Share

Bab 3: Malam Pertama yang Dingin

Malam telah menyelimuti rumah besar itu dengan tenang, tetapi tidak ada kedamaian yang Dinda rasakan. Kamar pengantin yang seharusnya penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan justru terasa dingin, baik secara fisik maupun emosional. Dinda duduk di tepi ranjang, gaun tidur sutra yang dikenakannya terasa dingin di kulit. Ia menatap ranjang yang besar di depannya, terlalu besar untuk dua orang yang nyaris tidak saling mengenal.

Ragil sudah berbaring di sisi lain ranjang. Dinda tidak bisa melihat wajahnya karena Ragil memalingkan tubuhnya, membelakanginya. Hanya punggung Ragil yang terlihat, kaku dan tegas, seperti tembok yang tidak bisa ditembus. Di antara mereka, ada jarak lebar yang seolah menjadi penghalang tak kasat mata, menegaskan bahwa kehadiran mereka di sini hanyalah formalitas.

Dinda menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya tidak bisa berhenti berputar, memikirkan pertemuan singkat mereka di siang tadi. Tatapan mata Ragil yang dingin dan tanpa ekspresi masih terpatri dalam benaknya, membuat hatinya terasa semakin berat. Seolah-olah seluruh kehidupannya kini berada di tangan seorang pria yang sama sekali tidak peduli padanya.

Malam semakin larut, tetapi mata Dinda tetap terbuka, menatap langit-langit kamar yang gelap. Keheningan yang menyelimuti kamar itu begitu menyiksa, hanya diiringi oleh suara napas pelan Ragil yang tidak beraturan. Meski Ragil berada di ranjang yang sama, kehadirannya terasa begitu jauh. Dinda menggigil sedikit, bukan karena udara dingin, tetapi karena perasaan terasing yang semakin kuat menghimpit hatinya.

Dinda berusaha memejamkan mata, berharap bisa terlelap dan melupakan semua yang terjadi hari ini, setidaknya untuk sementara. Namun, bayangan masa lalunya terus menghantui. Ia teringat pada masa-masa ketika ia masih gadis bebas, jauh sebelum semua ini terjadi. Kehidupan sederhana bersama orang tuanya, dengan segala cinta dan perhatian yang mereka berikan, terasa begitu jauh sekarang. Bagaimana mungkin semua itu berubah begitu drastis?

Dinda merapatkan selimut ke tubuhnya, mencoba mencari kehangatan yang tidak ada. Ia menoleh ke arah Ragil, berharap pria itu akan berbalik dan memandangnya, mungkin mengatakan sesuatu yang bisa meredakan kecemasannya. Tapi Ragil tetap diam, terbaring di sisi lain ranjang, seolah-olah tidak ada yang salah.

Malam semakin terasa panjang, dan Dinda semakin sulit menemukan ketenangan. Ia merasa seperti ada dinding tak terlihat yang semakin tinggi di antara mereka. Jarak fisik di antara mereka di ranjang itu terasa lebih lebar daripada sebelumnya, seolah-olah membentang seluruh ruangan. Hatinya mulai dipenuhi keraguan dan ketakutan, bukan hanya tentang pernikahan ini, tetapi juga tentang masa depannya sendiri.

Suara napas Ragil yang pelan menjadi satu-satunya suara di kamar itu, tetapi bukannya menenangkan, suara itu justru membuat Dinda merasa semakin terasing. Dinda memejamkan mata erat-erat, mencoba menahan air mata yang mengancam untuk tumpah. Ia tidak ingin menangis, tidak malam ini. Ia tidak ingin Ragil melihat kelemahannya.

Namun, air mata itu tidak bisa ditahan. Perlahan, satu per satu, air mata mengalir di pipi Dinda, membasahi bantal yang keras di bawah kepalanya. Isakannya teredam, hanya terdengar sebagai suara kecil di antara keheningan malam. Ia merasa sendirian, lebih sendirian daripada sebelumnya, terjebak dalam pernikahan yang dingin dan tanpa cinta.

Di luar, angin bertiup pelan, menggesek daun-daun di pohon-pohon di halaman. Suara itu seharusnya menenangkan, tetapi bagi Dinda, suara itu hanya menambah kesunyian yang ia rasakan. Ia memejamkan mata sekali lagi, berusaha mengabaikan semua perasaan negatif yang membanjiri hatinya.

Tiba-tiba, Dinda merasakan gerakan di sampingnya. Ragil bergerak di tempat tidur, memalingkan tubuhnya sehingga punggungnya kini menghadap Dinda. Gerakan itu begitu halus, namun cukup untuk membuat Dinda merasakan getaran kecil di atas ranjang. Seketika, Dinda menahan napas, berharap ada tanda bahwa Ragil akan berbicara atau setidaknya mengakui kehadirannya.

Namun, yang didapatnya hanya keheningan. Ragil tetap tidak bergerak, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dinding tak terlihat di antara mereka semakin terasa nyata, seolah-olah memisahkan mereka dalam dua dunia yang berbeda.

Dinda mencoba memejamkan matanya, tapi pikirannya tidak bisa berhenti berputar. Ia teringat pada semua hal yang pernah ia impikan tentang pernikahan—tentang cinta, kebahagiaan, dan kehangatan yang seharusnya ada. Namun, yang ia dapatkan hanya kebalikannya, sebuah pernikahan tanpa cinta, dingin, dan penuh ketidakpastian.

Perasaan takut mulai merayap ke dalam hatinya. Apakah seluruh hidupnya akan seperti ini? Apakah Ragil benar-benar tidak peduli padanya? Dinda merasa seolah-olah seluruh dunianya runtuh, dan tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikannya.

Tengah malam, Dinda terbangun dari tidur yang tidak nyenyak. Ada perasaan aneh yang menyelimutinya, seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres. Ruangan itu terasa lebih dingin dari sebelumnya, dan suara angin di luar semakin kuat. Dinda membuka matanya dan melihat ke arah jendela, berharap menemukan sedikit kehangatan dari sinar bulan yang masuk.

Namun, yang dia lihat adalah bayangan Ragil yang berdiri di dekat jendela, membelakanginya. Dinda terkejut melihat Ragil terjaga dan berdiri di sana tanpa suara. Perasaan aneh merayap ke dalam hati Dinda, membuatnya merasa tidak nyaman. Dinda ingin memanggil Ragil, tetapi suaranya seolah tertahan di tenggorokan.

Ragil berdiri di sana, memandangi kegelapan di luar jendela tanpa bergerak. Dinda merasa ada sesuatu yang salah, tetapi dia tidak tahu apa. Seluruh tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena ketidakpastian dan ketakutan yang tiba-tiba menyerangnya.

Dinda mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya Ragil pikirkan. Mengapa pria itu berdiri di sana di tengah malam tanpa alasan yang jelas? Ada perasaan tidak enak yang terus menghantui pikiran Dinda, seolah-olah ada sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang buruk.

Malam itu terasa semakin dingin, dan Dinda tidak bisa menyingkirkan perasaan gelisah yang menyelimuti hatinya. Ia menatap punggung Ragil dengan campuran perasaan—takut, penasaran, dan bingung. Dinda merasa seolah-olah dia berada di ambang sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang dia belum bisa pahami.

"Apa yang sebenarnya Ragil pikirkan? Apa yang akan terjadi selanjutnya?" Dinda bertanya dalam hati, tetapi tidak ada jawaban. Semua yang tersisa hanyalah ketidakpastian yang membekukan, seperti malam yang dingin itu.

Malam itu, Dinda tidak bisa tidur lagi. Pikirannya terus dipenuhi dengan berbagai pertanyaan yang tidak terjawab, dan perasaan aneh yang semakin kuat menggerogoti hatinya. Ia tahu ada sesuatu yang salah, tetapi ia tidak tahu apa itu. Dan ketidakpastian itulah yang membuatnya semakin takut.

Dinda yang masih berbaring di atas ranjang, memandangi punggung Ragil yang berdiri di dekat jendela. Dinda merasa seolah-olah dia berada di ambang sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang dia belum bisa pahami.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status