Aku melangkahkan kaki ke ruang makan, seragam sekolahku masih kaku dan rapi. "Selamat pagi Ma," ucapku seraya tersenyum pada mama Siska yang sudah sibuk di dapur bersama beberapa asisten. Senyumnya menyambutku hangat, membawa kedamaian di pagi yang cerah ini."Pagi juga sayang, Biru mana?" tanyanya sambil menoleh, wajahnya masih terliaht sangat cantik. Aku menarik kursi dan duduk, mengatur napas sejenak."Sebentar lagi juga turun, Ma. Udah pakai seragam kok tadi," jawabku sambil membetulkan letak dasiku. Aroma sarapan yang mama Siska siapkan mulai menggoda indra penciumanku, membuat perutku keroncongan.Mama Siska mengangguk, matanya berbinar-binar melihatku sudah bersiap rapi. Dia kemudian menuangkan susu hangat ke dalam cangkir sebelum meletakkannya di hadapanku. "Makan yang banyak ya, hari ini kan ada ulangan harian jadi biar bisa mikir lancar," pesannya lembut.Aku mengangguk, mengambil roti dan mulai mengolesinya dengan selai. Di luar sana, suara Biru terdengar, riang gembira men
Darahku seperti mendidih saat kata-kata Anggia meluncur menusuk. Tak seharusnya ia menyentuh kenangan tentang mamaku. "Lo bisa diam nggak sih? Gue bisa bungkam mulut lo!" umpatku, suara bergetar penuh amarah. Anggia, dengan senyuman menyeringai, menambah luka. "Kenapa? Mama lo kan emang tukang selingkuh!" Sindirnya tanpa rasa bersalah. Tanpa sadar, tanganku mendorong bahunya. Tubuhnya terhempas, punggungnya membentur dinding dengan keras. Napasku memburu, tangan terkepal. "Aya, udah, jangan," Lala menarik lenganku dengan lembut, matanya memohon agar aku berhenti.Mataku masih menyala dengan amarah yang belum juga padam. "Lo nggak berhak ngomongin mama gue!" teriakku, suaraku menggema di koridor yang sempit itu.Anggia mengerang kesakitan, tapi tatapan sinisnya masih terpaku padaku. "Gue cuma bilang yang sebenarnya, Aya. Kenyataannya pahit, ya?" sindirnya lagi, sambil mengusap punggungnya yang terbentur.Napas ku memburu, hati ini seolah ingin meledak. Lala memelukku erat, mencob
Di tengah keramaian kantin yang riuh dengan suara siswa-siswi lain, suara tamparan keras itu membahana, menarik perhatian semua orang seketika. Anggia, yang biasanya penuh percaya diri, kali ini terpaku, tangan gemetar menutup pipinya yang merah bersemu. Bekas tangan yang jelas terpampang di wajahnya yang selama ini dikenal sempurna.Aku berdiri tegak, napas naik turun dipenuhi emosi yang bergejolak. Mataku memandang tajam ke dalam mata Anggia, mencerminkan setiap bit amarah dan ketidakpuasan yang telah lama terpendam. "Udah gue bilang, gue bisa bungkam mulut lo yang busuk itu!" suaraku bergema, tegas dan dingin, memotong keheningan yang tiba-tiba muncul.Anggia, masih dengan tangan di pipi, matanya membulat tak percaya. Mulutnya membuka dan menutup, mencari kata-kata yang tepat untuk merespons, namun tak satu pun terucap. Dia melihat sekeliling, menyadari semua mata di kantin tertuju padanya, beberapa dengan rasa simpati, lainnya dengan rasa penasaran."Lo berani tampar gue!" suarany
Begitu aku memutar gagang pintu kamar, deras sebuah tamparan keras mendarat pada pipiku, membuatnya terasa panas dan bergetar. Tante Ayuni, dengan mata membara dan nafas terengah-engah, menghadapiku. Rupanya, Anggia telah mengadu kepadanya tentang perkelahian kami di sekolah. "Kamu ini terlalu berani, Aya! Menampar Anggia seperti itu, sungguh keterlaluan!" teriak Tante Ayuni, emosi yang tersirat dalam setiap kata. Tanganku mengusap pipi yang masih terasa pedih. "Tante, aku nggak akan mukul dia tanpa alasan yang jelas. Anggia duluan yang nyiram muka aku dengan air di kantin, dia yang provokasi!" balasku, mencoba menjelaskan sambil meredam amarah. Tante Ayuni menggeleng dengan tatapan yang tak percaya, "Aya, daripada menyalahkan orang lain, lebih baik kamu belajar mengakui kesalahanmu sendiri." Ungkapannya membuat jantungku terasa semakin berdebar, namun aku tahu, di mata Tante Ayuni, aku yang selalu keliru.Jelas saja ia membela anak kesayangannya. Sebesar apapun kesalahan yang d
"Aduh, sakit tau. Lo itu mau jadi mentor gue apa mau nyiksa gue!" protes Biru padaku.Ia menekuk wajahnya dalam sambil mengusap pipinya yang aku tepuk sedikit keras karena kesal."Salah sendiri, kenapa tidur. Bukannya ngerjain tugas malah molor," gerutuku."Namanya juga ngantuk," ucapnya santai. Aku hanya memutar bola mata malas. "Udah, lo kerjain sekarang," ucapku sedikit ketus.Biru menghela napas panjang. Aku tak mau lagi membatinnya karena takut tidak sesuai realita."Ini pakai rumus yang mana?" tanya Biru sambil menyodorkan kertas berisi soal padaku.Aku pun menjelaskan pada Biru cara pengerjaannya. "Nomor satu, dua dan lima pakai rumus bawah. Nomor tiga, empat pakai rumus atas," jawabku sambil menunjukkan rumus yang aku tulis di buku catatan.Biru mengangguk-anggukkan kepalanya. Entahlah, dia paham atau nggak aku nggak tahu.Beberapa menit kemudian, Biru menyerahkan hasil pekerjaannya."Udah kan, gue mau keluar," ujarnya sambil menyambar jaketnya. Aku masih melongo bego meliha
Selama pelajaran di jam terakhir aku sama sekali tidak melihat ke arah Biru. Kesal saja dengan cowok itu, seenaknya saja memberikan bekal yang ku berikan padanya pada Anggia. Mungkin kalau Biru memberikannya pada cewek lain aku tak sekecewa ini, tapi ia malah memberikannya pada adik tiriku yang menyebalkan itu."Aya, lo kenapa sih? Kok dari tadi diam aja?" Lala berbisik kepadaku, matanya memandangku dengan kekhawatiran yang samar, sementara guru sedang asyik menjelaskan materi di depan kelas. Aku hanya menggeleng pelan, seraya menatap buku di hadapanku. "Nggak papa. Emangnya aku harus teriak-teriak pas guru ngajar?" jawabku, nada suaraku meninggi, menunjukkan kekesalanku. Mendengar itu, Lala tertawa pelan, menutup mulutnya dengan tangan agar tawanya tak mengganggu kelas. "Gue tau lo masih kesal sama Biru, gara-gara dia ngasih bekal yang lo kasih ke Anggia. Sabar aja, nanti lo labrak aja tuh si Biru," katanya mencoba memprovokasi dengan suara yang lebih pelan. Sahabatku memang ane
"Berhenti, Pak!" teriakku, penuh ketakutan sambil mengetuk keras jendela taksi. "Tapi Neng, di luar berbahaya," jawab sopir taksi dengan nada khawatir. "Nggak apa, Pak, saya kenal sama orang yang dipukuli itu," balasku dengan suara getir, tidak sabar. Sopir taksi itu akhirnya menghentikan taksinya beberapa meter dari tempat kejadian, membiarkan enggan. Aku segera membayar ongkos dengan tergesa-gesa dan turun dari taksi. Langkahku berubah menjadi lari, berusaha mendekati Biru yang tengah dikerumuni dan dipukuli oleh geng motor. "Berhenti!" jeritku seraya berusaha menembus kerumunan. Sayang, teriakan itu tak digubris, geng motor itu masih terus menganiaya Biru yang terpojok tanpa daya. Aku tidak tahan melihatnya terus menderita. Saat seorang dari mereka mengangkat tongkat baseballnya tinggi-tinggi hendak menghantam kepala Biru, dengan sigap aku melompat dan menendangnya, menghalangi pukulannya. Geng motor itu tercengang, matanya menyorot padaku tajam penuh amarah.Baseball bat i
Saat aku menggendong Biru yang lemah, bibirnya terus berdarah dan mukanya babak belur, aku hanya bisa merasakan detak jantungnya yang masih berpacu dengan cepat. Aku menopang tubuhnya yang terasa semakin berat karena rasa sakit yang ia derita."Kamu yakin nggak apa-apa?" tanyaku sekali lagi, mencari kepastian meski jawabannya sudah kudengar."Gue nggak papa," ucap Biru lagi, suaranya serak, berusaha menenangkan diri dan mungkin juga aku. Di matanya, meskipun redup, terlihat kilatan rasa terima kasih karena sudah membantunya melawan anggota geng Venus.Sesampainya di rumah, suasana menjadi tegang. Papa Indra, yang sudah menunggu di depan pintu, memandang kami dengan tatapan yang sulit diuraikan. Amarah dan kekhawatiran bercampur menjadi satu."Masih saja berantem tidak jelas. Mau jadi apa kamu, hah?" teriak Papa Indra, suaranya menggema di seluruh ruangan. Tangannya terkepal, matanya menyorot tajam ke arah Biru yang masih bersandar lemah di punggungku.Biru, dengan sisa-sisa kekuatan,
"Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku
Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal
Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s
Dering telepon dari Biru memecah kesunyian malam yang mendebarkan. Suaranya terdengar panik, "Cepat ke rumah sakit sekarang!" Jantungku langsung berdegup kencang. Otakku membayangkan segala kemungkinan yang terburuk. Tanpa berpikir panjang, aku lari menuju rumah sakit, meninggalkan peluang untuk menangkap ob yang mungkin terlibat meracuni Papa. Kepanikan itu menguasai setiap langkahku.Dengan napas tersengal-sengal, aku melompat keluar dari mobil dan berlari secepat kilat menyusuri koridor rumah sakit yang terasa begitu panjang. Lampu-lampu overhead berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang bergerak di sepanjang dinding. Setiap detik terasa seperti jam, dan jantungku berdebar keras, seolah ingin meledak keluar dari dada.Ketika sampai di ruang VVIP, aku hampir-hampir terjatuh karena tergesa-gesa. Mengambil napas dalam-dalam, aku menekan handle pintu dan mendorongnya dengan lembut. "Papa," suaraku bergetar saat aku memanggilnya. Aku melihat Biru duduk di samping ranjang dengan ra
Dengan langkah yang ringan dan hening, aku menerobos ke dalam kegelapan kantor yang sudah sepi. Berkat pakaian serba hitam yang kukenakan, aku seperti bayangan yang sulit terlihat. Ruangan demi ruangan kulewati tanpa suara. Sesekali, cahaya dari lampu jalan yang masuk melalui jendela memantulkan siluetku di dinding.Mataku tertuju pada sosok yang tampak bergerak di ujung koridor. Jantungku berdegup kencang, namun setelah menunggu beberapa saat, aku menghela napas lega. Itu hanya pak satpam yang sedang melakukan ronda malam. Aku menunggu hingga suara langkah kaki itu menghilang sebelum aku melanjutkan misi.Dengan perlahan, aku mengintip ke dalam ruangan papa. "Cangkir kopi bekas papa," bisikku saat melihat meja kerja yang sudah rapi tanpa ada satu pun dokumen yang tersisa. Aku menyusuri ruangan itu, membuka setiap laci yang ada dengan harapan menemukan sesuatu yang terlewatkan. Namun, nihil. Tidak ada satu petunjuk pun yang tertinggal, semuanya telah bersih.Aku berdiri di tengah ruan
Mataku berkaca-kaca, aku menatap Paman Rudi dengan penuh harap ketika dia melangkah keluar dari ruang perawatan. Bibirku gemetar sedikit saat aku bertanya, "Apa yang terjadi sama Papa, Paman? Kenapa Papa bisa sakit?" Tangan Paman Rudi yang hangat memegang bahuku dengan penuh perhatian. "Tenang, Aya, Papa kamu baik-baik saja," ujar Paman Rudi dengan suara yang menenangkan. Cahaya lampu lorong rumah sakit itu terasa begitu menyilaukan bagi ku, seolah mencerminkan kecemasan yang melanda hatiku. Tangisan ku pecah, suara isakan terdengar begitu pilu di lorong yang sunyi. Paman Rudi, dengan ekspresi penuh kekhawatiran, mengusap punggung ku perlahan, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah ketakutan yang melanda.Paman Rudi menarik napas dalam-dalam, menatap aku dan suamiku, Biru, yang duduk di sampingnya dengan mata yang sayu. "Tadi papamu muntah darah," ungkapnya, suaranya berat, mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk tidak membuat anak dari atasannya ini semakin larut dalam
Anggia menatap kelas padaku. "Tapi Kak, gue nggak terbiasa duduk di belakang." Suaranya bergetar karena emosi. Jelas saja ia ingin duduk di samping Biru, suamiku yang tampan. Tanggapan Biru datang dengan ketenangan yang kontras. "Kalau nggak biasa ya di biasain," katanya, seraya menarik tangan ku memacu agar aku segera menaiki mobil. Sementara itu, aku hanya bisa tersenyum sinis. "Jangan ya, Dek. Dia suami gue," bisikku dengan nada mengejek ke telinga Anggia. Bisa kurasakan tubuhnya bergetar sementara wajahnya memerah bak delima. Aku pun dengan sengaja menyenggol bahunya, menambah rasa malu yang sudah menyesakkan dadanya.Anggia mencoba menahan amarahnya yang mendidih, napasnya terengah-engah seolah berusaha menelan setiap kata yang ingin dia lemparkan. Dia terduduk pasrah di kursi belakang mobil, matanya menatap tajam ke arah punggung Biru yang duduk di depan dengan sikap tenang. Di sisi lain, Biru hanya memperhatikan jalan, seolah tak menyadari betapa tegangnya suasana di dalam
Aku mengedipkan kedua mataku cepat, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Biru. "Em, siapa bilang gue nggak mengakui lo sebagai suami?" kataku dengan tawa renyah, seolah menyembunyikan getar di hati. Aku beranjak ingin mengelak, namun Biru dengan cepat meraih tanganku, menahan langkah. Jari-jarinya bergerak lembut mengusap pipiku, menimbulkan desir dalam dada. "Ya ampun, Biru tampan banget," batinku, terpesona sejenak pada ketampanannya yang begitu nyata. "Gue nggak mau lo terlalu dekat dengan cowok lain," bisiknya dekat sekali. Ucapannya menghangatkan ujung telingaku. Tiba-tiba, Biru mendekat, mengikis jarak di antara kami. Bibirnya menyentuh bibirku lembut tapi penuh niat. Mataku membulat, terkejut oleh gerakannya yang tak terduga. Ingin ku tolak, namun genggaman Biru semakin erat dan ciumannya semakin mendalam, membuatku terperangkap dalam hangatnya rasa yang sulit diungkapkan.Tangan Biru dengan lembut mendarat di punggungku, menepuk-nepuk seolah mengerti betapa aku keku