Share

Bab 3

Seorang pria yang tampak sederhana dan jujur.

Setelah mengetahui tujuan kunjunganku, ekspresinya tiba-tiba berubah. Dia menyangkal semuanya, mengatakan bahwa dia tidak keluar rumah sama sekali malam itu. Istrinya juga memperkuat pengakuannya dan menimpali bahwa dia selalu bersama suaminya sepanjang malam.

Tapi dia adalah harapan terakhirku.

Aku berlutut dan memohon agar dia bersedia menolong Marissa.

Pria itu juga ikut berlutut dan berkata, "Tolong jangan paksa aku. Ada belasan orang di rumah yang harus kuberi makan. Aku nggak bisa membantumu. Aku ingin tetap bertahan hidup!"

...

Aku menatap balik petugas polisi di depanku dan menggeleng lagi.

"Nggak ada." Suaraku gemetaran. "Nggak ada sama sekali."

Polisi itu mendesah dan memberiku segelas air.

"Ibu ingin melaporkan kasus pemerkosaan dan transplantasi organ ilegal, tapi belum ada buktinya. Saya mengerti perasaan Ibu, tapi kami nggak bisa mengajukan kasus begitu saja tanpa barang bukti. Begini saja, Ibu pulang dulu hari ini, pikirkan lagi, lalu kembali ke sini lain waktu."

Pikirkan lagi? Memikirkan apa?

Seluruh emosi terpendamku benar-benar meledak pada saat itu. Aku menangis dan berkata, "Bayangkan kalau itu anakmu! Sialan! Itu anakku, anakku!"

Saat berjalan keluar dari kantor polisi, aku tahu.

Kami tidak bisa memenangkan gugatan ini ....

Marissa keluar dari rumah sakit hari ini, tapi aku bahkan tidak berani melangkah kembali ke sana.

Hingga aku menerima telepon dari rumah sakit. Katanya, putriku mencoba bunuh diri dengan memotong pembuluh nadinya, dan baru saja diselamatkan.

Aku berlari ke rumah sakit.

Marissa tergeletak seperti boneka usang di ranjang rumah sakit.

"Aku kotor. Aku sudah nggak lengkap lagi."

"Bu, maaf, aku salah."

"Aku harusnya menuruti perintahmu."

Dia mengulang-ulang beberapa kalimat itu dengan linglung.

Kata-kata penghiburan berhamburan menuju ujung lidahku, tapi bibirku tidak bersuara.

Seorang perawat menyerahkan sebuah telepon genggam kepadaku. Yang kulihat di sana adalah foto-foto Marissa di gang malam itu.

Berbagai sosial media dan situs web dipenuhi komentar-komentar jahat. Bahkan ada orang-orang mesum yang menanyakan alamat kami!

Aku mencengkeram ponsel itu dan tidak bergerak sedikit pun.

"Bu Soraya, kamu suka kejutannya? Sudah kubilang, jangan macam-macam. Atau kamu memang ingin Marissa mati?"

"Aku akan memberimu satu kesempatan terakhir. Kalau kamu menolak, nasib Marissa hanya akan berakhir dengan menyedihkan."

Saat melihat pesan teks itu, aku menatap putriku dengan putus asa.

Apakah tragedi itu akan terulang kembali?

Tujuh puluh dua jam setelah hilangnya Wisnu, polisi mengetuk pintu rumahku.

Aku tahu mereka mencurigai aku.

Balas dendam untuk putriku.

Alasan yang sangat sederhana dan meyakinkan.

Aku saat itu sedang memasak sup daging. Aromanya sangat kuat sampai anjing-anjing di sekitar rumah tertarik, berlomba-lomba mengoyak sisa-sisa tulang yang jatuh di tanah.

Petugas polisi segera mendekat kepadaku begitu memasuki pintu. "Selamat sore, saya Bayu Herdani, kepala satuan reserse kriminal. Ini benar rumah Soraya Gustian?"

Aku menatapnya sekilas dan berkata dengan suara serak, "Benar, ada perlu apa dengan saya?"

Sebelum dia sempat menjawab, aku mengeluarkan beberapa mangkuk berisi sup dari panci, menyerahkannya kepada polisi serta para tetangga yang menonton. "Silakan dicoba. Dagingnya saya masak semalaman."

Seorang ibu-ibu menatap ke arah polisi di depannya, lalu ke arah sup di tangannya. Dia akhirnya tidak bisa menahan godaan aroma lezat dan mulai makan dengan lahap.

Bayu mulai menjelaskan, "Wisnu Permana dilaporkan hilang. Dari penyelidikan kami, dia terakhir terlihat di dekat rumah Ibu."

"Wisnu Permana yang juga dilaporkan atas kasus pemerkosaan dan transplantasi organ ilegal," tambahnya.

Mendengar tambahan itu, mataku memerah dan berkaca-kaca.

Setelah selama ini, hanya Bayu satu-satunya yang mengatakan ini.

Tapi pria itu hanya memegangi mangkuknya tanpa bergerak. Aku pun menatapnya. "Kenapa nggak dicoba? Rasanya enak."

"Ah! Ada apanya di sup ini? Kenapa amis sekali?"

Sebelum aku sempat selesai berbicara, tetanggaku tiba-tiba berteriak dengan suara gemetar dan memuntahkan sepotong daging.

Aku tertawa pelan. Mataku melirik ke arah sup yang menggelegak di atas kompor.

Senyum di sudut bibirku semakin mengembang.

"Aku baru pertama kali pakai bahan ini. Mungkin belum terlalu matang. Lain kali masaknya harus lebih lama lagi."

Seketika, orang-orang yang baru saja makan sup itu mulai muntah-muntah.

Anjing-anjing yang mencabik-cabik tulang di tanah juga diusir oleh polisi.

"Sayang sekali, padahal sangat enak."

Aku mengangkat pandanganku, melihat ke arah Bayu.

"Pernah dengar konsep pengobatan tradisional? Makan makanan dengan bentuk yang mirip dengan organ tubuh tertentu bisa bermanfaat untuk organ tersebut."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status