Kamera pengawas selalu menyala setiap hari selama satu bulan ini, kecuali pada malam saat Marissa diserang!Gang itu tak bernoda, seperti baru dibersihkan. Tidak ada bekas atau sisa-sisa darah sedikit pun.Aku duduk lumpuh di lantai. "Mana rekamannya? Mana rekaman CCTV malam itu!""Kameranya kebetulan sedang rusak hari itu. Ibu lihat sendiri, saya sudah menunjukkan semuanya. Nggak ada keperluan lain lagi? Saya masih harus lanjut kerja."Benarkah hanya kebetulan?Memikirkan wajah rapuh Marissa, aku memejamkan mata menahan rasa pilu.Kenapa? Kenapa langkah pertama kami terjebak jalan buntu?Pukul 11 malam, aku kembali ke rumah sakit dengan senyum yang dipaksakan.Begitu membuka pintu, aku melihat Marissa meringkuk di kaki tempat tidur seperti burung ketakutan, menatap nanar ke arah belakang pintu.Saat aku melangkahkan kaki, terdengar suara samar dari balik pintu.Suara seperti gemeresik pakaian yang bergesekan dengan dinding.Aku awalnya mengira itu cuma ilusi karena mental yang tegang.
Seorang pria yang tampak sederhana dan jujur.Setelah mengetahui tujuan kunjunganku, ekspresinya tiba-tiba berubah. Dia menyangkal semuanya, mengatakan bahwa dia tidak keluar rumah sama sekali malam itu. Istrinya juga memperkuat pengakuannya dan menimpali bahwa dia selalu bersama suaminya sepanjang malam.Tapi dia adalah harapan terakhirku.Aku berlutut dan memohon agar dia bersedia menolong Marissa.Pria itu juga ikut berlutut dan berkata, "Tolong jangan paksa aku. Ada belasan orang di rumah yang harus kuberi makan. Aku nggak bisa membantumu. Aku ingin tetap bertahan hidup!"...Aku menatap balik petugas polisi di depanku dan menggeleng lagi."Nggak ada." Suaraku gemetaran. "Nggak ada sama sekali."Polisi itu mendesah dan memberiku segelas air."Ibu ingin melaporkan kasus pemerkosaan dan transplantasi organ ilegal, tapi belum ada buktinya. Saya mengerti perasaan Ibu, tapi kami nggak bisa mengajukan kasus begitu saja tanpa barang bukti. Begini saja, Ibu pulang dulu hari ini, pikirkan l
Waktu kembali ke hari saat Marissa mencoba bunuh diri.Putri yang kulahirkan dari rahimku ini harusnya sedang menikmati masa mudanya di kampus. Tapi dia terbaring di ranjang rumah sakit seperti boneka, tanpa daya di bawah ancaman orang.Kemarahan dan penyesalan menyelimuti hatiku.Setelah dipikir-pikir, semuanya berawal dari hari saat Rangga dengan sengaja mengenalkan Marissa kepada Wisnu.Sebagai bawahannya, Rangga pasti tahu kegiatan Wisnu, ‘kan?Memanfaatkan kegelapan malam, aku menyelinap ke rumah Rangga dan membiusnya, lalu mengikatnya.Ketika terbangun dan menyadari ada aku di depannya, tersirat kepanikan dalam matanya dan dia berteriak gentar, "Aku cuma membatalkan pertunangan, mau apa kamu menangkapku?!"Aku mengulangi, "Cuma membatalkan pertunangan?""Apa sebenarnya yang kamu lakukan pada Marissa? Atau mungkin bukan kamu saja. Kamu dan yang lainnya?"Dia tergagap dan masih terus berbohong."Aku cuma orang biasa, bisa apa aku? Aku juga nggak ingin Marissa terluka!"Karyawan bia
Tiba-tiba, suara garukan tajam terdengar di ruang terisolasi ini.Sebuah tangan pucat mencakar celah-celah batu bata dan merangkak keluar dari balik tirai."Bu Soraya, cepat lari."Monster aneh dengan rambut acak-acakan dan badan yang hanya tersisa separuh itu meneriakkan namaku dan merangkak kepadaku dengan susah payah.Melihatku membeku di tempat, dia mendongakkan kepalanya dan tersenyum padaku. "Aku Vania."Wajahnya terpotong dari sudut mulutnya, lidahnya tinggal separuh, dan pipinya cekung, tapi aku masih mengenalinya.Vania, mantan muridku dan sahabat Marissa.Saat itu juga, aku samar-samar mengerti kenapa putriku yang selalu lemah lembut dan patuh mengabaikan peringatanku agar menjauh dari dua pria gila itu."Kenapa kamu ...."Kenapa kamu di sini? Kenapa kamu jadi seperti ini?Aku tidak kuasa melanjutkan pertanyaan itu kepada gadis yang dulunya muridku yang cantik dan berperilaku baik ini.Suara sepatu kulit tiba-tiba terdengar. Wisnu menarik rambut Vania yang telah menipis dari
"Begitu, ya?" Bayu memberi isyarat untuk menghentikan gerakan anak buahnya, lalu mulai makan sup di depannya. "Tapi ini rasanya daging sapi.""Dagingnya memang daging sapi. Entahlah yang lainnya."Mendengar hal itu, Bayu segera memungut tulang-tulang yang berserakan di tanah dan memperhatikannya baik-baik.Hanya sesaat, wajahnya langsung berubah kelam. "Soraya Gustian, Anda ditahan atas dugaan pembunuhan."Aku mundur selangkah dan menatapnya lekat. "Pak Bayu polisi senior yang berpengalaman, ‘kan? Saya yakin Bapak bisa menentukan waktu kematian.""Maksudnya?""Saya mengeluarkan ini dari pabrik di bawah bar Wisnu. Ada lebih dari satu di sana. Murid saya, Vania, juga mati di tangannya."Dia menyela, "Berdasarkan ini saja nggak akan cukup untuk menuduhnya.""Tapi saya punya bukti kuat."Saat suasana sedang memanas, Bayu menerima telepon. Setelah menutup panggilan, dia berbicara dengan penuh simpati, "Rangga Irawan ingin menuntut Ibu dengan tuduhan penculikan. Kasusnya akan langsung dilimp
Semua orang bilang aku gila. Ya sudah, aku bisa benar-benar gila."Cuih!" Aku meludahkan sebuah benda berdarah ke lantai. Rangga nyaris pingsan, menutupi telinganya yang berdarah-darah."Orang gila 'kan nggak bisa disalahkan? Anggap saja sebagai kompensasi persidangan ini." Aku menyeringai padanya dengan gigiku yang merah darah.Tiga hari setelah pulang ke rumah, Bayu masuk mengendap-endap di malam hari.Hal pertama yang dia katakan ketika melihatku adalah, "Saya tahu pengakuan Bu Soraya itu benar."Bayu mengeluarkan sebuah kantong barang bukti dari sakunya. "Saya menemukan ini di pabrik, dan hasil tesnya sudah pasti, ini jari kelingking kiri Vania.""Lalu kenapa Pak Bayu diam saja di persidangan?""Saya yakin Bu Soraya tahu betapa kuatnya Wisnu."Ya, bahkan hitam pun bisa menjadi putih. Apa yang bisa dibuktikan dengan sebuah jari kelingking?"Kami sudah menemukan identitas orang-orang yang bekerja sama dengan Wisnu dan beberapa orang yang hilang. Tapi sekarang, kami harus menemukan pa
Tapi hari demi hari, masih tidak ada solusi.Hatiku berdarah-darah menyaksikan kondisi Marissa semakin memburuk.Marissa sedang diinfus, tapi masih tidak henti-henti menghiburku."Bu, aku sudah mendingan. Nafsu makanku juga membaik.""Ayo, tolong belikan pangsit favorit kita dulu, aku lapar."...Saat aku kembali, Bayu sudah duduk di samping tempat tidur Marissa."Marissa, dia ...."Aku menggelengkan kepala. "Ulah Wisnu."Pak Bayu mendesah dan meletakkan tangannya di pundakku. "Saya masih berharap Ibu mau mempertimbangkan permintaan saya waktu itu. Ada satu orang hilang lagi."Marissa tersenyum lebar kepada kami dan memakan pangsitnya.Tapi, gigi di mulutnya rontok tak terkendali.Aku mendengar suara lirih, "Ibu, kalau aku mati, jangan bersedih."Aku menyerbu memasuki ke rumah Rangga dan menamparnya."Marissa sekarat. Puas kamu sekarang?!""Dua puluh tahun kamu berteman dengannya, Rangga, apa hatimu sudah mati?"Dia menatapku tidak percaya. "Nggak mungkin. Wisnu janji nggak akan membun
Aku terbaring di lantai seperti anjing mati dan menatap Marissa, tidak lagi meronta-ronta.Penonton memberi tepuk tangan riuh untuk mengapresiasi pertunjukan meriah ini.Wisnu mengayun tangannya dan menampar wajah Marissa.Wajah Marissa membengkak dalam sekejap."Kamu nggak termasuk."Marissa berlutut dengan patuh dan membiarkan kaki Wisnu bertumpu di kepalanya.Aku bangkit berdiri seketika, ingin membantai pria itu saat ini juga.Tapi, aku terjatuh dengan keras ke lantai karena tertahan rantai.Pada saat itulah, aku menyadari sesuatu.Kami tidak sedang di daratan, tapi di atas kapal.Kapal ini tadi bergoyang sesaat.Masih ada kesempatan, selama kami bisa melompat dari kapal.Wisnu memberi perintah kepada Marissa untuk membunuhku.Pria itu berdiri di samping dengan mata penuh geli.Marissa memegang sebuah pisau, semakin mendekat dan mendekat kepadaku. Saat pisau itu diayunkan, tangan yang memegang pisau tiba-tiba berubah arah.Marissa menghalangi orang yang mendekat dengan tubuhnya dan