Di tengah keramaian kantin yang riuh dengan suara siswa-siswi lain, suara tamparan keras itu membahana, menarik perhatian semua orang seketika. Anggia, yang biasanya penuh percaya diri, kali ini terpaku, tangan gemetar menutup pipinya yang merah bersemu. Bekas tangan yang jelas terpampang di wajahnya yang selama ini dikenal sempurna.Aku berdiri tegak, napas naik turun dipenuhi emosi yang bergejolak. Mataku memandang tajam ke dalam mata Anggia, mencerminkan setiap bit amarah dan ketidakpuasan yang telah lama terpendam. "Udah gue bilang, gue bisa bungkam mulut lo yang busuk itu!" suaraku bergema, tegas dan dingin, memotong keheningan yang tiba-tiba muncul.Anggia, masih dengan tangan di pipi, matanya membulat tak percaya. Mulutnya membuka dan menutup, mencari kata-kata yang tepat untuk merespons, namun tak satu pun terucap. Dia melihat sekeliling, menyadari semua mata di kantin tertuju padanya, beberapa dengan rasa simpati, lainnya dengan rasa penasaran."Lo berani tampar gue!" suarany
Begitu aku memutar gagang pintu kamar, deras sebuah tamparan keras mendarat pada pipiku, membuatnya terasa panas dan bergetar. Tante Ayuni, dengan mata membara dan nafas terengah-engah, menghadapiku. Rupanya, Anggia telah mengadu kepadanya tentang perkelahian kami di sekolah. "Kamu ini terlalu berani, Aya! Menampar Anggia seperti itu, sungguh keterlaluan!" teriak Tante Ayuni, emosi yang tersirat dalam setiap kata. Tanganku mengusap pipi yang masih terasa pedih. "Tante, aku nggak akan mukul dia tanpa alasan yang jelas. Anggia duluan yang nyiram muka aku dengan air di kantin, dia yang provokasi!" balasku, mencoba menjelaskan sambil meredam amarah. Tante Ayuni menggeleng dengan tatapan yang tak percaya, "Aya, daripada menyalahkan orang lain, lebih baik kamu belajar mengakui kesalahanmu sendiri." Ungkapannya membuat jantungku terasa semakin berdebar, namun aku tahu, di mata Tante Ayuni, aku yang selalu keliru.Jelas saja ia membela anak kesayangannya. Sebesar apapun kesalahan yang d
"Aduh, sakit tau. Lo itu mau jadi mentor gue apa mau nyiksa gue!" protes Biru padaku.Ia menekuk wajahnya dalam sambil mengusap pipinya yang aku tepuk sedikit keras karena kesal."Salah sendiri, kenapa tidur. Bukannya ngerjain tugas malah molor," gerutuku."Namanya juga ngantuk," ucapnya santai. Aku hanya memutar bola mata malas. "Udah, lo kerjain sekarang," ucapku sedikit ketus.Biru menghela napas panjang. Aku tak mau lagi membatinnya karena takut tidak sesuai realita."Ini pakai rumus yang mana?" tanya Biru sambil menyodorkan kertas berisi soal padaku.Aku pun menjelaskan pada Biru cara pengerjaannya. "Nomor satu, dua dan lima pakai rumus bawah. Nomor tiga, empat pakai rumus atas," jawabku sambil menunjukkan rumus yang aku tulis di buku catatan.Biru mengangguk-anggukkan kepalanya. Entahlah, dia paham atau nggak aku nggak tahu.Beberapa menit kemudian, Biru menyerahkan hasil pekerjaannya."Udah kan, gue mau keluar," ujarnya sambil menyambar jaketnya. Aku masih melongo bego meliha
Selama pelajaran di jam terakhir aku sama sekali tidak melihat ke arah Biru. Kesal saja dengan cowok itu, seenaknya saja memberikan bekal yang ku berikan padanya pada Anggia. Mungkin kalau Biru memberikannya pada cewek lain aku tak sekecewa ini, tapi ia malah memberikannya pada adik tiriku yang menyebalkan itu."Aya, lo kenapa sih? Kok dari tadi diam aja?" Lala berbisik kepadaku, matanya memandangku dengan kekhawatiran yang samar, sementara guru sedang asyik menjelaskan materi di depan kelas. Aku hanya menggeleng pelan, seraya menatap buku di hadapanku. "Nggak papa. Emangnya aku harus teriak-teriak pas guru ngajar?" jawabku, nada suaraku meninggi, menunjukkan kekesalanku. Mendengar itu, Lala tertawa pelan, menutup mulutnya dengan tangan agar tawanya tak mengganggu kelas. "Gue tau lo masih kesal sama Biru, gara-gara dia ngasih bekal yang lo kasih ke Anggia. Sabar aja, nanti lo labrak aja tuh si Biru," katanya mencoba memprovokasi dengan suara yang lebih pelan. Sahabatku memang ane
"Berhenti, Pak!" teriakku, penuh ketakutan sambil mengetuk keras jendela taksi. "Tapi Neng, di luar berbahaya," jawab sopir taksi dengan nada khawatir. "Nggak apa, Pak, saya kenal sama orang yang dipukuli itu," balasku dengan suara getir, tidak sabar. Sopir taksi itu akhirnya menghentikan taksinya beberapa meter dari tempat kejadian, membiarkan enggan. Aku segera membayar ongkos dengan tergesa-gesa dan turun dari taksi. Langkahku berubah menjadi lari, berusaha mendekati Biru yang tengah dikerumuni dan dipukuli oleh geng motor. "Berhenti!" jeritku seraya berusaha menembus kerumunan. Sayang, teriakan itu tak digubris, geng motor itu masih terus menganiaya Biru yang terpojok tanpa daya. Aku tidak tahan melihatnya terus menderita. Saat seorang dari mereka mengangkat tongkat baseballnya tinggi-tinggi hendak menghantam kepala Biru, dengan sigap aku melompat dan menendangnya, menghalangi pukulannya. Geng motor itu tercengang, matanya menyorot padaku tajam penuh amarah.Baseball bat i
Saat aku menggendong Biru yang lemah, bibirnya terus berdarah dan mukanya babak belur, aku hanya bisa merasakan detak jantungnya yang masih berpacu dengan cepat. Aku menopang tubuhnya yang terasa semakin berat karena rasa sakit yang ia derita."Kamu yakin nggak apa-apa?" tanyaku sekali lagi, mencari kepastian meski jawabannya sudah kudengar."Gue nggak papa," ucap Biru lagi, suaranya serak, berusaha menenangkan diri dan mungkin juga aku. Di matanya, meskipun redup, terlihat kilatan rasa terima kasih karena sudah membantunya melawan anggota geng Venus.Sesampainya di rumah, suasana menjadi tegang. Papa Indra, yang sudah menunggu di depan pintu, memandang kami dengan tatapan yang sulit diuraikan. Amarah dan kekhawatiran bercampur menjadi satu."Masih saja berantem tidak jelas. Mau jadi apa kamu, hah?" teriak Papa Indra, suaranya menggema di seluruh ruangan. Tangannya terkepal, matanya menyorot tajam ke arah Biru yang masih bersandar lemah di punggungku.Biru, dengan sisa-sisa kekuatan,
Aku menelan ludah dengan susah payah saat papa mertua bertanya tentang perkembangan nilai Biru. "Sudah ada peningkatan Pa. Nilai Biru bagus," jawabku dengan jujur.Papa Indra masih dengan alis yang bertaut, menatap tajam ke arahku. Cahaya lampu di ruang makan memantulkan kilau kekhawatiran di matanya. "Kamu yakin nilai Biru sudah membaik?" tanyanya, suaranya rendah namun penuh kepedulian.Aku mengangguk mantap, mataku tidak berpaling dari pandangan Papa. "Benar, Pa. Aya sudah lihat sendiri. Biru benar-benar sudah berusaha keras," jawabku, mencoba meyakinkan.Papa Indra menghela napas, kemudian tersenyum lembut pada ku. "Baiklah, jika Aya yang bilang begitu, Papa percaya," ucapnya, mengangguk kecil padaku dengan kasih sayang.Di sudut lain, Biru yang mendengar percakapan itu merengut, bibirnya mengecil menahan kekesalan. "Tapi kenapa sih Papa nggak bisa percaya sama aku langsung?" keluhnya, suaranya lirih namun terdengar jelas.Papa Indra mengalihkan pandangannya ke Biru, "Karena kamu
"Sebenarnya, Anggia itu... dia lagi sakit, dan dia nggak bawa bekal. Gue ***a ingin membantu," lanjutnya, suaranya sedikit bergetar, mencoba meredakan kemarahan yang mulai memuncak dalam diriku. Aku mendengus, merasa ada kebohongan dalam kata-katanya. "Jadi, lo lebih milih menolong dia daripada memikirkan perasaan gue?" tanyaku, nada suaraku meninggi, penuh dengan rasa kecewa dan amarah yang bercampur menjadi satu. Aku merasa dikhianati, seolah semua yang telah kuberikan kepadanya tak lebih dari sekedar benda tak bernilai. Biru menghela napas panjang, matanya kini menatapku langsung. "Bukan begitu, gue nggak ingin lo salah paham. Gue hargai semua yang lo lakukan untuk gue, tapi situasinya tadi mendesak," jelasnya, mencoba meraih tangan yang kuletakkan di sisi tubuhku, namun aku menepisnya. Rasa sakit di hatiku bertambah ketika Biru mencoba mendekat, mencari pengertian dari diriku yang terluka. Namun, aku terlalu marah untuk mendengarkan segala penjelasannya. "Jangan sentuh gue!"
Biru mendekatiku yang tengah terkulai tak berdaya di atas kasur. Cahaya sore yang malas-malasan menerobos masuk melalui celah jendela, menambah kelesuan di ruang itu. Dengan lembut, ia menggoyang-goyangkan bahu ku, penuh perhatian. "Aya, kamu masih ingat tawaran mama nggak?" tanyanya dengan suara yang menggema kehangatan. Aku mengerjap, berusaha mengumpulkan ingatan yang terasa berantakan. "Yang mana?" Aku memiringkan kepala, mencoba memori yang berkelebat tak pasti. "Aku nggak ingat," jawabku akhirnya, sambil menghela napas panjang.Suasana kamar yang hanya diterangi cahaya lampu tidur, aku terbaring lemas di atas kasur dengan pikiran yang melayang-layang. Biru, dengan raut wajah yang kecewa, ikut berbaring di kasur sambil memegang ponselnya. "Yang liburan itu loh, kamu mau nggak?" tanya Biru dengan nada yang sedikit memaksa, mencoba menggoda ku dengan gambar-gambar destinasi yang indah di layar ponselnya.Aku hanya menghela napas, mataku yang sayu menatap ke arah Biru, "Nggak,
Waktu seakan berlari, mengejar detik yang tak tergenggam. Papa Erwin baru saja tiba dari rumah sakit, dan hari ini adalah hari ujian yang menentukan untuk aku dan Biru. Saat sarapan, suara papa memecah keheningan. "Kalian sudah persiapkan diri dengan matang, aku yakin kalian berdua bisa meraih nilai sempurna," katanya dengan tatapan yang menunjukkan kepercayaan mendalam. Biru, dengan senyuman simpulnya, menanggapi, "Semoga Pa, doakan Biru ya," katanya sambil sesekali melirik ke arahku. Papa mengangguk, tangannya terasa hangat di pundak Biru. "Tentu, aku doakan kalian berdua," sahutnya seraya tersenyum. Biru mendekat, berbisik dengan nada gurau namun serius, "Jangan lupa janji kamu. Kalau aku dapat nilai tinggi, aku akan mendapat hak ku sebagai suamimu. Otomatis aku resmi menjadi suami kamu ya." Sejenak, aku terdiam, merasakan detak jantungku yang memburu. "Benarkah sudah saatnya?" gumamku dalam hati sambil mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran itu terus bergulat di kepala, mem
"Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku
Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal
Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s
Dering telepon dari Biru memecah kesunyian malam yang mendebarkan. Suaranya terdengar panik, "Cepat ke rumah sakit sekarang!" Jantungku langsung berdegup kencang. Otakku membayangkan segala kemungkinan yang terburuk. Tanpa berpikir panjang, aku lari menuju rumah sakit, meninggalkan peluang untuk menangkap ob yang mungkin terlibat meracuni Papa. Kepanikan itu menguasai setiap langkahku.Dengan napas tersengal-sengal, aku melompat keluar dari mobil dan berlari secepat kilat menyusuri koridor rumah sakit yang terasa begitu panjang. Lampu-lampu overhead berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang bergerak di sepanjang dinding. Setiap detik terasa seperti jam, dan jantungku berdebar keras, seolah ingin meledak keluar dari dada.Ketika sampai di ruang VVIP, aku hampir-hampir terjatuh karena tergesa-gesa. Mengambil napas dalam-dalam, aku menekan handle pintu dan mendorongnya dengan lembut. "Papa," suaraku bergetar saat aku memanggilnya. Aku melihat Biru duduk di samping ranjang dengan ra
Dengan langkah yang ringan dan hening, aku menerobos ke dalam kegelapan kantor yang sudah sepi. Berkat pakaian serba hitam yang kukenakan, aku seperti bayangan yang sulit terlihat. Ruangan demi ruangan kulewati tanpa suara. Sesekali, cahaya dari lampu jalan yang masuk melalui jendela memantulkan siluetku di dinding.Mataku tertuju pada sosok yang tampak bergerak di ujung koridor. Jantungku berdegup kencang, namun setelah menunggu beberapa saat, aku menghela napas lega. Itu hanya pak satpam yang sedang melakukan ronda malam. Aku menunggu hingga suara langkah kaki itu menghilang sebelum aku melanjutkan misi.Dengan perlahan, aku mengintip ke dalam ruangan papa. "Cangkir kopi bekas papa," bisikku saat melihat meja kerja yang sudah rapi tanpa ada satu pun dokumen yang tersisa. Aku menyusuri ruangan itu, membuka setiap laci yang ada dengan harapan menemukan sesuatu yang terlewatkan. Namun, nihil. Tidak ada satu petunjuk pun yang tertinggal, semuanya telah bersih.Aku berdiri di tengah ruan
Mataku berkaca-kaca, aku menatap Paman Rudi dengan penuh harap ketika dia melangkah keluar dari ruang perawatan. Bibirku gemetar sedikit saat aku bertanya, "Apa yang terjadi sama Papa, Paman? Kenapa Papa bisa sakit?" Tangan Paman Rudi yang hangat memegang bahuku dengan penuh perhatian. "Tenang, Aya, Papa kamu baik-baik saja," ujar Paman Rudi dengan suara yang menenangkan. Cahaya lampu lorong rumah sakit itu terasa begitu menyilaukan bagi ku, seolah mencerminkan kecemasan yang melanda hatiku. Tangisan ku pecah, suara isakan terdengar begitu pilu di lorong yang sunyi. Paman Rudi, dengan ekspresi penuh kekhawatiran, mengusap punggung ku perlahan, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah ketakutan yang melanda.Paman Rudi menarik napas dalam-dalam, menatap aku dan suamiku, Biru, yang duduk di sampingnya dengan mata yang sayu. "Tadi papamu muntah darah," ungkapnya, suaranya berat, mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk tidak membuat anak dari atasannya ini semakin larut dalam