Share

Bab 7

Panik, itulah yang kurasakan saat Biru mendekatkan wajahnya, jantungku berdetak kencang, pikiranku melayang pada segala kenangan pahit yang pernah terjadi di antara kami. 

Namun, saat bibirnya menyentuh keningku, aku merasakan kehangatan yang tak terduga. Kecupan itu singkat, namun cukup untuk membuat detak jantungku yang sebelumnya berpacu, kini berhenti sejenak.

Saat aku membuka mata, tepuk tangan riuh rendah menggema di ruangan itu, memecah keheningan yang sempat tercipta. Bu Siska tersenyum lebar, kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mengucapkan, "Sekarang kalian sudah resmi menjadi suami istri."

Papa kemudian menambahkan, "Kalian bisa tinggal di rumah ini atau di rumah Biru, bebas." Kata-katanya menggantung di udara, menambah ketegangan yang sudah terasa. Aku dan Biru saling bertukar pandang, matanya mencoba menafsirkan apa yang ada di benakku, namun aku hanya bisa memberikan tatapan yang kosong.

Kami berdua berdiri di sana, dikelilingi oleh kerabat dan keluarga dekat namun seolah-olah terisolasi dalam gelembung yang hanya berisi kami berdua. Aku masih belum bisa percaya bahwa kini aku resmi menjadi istri pria yang pernah kuanggap sebagai musuh.

Aku celingukan mencari di mana keberadaan suadara tiriku berada. Sejak dia mengantarku ke bawah aku sudah tak melihatnya lagi.

"Apa dia sedang nangis kejer?" gumamku dalam hati mengingat ia sangat mengidolakan Biru dan sekarang Biru telah menjadi suamiku.

Acara telah usai, dan Bu Siska serta Pak Indra bersiap untuk meninggalkan tempat ini. Bu Siska menghampiriku, "Aya, lain kali ajak Biru menginap di rumah ya," ucapnya dengan senyum hangat yang mampu melembutkan hati siapa pun. 

Aku terkekeh kecil, masih merasa canggung, "Iya, Ma," sahutku gugup. 

Namun, sejenak, Biru mendapat nasihat dari Pak Indra yang berbisik tegas, "Biru, jaga kelakuanmu, jangan sampai mama papa malu," ungkapnya seraya menatap tajam.

 Wajah Biru tidak berekspresi, seolah kata-kata itu tak memberi beban baginya. Tiba-tiba, muncul seorang pria muda yang pernah ku lihat saat acara kemarin. Dia menghampiri Biru sambil membawa sebuah tas ransel. 

"Ini pakaiannya, dari Bu Siska," bisiknya pelan.

 Raut wajah Biru masih saja tanpa emosi, dan aku sedikit mendesah kecewa melihat sikapnya terhadap orang yang lebih tua. Benar-benar nggak sopan!

Ketika kami berdua berada di dalam kamarku, Biru mengamati sekeliling sebelum duduk di tepi tempat tidurku. 

Dia melontarkan pertanyaan yang cukup membuatku tersentak, "Kasurnya kurang besar nggak sih buat kita?" Ada nada ganda yang tak kuharapkan dari mulutnya.

Menurutku kasurku cukup luas, untuk aku tidur pun aku tak akan terjatuh. Sebentar, kok ada yang aneh. Kita?

Aku yang mendengarnya sedikit risih. "Maksud lo apa?!" tanyaku sedikit meninggi.

"Kita kan pengantin baru. Masa nggak ngerti sih," jawab Biru yang lagi-lagi membuatku merasa agak tak nyaman.

Plak! 

"Nggak usah mikir yang macam-macam ya!" ucapku galak sambil menabok lengan Biru.

Ia meringis sambil mengusap lengannya yang terasa panas.

"Siapa yang mikir macam-macam? Emang gitu kan konsepnya. Kita di paksa nikah buat apaan coba kalau nggak bikin..," ucapan Biru terhenti karena aku membekap mulutnya. 

Lama-lama bicara dengannya otak dan telingaku yang masih suci ini ternodai.

Ia mencubit tanganku untuk memindahkannya seolah tanganku benda yang menjijikkan.

"Lo itu selain songong ternyata mesum juga," sinisku.

Biru merasa tersinggung dengan kata-kataku. 

"Mesum gimana, coba lo pikir aja. Orang tua kita nikah terus jadilah kita. Apanya yang salah sama pendapat gue. Bukannya lo pinter di sekolah, gitu aja lo nggak tau!" dengusnya.

Jika di pikir-pikir ada benarnya juga omongan Biru. Setiap pasangan yang sudah menikah pasti akan punya keturunan. Yang artinya mereka melakukannya. 

Aku merasakan matanya yang menatap tak percaya saat dia mengejekku, membuatku ingin membenamkan wajahku kedalam telapak tanganku sendiri. 

"Apaan sih, Biru! Itu buat pasangan yang saling mencinta. Kita? Jauh!" nada suaraku meninggi penuh emosi. 

Biru hanya mengangkat alisnya, senyum sinis tak lepas dari bibirnya, "Oh, jadi lo mau gue buat lo jatuh cinta dulu, baru bisa melakukannya?" godanya. 

Aku menggertakkan gigi, "Mana mungkin gue jatuh cinta sama lo. Malah sebaliknya, lo pasti yang bakal jatuh hati duluan sama gue!" sahutku tanpa mengalah. 

Tawa renyah Biru pecah di ruangan itu, "Gue jatuh hati sama lo? Mustahil, Cahaya redup!" ejeknya sambil menoyor kepalaku.

Dengan kesal, aku mendesis, "Ih, menyebalkan!" lalu meradang, "Udah sana, keluar! Gue mau ganti baju!" usirku dengan tangan menunjuk ke arah pintu. 

Biru hanya mengibaskan tangan, "Ganti saja, kita kan udah resmi jadi suami istri, nggak masalah, kan?" jawabnya santai, tanpa terbebani sedikit pun.

Aku mengerutkan keningnya, jelas terganggu dengan sindiran Biru yang tak kunjung henti. "Apa maksud lo sebenarnya, Biru?" tanyanya dengan nada kesal.

Biru hanya tersenyum lebar, matanya berkilau kegirangan melihat aku terprovokasi. "Gue ***a pengen lihat seberapa besar lo bisa marah, Cahaya. Ternyata mudah banget bikin lo kesal," ucapnya sambil tertawa.

Aku menghela napas dalam, berusaha menahan emosi. "Lo pikir ini lucu? Lo pikir gangguin gue itu menyenangkan?" kataku, suaraku meninggi.

"Tentu aja, apalagi lihat lo yang biasanya sok cantik jadi kayak gini," sahut Biru, seraya duduk di tepi tempat tidur dan melipat tangan di depan dada.

Aku menatap Biru tajam, seolah ingin melontarkan seribu makian tapi tak jua keluar. "Lo tahu, gue benar-benar nggak mengerti kenapa gue harus menikah dengan lo," ujarku akhirnya, dengan suara bergetar menahan frustrasi.

"Ya udah, kalau lo mau ganti baju, ganti aja. Gue nggak akan lihat kok," Biru berkata santai, memalingkan wajahnya.

Aku mendengus, tidak percaya dengan ketenangan Biru. "Lo pikir gue percaya? Gue nggak butuh izin lo untuk privasi gue sendiri!" seruku, sebelum berbalik menuju lemari untuk mengambil pakaian.

Biru menahan tawa, menikmati setiap detik kemarahan yang terpancar dari wajahku. 

"Ya sudah, kalau gitu gue keluar. Tapi ingat, gue tetap di sini, di luar pintu, jadi kalau lo butuh sesuatu, teriak aja," ujarnya sambil beranjak menuju pintu.

Aku mendesah keras, mengusap wajah yang terasa panas karena marah. Aku merasa terjebak dalam permainan Biru yang tak pernah dia mengerti aturannya.

"Belum ada satu jam gue nikah sama dia aja udah kayak gini. Apalagi seterusnya, bisa mati muda gue. Menyebalkan!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status