Share

Bab 31

Penulis: Syaard86
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-04 13:46:17

Di depan kamar yang penuh ketegangan, aku menunjukkan kekuatan dengan mencengkeram tangan Tante Ayuni yang hendak menamparku. Kulit wajah Tante Ayuni berkerut menahan rasa sakit, dan matanya memancarkan amarah. "Aw, sakit Aya. Lepas!" pekiknya dengan suara yang parau. Anggita, yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu, berlari mendekati ibunya untuk membantu.

Namun,aku tak akan membiarkannya, dengan gerakan cepat dan kasar, melepaskan cengkeramanku. Tante Ayuni terhuyung ke belakang, tubuhnya yang tidak stabil menabrak Anggita yang berusaha mendekat. "Jangan ganggu gue!" bentakku dengan nada mengancam, dan tatapan mata menyiratkan kebencian.

Tante Ayuni, dengan tangan yang masih terasa nyeri, berteriak kesal, "Akan aku adukan perlakuan kasar kamu pada papamu!" Ancamannya terdengar serius dan tegas. Namun aku hanya tersenyum sinis, sebuah senyum yang dingin dan penuh kepuasan akan ketakutan yang telah aku timbulkan.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, aku berbalik dan masuk ke kama
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cahaya Biru   Bab 32

    Tubuhku terasa kaku saat Biru tiba-tiba memelukku dari belakang, kepalanya bersandar di bahu kiriku. Aku mencoba mendorongnya pelan sambil berkata, "Lo lagi ngigau atau apa? Aneh banget." Detak jantungku tidak karuan, seolah-olah hendak meloncat keluar dari dada."Mana ada ngigau cakep gini," gumam Biru, suaranya terdengar sedikit tersinggung. Dia menolak untuk melepaskan pelukannya, seolah ingin membuktikan sesuatu."Habisnya lo aneh banget. Lo tiba-tiba aja bilang kayak gitu," keluhku, masih berusaha melepaskan diri dari cengkeraman hangatnya. Aku bahkan tidak berani menatap matanya, takut terjebak dalam tatapan yang mungkin akan membuatku lemah."Gue kan ngomong apa adanya. Lo kan cewek gue. Emang salah, bukannya lo itu udah resmi jadi istri gue," lanjut Biru, suaranya semakin serius dan mendalam. Jantungku berdegup kencang, tidak mengerti bagaimana harus merespon pengakuan mendadak itu. Sejenak, aku merasa dunia sekitar menjadi sunyi, hanya terdengar detak jantung yang berpacu ce

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06
  • Cahaya Biru   Bab 33

    Biru meraih tanganku lembut, suaranya berbisik dekat telinga. "Hati-hati saat minum, nggak ada yang minta Aya." Sentuhan jemarinya yang halus berusaha menenangkan, tapi detak jantungku justru semakin kencang ketika terdengar kata-kata Mama Siska yang mengejutkan tentang liburan yang akan diubah menjadi bulan madu. "Emangnya kenapa kalau bulan madu? Kita kan sudah sah," bisik Biru lagi dengan nada yang lebih serius. Mendengarnya, kaki ku bergerak spontan menginjak kaki Biru keras. Matanya membulat kaget dan aku memandang tajam ke arahnya. "Kita masih sekolah, Biru. Kenapa sudah bicara soal bulan madu?" desisku dengan suara rendah namun tegas. Biru ******** kesakitan sambil memegang kakinya yang terinjak. Sementara itu, Mama Siska yang memperhatikan kami berbisik bertanya, "Kalian bisik-bisik apa?" Menghadapi raut curiga Mama Siska, aku berusaha tersenyum sembari menjawab sekenanya, "Oh, nggak papa Ma, cuma candaan kecil."Malam itu, suasana di ruang tengah yang kami tempati ter

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07
  • Cahaya Biru   Bab 34

    Jantungku berdegup kencang, menantikan kata-kata yang akan terlontar dari mulut Biru. Napasku tertahan, apa mungkin dia akan membongkar rahasia hubungan kami di depan Jeno dan Radit? Biru tiba-tiba berkata, "Gue sama dia sekarang jadian," membuatku terkesiap tak percaya. "Kapan dia nembak gue?" gumamku dalam hati, mencoba mengingat momen yang tidak pernah terjadi. Di sisi lain, Jeno dan Radit tercengang. Mereka bertukar pandang, matanya penuh keheranan dan mulut terbuka lebar seolah tidak mampu memproses informasi tersebut. Semua berhenti sejenak, kami saling melihat dalam kebingungan. "Woy! Kalian kenapa?" Biru akhirnya memecah keheningan dengan menjentikkan jarinya, membuyarkan lamunan kami. "Beneran, kalian berdua udah jadian?" tanya Jeno, suaranya menunjukkan ketidakpercayaan. Aku menggelengkan kepala, tak tahu harus berkata apa, menjawab dengan kebingungan yang melanda. "Bi, serius dikit napa sih?" Radit tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. "Aya, kenapa lo gele

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-09
  • Cahaya Biru   Bab 35

    Sore itu, cahaya matahari mulai redup saat Jeno dan Radit menghampiri aku dan Biru di parkiran sekolah. Semilir angin membawa kesegaran yang tampaknya mengundang nostalgia. "Bi, nanti malam datang ke basecamp ya? Udah lama kita nggak ngumpul," ucap Jeno dengan semangat yang terpancar dari sorot matanya.Radit yang berdiri di sampingnya menambahkan, "Iya, udah lama banget kita nggak ngumpul." Suaranya penuh antusias, seolah mengingatkan kembali pada hari-hari indah yang pernah mereka lalui bersama.Biru, yang masih terlihat ragu, menoleh ke arahku mencari jawaban. Matanya berbinar mencari persetujuan, "Boleh nggak?" tanyanya dengan nada memohon. Aku bisa merasakan keinginan kuat darinya untuk kembali merajut kenangan lama bersama teman-temannya.Dengan suara rendah, aku hanya bisa menjawab, "Serah lo," sebuah jawaban yang mungkin bagi sebagian orang terdengar tidak peduli, namun bagiku itu adalah cara untuk memberi kebebasan pada Biru.Jeno dan Radit, yang memperhatikan pertukaran pend

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Cahaya Biru   Bab 36

    "Oh, maaf sayang. Kamu kan nggak suka makanan manis kayak gini," ucap Biru seraya kembali meletakkan sendok dan menggeser kue yang katanya buatan Anggia itu.Tau saja Biru, kalau aku nggak suka makanan manis. Paling tidak dia telah menyelamatkan aku dari makanan yang entah sudah di beri tambahan apa aku nggak tau. Seperti di film-film yang mungkin di kasih obat pe*****ang sih enak, bisa ngerasin ena-ena lah kalau di kasih obat mematikan agar semua warisan papa jatuh di tangan Anggia dan Tante Ayuni bisa logout nggak bisa login lagi, begitulah pemikiran ku. Aku tersenyum. "Makasih sayang, kamu paling ngerti kalau aku nggak suka makanan manis," ucapku mengikuti permainan Biru."Iya sayang, sama-sama," ucap Biru sambil mengusap pipiku. Aku melirik ke arah Anggia dan Tante Ayuni, mereka berdua terlihat sangat kesal apalagi Anggia bahkan ia hampir menangis melihat aku dan Biru mesra seperti ini."Oh iya, sayang. Katanya hari ini papa pulang," ujar Biru."Eh iya, Biru. Hari ini papa kamu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • Cahaya Biru   Bab 37

    Tanpa menunggu sejenak, aku melangkah maju dengan tegas. Mataku menyala penuh amarah saat menyaksikan seorang pria yang berani mengulurkan tangannya ke arah barang-barang pribadiku. Dengan gerak cepat, aku memelintir tangan pria itu hingga dia meringis kesakitan."Udah gue bilang kalau jangan sentuh barang-barang gue!" suaraku menggema tajam di ruangan itu, mengandung kekuatan dan peringatan yang tidak boleh diabaikan. Tangan pria itu masih terjepit di genggamanku, dan aku tidak berniat untuk melepaskannya sebelum dia benar-benar mengerti."Arrgh! Lepas!" teriak pria itu dengan suara yang dipenuhi rasa sakit dan kepanikan. Dia berusaha keras melepaskan diri, tapi semakin dia berontak, semakin kuat aku memelintir tangannya.Tiba-tiba, pria yang satunya lagi mencoba maju untuk membantu rekannya. Namun, dengan refleks yang cepat, aku mendorong pria yang ada di genggamanku. Dia terhuyung ke belakang dan akhirnya menabrak temannya sendiri. Keduanya terjatuh berantakan di lantai, terlihat s

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Cahaya Biru   Bab 38

    "Em, Nak Biru. Kamu sudah pulang," ucap Tante Ayuni sedikit gugup melihat kedatangan Biru yang tiba-tiba.Anggia menangis tersedu dan berlari menghampiri Biru yang masih berdiri di tempatnya. "Kak Biru, Kak Aya nggak mau mengakui kalau gue saudaranya. Gue sadar gue cuma anak tiri dari papa Erwin," ucapnya dengan nada memelas. Biru berdiri tegak dengan pandangan yang tajam, matanya menatap lurus ke arah Anggia yang masih terisak. Napasnya terdengar berat, pertanda keraguan yang mulai menguasai pikirannya. Tante Ayuni yang berdiri di sampingnya tampak menggigit bibir, tanda kecemasan yang tidak bisa disembunyikan."Kak, gue cuma pengen diakui," kata Anggia dengan suara yang bergetar, air mata membasahi pipinya yang merah. "Kita mungkin saudara tiri, tapi perasaan sayang gue ke Kak Aya itu nyata, Kak."Biru mengerutkan dahinya lebih dalam, seolah mencoba memproses kata-kata Anggia. Dia menarik napas dalam, lalu menghela napas panjang, pertanda dia mencoba mencari kata-kata yang tepat un

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Cahaya Biru   Bab 39

    Aku merasakan desakan darah di kepala saat mendengar permintaan Biru. Dia berdiri di hadapanku, matanya menatap dalam ke dalam mataku, seolah mencoba mengunci jiwa dan ragaku hanya untuknya. Napasku tercekat, kaget dan bingung bercampur menjadi satu."Gue serius, lo harus menjauh dari Gery, atau siapa pun yang mendekat. Lo itu punya gue!" Biru mengulangi kalimatnya dengan nada yang lebih tegas dan mendesak. Suaranya mengandung kecemasan dan ketakutan kehilangan yang selama ini dia sembunyikan.Aku menelan ludah, mencoba meredam debaran jantung yang kian kencang. "Kenapa? Bukannya dulu lo nggak mau nikah sama gue," tanyaku dengan suara yang berusaha tetap tenang, meski di dalam hati bergolak hebat."Itu dulu, tapi sekarang gue nggak ingin lepasin lo buat orang lain," jawab Biru dengan serius, matanya tidak berkedip seolah takut aku akan menghilang jika ia berpaling walau hanya sekejap.Kata-katanya yang penuh ketegasan membuatku mematung di tempat. Aku merasakan sesak di dada, perasaan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14

Bab terbaru

  • Cahaya Biru   Bab 50

    Biru mendekatiku yang tengah terkulai tak berdaya di atas kasur. Cahaya sore yang malas-malasan menerobos masuk melalui celah jendela, menambah kelesuan di ruang itu. Dengan lembut, ia menggoyang-goyangkan bahu ku, penuh perhatian. "Aya, kamu masih ingat tawaran mama nggak?" tanyanya dengan suara yang menggema kehangatan. Aku mengerjap, berusaha mengumpulkan ingatan yang terasa berantakan. "Yang mana?" Aku memiringkan kepala, mencoba memori yang berkelebat tak pasti. "Aku nggak ingat," jawabku akhirnya, sambil menghela napas panjang.Suasana kamar yang hanya diterangi cahaya lampu tidur, aku terbaring lemas di atas kasur dengan pikiran yang melayang-layang. Biru, dengan raut wajah yang kecewa, ikut berbaring di kasur sambil memegang ponselnya. "Yang liburan itu loh, kamu mau nggak?" tanya Biru dengan nada yang sedikit memaksa, mencoba menggoda ku dengan gambar-gambar destinasi yang indah di layar ponselnya.Aku hanya menghela napas, mataku yang sayu menatap ke arah Biru, "Nggak,

  • Cahaya Biru   Bab 49

    Waktu seakan berlari, mengejar detik yang tak tergenggam. Papa Erwin baru saja tiba dari rumah sakit, dan hari ini adalah hari ujian yang menentukan untuk aku dan Biru. Saat sarapan, suara papa memecah keheningan. "Kalian sudah persiapkan diri dengan matang, aku yakin kalian berdua bisa meraih nilai sempurna," katanya dengan tatapan yang menunjukkan kepercayaan mendalam. Biru, dengan senyuman simpulnya, menanggapi, "Semoga Pa, doakan Biru ya," katanya sambil sesekali melirik ke arahku. Papa mengangguk, tangannya terasa hangat di pundak Biru. "Tentu, aku doakan kalian berdua," sahutnya seraya tersenyum. Biru mendekat, berbisik dengan nada gurau namun serius, "Jangan lupa janji kamu. Kalau aku dapat nilai tinggi, aku akan mendapat hak ku sebagai suamimu. Otomatis aku resmi menjadi suami kamu ya." Sejenak, aku terdiam, merasakan detak jantungku yang memburu. "Benarkah sudah saatnya?" gumamku dalam hati sambil mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran itu terus bergulat di kepala, mem

  • Cahaya Biru   Bab 48

    "Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s

  • Cahaya Biru   Bab 47

    Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku

  • Cahaya Biru   Bab 46

    Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal

  • Cahaya Biru   Bab 45

    Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s

  • Cahaya Biru   Bab 44

    Dering telepon dari Biru memecah kesunyian malam yang mendebarkan. Suaranya terdengar panik, "Cepat ke rumah sakit sekarang!" Jantungku langsung berdegup kencang. Otakku membayangkan segala kemungkinan yang terburuk. Tanpa berpikir panjang, aku lari menuju rumah sakit, meninggalkan peluang untuk menangkap ob yang mungkin terlibat meracuni Papa. Kepanikan itu menguasai setiap langkahku.Dengan napas tersengal-sengal, aku melompat keluar dari mobil dan berlari secepat kilat menyusuri koridor rumah sakit yang terasa begitu panjang. Lampu-lampu overhead berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang bergerak di sepanjang dinding. Setiap detik terasa seperti jam, dan jantungku berdebar keras, seolah ingin meledak keluar dari dada.Ketika sampai di ruang VVIP, aku hampir-hampir terjatuh karena tergesa-gesa. Mengambil napas dalam-dalam, aku menekan handle pintu dan mendorongnya dengan lembut. "Papa," suaraku bergetar saat aku memanggilnya. Aku melihat Biru duduk di samping ranjang dengan ra

  • Cahaya Biru   Bab 43

    Dengan langkah yang ringan dan hening, aku menerobos ke dalam kegelapan kantor yang sudah sepi. Berkat pakaian serba hitam yang kukenakan, aku seperti bayangan yang sulit terlihat. Ruangan demi ruangan kulewati tanpa suara. Sesekali, cahaya dari lampu jalan yang masuk melalui jendela memantulkan siluetku di dinding.Mataku tertuju pada sosok yang tampak bergerak di ujung koridor. Jantungku berdegup kencang, namun setelah menunggu beberapa saat, aku menghela napas lega. Itu hanya pak satpam yang sedang melakukan ronda malam. Aku menunggu hingga suara langkah kaki itu menghilang sebelum aku melanjutkan misi.Dengan perlahan, aku mengintip ke dalam ruangan papa. "Cangkir kopi bekas papa," bisikku saat melihat meja kerja yang sudah rapi tanpa ada satu pun dokumen yang tersisa. Aku menyusuri ruangan itu, membuka setiap laci yang ada dengan harapan menemukan sesuatu yang terlewatkan. Namun, nihil. Tidak ada satu petunjuk pun yang tertinggal, semuanya telah bersih.Aku berdiri di tengah ruan

  • Cahaya Biru   Bab 42

    Mataku berkaca-kaca, aku menatap Paman Rudi dengan penuh harap ketika dia melangkah keluar dari ruang perawatan. Bibirku gemetar sedikit saat aku bertanya, "Apa yang terjadi sama Papa, Paman? Kenapa Papa bisa sakit?" Tangan Paman Rudi yang hangat memegang bahuku dengan penuh perhatian. "Tenang, Aya, Papa kamu baik-baik saja," ujar Paman Rudi dengan suara yang menenangkan. Cahaya lampu lorong rumah sakit itu terasa begitu menyilaukan bagi ku, seolah mencerminkan kecemasan yang melanda hatiku. Tangisan ku pecah, suara isakan terdengar begitu pilu di lorong yang sunyi. Paman Rudi, dengan ekspresi penuh kekhawatiran, mengusap punggung ku perlahan, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah ketakutan yang melanda.Paman Rudi menarik napas dalam-dalam, menatap aku dan suamiku, Biru, yang duduk di sampingnya dengan mata yang sayu. "Tadi papamu muntah darah," ungkapnya, suaranya berat, mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk tidak membuat anak dari atasannya ini semakin larut dalam

DMCA.com Protection Status