"Loh, makanan gue," gumamku saat Biru dengan mudahnya mengambil makanan yang di bawa Lala."Woy, apa-apaan lo!" teriakku tak terima begitu Biru duduk manis dan menyantap makananku dengan seenaknya. Jelas saja aku tidak terima, perutku sudah keroncongan tak ada isinya dengan mudahnya Biru mengambil jatah makananku. Kalau dia mau makan kenapa nggak pesan sendiri!Ingin rasanya aku tabok wajahnya yang songong itu biar dia bisa menghargai orang sedikit saja. Biar pun dia suami ku tapi sikapnya yang arogan membuatku sangat membencinya."Udah Aya, biarin aja. Gue akan pesan lagi buat kita," ucap Lala mencoba menenangkan.Dia menarik aku untuk kembali duduk di tempatku lagi. "Nggak. Gue nggak akan terima. Kalau dia mau makan harusnya dia pesan sendiri. Kenapa harus ngambil makanan gue!" Aku kembali berdiri, meski Lala menghalangi langkahku tapi aku tak peduli. Emosi sudah berada di ubun-ubun.Aku melepaskan tangan Lala yang masih setia menarikku sambil mengumpat Biru."Maksud lo apa! Itu
"Kenapa harus Cahaya sih, Bu!" protes Biru kesal. Terlihat sekali kalau ia membenciku."Em, teman lainnya saja Bu, yang mentorin Biru," aku jug ikut protes. Mengingat hubunganku dengan Biru yang tak pernah akur serta kita sama sekali tidak pernah cocok dalam pemikiran.Bukannya kita belajar yang ada kita malah tawuran.Aku melirik ke arah Biru dengan tatapan tajam. Malas saja kalau aku yang menjadi mentor belajarnya. Mana mau dia mengakui kalau aku ada di atasnya.Bu Wanti terdiam sejenak lalu menggelengkan kepalanya."Nggak ada yang lebih tepat selain kamu, Cahaya," Bu Wanti menegaskan."Tapi Bu, Biru nggak mau sama saya. Eh, maksudnya saya yang menjadi mentornya," ucapku sedikit protes dengan ide wali kelasku itu.Bu Wanti menoleh ke arah Biru yang duduk terdiam. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini.Bu Wanti melangkah lebih dekat di bangku Biru. Ia tampak menghela napas panjang."Nilai kamu itu sangat buruk Biru. Kalau kamu nggak mau di mentorin sama Cahaya, ibu yakin kamu ng
Biru duduk terpaku di kursinya, matanya membulat tak percaya mendengar teriakanku yang menggema di ruangan. Untuk sesaat, ruang belajar itu seperti terhenti, hanya suaraku yang terdengar lantang memecah keheningan. "Lo diam dan dengerin gue! Sekarang terserah lo, lo mau lulus apa kagak gue juga nggak peduli!" ujarku dengan nada tinggi dan emosi yang memuncak.Aku tahu mungkin Biru akan menganggapku cewek bar-bar, atau bahkan menganggapku layaknya istri yang kejam. Tapi, aku tak peduli. Semua yang aku lakukan ini demi kebaikannya, agar dia bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Dengan wajah merah padam, aku menunjuk pada buku yang tergeletak di meja dan memerintah, "Lo kerjain soal ini!"Biru menatapku tajam, seolah mencoba memahami maksud di balik ketegasan suaraku. Dia tahu ini bukan hanya tentang tugas, tapi tentang masa depannya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti jam, akhirnya dia mengangguk perlahan dan mulai membuka buku tersebut, memulai mengerjakan soal yang telah kup
Dengan kedua tangan menutupi wajah, aku berteriak histeris saat mataku tanpa sengaja menangkap pemandangan yang tak seharusnya terlihat. Handuk Biru, yang sepertinya terlalu lepas, melorot hingga menampakkan bagian bawah tubuhnya yang tak tertutupi. Teriakan panikku memecah kesunyian, membuat Biru yang sama terkejutnya berteriak lantang.Biru, dengan refleks cepat, menggapai handuknya yang terjatuh dan melilitkannya kembali ke pinggangnya dengan gerakan yang cekatan. Matanya membulat menatapku yang masih dengan tangan di wajah. "Lo mau lihat punya gue?" sindirnya, suaranya mencampur aduk antara terkejut dan kesal.Kulihat wajahnya yang mencoba menyembunyikan rasa malu dibalik ekspresi kesal. Sementara itu, pipiku terasa panas, darahku seolah mendidih memerahkan wajahku. "Mana ada, gue nggak sengaja narik handuk lo!" balasku dengan nada tinggi, berusaha meyakinkan diri sendiri sekaligus Biru bahwa itu hanyalah kecelakaan yang memalukan.Suasana menjadi canggung sejenak, kami berdua sal
Motor sport hitam menerobos jalanan dengan laju dan suara yang menggelegar, membuat siapa pun yang berada di sekitarnya tersentak kaget. Tiba-tiba, motor itu mengerem dengan mendadak tepat di depanku, seketika itu pula aku kehilangan kendali. Motor ku terpelanting ke aspal dengan suara yang keras. "Aduh!" rintihku sambil meringis kesakitan. Kemarahan meluap, aku berteriak, "Sialan! Berhenti woy!" Perlahan, aku merangkak bangkit, mendirikan motorku yang terjatuh dengan susah payah.Dalam keadaan kesal dan napas tersengal-sengal, aku berlari menghampiri pengendara itu yang kini terhenti karena lampu merah. Dengan amarah memuncak, aku mengetuk helmnya keras. "Turun lo!" bentakku sambil memandangnya tajam. Pengendara itu, cowok berpostur tegap, hanya menoleh sebentar kepadaku, tidak menunjukkan tanda-tanda akan turun. "Heh! Lo harus tanggung jawab. Turun lo!" suaraku meninggi penuh penekanan. Dia akhirnya membuka kaca helmnya, mendekat dan dengan sombong menoyor kepalaku. "Minggir lo
Biru ******** sambil menahan sakit di kakinya yang baru saja aku tendang dengan keras tepat di tulang keringnya. Sambil tertawa lebar, aku meledeknya, "Rasain lo! Emang enak?" Mengancam dengan mata berkilat, aku berteriak, "Apa lo liat-liat, mau gue tendang lagi!" Segera, kaki ku mengayun seolah akan menendang sekali lagi, membuat Biru mundur ketakutan, khawatir akan sakit yang mungkin datang lagi. Di dalam hati, aku tertawa terpingkal-pingkal. Aku berjalan masuk ke kelas dengan langkah santai, acuh tak acuh terhadap tatapan menusuk dari Biru yang masih terasa sakit di kakinya. Biarlah, toh dia yang mulai mengganggu ketika aku hendak masuk kelas. Beberapa teman kami yang menyaksikan, segera mengalihkan pandangan, takut terkena amarah Biru. "Sialan lo! Untung aja lo cewek, kalau nggak lo udah habis sama gue!" seru Biru dengan wajah merah padam, perasaan sakit dan marah bercampur. Aku hanya menyeringai, mengabaikannya dan duduk di bangkuku, menunggu Lala teman sebangku untuk mul
Dengan gerak cepat, aku meraih tisu dan mengelap sudut mulutku. Tak ingin sekecil apapun kuman bertengger di dalam sana. Ekspresi geram tampak jelas di wajahku . "Lo, kalau mau minum, beli sendiri, jangan nyicip punya gue dong!" bentakku kasar sambil menunjuk minumannya yang telah tersentuh bibirku. "Udah gue bilang kalau tempat ini milik gue. Kalau nggak suka, sana keluar!" Keluhan itu meluncur tajam dari mulut Biru yang menunjuk pintu kantin yang terbuka lebar sebagai bukti ia tak main-main. Gery yang berdiri tepat disampingku menggertakkan giginya, menahan amarah. "Harusnya lo yang pergi!" dia membentak balik, suara garang memenuhi udara. Biru bangkit dengan tiba-tiba, mendorong Gery yang langsung terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan. Sinar matanya tajam, penuh kebencian melawan tatapan yang sama dari Gery. Aku yang melihat Biru dan Gery yang sudah sama-sama emosi dan sama-sama mengepalkan tangannya pun membuang napas dengan kasar. "Udah, nggak usah ribut," ucapku menco
"Kebaikan apaan? Emang ada hubungannya gue sama acara itu?" gumam Biru dalam hati."Udah, sana istirahat dulu. Nanti mama akan siapin pakaian buat kamu," ucap Bu Siska sambil mengusap lengan anaknya.Biru mengerutkan dahinya sambil melangkah gontai menuju ke kamarnya. Dalam hati pun bertanya-tanya ada acara apa nanti malam sampai-sampai mamanya akan menyiapkan baju untuknya.Malam harinya, Biru semakin keheranan saat memakai baju batik yang telah di siapkan sang mama untuknya.Biru memandang refleksi dirinya di cermin, memutar-mutar tubuhnya, memastikan tiap jahitan batik itu terlihat sempurna di tubuhnya. Lampu kamar yang remang-remang menambah kesan mistis pada motif batik yang dikenakannya. "Acara apa sih, kok pakai batik segala?" tanyanya lagi, masih belum mengerti kenapa malam itu dia harus berdandan seperti akan pergi ke pesta.Bu Siska tersenyum lebar, matanya berbinar melihat anaknya yang sudah beranjak dewasa. "Ada acara spesial, Nak. Kamu akan tahu nanti," jawabnya, penuh de