"Kenapa harus Cahaya sih, Bu!" protes Biru kesal. Terlihat sekali kalau ia membenciku."Em, teman lainnya saja Bu, yang mentorin Biru," aku jug ikut protes. Mengingat hubunganku dengan Biru yang tak pernah akur serta kita sama sekali tidak pernah cocok dalam pemikiran.Bukannya kita belajar yang ada kita malah tawuran.Aku melirik ke arah Biru dengan tatapan tajam. Malas saja kalau aku yang menjadi mentor belajarnya. Mana mau dia mengakui kalau aku ada di atasnya.Bu Wanti terdiam sejenak lalu menggelengkan kepalanya."Nggak ada yang lebih tepat selain kamu, Cahaya," Bu Wanti menegaskan."Tapi Bu, Biru nggak mau sama saya. Eh, maksudnya saya yang menjadi mentornya," ucapku sedikit protes dengan ide wali kelasku itu.Bu Wanti menoleh ke arah Biru yang duduk terdiam. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini.Bu Wanti melangkah lebih dekat di bangku Biru. Ia tampak menghela napas panjang."Nilai kamu itu sangat buruk Biru. Kalau kamu nggak mau di mentorin sama Cahaya, ibu yakin kamu ng
Biru duduk terpaku di kursinya, matanya membulat tak percaya mendengar teriakanku yang menggema di ruangan. Untuk sesaat, ruang belajar itu seperti terhenti, hanya suaraku yang terdengar lantang memecah keheningan. "Lo diam dan dengerin gue! Sekarang terserah lo, lo mau lulus apa kagak gue juga nggak peduli!" ujarku dengan nada tinggi dan emosi yang memuncak.Aku tahu mungkin Biru akan menganggapku cewek bar-bar, atau bahkan menganggapku layaknya istri yang kejam. Tapi, aku tak peduli. Semua yang aku lakukan ini demi kebaikannya, agar dia bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Dengan wajah merah padam, aku menunjuk pada buku yang tergeletak di meja dan memerintah, "Lo kerjain soal ini!"Biru menatapku tajam, seolah mencoba memahami maksud di balik ketegasan suaraku. Dia tahu ini bukan hanya tentang tugas, tapi tentang masa depannya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti jam, akhirnya dia mengangguk perlahan dan mulai membuka buku tersebut, memulai mengerjakan soal yang telah kup
Dengan kedua tangan menutupi wajah, aku berteriak histeris saat mataku tanpa sengaja menangkap pemandangan yang tak seharusnya terlihat. Handuk Biru, yang sepertinya terlalu lepas, melorot hingga menampakkan bagian bawah tubuhnya yang tak tertutupi. Teriakan panikku memecah kesunyian, membuat Biru yang sama terkejutnya berteriak lantang.Biru, dengan refleks cepat, menggapai handuknya yang terjatuh dan melilitkannya kembali ke pinggangnya dengan gerakan yang cekatan. Matanya membulat menatapku yang masih dengan tangan di wajah. "Lo mau lihat punya gue?" sindirnya, suaranya mencampur aduk antara terkejut dan kesal.Kulihat wajahnya yang mencoba menyembunyikan rasa malu dibalik ekspresi kesal. Sementara itu, pipiku terasa panas, darahku seolah mendidih memerahkan wajahku. "Mana ada, gue nggak sengaja narik handuk lo!" balasku dengan nada tinggi, berusaha meyakinkan diri sendiri sekaligus Biru bahwa itu hanyalah kecelakaan yang memalukan.Suasana menjadi canggung sejenak, kami berdua sal
Sesak napas seolah menggantung di udara ketika kepala kami saling terbentur, suara 'aduh' serentak terlontar dari mulut kami berdua. Biru, dengan raut wajah yang kesal, mengusap keningnya yang memerah sambil menatapku tajam. "Kenapa sih lo ceroboh banget jadi cewek!" teriaknya, suara frustrasinya memenuhi ruangan yang dipenuhi kertas-kertas yang berserakan."Gue nggak sengaja. Mana gue tau kalau lo juga ngambil itu kertas," balasku dengan nada tinggi, merasa tidak adil dituduh sembarangan. Rasa sakit di kepala seakan berlipat ganda dengan tambahan rasa tidak nyaman karena tuduhan Biru."Sial! Kenapa setiap deket lo gue sial mulu!" desahnya, matanya masih menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam saat melihatku. Tangannya masih mengusap kening, seolah mencoba meredakan sakit yang juga dia rasakan."Kenapa nyalahin gue. Lo yang sial!" jawabku dengan nada bertahan, tangan terlipat di dada. Suara kami tercampur aduk dengan suara kertas yang kami injak-injak ketika kami bergerak, menciptakan
Setelah pertarungan yang intens, Biru dan anggota gengnya kembali ke basecamp dengan langkah gontai. Beberapa di antara mereka menopang tubuh temannya yang terluka parah. Sementara itu, Biru mengusap darah yang masih meleleh dari sudut bibirnya dengan punggung tangannya yang juga tidak luput dari memar. "Obati teman-teman kita yang terluka," perintah Biru dengan suara serak pada Jeno dan Radit yang langsung mengangguk dan bergegas mengambil kotak P3K. "Apa lo nggak papa?" tanya Jeno, matanya penuh kekhawatiran saat melihat luka di wajah sahabatnya itu."Gue nggak papa. Santai aja," jawab Biru, mencoba tersenyum meskipun nyeri. Ia kemudian berdiri, mengambil perban dan salep, mulai mengompres luka-luka temannya yang terbuka. Keterampilannya dalam mengatasi luka cukup terasah berkat seringnya tawuran yang mereka hadapi."Kalau udah, kita pulang," ujarnya, memastikan bahwa setiap anggota gengnya mendapat perawatan yang memadai sebelum mereka semua meninggalkan tempat itu. Setiap geraka
Aku melangkahkan kaki ke ruang makan, seragam sekolahku masih kaku dan rapi. "Selamat pagi Ma," ucapku seraya tersenyum pada mama Siska yang sudah sibuk di dapur bersama beberapa asisten. Senyumnya menyambutku hangat, membawa kedamaian di pagi yang cerah ini."Pagi juga sayang, Biru mana?" tanyanya sambil menoleh, wajahnya masih terliaht sangat cantik. Aku menarik kursi dan duduk, mengatur napas sejenak."Sebentar lagi juga turun, Ma. Udah pakai seragam kok tadi," jawabku sambil membetulkan letak dasiku. Aroma sarapan yang mama Siska siapkan mulai menggoda indra penciumanku, membuat perutku keroncongan.Mama Siska mengangguk, matanya berbinar-binar melihatku sudah bersiap rapi. Dia kemudian menuangkan susu hangat ke dalam cangkir sebelum meletakkannya di hadapanku. "Makan yang banyak ya, hari ini kan ada ulangan harian jadi biar bisa mikir lancar," pesannya lembut.Aku mengangguk, mengambil roti dan mulai mengolesinya dengan selai. Di luar sana, suara Biru terdengar, riang gembira men
Darahku seperti mendidih saat kata-kata Anggia meluncur menusuk. Tak seharusnya ia menyentuh kenangan tentang mamaku. "Lo bisa diam nggak sih? Gue bisa bungkam mulut lo!" umpatku, suara bergetar penuh amarah. Anggia, dengan senyuman menyeringai, menambah luka. "Kenapa? Mama lo kan emang tukang selingkuh!" Sindirnya tanpa rasa bersalah. Tanpa sadar, tanganku mendorong bahunya. Tubuhnya terhempas, punggungnya membentur dinding dengan keras. Napasku memburu, tangan terkepal. "Aya, udah, jangan," Lala menarik lenganku dengan lembut, matanya memohon agar aku berhenti.Mataku masih menyala dengan amarah yang belum juga padam. "Lo nggak berhak ngomongin mama gue!" teriakku, suaraku menggema di koridor yang sempit itu.Anggia mengerang kesakitan, tapi tatapan sinisnya masih terpaku padaku. "Gue cuma bilang yang sebenarnya, Aya. Kenyataannya pahit, ya?" sindirnya lagi, sambil mengusap punggungnya yang terbentur.Napas ku memburu, hati ini seolah ingin meledak. Lala memelukku erat, mencob
Di tengah keramaian kantin yang riuh dengan suara siswa-siswi lain, suara tamparan keras itu membahana, menarik perhatian semua orang seketika. Anggia, yang biasanya penuh percaya diri, kali ini terpaku, tangan gemetar menutup pipinya yang merah bersemu. Bekas tangan yang jelas terpampang di wajahnya yang selama ini dikenal sempurna.Aku berdiri tegak, napas naik turun dipenuhi emosi yang bergejolak. Mataku memandang tajam ke dalam mata Anggia, mencerminkan setiap bit amarah dan ketidakpuasan yang telah lama terpendam. "Udah gue bilang, gue bisa bungkam mulut lo yang busuk itu!" suaraku bergema, tegas dan dingin, memotong keheningan yang tiba-tiba muncul.Anggia, masih dengan tangan di pipi, matanya membulat tak percaya. Mulutnya membuka dan menutup, mencari kata-kata yang tepat untuk merespons, namun tak satu pun terucap. Dia melihat sekeliling, menyadari semua mata di kantin tertuju padanya, beberapa dengan rasa simpati, lainnya dengan rasa penasaran."Lo berani tampar gue!" suarany
"Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s
Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku
Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal
Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s
Dering telepon dari Biru memecah kesunyian malam yang mendebarkan. Suaranya terdengar panik, "Cepat ke rumah sakit sekarang!" Jantungku langsung berdegup kencang. Otakku membayangkan segala kemungkinan yang terburuk. Tanpa berpikir panjang, aku lari menuju rumah sakit, meninggalkan peluang untuk menangkap ob yang mungkin terlibat meracuni Papa. Kepanikan itu menguasai setiap langkahku.Dengan napas tersengal-sengal, aku melompat keluar dari mobil dan berlari secepat kilat menyusuri koridor rumah sakit yang terasa begitu panjang. Lampu-lampu overhead berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang bergerak di sepanjang dinding. Setiap detik terasa seperti jam, dan jantungku berdebar keras, seolah ingin meledak keluar dari dada.Ketika sampai di ruang VVIP, aku hampir-hampir terjatuh karena tergesa-gesa. Mengambil napas dalam-dalam, aku menekan handle pintu dan mendorongnya dengan lembut. "Papa," suaraku bergetar saat aku memanggilnya. Aku melihat Biru duduk di samping ranjang dengan ra
Dengan langkah yang ringan dan hening, aku menerobos ke dalam kegelapan kantor yang sudah sepi. Berkat pakaian serba hitam yang kukenakan, aku seperti bayangan yang sulit terlihat. Ruangan demi ruangan kulewati tanpa suara. Sesekali, cahaya dari lampu jalan yang masuk melalui jendela memantulkan siluetku di dinding.Mataku tertuju pada sosok yang tampak bergerak di ujung koridor. Jantungku berdegup kencang, namun setelah menunggu beberapa saat, aku menghela napas lega. Itu hanya pak satpam yang sedang melakukan ronda malam. Aku menunggu hingga suara langkah kaki itu menghilang sebelum aku melanjutkan misi.Dengan perlahan, aku mengintip ke dalam ruangan papa. "Cangkir kopi bekas papa," bisikku saat melihat meja kerja yang sudah rapi tanpa ada satu pun dokumen yang tersisa. Aku menyusuri ruangan itu, membuka setiap laci yang ada dengan harapan menemukan sesuatu yang terlewatkan. Namun, nihil. Tidak ada satu petunjuk pun yang tertinggal, semuanya telah bersih.Aku berdiri di tengah ruan
Mataku berkaca-kaca, aku menatap Paman Rudi dengan penuh harap ketika dia melangkah keluar dari ruang perawatan. Bibirku gemetar sedikit saat aku bertanya, "Apa yang terjadi sama Papa, Paman? Kenapa Papa bisa sakit?" Tangan Paman Rudi yang hangat memegang bahuku dengan penuh perhatian. "Tenang, Aya, Papa kamu baik-baik saja," ujar Paman Rudi dengan suara yang menenangkan. Cahaya lampu lorong rumah sakit itu terasa begitu menyilaukan bagi ku, seolah mencerminkan kecemasan yang melanda hatiku. Tangisan ku pecah, suara isakan terdengar begitu pilu di lorong yang sunyi. Paman Rudi, dengan ekspresi penuh kekhawatiran, mengusap punggung ku perlahan, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah ketakutan yang melanda.Paman Rudi menarik napas dalam-dalam, menatap aku dan suamiku, Biru, yang duduk di sampingnya dengan mata yang sayu. "Tadi papamu muntah darah," ungkapnya, suaranya berat, mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk tidak membuat anak dari atasannya ini semakin larut dalam
Anggia menatap kelas padaku. "Tapi Kak, gue nggak terbiasa duduk di belakang." Suaranya bergetar karena emosi. Jelas saja ia ingin duduk di samping Biru, suamiku yang tampan. Tanggapan Biru datang dengan ketenangan yang kontras. "Kalau nggak biasa ya di biasain," katanya, seraya menarik tangan ku memacu agar aku segera menaiki mobil. Sementara itu, aku hanya bisa tersenyum sinis. "Jangan ya, Dek. Dia suami gue," bisikku dengan nada mengejek ke telinga Anggia. Bisa kurasakan tubuhnya bergetar sementara wajahnya memerah bak delima. Aku pun dengan sengaja menyenggol bahunya, menambah rasa malu yang sudah menyesakkan dadanya.Anggia mencoba menahan amarahnya yang mendidih, napasnya terengah-engah seolah berusaha menelan setiap kata yang ingin dia lemparkan. Dia terduduk pasrah di kursi belakang mobil, matanya menatap tajam ke arah punggung Biru yang duduk di depan dengan sikap tenang. Di sisi lain, Biru hanya memperhatikan jalan, seolah tak menyadari betapa tegangnya suasana di dalam
Aku mengedipkan kedua mataku cepat, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Biru. "Em, siapa bilang gue nggak mengakui lo sebagai suami?" kataku dengan tawa renyah, seolah menyembunyikan getar di hati. Aku beranjak ingin mengelak, namun Biru dengan cepat meraih tanganku, menahan langkah. Jari-jarinya bergerak lembut mengusap pipiku, menimbulkan desir dalam dada. "Ya ampun, Biru tampan banget," batinku, terpesona sejenak pada ketampanannya yang begitu nyata. "Gue nggak mau lo terlalu dekat dengan cowok lain," bisiknya dekat sekali. Ucapannya menghangatkan ujung telingaku. Tiba-tiba, Biru mendekat, mengikis jarak di antara kami. Bibirnya menyentuh bibirku lembut tapi penuh niat. Mataku membulat, terkejut oleh gerakannya yang tak terduga. Ingin ku tolak, namun genggaman Biru semakin erat dan ciumannya semakin mendalam, membuatku terperangkap dalam hangatnya rasa yang sulit diungkapkan.Tangan Biru dengan lembut mendarat di punggungku, menepuk-nepuk seolah mengerti betapa aku keku