Share

Bab 8

Penulis: Syaard86
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-13 15:20:55

Setelah pintu kamarku tertutup sempurna, aku bergegas menuju ke cermin besar yang terpampang di sudut ruangan. Kedua tangan berusaha sekuat tenaga menarik resleting gaun pengantin yang melekat erat di tubuhku. Aku menggerutu dalam hati, frustrasi karena gaun itu seperti menolak untuk dilepaskan dari tubuhku.

“Sial! Kenapa susah banget lepasinnya!” keluhku dengan nada tinggi, sambil terus berjuang dengan resleting itu. Akhirnya, dengan satu tarikan keras, resleting itu terbuka dan punggungku terpampang nyata.

Ceklek!

Suara pintu yang terbuka membuatku tersentak. Refleks, aku berbalik badan, dan mataku langsung bertemu dengan pandangan Biru yang sudah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar.

“Biru!” teriakku kesal, sambil cepat-cepat membalikkan badan lagi, berusaha menutupi punggung terbuka dengan kedua tangan. Hatiku berdebar keras, tidak mengerti mengapa dia bisa ada di sini.

Biru hanya menyipitkan matanya, seolah mencoba memahami situasi, namun wajahnya tidak menunjukkan emosi
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cahaya Biru   Bab 9

    "Emang enak di cuekin," ucapku sambil tersenyum senang melihat adik tiriku itu di tinggal begitu saja oleh Biru, suamiku.Aku berdiri dengan menyandarkan punggung di dinding dan melipat kedua tangan di depan dada.Langkah Anggia yang gemas dan penuh amarah terdengar nyaring di lorong rumah yang sunyi. Kedua tangannya terkepal, seolah siap untuk melepaskan segala kekesalan yang dipendam. Dia berhenti sejenak, menatapku dengan pandangan tajam yang membakar. "Apaan sih lo! Emang kak Biru itu peduli sama lo!" suaranya memecah kesunyian, sinis dan menyakitkan.Aku hanya tersenyum simpul, menanggapi setiap kata yang dilontarkannya dengan ketenangan yang terlatih. "Emangnya kenapa kalau Biru nggak peduli sama gue?" tanyaku, suara penuh ketidakpedulian. Aku berdiri tegak, menghadapinya dengan wajah datar. "Gue pun juga nggak berharap kalau Biru peduli sama gue. Bodo amat! Kita menikah karena perjodohan konyol, gue dan Biru sama-sama nggak mengharapkan."Anggia mendengus keras, frustrasi de

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-14
  • Cahaya Biru   Bab 10

    Ketegangan memenuhi ruangan saat aku mendapati diriku diperintah oleh Biru untuk mengerjakan tugasnya. "Dia pikir gue pembantunya, apa?" gumamku dalam hati sambil tangan terus mengetik jawaban tugas yang bukan milikku. "Tunggu aja, Biru. Lo pasti akan menyesal telah memperlakukan gue seperti ini!" ucapku penuh ancaman namun masih terkendali. Kesal, namun dengan segala upaya aku menyelesaikan tugas tersebut, sambil dalam hati tertawa kecil membayangkan kejadian esok hari di sekolah. "Gue udah nggak sabar lihat wajah lo yang panik," bisikku sembari menyimpan buku tugas Biru dan membaringkan tubuh, melupakan tentang keberadaan Biru yang entah dimana. Sungguh aku tidak peduli.Dalam benakku, skenario demi skenario mulai terbentuk, setiap detilnya dirancang untuk membuat Biru merasakan penyesalan mendalam. Seulas senyum licik merekah di wajahku, membayangkan kepanikan yang akan melanda Biru ketika mengetahui balasan yang telah aku siapkan."Jadi tidak sabar menunggu pagi," gumamnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-15
  • Cahaya Biru   Bab 11

    "Biru sialan! Gue benci sama lo!" teriakku sambil menatap mobil yang di kendarai olehnya yang kian menjauh meninggalkan aku sendirian di tempat ini.Rasa marah, benci, dan kesal menjadi satu. Mungkin saat ini kepalaku sudah keluar asapnya. Entah kenapa ingin rasanya aku marah dengan papa yang bisa-bisanya mempunyai ide menjodohkanku dengan cowok yang tak punya hati itu. Siapa lagi kalau bukan Biru sialan itu."Astaga! Bisa telat nih gue," gumamku saat melihat jam yang ada di pergelangan tanganku. Jarak tempatku berdiri dengan sekolah masih sangat jauh. Dan sekarang aku tak tahu harus bagaimana. Segera aku mengambil ponselku untuk memesan taksi atau ojek online yang bisa membawaku ke sekolah dengan cepat."Astaga! Kenapa nggak ada satu pun ojek yang bisa aku pesan? Taksi pun tak ada," desahku pelan. Tak ada lagi harapanku untuk tiba di sekolah tepat waktu.Sudah bisa di tebak aku akan terlambat ke sekolah dan akan mendapat hukuman.Namun, tiba-tiba secercah harapan muncul saat mata i

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-15
  • Cahaya Biru   Bab 12

    Biru berdiri di depan meja Bu Amel, kedua tangannya mengepal di samping tubuhnya. "Kenapa saya dihukum Bu? Saya salah apa?" tanyanya dengan suara gemetar. Jantungnya berdegup keras, matanya penuh kebingungan memandang wajah muram Bu Amel. Bu Amel menghela napas berat sebelum menunjuk tajam pada Biru. "Kamu masih tanya apa salah kamu?" suaranya meninggi penuh amarah. Dengan gerakan tegas, ia menyodorkan buku tugas tebal yang telah dibawa. "Ini lihat!" Biru menerima buku itu dengan perlahan. Detik berikutnya, matanya terbelalak membaca judul puisi 'Bu Amel'. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar menahan rasa kaget dan tak percaya. Dari sudut kelas, aku menatap adegan itu. Senyum tipis menghiasi wajahku, alis terangkat penuh kemenangan. "Rasain lo!" gumamku dalam hati, antusias melihat Biru terpaksa berlari mengelilingi lapangan tiga kali putaran sebagai hukuman.Biru terperanjat, matanya terbelalak ketika melihat judul puisi itu. "Tapi, Bu, ini bukan tulisan saya!" serunya, suaranya t

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • Cahaya Biru   Bab 13

    "Loh, makanan gue," gumamku saat Biru dengan mudahnya mengambil makanan yang di bawa Lala."Woy, apa-apaan lo!" teriakku tak terima begitu Biru duduk manis dan menyantap makananku dengan seenaknya. Jelas saja aku tidak terima, perutku sudah keroncongan tak ada isinya dengan mudahnya Biru mengambil jatah makananku. Kalau dia mau makan kenapa nggak pesan sendiri!Ingin rasanya aku tabok wajahnya yang songong itu biar dia bisa menghargai orang sedikit saja. Biar pun dia suami ku tapi sikapnya yang arogan membuatku sangat membencinya."Udah Aya, biarin aja. Gue akan pesan lagi buat kita," ucap Lala mencoba menenangkan.Dia menarik aku untuk kembali duduk di tempatku lagi. "Nggak. Gue nggak akan terima. Kalau dia mau makan harusnya dia pesan sendiri. Kenapa harus ngambil makanan gue!" Aku kembali berdiri, meski Lala menghalangi langkahku tapi aku tak peduli. Emosi sudah berada di ubun-ubun.Aku melepaskan tangan Lala yang masih setia menarikku sambil mengumpat Biru."Maksud lo apa! Itu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • Cahaya Biru   Bab 14

    "Kenapa harus Cahaya sih, Bu!" protes Biru kesal. Terlihat sekali kalau ia membenciku."Em, teman lainnya saja Bu, yang mentorin Biru," aku jug ikut protes. Mengingat hubunganku dengan Biru yang tak pernah akur serta kita sama sekali tidak pernah cocok dalam pemikiran.Bukannya kita belajar yang ada kita malah tawuran.Aku melirik ke arah Biru dengan tatapan tajam. Malas saja kalau aku yang menjadi mentor belajarnya. Mana mau dia mengakui kalau aku ada di atasnya.Bu Wanti terdiam sejenak lalu menggelengkan kepalanya."Nggak ada yang lebih tepat selain kamu, Cahaya," Bu Wanti menegaskan."Tapi Bu, Biru nggak mau sama saya. Eh, maksudnya saya yang menjadi mentornya," ucapku sedikit protes dengan ide wali kelasku itu.Bu Wanti menoleh ke arah Biru yang duduk terdiam. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini.Bu Wanti melangkah lebih dekat di bangku Biru. Ia tampak menghela napas panjang."Nilai kamu itu sangat buruk Biru. Kalau kamu nggak mau di mentorin sama Cahaya, ibu yakin kamu ng

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • Cahaya Biru   Bab 15

    Biru duduk terpaku di kursinya, matanya membulat tak percaya mendengar teriakanku yang menggema di ruangan. Untuk sesaat, ruang belajar itu seperti terhenti, hanya suaraku yang terdengar lantang memecah keheningan. "Lo diam dan dengerin gue! Sekarang terserah lo, lo mau lulus apa kagak gue juga nggak peduli!" ujarku dengan nada tinggi dan emosi yang memuncak.Aku tahu mungkin Biru akan menganggapku cewek bar-bar, atau bahkan menganggapku layaknya istri yang kejam. Tapi, aku tak peduli. Semua yang aku lakukan ini demi kebaikannya, agar dia bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Dengan wajah merah padam, aku menunjuk pada buku yang tergeletak di meja dan memerintah, "Lo kerjain soal ini!"Biru menatapku tajam, seolah mencoba memahami maksud di balik ketegasan suaraku. Dia tahu ini bukan hanya tentang tugas, tapi tentang masa depannya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti jam, akhirnya dia mengangguk perlahan dan mulai membuka buku tersebut, memulai mengerjakan soal yang telah kup

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • Cahaya Biru   Bab 16

    Dengan kedua tangan menutupi wajah, aku berteriak histeris saat mataku tanpa sengaja menangkap pemandangan yang tak seharusnya terlihat. Handuk Biru, yang sepertinya terlalu lepas, melorot hingga menampakkan bagian bawah tubuhnya yang tak tertutupi. Teriakan panikku memecah kesunyian, membuat Biru yang sama terkejutnya berteriak lantang.Biru, dengan refleks cepat, menggapai handuknya yang terjatuh dan melilitkannya kembali ke pinggangnya dengan gerakan yang cekatan. Matanya membulat menatapku yang masih dengan tangan di wajah. "Lo mau lihat punya gue?" sindirnya, suaranya mencampur aduk antara terkejut dan kesal.Kulihat wajahnya yang mencoba menyembunyikan rasa malu dibalik ekspresi kesal. Sementara itu, pipiku terasa panas, darahku seolah mendidih memerahkan wajahku. "Mana ada, gue nggak sengaja narik handuk lo!" balasku dengan nada tinggi, berusaha meyakinkan diri sendiri sekaligus Biru bahwa itu hanyalah kecelakaan yang memalukan.Suasana menjadi canggung sejenak, kami berdua sal

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18

Bab terbaru

  • Cahaya Biru   Bab 50

    Biru mendekatiku yang tengah terkulai tak berdaya di atas kasur. Cahaya sore yang malas-malasan menerobos masuk melalui celah jendela, menambah kelesuan di ruang itu. Dengan lembut, ia menggoyang-goyangkan bahu ku, penuh perhatian. "Aya, kamu masih ingat tawaran mama nggak?" tanyanya dengan suara yang menggema kehangatan. Aku mengerjap, berusaha mengumpulkan ingatan yang terasa berantakan. "Yang mana?" Aku memiringkan kepala, mencoba memori yang berkelebat tak pasti. "Aku nggak ingat," jawabku akhirnya, sambil menghela napas panjang.Suasana kamar yang hanya diterangi cahaya lampu tidur, aku terbaring lemas di atas kasur dengan pikiran yang melayang-layang. Biru, dengan raut wajah yang kecewa, ikut berbaring di kasur sambil memegang ponselnya. "Yang liburan itu loh, kamu mau nggak?" tanya Biru dengan nada yang sedikit memaksa, mencoba menggoda ku dengan gambar-gambar destinasi yang indah di layar ponselnya.Aku hanya menghela napas, mataku yang sayu menatap ke arah Biru, "Nggak,

  • Cahaya Biru   Bab 49

    Waktu seakan berlari, mengejar detik yang tak tergenggam. Papa Erwin baru saja tiba dari rumah sakit, dan hari ini adalah hari ujian yang menentukan untuk aku dan Biru. Saat sarapan, suara papa memecah keheningan. "Kalian sudah persiapkan diri dengan matang, aku yakin kalian berdua bisa meraih nilai sempurna," katanya dengan tatapan yang menunjukkan kepercayaan mendalam. Biru, dengan senyuman simpulnya, menanggapi, "Semoga Pa, doakan Biru ya," katanya sambil sesekali melirik ke arahku. Papa mengangguk, tangannya terasa hangat di pundak Biru. "Tentu, aku doakan kalian berdua," sahutnya seraya tersenyum. Biru mendekat, berbisik dengan nada gurau namun serius, "Jangan lupa janji kamu. Kalau aku dapat nilai tinggi, aku akan mendapat hak ku sebagai suamimu. Otomatis aku resmi menjadi suami kamu ya." Sejenak, aku terdiam, merasakan detak jantungku yang memburu. "Benarkah sudah saatnya?" gumamku dalam hati sambil mencoba menenangkan diri. Namun, pikiran itu terus bergulat di kepala, mem

  • Cahaya Biru   Bab 48

    "Udah, Anggia, kalau lo nggak mau ngaku salah, biarin aja deh pengacara yang urus." Kata-kata itu terluncur penuh kekecewaan dari bibirku. Aku melihatnya, dengan raut mukanya yang masih memancarkan keangkuhan. Dengan berat, aku berdiri dari kursi yang telah menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Biru, yang sejak awal hanya bisa terdiam, mengikuti gerakanku. "Ayo, sayang, kita pulang," ajakku pelan. Dengan sebuah anggukan, Biru menggenggam tanganku. Kegenggamannya terasa begitu menguatkan. Kami berjalan meninggalkan gedung itu, ketika Paman Rudi dan pengacara papa datang menemui kami. Paman Rudi menepuk bahu aku, suaranya tenang namun pasti. "Mbak Aya, jangan khawatir. Bu Ayuni dan Anggia pasti akan mendapat hukumannya," katanya, seakan memberikan secercah harapan. "Baru saja kami dari rumah sakit, bertemu Pak Erwin," lanjutnya, memberi tahu tentang perkembangan situasi. "Iya Paman, semua saya serahkan pada Paman Rudi," jawabku, mencoba tampil tegar di hadapan asisten Ayah yang s

  • Cahaya Biru   Bab 47

    Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantung berdebar tak menentu.Saat jantungku berdegup kencang, napasku menjadi tersengal-sengal. Biru perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku, membuatku terjebak dalam ketegangan yang mendalam. Dengan segala keraguan, aku mencoba untuk memberanikan diri mencium pipinya. Namun, dalam sekejap, Biru tiba-tiba menoleh sehingga bibir kami tidak sengaja bertemu.Aku terkejut, mataku membelalak lebar. Refleks, aku mencoba menarik kepalaku menjauh, namun dengan sigap Biru menahan kepalaku. Ia memiringkan kepalanya, memberikan tekanan lembut pada bibirku. Aku terdiam, kaku, dan tidak mampu bergerak, hatiku berlomba dengan kecepatan yang tak terkendali. Biru melanjutkan ciumannya dengan gerakan yang halus dan penuh kelembutan, sementara aku masih terpaku dalam keadaan yang tak kuasa untuk berpikir jernih.Biru dengan lembut menempelkan keningnya ke keningku, seulas senyum melayang di wajahnya. "Manis," bisiknya, membuat hidung kita bertaut sejenak. Napasku

  • Cahaya Biru   Bab 46

    Hari-hari yang berlalu terasa begitu berat bagi ku. Aku duduk di samping ranjang rumah sakit tempat papa dirawat, dengan pikiran terbang jauh mencari tahu tentang Tante Ayuni dan Anggia yang menghilang tanpa jejak. Sementara itu, kondisi papa yang mulai membaik sedikit banyak memberi kelegaan, namun kekhawatiran tentang nasib kedua buronan itu terus menghantui pikiranku.Saat aku tenggelam dalam lamunan, Biru, tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman yang hangat. "Lagi mikirin apa?" tanya Biru, memecahkan keheningan.Aku terkejut, tersentak dari renunga. "Nggak ada," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan."Lagi mikirin aku ya?" goda Biru, mencoba mencerahkan suasana. Ia mencubit kedua pipi ku yang sudah mulai pucat karena terlalu banyak berpikir. "Nggak, ih," balas ku, mencoba tersenyum meskipun dalam hati tidak seceria itu.Biru duduk di samping ku, tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat, memberikan dukungan. "Apa pun yang terjadi, aku di sini kok. Kita akan lal

  • Cahaya Biru   Bab 45

    Kulirik pria yang berpura-pura jadi dokter itu dengan tatapan penuh ancaman. "Kalau kau nggak mau ngaku, jangan salahkan aku kalau terpaksa bersikap kasar!" kataku dengan suara yang meninggi, penuh intimidasi. Dia, dengan keras kepala, balas menatapku. "Percuma saja. Aku tak akan mengatakan apa-apa," serunya dengan nada tegas. Senyum sinis menghiasi wajahku saat aku menjawab, "Oke, kalau itu yang kau inginkan." Mataku tertumbuk pada suntikan yang dia bawa, yang kebetulan terjatuh dekat kakiku.Dengan gerak cepat, aku memungut suntikan yang terjatuh itu, mengeratkan genggamanku di sekitar ****** suntikan. Mataku menatap tajam ke arah pria yang menyamar itu, yang kini tampak pucat pasi."Kau pikir aku tak serius?" ujarku dengan suara rendah namun mengandung ancaman yang jelas. Pria itu menelan ludah, matanya melirik ke suntikan di tangan ku."Jangan... Tolong," ia mulai mengiba, suaranya terbata-bata, ketakutan yang terpancar jelas dari sorot matanya.Aku mendekat, menekankan ujung s

  • Cahaya Biru   Bab 44

    Dering telepon dari Biru memecah kesunyian malam yang mendebarkan. Suaranya terdengar panik, "Cepat ke rumah sakit sekarang!" Jantungku langsung berdegup kencang. Otakku membayangkan segala kemungkinan yang terburuk. Tanpa berpikir panjang, aku lari menuju rumah sakit, meninggalkan peluang untuk menangkap ob yang mungkin terlibat meracuni Papa. Kepanikan itu menguasai setiap langkahku.Dengan napas tersengal-sengal, aku melompat keluar dari mobil dan berlari secepat kilat menyusuri koridor rumah sakit yang terasa begitu panjang. Lampu-lampu overhead berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang bergerak di sepanjang dinding. Setiap detik terasa seperti jam, dan jantungku berdebar keras, seolah ingin meledak keluar dari dada.Ketika sampai di ruang VVIP, aku hampir-hampir terjatuh karena tergesa-gesa. Mengambil napas dalam-dalam, aku menekan handle pintu dan mendorongnya dengan lembut. "Papa," suaraku bergetar saat aku memanggilnya. Aku melihat Biru duduk di samping ranjang dengan ra

  • Cahaya Biru   Bab 43

    Dengan langkah yang ringan dan hening, aku menerobos ke dalam kegelapan kantor yang sudah sepi. Berkat pakaian serba hitam yang kukenakan, aku seperti bayangan yang sulit terlihat. Ruangan demi ruangan kulewati tanpa suara. Sesekali, cahaya dari lampu jalan yang masuk melalui jendela memantulkan siluetku di dinding.Mataku tertuju pada sosok yang tampak bergerak di ujung koridor. Jantungku berdegup kencang, namun setelah menunggu beberapa saat, aku menghela napas lega. Itu hanya pak satpam yang sedang melakukan ronda malam. Aku menunggu hingga suara langkah kaki itu menghilang sebelum aku melanjutkan misi.Dengan perlahan, aku mengintip ke dalam ruangan papa. "Cangkir kopi bekas papa," bisikku saat melihat meja kerja yang sudah rapi tanpa ada satu pun dokumen yang tersisa. Aku menyusuri ruangan itu, membuka setiap laci yang ada dengan harapan menemukan sesuatu yang terlewatkan. Namun, nihil. Tidak ada satu petunjuk pun yang tertinggal, semuanya telah bersih.Aku berdiri di tengah ruan

  • Cahaya Biru   Bab 42

    Mataku berkaca-kaca, aku menatap Paman Rudi dengan penuh harap ketika dia melangkah keluar dari ruang perawatan. Bibirku gemetar sedikit saat aku bertanya, "Apa yang terjadi sama Papa, Paman? Kenapa Papa bisa sakit?" Tangan Paman Rudi yang hangat memegang bahuku dengan penuh perhatian. "Tenang, Aya, Papa kamu baik-baik saja," ujar Paman Rudi dengan suara yang menenangkan. Cahaya lampu lorong rumah sakit itu terasa begitu menyilaukan bagi ku, seolah mencerminkan kecemasan yang melanda hatiku. Tangisan ku pecah, suara isakan terdengar begitu pilu di lorong yang sunyi. Paman Rudi, dengan ekspresi penuh kekhawatiran, mengusap punggung ku perlahan, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah ketakutan yang melanda.Paman Rudi menarik napas dalam-dalam, menatap aku dan suamiku, Biru, yang duduk di sampingnya dengan mata yang sayu. "Tadi papamu muntah darah," ungkapnya, suaranya berat, mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk tidak membuat anak dari atasannya ini semakin larut dalam

DMCA.com Protection Status