Share

Bab 4: Eva Sang Pengawas

Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan lelah dan gelisah setelah malam yang dipenuhi ketidakpastian dan kekhawatiran. Udara pagi yang seharusnya menyegarkan terasa dingin menusuk, seolah mempertegas perasaan terasing yang telah melingkupi hatinya sejak malam sebelumnya. Dinda duduk di tepi ranjang, merenung sejenak sambil memandang keluar jendela. Namun, pemandangan yang tidak familiar baginya hanya memperburuk suasana hatinya. Rumah besar keluarga Wiradana masih terasa seperti tempat asing, dan Dinda merasakan kesepian yang menyakitkan.

Dengan langkah berat, Dinda melangkah keluar dari kamar, berusaha mengalihkan pikirannya. Di koridor, suara langkah kaki Eva terdengar mendekat. Dinda merasakan ketegangan merambat di punggungnya. Eva, wanita kepercayaan ayahnya, Tio Mahadika, telah berada di rumah ini bahkan sebelum Dinda dilahirkan. Dengan usia yang terpaut sepuluh tahun di atas Dinda, Eva memiliki reputasi sebagai seseorang yang keras dan tak berperasaan.

Saat Dinda tiba di ruang makan, Ragil, suaminya, sudah tidak berada di sana. Dinda menghela napas lega, meski hanya sebentar. Keheningan yang menyelimuti ruangan itu segera dipatahkan oleh suara dingin Eva yang datang menghampiri. "Selamat pagi, Dinda," sapa Eva, namun tanpa senyum atau kehangatan.

Dinda mencoba tersenyum, meski canggung. "Selamat pagi, Eva," jawabnya dengan nada yang dipaksakan terdengar normal. Tetapi, Dinda tahu, tidak ada yang normal dalam situasi ini.

Eva duduk di hadapannya, tatapannya yang tajam menembus Dinda seperti belati. "Kita tidak perlu berbasa-basi, Dinda. Aku ditugaskan oleh ayahmu untuk memastikan kamu mematuhi semua perintah yang diberikan."

Dinda menelan ludah, merasa perutnya mual. Kata-kata Eva, meskipun diucapkan dengan nada tenang, membawa tekanan yang berat. Dinda sudah mengetahui tugasnya di rumah ini—untuk mendapatkan informasi bisnis dari keluarga Wiradana. Tapi mendengar Eva menyatakannya dengan begitu jelas dan dingin membuatnya merasa semakin tertekan.

"Aku tahu tugasmu bukan hal yang mudah," lanjut Eva dengan nada tegas. "Tapi ingat, kegagalan bukanlah pilihan. Ayahmu telah memberikan wewenang padaku untuk memastikan kamu menjalankan tugasmu dengan benar. Jika kamu mencoba mengabaikan atau gagal dalam menjalankannya..." Eva berhenti sejenak, memandang Dinda dengan tatapan yang tajam, "Aku akan mengambil tindakan."

Dinda hanya bisa terdiam, tubuhnya menegang mendengar ancaman terselubung itu. Eva tidak berbicara dengan nada kasar, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah membawa beban yang menghancurkan. "Apa yang harus kulakukan jika aku tidak berhasil?" tanya Dinda, suaranya bergetar.

Eva mengangkat alis, seolah pertanyaan itu tidak layak diajukan. "Itu bukan urusanku. Tugasku hanya memastikan kamu melaksanakan perintah. Apapun yang terjadi padamu jika kamu gagal... itu konsekuensi yang harus kamu terima."

Dinda merasa jantungnya berdetak lebih kencang. "Apa aku punya pilihan lain?"

Eva mendekatkan wajahnya pada Dinda, suaranya merendah namun penuh ancaman. "Tidak ada pilihan lain, Dinda. Ayahmu sudah membuat keputusan. Kamu hanya perlu menjalankannya. Dan ingat, aku tidak di sini untuk melayani kamu. Aku di sini untuk memastikan kamu tidak menyimpang dari jalur yang sudah ditentukan."

Kata-kata Eva mengiris hati Dinda seperti pisau tajam. Tidak ada ruang untuk kompromi, tidak ada kelonggaran. Dinda merasa terperangkap dalam situasi ini, seperti seekor burung yang terjebak dalam sangkar tanpa jalan keluar.

Setelah memberikan instruksi, Eva berdiri. "Aku akan selalu berada di sekitar. Jadi berhati-hatilah dengan setiap langkah yang kamu ambil." Dengan itu, Eva berbalik dan meninggalkan Dinda sendirian di ruang makan yang besar dan dingin itu.

Dinda merasa dadanya sesak. Ia kembali ke kamarnya dengan langkah gontai, mencoba mencerna semua yang baru saja dikatakan oleh Eva. Di dalam kamar, Dinda duduk di tepi ranjang, memeluk dirinya sendiri untuk mencari kenyamanan yang tidak bisa ia temukan. Kata-kata Eva terus terngiang di telinganya, menambah ketakutannya akan masa depan. Dinda merasa semakin terjebak dalam situasi ini, dengan sedikit harapan untuk bisa melarikan diri dari pernikahan dan misi yang menjeratnya.

Hatinya dipenuhi dengan ketakutan dan ketidakpastian. Tidak ada tempat untuk lari, tidak ada tempat untuk bersembunyi. Dinda merasa seperti tawanan dalam kehidupan yang dipilihkan orang lain untuknya, dan setiap langkah yang diambilnya hanya semakin mempertegas jerat yang mengikatnya.

Baru saja Dinda merasa bisa mengatur napasnya kembali, suara ketukan di pintu kamarnya membuatnya tersentak. Tanpa menunggu jawaban, pintu terbuka, dan Eva masuk dengan langkah tegas. Dinda merasakan jantungnya kembali berdetak kencang.

"Aku baru saja menerima perintah baru dari ayahmu," kata Eva dengan suara tenang namun penuh tekanan. "Perintah ini akan segera disampaikan padamu. Sesuatu yang lebih besar dan lebih menekan akan terjadi."

Dinda menatap Eva dengan perasaan takut dan tidak berdaya. Apa lagi yang akan terjadi? Apa lagi yang diinginkan oleh ayahnya? Dinda merasakan ketegangan yang semakin meningkat, dan perasaan terjebak yang semakin menyiksa. Eva tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, hanya memberikan tatapan dingin sebelum akhirnya berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan Dinda dalam keadaan bingung dan cemas.

Dinda merasa tubuhnya lemas. Apa lagi yang harus ia hadapi? Dinda yang duduk sendirian di kamarnya, merenungkan nasibnya, sementara bayangan perintah baru yang akan datang membuatnya merasa semakin terperangkap dalam situasi yang tak berujung. Ketidakpastian yang terus melingkupi hidupnya kini terasa lebih nyata daripada sebelumnya, dan Dinda tahu bahwa apa yang akan terjadi selanjutnya akan menentukan jalan hidupnya.

Apa yang akan terjadi selanjutnya pada Dinda, bagaimana dia akan menghadapi tantangan baru yang diberikan oleh Eva, dan apakah dia akan menemukan cara untuk melarikan diri dari situasi yang semakin rumit ini?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status