Di depan kamar yang penuh ketegangan, aku menunjukkan kekuatan dengan mencengkeram tangan Tante Ayuni yang hendak menamparku. Kulit wajah Tante Ayuni berkerut menahan rasa sakit, dan matanya memancarkan amarah. "Aw, sakit Aya. Lepas!" pekiknya dengan suara yang parau. Anggita, yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu, berlari mendekati ibunya untuk membantu.Namun,aku tak akan membiarkannya, dengan gerakan cepat dan kasar, melepaskan cengkeramanku. Tante Ayuni terhuyung ke belakang, tubuhnya yang tidak stabil menabrak Anggita yang berusaha mendekat. "Jangan ganggu gue!" bentakku dengan nada mengancam, dan tatapan mata menyiratkan kebencian.Tante Ayuni, dengan tangan yang masih terasa nyeri, berteriak kesal, "Akan aku adukan perlakuan kasar kamu pada papamu!" Ancamannya terdengar serius dan tegas. Namun aku hanya tersenyum sinis, sebuah senyum yang dingin dan penuh kepuasan akan ketakutan yang telah aku timbulkan.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, aku berbalik dan masuk ke kama
Tubuhku terasa kaku saat Biru tiba-tiba memelukku dari belakang, kepalanya bersandar di bahu kiriku. Aku mencoba mendorongnya pelan sambil berkata, "Lo lagi ngigau atau apa? Aneh banget." Detak jantungku tidak karuan, seolah-olah hendak meloncat keluar dari dada."Mana ada ngigau cakep gini," gumam Biru, suaranya terdengar sedikit tersinggung. Dia menolak untuk melepaskan pelukannya, seolah ingin membuktikan sesuatu."Habisnya lo aneh banget. Lo tiba-tiba aja bilang kayak gitu," keluhku, masih berusaha melepaskan diri dari cengkeraman hangatnya. Aku bahkan tidak berani menatap matanya, takut terjebak dalam tatapan yang mungkin akan membuatku lemah."Gue kan ngomong apa adanya. Lo kan cewek gue. Emang salah, bukannya lo itu udah resmi jadi istri gue," lanjut Biru, suaranya semakin serius dan mendalam. Jantungku berdegup kencang, tidak mengerti bagaimana harus merespon pengakuan mendadak itu. Sejenak, aku merasa dunia sekitar menjadi sunyi, hanya terdengar detak jantung yang berpacu ce
Biru meraih tanganku lembut, suaranya berbisik dekat telinga. "Hati-hati saat minum, nggak ada yang minta Aya." Sentuhan jemarinya yang halus berusaha menenangkan, tapi detak jantungku justru semakin kencang ketika terdengar kata-kata Mama Siska yang mengejutkan tentang liburan yang akan diubah menjadi bulan madu. "Emangnya kenapa kalau bulan madu? Kita kan sudah sah," bisik Biru lagi dengan nada yang lebih serius. Mendengarnya, kaki ku bergerak spontan menginjak kaki Biru keras. Matanya membulat kaget dan aku memandang tajam ke arahnya. "Kita masih sekolah, Biru. Kenapa sudah bicara soal bulan madu?" desisku dengan suara rendah namun tegas. Biru ******** kesakitan sambil memegang kakinya yang terinjak. Sementara itu, Mama Siska yang memperhatikan kami berbisik bertanya, "Kalian bisik-bisik apa?" Menghadapi raut curiga Mama Siska, aku berusaha tersenyum sembari menjawab sekenanya, "Oh, nggak papa Ma, cuma candaan kecil."Malam itu, suasana di ruang tengah yang kami tempati ter
Jantungku berdegup kencang, menantikan kata-kata yang akan terlontar dari mulut Biru. Napasku tertahan, apa mungkin dia akan membongkar rahasia hubungan kami di depan Jeno dan Radit? Biru tiba-tiba berkata, "Gue sama dia sekarang jadian," membuatku terkesiap tak percaya. "Kapan dia nembak gue?" gumamku dalam hati, mencoba mengingat momen yang tidak pernah terjadi. Di sisi lain, Jeno dan Radit tercengang. Mereka bertukar pandang, matanya penuh keheranan dan mulut terbuka lebar seolah tidak mampu memproses informasi tersebut. Semua berhenti sejenak, kami saling melihat dalam kebingungan. "Woy! Kalian kenapa?" Biru akhirnya memecah keheningan dengan menjentikkan jarinya, membuyarkan lamunan kami. "Beneran, kalian berdua udah jadian?" tanya Jeno, suaranya menunjukkan ketidakpercayaan. Aku menggelengkan kepala, tak tahu harus berkata apa, menjawab dengan kebingungan yang melanda. "Bi, serius dikit napa sih?" Radit tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. "Aya, kenapa lo gele
Sore itu, cahaya matahari mulai redup saat Jeno dan Radit menghampiri aku dan Biru di parkiran sekolah. Semilir angin membawa kesegaran yang tampaknya mengundang nostalgia. "Bi, nanti malam datang ke basecamp ya? Udah lama kita nggak ngumpul," ucap Jeno dengan semangat yang terpancar dari sorot matanya.Radit yang berdiri di sampingnya menambahkan, "Iya, udah lama banget kita nggak ngumpul." Suaranya penuh antusias, seolah mengingatkan kembali pada hari-hari indah yang pernah mereka lalui bersama.Biru, yang masih terlihat ragu, menoleh ke arahku mencari jawaban. Matanya berbinar mencari persetujuan, "Boleh nggak?" tanyanya dengan nada memohon. Aku bisa merasakan keinginan kuat darinya untuk kembali merajut kenangan lama bersama teman-temannya.Dengan suara rendah, aku hanya bisa menjawab, "Serah lo," sebuah jawaban yang mungkin bagi sebagian orang terdengar tidak peduli, namun bagiku itu adalah cara untuk memberi kebebasan pada Biru.Jeno dan Radit, yang memperhatikan pertukaran pend
"Oh, maaf sayang. Kamu kan nggak suka makanan manis kayak gini," ucap Biru seraya kembali meletakkan sendok dan menggeser kue yang katanya buatan Anggia itu.Tau saja Biru, kalau aku nggak suka makanan manis. Paling tidak dia telah menyelamatkan aku dari makanan yang entah sudah di beri tambahan apa aku nggak tau. Seperti di film-film yang mungkin di kasih obat pe*****ang sih enak, bisa ngerasin ena-ena lah kalau di kasih obat mematikan agar semua warisan papa jatuh di tangan Anggia dan Tante Ayuni bisa logout nggak bisa login lagi, begitulah pemikiran ku. Aku tersenyum. "Makasih sayang, kamu paling ngerti kalau aku nggak suka makanan manis," ucapku mengikuti permainan Biru."Iya sayang, sama-sama," ucap Biru sambil mengusap pipiku. Aku melirik ke arah Anggia dan Tante Ayuni, mereka berdua terlihat sangat kesal apalagi Anggia bahkan ia hampir menangis melihat aku dan Biru mesra seperti ini."Oh iya, sayang. Katanya hari ini papa pulang," ujar Biru."Eh iya, Biru. Hari ini papa kamu
Tanpa menunggu sejenak, aku melangkah maju dengan tegas. Mataku menyala penuh amarah saat menyaksikan seorang pria yang berani mengulurkan tangannya ke arah barang-barang pribadiku. Dengan gerak cepat, aku memelintir tangan pria itu hingga dia meringis kesakitan."Udah gue bilang kalau jangan sentuh barang-barang gue!" suaraku menggema tajam di ruangan itu, mengandung kekuatan dan peringatan yang tidak boleh diabaikan. Tangan pria itu masih terjepit di genggamanku, dan aku tidak berniat untuk melepaskannya sebelum dia benar-benar mengerti."Arrgh! Lepas!" teriak pria itu dengan suara yang dipenuhi rasa sakit dan kepanikan. Dia berusaha keras melepaskan diri, tapi semakin dia berontak, semakin kuat aku memelintir tangannya.Tiba-tiba, pria yang satunya lagi mencoba maju untuk membantu rekannya. Namun, dengan refleks yang cepat, aku mendorong pria yang ada di genggamanku. Dia terhuyung ke belakang dan akhirnya menabrak temannya sendiri. Keduanya terjatuh berantakan di lantai, terlihat s
"Em, Nak Biru. Kamu sudah pulang," ucap Tante Ayuni sedikit gugup melihat kedatangan Biru yang tiba-tiba.Anggia menangis tersedu dan berlari menghampiri Biru yang masih berdiri di tempatnya. "Kak Biru, Kak Aya nggak mau mengakui kalau gue saudaranya. Gue sadar gue cuma anak tiri dari papa Erwin," ucapnya dengan nada memelas. Biru berdiri tegak dengan pandangan yang tajam, matanya menatap lurus ke arah Anggia yang masih terisak. Napasnya terdengar berat, pertanda keraguan yang mulai menguasai pikirannya. Tante Ayuni yang berdiri di sampingnya tampak menggigit bibir, tanda kecemasan yang tidak bisa disembunyikan."Kak, gue cuma pengen diakui," kata Anggia dengan suara yang bergetar, air mata membasahi pipinya yang merah. "Kita mungkin saudara tiri, tapi perasaan sayang gue ke Kak Aya itu nyata, Kak."Biru mengerutkan dahinya lebih dalam, seolah mencoba memproses kata-kata Anggia. Dia menarik napas dalam, lalu menghela napas panjang, pertanda dia mencoba mencari kata-kata yang tepat un
"Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku
Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal
Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s
Dering telepon dari Biru memecah kesunyian malam yang mendebarkan. Suaranya terdengar panik, "Cepat ke rumah sakit sekarang!" Jantungku langsung berdegup kencang. Otakku membayangkan segala kemungkinan yang terburuk. Tanpa berpikir panjang, aku lari menuju rumah sakit, meninggalkan peluang untuk menangkap ob yang mungkin terlibat meracuni Papa. Kepanikan itu menguasai setiap langkahku.Dengan napas tersengal-sengal, aku melompat keluar dari mobil dan berlari secepat kilat menyusuri koridor rumah sakit yang terasa begitu panjang. Lampu-lampu overhead berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang bergerak di sepanjang dinding. Setiap detik terasa seperti jam, dan jantungku berdebar keras, seolah ingin meledak keluar dari dada.Ketika sampai di ruang VVIP, aku hampir-hampir terjatuh karena tergesa-gesa. Mengambil napas dalam-dalam, aku menekan handle pintu dan mendorongnya dengan lembut. "Papa," suaraku bergetar saat aku memanggilnya. Aku melihat Biru duduk di samping ranjang dengan ra
Dengan langkah yang ringan dan hening, aku menerobos ke dalam kegelapan kantor yang sudah sepi. Berkat pakaian serba hitam yang kukenakan, aku seperti bayangan yang sulit terlihat. Ruangan demi ruangan kulewati tanpa suara. Sesekali, cahaya dari lampu jalan yang masuk melalui jendela memantulkan siluetku di dinding.Mataku tertuju pada sosok yang tampak bergerak di ujung koridor. Jantungku berdegup kencang, namun setelah menunggu beberapa saat, aku menghela napas lega. Itu hanya pak satpam yang sedang melakukan ronda malam. Aku menunggu hingga suara langkah kaki itu menghilang sebelum aku melanjutkan misi.Dengan perlahan, aku mengintip ke dalam ruangan papa. "Cangkir kopi bekas papa," bisikku saat melihat meja kerja yang sudah rapi tanpa ada satu pun dokumen yang tersisa. Aku menyusuri ruangan itu, membuka setiap laci yang ada dengan harapan menemukan sesuatu yang terlewatkan. Namun, nihil. Tidak ada satu petunjuk pun yang tertinggal, semuanya telah bersih.Aku berdiri di tengah ruan
Mataku berkaca-kaca, aku menatap Paman Rudi dengan penuh harap ketika dia melangkah keluar dari ruang perawatan. Bibirku gemetar sedikit saat aku bertanya, "Apa yang terjadi sama Papa, Paman? Kenapa Papa bisa sakit?" Tangan Paman Rudi yang hangat memegang bahuku dengan penuh perhatian. "Tenang, Aya, Papa kamu baik-baik saja," ujar Paman Rudi dengan suara yang menenangkan. Cahaya lampu lorong rumah sakit itu terasa begitu menyilaukan bagi ku, seolah mencerminkan kecemasan yang melanda hatiku. Tangisan ku pecah, suara isakan terdengar begitu pilu di lorong yang sunyi. Paman Rudi, dengan ekspresi penuh kekhawatiran, mengusap punggung ku perlahan, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah ketakutan yang melanda.Paman Rudi menarik napas dalam-dalam, menatap aku dan suamiku, Biru, yang duduk di sampingnya dengan mata yang sayu. "Tadi papamu muntah darah," ungkapnya, suaranya berat, mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk tidak membuat anak dari atasannya ini semakin larut dalam
Anggia menatap kelas padaku. "Tapi Kak, gue nggak terbiasa duduk di belakang." Suaranya bergetar karena emosi. Jelas saja ia ingin duduk di samping Biru, suamiku yang tampan. Tanggapan Biru datang dengan ketenangan yang kontras. "Kalau nggak biasa ya di biasain," katanya, seraya menarik tangan ku memacu agar aku segera menaiki mobil. Sementara itu, aku hanya bisa tersenyum sinis. "Jangan ya, Dek. Dia suami gue," bisikku dengan nada mengejek ke telinga Anggia. Bisa kurasakan tubuhnya bergetar sementara wajahnya memerah bak delima. Aku pun dengan sengaja menyenggol bahunya, menambah rasa malu yang sudah menyesakkan dadanya.Anggia mencoba menahan amarahnya yang mendidih, napasnya terengah-engah seolah berusaha menelan setiap kata yang ingin dia lemparkan. Dia terduduk pasrah di kursi belakang mobil, matanya menatap tajam ke arah punggung Biru yang duduk di depan dengan sikap tenang. Di sisi lain, Biru hanya memperhatikan jalan, seolah tak menyadari betapa tegangnya suasana di dalam
Aku mengedipkan kedua mataku cepat, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Biru. "Em, siapa bilang gue nggak mengakui lo sebagai suami?" kataku dengan tawa renyah, seolah menyembunyikan getar di hati. Aku beranjak ingin mengelak, namun Biru dengan cepat meraih tanganku, menahan langkah. Jari-jarinya bergerak lembut mengusap pipiku, menimbulkan desir dalam dada. "Ya ampun, Biru tampan banget," batinku, terpesona sejenak pada ketampanannya yang begitu nyata. "Gue nggak mau lo terlalu dekat dengan cowok lain," bisiknya dekat sekali. Ucapannya menghangatkan ujung telingaku. Tiba-tiba, Biru mendekat, mengikis jarak di antara kami. Bibirnya menyentuh bibirku lembut tapi penuh niat. Mataku membulat, terkejut oleh gerakannya yang tak terduga. Ingin ku tolak, namun genggaman Biru semakin erat dan ciumannya semakin mendalam, membuatku terperangkap dalam hangatnya rasa yang sulit diungkapkan.Tangan Biru dengan lembut mendarat di punggungku, menepuk-nepuk seolah mengerti betapa aku keku