku. 

Tante Ayuni, berdiri dengan tubuh tegap di ambang pintu, matanya menyalakan api kemarahan.

"Apaan sih Tan, aku nggak ganggu Anggia kok," jawabku dengan nada santai, berusaha menenangkan situasi meski di dalam hati merasa ada ketidakadilan yang terus menerus dituduhkan kepadaku.

Tante Ayuni melangkah masuk, raut wajahnya memerah, "Jangan berpura-pura Cahaya, Anggia bilang kalau kamu sudah merebut Biru darinya!"

Aku mengerutkan kening, kebingunganku bertambah. "Tapi Tan, aku sama Biru aja nggak pernah akur, kenapa harus aku yang disalahkan terus?"

Napas Tante Ayuni terdengar berat, seolah berusaha menahan emosi. "Kamu ini harusnya bisa mengerti, sebagai kakak tiri, kamu harus melindungi perasaan adikmu, bukan malah membuat situasi menjadi tegang!"

Mendengar itu, aku hanya bisa menghela napas panjang, merasa kecewa karena sering kali tuduhan yang tidak berdasar selalu mengarah padaku, hanya karena aku bukan anak kandung Tante Ayuni.

"Sayang," bisik papa lembut sambil perlahan mengetuk pintu kamarku. Tangan gemetarnya berhenti di gagang pintu, meminta izin masuk. 

Seiring dengan terbukanya pintu, mata papa memandangku, penuh emosi yang bergolak di balik kedipan air mata yang menggantung. "Aya, kamu cantik sekali. Mirip sekali dengan mamamu," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar saat jemari hangatnya menyentuh pipiku dengan penuh kelembutan. 

 Senyum tipis saja yang mampu ku ukir, meringkaskan segala kata yang tak bisa ku ungkapkan. 

"Ayo, sebentar lagi para tamu akan segera tiba," ujar papa, suaranya lebih mantap sambil meraih tanganku dan membimbingku turun. 

Tangga berderit di bawah langkah kita, seolah ikut bersuara dalam ketegangan hati ini. Ruangan di bawah telah berubah drastis, dihiasi seperti pelaminan. 

"Pa, sebenarnya ini acara apa sih? Kenapa ruang tamu," belum sempat aku selesai bertanya, mataku terpaku pada banner yang mengumumkan 'Aya dan Bi' dengan huruf-huruf yang bergemerlapan. Kata-kata tersangkut di tenggorokan. 

 "P-Papa," suaraku bergetar, berusaha mencari kata-kata yang tepat. 

Papa hanya tersenyum lembut, masih menggenggam erat tanganku. "Iya, Aya, malam ini adalah malam pertunanganmu, dan esok, kalian akan menikah. Ini semua demi masa depanmu," papa berusaha menjelaskan, namun setiap kata yang diucapkannya, meskipun lembut, terasa bak petir di siang bolong yang menyambar.

Tubuhku membeku, rasanya sangat sulit di percaya. "Tunangan? Menikah?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status