Panik, itulah yang kurasakan saat Biru mendekatkan wajahnya, jantungku berdetak kencang, pikiranku melayang pada segala kenangan pahit yang pernah terjadi di antara kami.
Namun, saat bibirnya menyentuh keningku, aku merasakan kehangatan yang tak terduga. Kecupan itu singkat, namun cukup untuk membuat detak jantungku yang sebelumnya berpacu, kini berhenti sejenak. Saat aku membuka mata, tepuk tangan riuh rendah menggema di ruangan itu, memecah keheningan yang sempat tercipta. Bu Siska tersenyum lebar, kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mengucapkan, "Sekarang kalian sudah resmi menjadi suami istri." Papa kemudian menambahkan, "Kalian bisa tinggal di rumah ini atau di rumah Biru, bebas." Kata-katanya menggantung di udara, menambah ketegangan yang sudah terasa. Aku dan Biru saling bertukar pandang, matanya mencoba menafsirkan apa yang ada di benakku, namun aku hanya bisa memberikan tatapan yang kosong. Kami berdua berdiri di sana, dikelilingi oleh kerabat dan keluarga dekat namun seolah-olah terisolasi dalam gelembung yang hanya berisi kami berdua. Aku masih belum bisa percaya bahwa kini aku resmi menjadi istri pria yang pernah kuanggap sebagai musuh. Aku celingukan mencari di mana keberadaan suadara tiriku berada. Sejak dia mengantarku ke bawah aku sudah tak melihatnya lagi. "Apa dia sedang nangis kejer?" gumamku dalam hati mengingat ia sangat mengidolakan Biru dan sekarang Biru telah menjadi suamiku. Acara telah usai, dan Bu Siska serta Pak Indra bersiap untuk meninggalkan tempat ini. Bu Siska menghampiriku, "Aya, lain kali ajak Biru menginap di rumah ya," ucapnya dengan senyum hangat yang mampu melembutkan hati siapa pun. Aku terkekeh kecil, masih merasa canggung, "Iya, Ma," sahutku gugup. Namun, sejenak, Biru mendapat nasihat dari Pak Indra yang berbisik tegas, "Biru, jaga kelakuanmu, jangan sampai mama papa malu," ungkapnya seraya menatap tajam. Wajah Biru tidak berekspresi, seolah kata-kata itu tak memberi beban baginya. Tiba-tiba, muncul seorang pria muda yang pernah ku lihat saat acara kemarin. Dia menghampiri Biru sambil membawa sebuah tas ransel. "Ini pakaiannya, dari Bu Siska," bisiknya pelan. Raut wajah Biru masih saja tanpa emosi, dan aku sedikit mendesah kecewa melihat sikapnya terhadap orang yang lebih tua. Benar-benar nggak sopan! Ketika kami berdua berada di dalam kamarku, Biru mengamati sekeliling sebelum duduk di tepi tempat tidurku. Dia melontarkan pertanyaan yang cukup membuatku tersentak, "Kasurnya kurang besar nggak sih buat kita?" Ada nada ganda yang tak kuharapkan dari mulutnya. Menurutku kasurku cukup luas, untuk aku tidur pun aku tak akan terjatuh. Sebentar, kok ada yang aneh. Kita? Aku yang mendengarnya sedikit risih. "Maksud lo apa?!" tanyaku sedikit meninggi. "Kita kan pengantin baru. Masa nggak ngerti sih," jawab Biru yang lagi-lagi membuatku merasa agak tak nyaman. Plak! "Nggak usah mikir yang macam-macam ya!" ucapku galak sambil menabok lengan Biru. Ia meringis sambil mengusap lengannya yang terasa panas. "Siapa yang mikir macam-macam? Emang gitu kan konsepnya. Kita di paksa nikah buat apaan coba kalau nggak bikin..," ucapan Biru terhenti karena aku membekap mulutnya. Lama-lama bicara dengannya otak dan telingaku yang masih suci ini ternodai. Ia mencubit tanganku untuk memindahkannya seolah tanganku benda yang menjijikkan. "Lo itu selain songong ternyata mesum juga," sinisku. Biru merasa tersinggung dengan kata-kataku. "Mesum gimana, coba lo pikir aja. Orang tua kita nikah terus jadilah kita. Apanya yang salah sama pendapat gue. Bukannya lo pinter di sekolah, gitu aja lo nggak tau!" dengusnya. Jika di pikir-pikir ada benarnya juga omongan Biru. Setiap pasangan yang sudah menikah pasti akan punya keturunan. Yang artinya mereka melakukannya. Aku merasakan matanya yang menatap tak percaya saat dia mengejekku, membuatku ingin membenamkan wajahku kedalam telapak tanganku sendiri. "Apaan sih, Biru! Itu buat pasangan yang saling mencinta. Kita? Jauh!" nada suaraku meninggi penuh emosi. Biru hanya mengangkat alisnya, senyum sinis tak lepas dari bibirnya, "Oh, jadi lo mau gue buat lo jatuh cinta dulu, baru bisa melakukannya?" godanya. Aku menggertakkan gigi, "Mana mungkin gue jatuh cinta sama lo. Malah sebaliknya, lo pasti yang bakal jatuh hati duluan sama gue!" sahutku tanpa mengalah. Tawa renyah Biru pecah di ruangan itu, "Gue jatuh hati sama lo? Mustahil, Cahaya redup!" ejeknya sambil menoyor kepalaku. Dengan kesal, aku mendesis, "Ih, menyebalkan!" lalu meradang, "Udah sana, keluar! Gue mau ganti baju!" usirku dengan tangan menunjuk ke arah pintu. Biru hanya mengibaskan tangan, "Ganti saja, kita kan udah resmi jadi suami istri, nggak masalah, kan?" jawabnya santai, tanpa terbebani sedikit pun. Aku mengerutkan keningnya, jelas terganggu dengan sindiran Biru yang tak kunjung henti. "Apa maksud lo sebenarnya, Biru?" tanyanya dengan nada kesal. Biru hanya tersenyum lebar, matanya berkilau kegirangan melihat aku terprovokasi. "Gue ***a pengen lihat seberapa besar lo bisa marah, Cahaya. Ternyata mudah banget bikin lo kesal," ucapnya sambil tertawa. Aku menghela napas dalam, berusaha menahan emosi. "Lo pikir ini lucu? Lo pikir gangguin gue itu menyenangkan?" kataku, suaraku meninggi. "Tentu aja, apalagi lihat lo yang biasanya sok cantik jadi kayak gini," sahut Biru, seraya duduk di tepi tempat tidur dan melipat tangan di depan dada. Aku menatap Biru tajam, seolah ingin melontarkan seribu makian tapi tak jua keluar. "Lo tahu, gue benar-benar nggak mengerti kenapa gue harus menikah dengan lo," ujarku akhirnya, dengan suara bergetar menahan frustrasi. "Ya udah, kalau lo mau ganti baju, ganti aja. Gue nggak akan lihat kok," Biru berkata santai, memalingkan wajahnya. Aku mendengus, tidak percaya dengan ketenangan Biru. "Lo pikir gue percaya? Gue nggak butuh izin lo untuk privasi gue sendiri!" seruku, sebelum berbalik menuju lemari untuk mengambil pakaian. Biru menahan tawa, menikmati setiap detik kemarahan yang terpancar dari wajahku. "Ya sudah, kalau gitu gue keluar. Tapi ingat, gue tetap di sini, di luar pintu, jadi kalau lo butuh sesuatu, teriak aja," ujarnya sambil beranjak menuju pintu. Aku mendesah keras, mengusap wajah yang terasa panas karena marah. Aku merasa terjebak dalam permainan Biru yang tak pernah dia mengerti aturannya. "Belum ada satu jam gue nikah sama dia aja udah kayak gini. Apalagi seterusnya, bisa mati muda gue. Menyebalkan!"Setelah pintu kamarku tertutup sempurna, aku bergegas menuju ke cermin besar yang terpampang di sudut ruangan. Kedua tangan berusaha sekuat tenaga menarik resleting gaun pengantin yang melekat erat di tubuhku. Aku menggerutu dalam hati, frustrasi karena gaun itu seperti menolak untuk dilepaskan dari tubuhku.“Sial! Kenapa susah banget lepasinnya!” keluhku dengan nada tinggi, sambil terus berjuang dengan resleting itu. Akhirnya, dengan satu tarikan keras, resleting itu terbuka dan punggungku terpampang nyata.Ceklek!Suara pintu yang terbuka membuatku tersentak. Refleks, aku berbalik badan, dan mataku langsung bertemu dengan pandangan Biru yang sudah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar.“Biru!” teriakku kesal, sambil cepat-cepat membalikkan badan lagi, berusaha menutupi punggung terbuka dengan kedua tangan. Hatiku berdebar keras, tidak mengerti mengapa dia bisa ada di sini.Biru hanya menyipitkan matanya, seolah mencoba memahami situasi, namun wajahnya tidak menunjukkan emosi
"Emang enak di cuekin," ucapku sambil tersenyum senang melihat adik tiriku itu di tinggal begitu saja oleh Biru, suamiku.Aku berdiri dengan menyandarkan punggung di dinding dan melipat kedua tangan di depan dada.Langkah Anggia yang gemas dan penuh amarah terdengar nyaring di lorong rumah yang sunyi. Kedua tangannya terkepal, seolah siap untuk melepaskan segala kekesalan yang dipendam. Dia berhenti sejenak, menatapku dengan pandangan tajam yang membakar. "Apaan sih lo! Emang kak Biru itu peduli sama lo!" suaranya memecah kesunyian, sinis dan menyakitkan.Aku hanya tersenyum simpul, menanggapi setiap kata yang dilontarkannya dengan ketenangan yang terlatih. "Emangnya kenapa kalau Biru nggak peduli sama gue?" tanyaku, suara penuh ketidakpedulian. Aku berdiri tegak, menghadapinya dengan wajah datar. "Gue pun juga nggak berharap kalau Biru peduli sama gue. Bodo amat! Kita menikah karena perjodohan konyol, gue dan Biru sama-sama nggak mengharapkan."Anggia mendengus keras, frustrasi de
Ketegangan memenuhi ruangan saat aku mendapati diriku diperintah oleh Biru untuk mengerjakan tugasnya. "Dia pikir gue pembantunya, apa?" gumamku dalam hati sambil tangan terus mengetik jawaban tugas yang bukan milikku. "Tunggu aja, Biru. Lo pasti akan menyesal telah memperlakukan gue seperti ini!" ucapku penuh ancaman namun masih terkendali. Kesal, namun dengan segala upaya aku menyelesaikan tugas tersebut, sambil dalam hati tertawa kecil membayangkan kejadian esok hari di sekolah. "Gue udah nggak sabar lihat wajah lo yang panik," bisikku sembari menyimpan buku tugas Biru dan membaringkan tubuh, melupakan tentang keberadaan Biru yang entah dimana. Sungguh aku tidak peduli.Dalam benakku, skenario demi skenario mulai terbentuk, setiap detilnya dirancang untuk membuat Biru merasakan penyesalan mendalam. Seulas senyum licik merekah di wajahku, membayangkan kepanikan yang akan melanda Biru ketika mengetahui balasan yang telah aku siapkan."Jadi tidak sabar menunggu pagi," gumamnya
"Biru sialan! Gue benci sama lo!" teriakku sambil menatap mobil yang di kendarai olehnya yang kian menjauh meninggalkan aku sendirian di tempat ini.Rasa marah, benci, dan kesal menjadi satu. Mungkin saat ini kepalaku sudah keluar asapnya. Entah kenapa ingin rasanya aku marah dengan papa yang bisa-bisanya mempunyai ide menjodohkanku dengan cowok yang tak punya hati itu. Siapa lagi kalau bukan Biru sialan itu."Astaga! Bisa telat nih gue," gumamku saat melihat jam yang ada di pergelangan tanganku. Jarak tempatku berdiri dengan sekolah masih sangat jauh. Dan sekarang aku tak tahu harus bagaimana. Segera aku mengambil ponselku untuk memesan taksi atau ojek online yang bisa membawaku ke sekolah dengan cepat."Astaga! Kenapa nggak ada satu pun ojek yang bisa aku pesan? Taksi pun tak ada," desahku pelan. Tak ada lagi harapanku untuk tiba di sekolah tepat waktu.Sudah bisa di tebak aku akan terlambat ke sekolah dan akan mendapat hukuman.Namun, tiba-tiba secercah harapan muncul saat mata i
Biru berdiri di depan meja Bu Amel, kedua tangannya mengepal di samping tubuhnya. "Kenapa saya dihukum Bu? Saya salah apa?" tanyanya dengan suara gemetar. Jantungnya berdegup keras, matanya penuh kebingungan memandang wajah muram Bu Amel. Bu Amel menghela napas berat sebelum menunjuk tajam pada Biru. "Kamu masih tanya apa salah kamu?" suaranya meninggi penuh amarah. Dengan gerakan tegas, ia menyodorkan buku tugas tebal yang telah dibawa. "Ini lihat!" Biru menerima buku itu dengan perlahan. Detik berikutnya, matanya terbelalak membaca judul puisi 'Bu Amel'. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar menahan rasa kaget dan tak percaya. Dari sudut kelas, aku menatap adegan itu. Senyum tipis menghiasi wajahku, alis terangkat penuh kemenangan. "Rasain lo!" gumamku dalam hati, antusias melihat Biru terpaksa berlari mengelilingi lapangan tiga kali putaran sebagai hukuman.Biru terperanjat, matanya terbelalak ketika melihat judul puisi itu. "Tapi, Bu, ini bukan tulisan saya!" serunya, suaranya t
"Loh, makanan gue," gumamku saat Biru dengan mudahnya mengambil makanan yang di bawa Lala."Woy, apa-apaan lo!" teriakku tak terima begitu Biru duduk manis dan menyantap makananku dengan seenaknya. Jelas saja aku tidak terima, perutku sudah keroncongan tak ada isinya dengan mudahnya Biru mengambil jatah makananku. Kalau dia mau makan kenapa nggak pesan sendiri!Ingin rasanya aku tabok wajahnya yang songong itu biar dia bisa menghargai orang sedikit saja. Biar pun dia suami ku tapi sikapnya yang arogan membuatku sangat membencinya."Udah Aya, biarin aja. Gue akan pesan lagi buat kita," ucap Lala mencoba menenangkan.Dia menarik aku untuk kembali duduk di tempatku lagi. "Nggak. Gue nggak akan terima. Kalau dia mau makan harusnya dia pesan sendiri. Kenapa harus ngambil makanan gue!" Aku kembali berdiri, meski Lala menghalangi langkahku tapi aku tak peduli. Emosi sudah berada di ubun-ubun.Aku melepaskan tangan Lala yang masih setia menarikku sambil mengumpat Biru."Maksud lo apa! Itu
"Kenapa harus Cahaya sih, Bu!" protes Biru kesal. Terlihat sekali kalau ia membenciku."Em, teman lainnya saja Bu, yang mentorin Biru," aku jug ikut protes. Mengingat hubunganku dengan Biru yang tak pernah akur serta kita sama sekali tidak pernah cocok dalam pemikiran.Bukannya kita belajar yang ada kita malah tawuran.Aku melirik ke arah Biru dengan tatapan tajam. Malas saja kalau aku yang menjadi mentor belajarnya. Mana mau dia mengakui kalau aku ada di atasnya.Bu Wanti terdiam sejenak lalu menggelengkan kepalanya."Nggak ada yang lebih tepat selain kamu, Cahaya," Bu Wanti menegaskan."Tapi Bu, Biru nggak mau sama saya. Eh, maksudnya saya yang menjadi mentornya," ucapku sedikit protes dengan ide wali kelasku itu.Bu Wanti menoleh ke arah Biru yang duduk terdiam. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini.Bu Wanti melangkah lebih dekat di bangku Biru. Ia tampak menghela napas panjang."Nilai kamu itu sangat buruk Biru. Kalau kamu nggak mau di mentorin sama Cahaya, ibu yakin kamu ng
Biru duduk terpaku di kursinya, matanya membulat tak percaya mendengar teriakanku yang menggema di ruangan. Untuk sesaat, ruang belajar itu seperti terhenti, hanya suaraku yang terdengar lantang memecah keheningan. "Lo diam dan dengerin gue! Sekarang terserah lo, lo mau lulus apa kagak gue juga nggak peduli!" ujarku dengan nada tinggi dan emosi yang memuncak.Aku tahu mungkin Biru akan menganggapku cewek bar-bar, atau bahkan menganggapku layaknya istri yang kejam. Tapi, aku tak peduli. Semua yang aku lakukan ini demi kebaikannya, agar dia bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Dengan wajah merah padam, aku menunjuk pada buku yang tergeletak di meja dan memerintah, "Lo kerjain soal ini!"Biru menatapku tajam, seolah mencoba memahami maksud di balik ketegasan suaraku. Dia tahu ini bukan hanya tentang tugas, tapi tentang masa depannya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti jam, akhirnya dia mengangguk perlahan dan mulai membuka buku tersebut, memulai mengerjakan soal yang telah kup