Share

Bab 2

Kamera pengawas selalu menyala setiap hari selama satu bulan ini, kecuali pada malam saat Marissa diserang!

Gang itu tak bernoda, seperti baru dibersihkan. Tidak ada bekas atau sisa-sisa darah sedikit pun.

Aku duduk lumpuh di lantai. "Mana rekamannya? Mana rekaman CCTV malam itu!"

"Kameranya kebetulan sedang rusak hari itu. Ibu lihat sendiri, saya sudah menunjukkan semuanya. Nggak ada keperluan lain lagi? Saya masih harus lanjut kerja."

Benarkah hanya kebetulan?

Memikirkan wajah rapuh Marissa, aku memejamkan mata menahan rasa pilu.

Kenapa? Kenapa langkah pertama kami terjebak jalan buntu?

Pukul 11 malam, aku kembali ke rumah sakit dengan senyum yang dipaksakan.

Begitu membuka pintu, aku melihat Marissa meringkuk di kaki tempat tidur seperti burung ketakutan, menatap nanar ke arah belakang pintu.

Saat aku melangkahkan kaki, terdengar suara samar dari balik pintu.

Suara seperti gemeresik pakaian yang bergesekan dengan dinding.

Aku awalnya mengira itu cuma ilusi karena mental yang tegang.

Tapi kemudian, suara helaan napas seorang pria terdengar jelas di telingaku.

Bangsal ini yang sunyi. Aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas.

Punggungku merinding seketika dan Marissa juga semakin menggigil.

Dia takut, takut pada pria asing ini.

Leherku yang kaku perlahan menoleh ke belakang. Melalui cahaya redup yang masuk dari celah pintu, aku melihat bayangan seseorang.

Tinggi dan kekar.

Ada seorang pria yang bersembunyi di balik pintu. Seseorang yang bisa mengambil nyawa kami kapan saja.

Sebuah tangan perlahan terulur dari celah pintu dan meraih leherku.

Cengkeramannya semakin kuat dan napasku semakin sulit.

Aku berusaha mati-matian untuk menahan gemetaran di tubuhku dan mencoba mendorong tubuh pria itu. Sayangnya, jarak dan perbedaan tinggiku dengannya membuat usahaku mustahil sama sekali.

Aku akhirnya meraba-raba ponsel di saku.

Dengan sekuat tenaga, aku menghantamkannya ke pergelangan tangan yang mencekikku.

Teriakan kesakitan pun terdengar. Perasaan tercekik di leherku terlepas.

Orang yang bersembunyi di balik pintu melangkah keluar sambil tertawa.

Dia menjambak rambutku keras-keras dengan wajah arogan dan berbisik di telingaku.

"Kejutan!"

Darah di sekujur tubuhku membeku.

Suara ini sangat familier di telingaku sampai hampir terukir dalam jiwa dan ragaku.

"Wisnu, bajingan! Beraninya kamu datang ke sini!"

Aku menggeram dan memelototinya, mengabaikan rasa sakit dari kulit kepalaku yang terkoyak. Aku mengangkat tanganku dan menampar wajahnya.

Wisnu tiba-tiba tersentak dan menghempaskanku dengan keras ke lantai.

Lalu dia menjambak rambutku dan menyeretku di lantai. Seperti melempar benda mati, dia menghempaskanku ke samping tempat tidur Marissa ....

Dari lantai, aku menyaksikan tanpa daya saat dia mendekati Marissa.

Aku berjuang dengan seluruh tenagaku untuk menyerangnya, bahkan menggigit kakinya sampai berdarah.

Tidak ada yang berguna.

Dia menginjakkan kakinya di perutku.

"Kita pacaran, suka sama suka, ya 'kan?"

Wisnu mengangkat sehelai rambut Marissa dan mengendusnya pelan.

Dia menunggu jawaban dari Marissa tanpa terburu-buru.

Seiring berjalannya waktu, kaki yang menginjak perutku lambat laun menekan dengan semakin keras.

Sampai aku tidak tahan lagi dan hampir pingsan, tapi ...

"Ya!"

Marissa akhirnya bicara.

"Nggak! Cepat bilang nggak! Brengsek, Wisnu, mati saja sana!"

Aku berteriak sekuat tenaga.

Wisnu berdiri, merapikan jasnya yang agak kusut, lalu mengeluarkan segepok uang dari tasnya dan melemparkannya ke wajahku. "Bu Guru Soraya, uang bisa membeli segalanya. Kamu sudah setua ini, masih belum paham juga?"

"Atau uangnya masih kurang? Bilang saja. Apalagi Marissa sudah menyumbangkan ginjalnya untukku. Hahaha ...."

"Hubungi aku waktu kalian mau uangnya lagi."

Rasa putus asa merasuki hatiku.

Saat Wisnu pergi dan pintu kamar tertutup rapat, Marissa berkata, "Bu, aku nggak akan menuntut ...."

Kalimat itu mengantarkanku jatuh tak sadarkan diri.

Aku tidak menuruti kata-kata Marissa.

Laporan polisi tetap kulanjutkan dan berkas-berkas pengadilan telah kuajukan.

Di kantor polisi, aku ditanyai apakah bukti-buktinya ada.

Aku menggeleng.

"Nggak ada saksi, bukti fisik, pakaian yang dikenakan saat itu, atau cairan tubuh yang tertinggal?"

Rekaman CCTV tidak ada.

Pakaian .... Tidak ada sehelai benang pun saat putriku ditemukan hari itu.

Cairan tubuh yang tertinggal .... Aku teringat wajah sombong Wisnu dan hanya bisa menggelengkan kepala.

Polisi itu mengerutkan kening dan menatapku. "Bukannya putri Ibu ditemukan orang? Pernyataan saksi juga bisa membantu."

...

Sebelum datang ke kantor polisi, aku sudah menemui saksi mata ini, seorang pekerja bangunan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status