Saat aku menggendong Biru yang lemah, bibirnya terus berdarah dan mukanya babak belur, aku hanya bisa merasakan detak jantungnya yang masih berpacu dengan cepat. Aku menopang tubuhnya yang terasa semakin berat karena rasa sakit yang ia derita."Kamu yakin nggak apa-apa?" tanyaku sekali lagi, mencari kepastian meski jawabannya sudah kudengar."Gue nggak papa," ucap Biru lagi, suaranya serak, berusaha menenangkan diri dan mungkin juga aku. Di matanya, meskipun redup, terlihat kilatan rasa terima kasih karena sudah membantunya melawan anggota geng Venus.Sesampainya di rumah, suasana menjadi tegang. Papa Indra, yang sudah menunggu di depan pintu, memandang kami dengan tatapan yang sulit diuraikan. Amarah dan kekhawatiran bercampur menjadi satu."Masih saja berantem tidak jelas. Mau jadi apa kamu, hah?" teriak Papa Indra, suaranya menggema di seluruh ruangan. Tangannya terkepal, matanya menyorot tajam ke arah Biru yang masih bersandar lemah di punggungku.Biru, dengan sisa-sisa kekuatan,
Aku menelan ludah dengan susah payah saat papa mertua bertanya tentang perkembangan nilai Biru. "Sudah ada peningkatan Pa. Nilai Biru bagus," jawabku dengan jujur.Papa Indra masih dengan alis yang bertaut, menatap tajam ke arahku. Cahaya lampu di ruang makan memantulkan kilau kekhawatiran di matanya. "Kamu yakin nilai Biru sudah membaik?" tanyanya, suaranya rendah namun penuh kepedulian.Aku mengangguk mantap, mataku tidak berpaling dari pandangan Papa. "Benar, Pa. Aya sudah lihat sendiri. Biru benar-benar sudah berusaha keras," jawabku, mencoba meyakinkan.Papa Indra menghela napas, kemudian tersenyum lembut pada ku. "Baiklah, jika Aya yang bilang begitu, Papa percaya," ucapnya, mengangguk kecil padaku dengan kasih sayang.Di sudut lain, Biru yang mendengar percakapan itu merengut, bibirnya mengecil menahan kekesalan. "Tapi kenapa sih Papa nggak bisa percaya sama aku langsung?" keluhnya, suaranya lirih namun terdengar jelas.Papa Indra mengalihkan pandangannya ke Biru, "Karena kamu
"Sebenarnya, Anggia itu... dia lagi sakit, dan dia nggak bawa bekal. Gue ***a ingin membantu," lanjutnya, suaranya sedikit bergetar, mencoba meredakan kemarahan yang mulai memuncak dalam diriku. Aku mendengus, merasa ada kebohongan dalam kata-katanya. "Jadi, lo lebih milih menolong dia daripada memikirkan perasaan gue?" tanyaku, nada suaraku meninggi, penuh dengan rasa kecewa dan amarah yang bercampur menjadi satu. Aku merasa dikhianati, seolah semua yang telah kuberikan kepadanya tak lebih dari sekedar benda tak bernilai. Biru menghela napas panjang, matanya kini menatapku langsung. "Bukan begitu, gue nggak ingin lo salah paham. Gue hargai semua yang lo lakukan untuk gue, tapi situasinya tadi mendesak," jelasnya, mencoba meraih tangan yang kuletakkan di sisi tubuhku, namun aku menepisnya. Rasa sakit di hatiku bertambah ketika Biru mencoba mendekat, mencari pengertian dari diriku yang terluka. Namun, aku terlalu marah untuk mendengarkan segala penjelasannya. "Jangan sentuh gue!"
Biru merasa ada yang berubah dalam dirinya. Setiap kali melihat Cahaya tersenyum, jantungnya berdegup kencang, sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Saat ini, ia tengah duduk di kelas, namun pikirannya melayang jauh memikirkan Cahaya yang duduk tak jauh darinya. Cahaya yang dulu sering ia benci, kini malah membuatnya gelisah.Di tengah lamunan tersebut, suara Bu Wanti yang keras memanggil namanya beberapa kali baru menyadarkannya. "Biru! Biru!" seru Bu Wanti, menyadarkan Biru dari lamunannya.Biru, yang terkejut, langsung terbangun dari lamunannya ketika Jeno, sahabatnya, menyenggolnya pelan. "Lo di panggil Bu Wanti," bisik Jeno, menunjuk ke arah guru yang tampak kesal di depan kelas."Iya Bu," jawab Biru dengan suara yang terdengar sedikit gugup. Matanya mencuri pandang ke arah Cahaya, yang kini sedang menoleh ke belakang dengan tatapan bingung. Biru berusaha keras mengalihkan pandangannya dan kembali fokus pada Bu Wanti yang sudah mulai melanjutkan penjelasannya d
Biru mengepalkan tangannya di sekelilingku, memberi tekanan yang begitu kuat seolah dia takut kehilangan. Hatiku berat, menerima kenyataan bahwa aku tak mampu memisahkan diri darinya. Tiba-tiba, dentang nyaring dari ponselku memecah kesunyian kami. Dengan terkejut, Biru akhirnya mengendurkan genggaman tangannya. Aku cepat-cepat meraih ponsel yang tergeletak di meja. "Heh, Aya! Cepat lo pindahin semua barang lo. Gue ingin pindah ke kamar lo yang luas," suara Anggia berdenting keras di telingaku, penuh kekuasaan. Aku menggertakkan gigi, menahan amarah. "Coba aja kalau lo berani masuk ke kamar gue. Gue akan buat lo menyesal," balasku dengan nada tegas, menyiratkan ancaman yang jelas.Anggia tertawa sinis mendengar ancamanku. "Oh, lo pikir gue takut? Ini perintah dari orang tua kita, Aya! Gak bisa lo tolak!" serunya lagi, membuat darahku mendidih.Aku mengepalkan kedua tangan, menahan emosi yang mulai memuncak. "Sampai kapan pun nyokap lo bukan nyokap gue!" bentakku emosi.Sementara
Di depan kamar yang penuh ketegangan, aku menunjukkan kekuatan dengan mencengkeram tangan Tante Ayuni yang hendak menamparku. Kulit wajah Tante Ayuni berkerut menahan rasa sakit, dan matanya memancarkan amarah. "Aw, sakit Aya. Lepas!" pekiknya dengan suara yang parau. Anggita, yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu, berlari mendekati ibunya untuk membantu.Namun,aku tak akan membiarkannya, dengan gerakan cepat dan kasar, melepaskan cengkeramanku. Tante Ayuni terhuyung ke belakang, tubuhnya yang tidak stabil menabrak Anggita yang berusaha mendekat. "Jangan ganggu gue!" bentakku dengan nada mengancam, dan tatapan mata menyiratkan kebencian.Tante Ayuni, dengan tangan yang masih terasa nyeri, berteriak kesal, "Akan aku adukan perlakuan kasar kamu pada papamu!" Ancamannya terdengar serius dan tegas. Namun aku hanya tersenyum sinis, sebuah senyum yang dingin dan penuh kepuasan akan ketakutan yang telah aku timbulkan.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, aku berbalik dan masuk ke kama
Tubuhku terasa kaku saat Biru tiba-tiba memelukku dari belakang, kepalanya bersandar di bahu kiriku. Aku mencoba mendorongnya pelan sambil berkata, "Lo lagi ngigau atau apa? Aneh banget." Detak jantungku tidak karuan, seolah-olah hendak meloncat keluar dari dada."Mana ada ngigau cakep gini," gumam Biru, suaranya terdengar sedikit tersinggung. Dia menolak untuk melepaskan pelukannya, seolah ingin membuktikan sesuatu."Habisnya lo aneh banget. Lo tiba-tiba aja bilang kayak gitu," keluhku, masih berusaha melepaskan diri dari cengkeraman hangatnya. Aku bahkan tidak berani menatap matanya, takut terjebak dalam tatapan yang mungkin akan membuatku lemah."Gue kan ngomong apa adanya. Lo kan cewek gue. Emang salah, bukannya lo itu udah resmi jadi istri gue," lanjut Biru, suaranya semakin serius dan mendalam. Jantungku berdegup kencang, tidak mengerti bagaimana harus merespon pengakuan mendadak itu. Sejenak, aku merasa dunia sekitar menjadi sunyi, hanya terdengar detak jantung yang berpacu ce
Biru meraih tanganku lembut, suaranya berbisik dekat telinga. "Hati-hati saat minum, nggak ada yang minta Aya." Sentuhan jemarinya yang halus berusaha menenangkan, tapi detak jantungku justru semakin kencang ketika terdengar kata-kata Mama Siska yang mengejutkan tentang liburan yang akan diubah menjadi bulan madu. "Emangnya kenapa kalau bulan madu? Kita kan sudah sah," bisik Biru lagi dengan nada yang lebih serius. Mendengarnya, kaki ku bergerak spontan menginjak kaki Biru keras. Matanya membulat kaget dan aku memandang tajam ke arahnya. "Kita masih sekolah, Biru. Kenapa sudah bicara soal bulan madu?" desisku dengan suara rendah namun tegas. Biru ******** kesakitan sambil memegang kakinya yang terinjak. Sementara itu, Mama Siska yang memperhatikan kami berbisik bertanya, "Kalian bisik-bisik apa?" Menghadapi raut curiga Mama Siska, aku berusaha tersenyum sembari menjawab sekenanya, "Oh, nggak papa Ma, cuma candaan kecil."Malam itu, suasana di ruang tengah yang kami tempati ter
Biru mendekatiku yang tengah terkulai tak berdaya di atas kasur. Cahaya sore yang malas-malasan menerobos masuk melalui celah jendela, menambah kelesuan di ruang itu. Dengan lembut, ia menggoyang-goyangkan bahu ku, penuh perhatian. "Aya, kamu masih ingat tawaran mama nggak?" tanyanya dengan suara yang menggema kehangatan. Aku mengerjap, berusaha mengumpulkan ingatan yang terasa berantakan. "Yang mana?" Aku memiringkan kepala, mencoba memori yang berkelebat tak pasti. "Aku nggak ingat," jawabku akhirnya, sambil menghela napas panjang.Suasana kamar yang hanya diterangi cahaya lampu tidur, aku terbaring lemas di atas kasur dengan pikiran yang melayang-layang. Biru, dengan raut wajah yang kecewa, ikut berbaring di kasur sambil memegang ponselnya. "Yang liburan itu loh, kamu mau nggak?" tanya Biru dengan nada yang sedikit memaksa, mencoba menggoda ku dengan gambar-gambar destinasi yang indah di layar ponselnya.Aku hanya menghela napas, mataku yang sayu menatap ke arah Biru, "Nggak,
Waktu seakan berlari, mengejar detik yang tak tergenggam. Papa Erwin baru saja tiba dari rumah sakit, dan hari ini adalah hari ujian yang menentukan untuk aku dan Biru. Saat sarapan, suara papa memecah keheningan. "Kalian sudah persiapkan diri dengan matang, aku yakin kalian berdua bisa meraih nilai sempurna," katanya dengan tatapan yang menunjukkan kepercayaan mendalam. Biru, dengan senyuman simpulnya, menanggapi, "Semoga Pa, doakan Biru ya," katanya sambil sesekali melirik ke arahku. Papa mengangguk, tangannya terasa hangat di pundak Biru. "Tentu, aku doakan kalian berdua," sahutnya seraya tersenyum. Biru mendekat, berbisik dengan nada gurau namun serius, "Jangan lupa janji kamu. Kalau aku dapat nilai tinggi, aku akan mendapat hak ku sebagai suamimu. Otomatis aku resmi menjadi suami kamu ya." Sejenak, aku terdiam, merasakan detak jantungku yang memburu. "Benarkah sudah saatnya?" gumamku dalam hati sambil mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran itu terus bergulat di kepala, mem
"Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku
Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal
Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s
Dering telepon dari Biru memecah kesunyian malam yang mendebarkan. Suaranya terdengar panik, "Cepat ke rumah sakit sekarang!" Jantungku langsung berdegup kencang. Otakku membayangkan segala kemungkinan yang terburuk. Tanpa berpikir panjang, aku lari menuju rumah sakit, meninggalkan peluang untuk menangkap ob yang mungkin terlibat meracuni Papa. Kepanikan itu menguasai setiap langkahku.Dengan napas tersengal-sengal, aku melompat keluar dari mobil dan berlari secepat kilat menyusuri koridor rumah sakit yang terasa begitu panjang. Lampu-lampu overhead berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang bergerak di sepanjang dinding. Setiap detik terasa seperti jam, dan jantungku berdebar keras, seolah ingin meledak keluar dari dada.Ketika sampai di ruang VVIP, aku hampir-hampir terjatuh karena tergesa-gesa. Mengambil napas dalam-dalam, aku menekan handle pintu dan mendorongnya dengan lembut. "Papa," suaraku bergetar saat aku memanggilnya. Aku melihat Biru duduk di samping ranjang dengan ra
Dengan langkah yang ringan dan hening, aku menerobos ke dalam kegelapan kantor yang sudah sepi. Berkat pakaian serba hitam yang kukenakan, aku seperti bayangan yang sulit terlihat. Ruangan demi ruangan kulewati tanpa suara. Sesekali, cahaya dari lampu jalan yang masuk melalui jendela memantulkan siluetku di dinding.Mataku tertuju pada sosok yang tampak bergerak di ujung koridor. Jantungku berdegup kencang, namun setelah menunggu beberapa saat, aku menghela napas lega. Itu hanya pak satpam yang sedang melakukan ronda malam. Aku menunggu hingga suara langkah kaki itu menghilang sebelum aku melanjutkan misi.Dengan perlahan, aku mengintip ke dalam ruangan papa. "Cangkir kopi bekas papa," bisikku saat melihat meja kerja yang sudah rapi tanpa ada satu pun dokumen yang tersisa. Aku menyusuri ruangan itu, membuka setiap laci yang ada dengan harapan menemukan sesuatu yang terlewatkan. Namun, nihil. Tidak ada satu petunjuk pun yang tertinggal, semuanya telah bersih.Aku berdiri di tengah ruan
Mataku berkaca-kaca, aku menatap Paman Rudi dengan penuh harap ketika dia melangkah keluar dari ruang perawatan. Bibirku gemetar sedikit saat aku bertanya, "Apa yang terjadi sama Papa, Paman? Kenapa Papa bisa sakit?" Tangan Paman Rudi yang hangat memegang bahuku dengan penuh perhatian. "Tenang, Aya, Papa kamu baik-baik saja," ujar Paman Rudi dengan suara yang menenangkan. Cahaya lampu lorong rumah sakit itu terasa begitu menyilaukan bagi ku, seolah mencerminkan kecemasan yang melanda hatiku. Tangisan ku pecah, suara isakan terdengar begitu pilu di lorong yang sunyi. Paman Rudi, dengan ekspresi penuh kekhawatiran, mengusap punggung ku perlahan, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah ketakutan yang melanda.Paman Rudi menarik napas dalam-dalam, menatap aku dan suamiku, Biru, yang duduk di sampingnya dengan mata yang sayu. "Tadi papamu muntah darah," ungkapnya, suaranya berat, mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk tidak membuat anak dari atasannya ini semakin larut dalam