Share

Bunga Beracun Keluarga Suamiku
Bunga Beracun Keluarga Suamiku
Penulis: Jiebon Swadjiwa

Prolog

Hujan turun dengan deras di malam yang sunyi, menciptakan irama tak beraturan yang menghantam genting-genting tua di atas rumah besar keluarga Wiradana. Di dalam kamar yang remang-remang, Dinda duduk di tepi ranjangnya, memandangi tetesan air yang mengalir di jendela. Matanya yang sayu dan lelah menyiratkan kebingungan yang tak kunjung hilang, seolah jiwanya terperangkap dalam pusaran rasa sakit dan ketidakpastian.

Dinda menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Seluruh hidupnya terasa seperti potongan-potongan teka-teki yang tak pernah bisa ia satukan. Pernikahannya dengan Ragil, anak kedua dari keluarga Wiradana, adalah potongan paling besar dalam teka-teki itu—satu bagian yang selalu tampak salah, tak peduli bagaimana ia mencoba menyesuaikannya.

"Apa yang sedang aku lakukan di sini?" gumam Dinda pelan, hampir seperti bisikan yang tak ingin terdengar oleh siapa pun. Kata-kata itu terbang bersama gemuruh hujan, hilang dalam dentuman derasnya. Tapi pertanyaan itu berulang-ulang menggema di dalam pikirannya, menggigit ketenangannya, menggali lebih dalam ke dalam luka yang sudah lama menganga.

Pernikahan ini bukan tentang cinta—Dinda tahu itu. Bahkan sejak awal, ketika ia dipaksa menerima lamaran Ragil, ia tahu ini adalah bagian dari strategi bisnis ayahnya. Dinda hanyalah bidak yang harus dikorbankan di papan catur demi kemenangan yang lebih besar. Ayahnya, seorang pebisnis yang tanpa ampun, telah menukar kebahagiaannya untuk sebuah aliansi bisnis. Dan sekarang, di bawah atap keluarga Wiradana yang megah, Dinda merasa seperti boneka tanpa nyawa, terikat oleh benang-benang tak terlihat yang mengendalikan setiap gerakannya.

Tapi yang lebih menakutkan dari pernikahan tanpa cinta ini adalah rahasia yang Dinda simpan di dalam hatinya. Sebuah rahasia yang bahkan tidak diketahui oleh Ragil, suaminya. Dinda, yang selama ini selalu terlihat kuat di mata orang lain, menyembunyikan masa lalunya dengan rapat, takut jika kenyataan itu terungkap, ia akan kehilangan segalanya—termasuk dirinya sendiri.

"Dinda," suara berat dan tenang itu memecah keheningan, membuat Dinda terlonjak kaget. Ia berbalik, menatap Ragil yang kini berdiri di ambang pintu. Ragil, dengan postur tubuh yang tinggi dan tegap, terlihat lebih seperti bayangan di balik pintu yang remang. Tatapannya lembut namun tajam, seolah ingin menembus dinding batin Dinda yang selama ini tertutup rapat.

"Kenapa kamu belum tidur?" tanyanya pelan, suaranya mengandung kekhawatiran yang sulit disembunyikan. Ragil melangkah masuk, mendekati Dinda dengan hati-hati, seperti seseorang yang takut akan melukai sesuatu yang rapuh.

Dinda hanya menggelengkan kepala, tak ingin suaminya mengetahui keraguan yang menyelimuti hatinya. Namun, dia bisa merasakan bagaimana pandangan Ragil terus mengawasinya, mencoba membaca sesuatu dari wajahnya yang muram. Dinda tahu, meskipun Ragil tidak pernah menuntut lebih, ada keinginan di dalam hati pria itu yang tak pernah diucapkan—keinginan untuk menggapai Dinda lebih dalam, untuk meruntuhkan tembok tinggi yang Dinda bangun di antara mereka.

Tapi Dinda tidak bisa membiarkan itu terjadi. Tidak sekarang, tidak ketika masa lalunya yang kelam masih membayanginya, dan tidak ketika dirinya masih merasa seperti orang asing dalam kehidupan ini.

"Aku hanya memikirkan sesuatu," jawab Dinda akhirnya, suaranya terdengar jauh dan hampa. Dia berusaha tersenyum, meskipun itu hanya membuat wajahnya semakin pucat di bawah cahaya lampu yang redup.

Ragil mengangguk pelan, namun tatapannya tidak lepas dari Dinda. Ada sesuatu di balik mata cokelat itu, sesuatu yang membuat hati Dinda bergetar. Apakah itu cinta? Ataukah hanya sekadar rasa tanggung jawab? Dinda tidak tahu, dan mungkin tidak pernah ingin tahu. Dia sudah cukup lelah untuk mencoba memahami hubungan mereka yang kompleks ini.

"Aku akan tidur sebentar lagi," tambah Dinda, mencoba meyakinkan Ragil—atau mungkin dirinya sendiri. Tapi bahkan dia tahu bahwa tidur bukanlah pelarian dari kenyataan yang menghantuinya setiap saat.

Ragil akhirnya mengangguk dan berbalik pergi, meninggalkan Dinda sendirian lagi dengan pikirannya yang kacau. Tapi sebelum dia melangkah keluar, Ragil berhenti sejenak, mengucapkan sesuatu yang membuat jantung Dinda berdetak lebih cepat.

"Kau tahu, aku ada di sini untukmu, Dinda. Kapan saja kau siap untuk berbicara."

Kata-kata itu menggelayut di udara, memenuhi ruang yang semakin sempit. Dinda hanya bisa mengangguk tanpa kata, melihat punggung Ragil menghilang di balik pintu. Begitu suaminya keluar, Dinda merasakan air mata mulai menggenang di matanya, tetapi dia menahannya—seperti yang selalu dia lakukan. Tangis hanya akan menunjukkan kelemahan, dan kelemahan adalah sesuatu yang tidak bisa ia biarkan keluar, terutama di tempat ini.

Dinda menunduk, memandangi kedua tangannya yang kini gemetar. Dia tahu apa yang seharusnya dia lakukan—mengatakan yang sebenarnya pada Ragil, membuka semua luka yang selama ini ia sembunyikan. Tapi bagaimana mungkin? Bagaimana ia bisa mengungkapkan bahwa dirinya adalah hasil dari hubungan terlarang, bahwa darah yang mengalir dalam tubuhnya adalah bukti dari dosa yang tak bisa ditebus?

Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ayahnya, pria yang selama ini ia hormati, adalah sumber dari semua penderitaan yang ia alami? Ayahnya yang telah menjadikannya pion dalam permainan yang kejam, tanpa memedulikan perasaannya. Bagaimana ia bisa mengungkapkan semua itu tanpa hancur? Tanpa menghancurkan Ragil dan keluarganya?

Hujan di luar semakin deras, seolah ikut meratapi nasib Dinda. Di tengah kesunyian itu, Dinda mendengar suara langkah kaki yang familiar di koridor—langkah yang selalu membuatnya bergidik ngeri. Eva. Wanita itu kembali mendekat, dengan niat jahat yang tak pernah berkurang. Meskipun Dinda berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang, jantungnya mulai berdegup lebih kencang. Eva tidak pernah datang tanpa alasan, dan Dinda tahu apa artinya ini. Ancaman baru. Luka baru.

Namun kali ini, Dinda merasakan sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Sebuah dorongan yang aneh, sesuatu yang selama ini ia pendam mulai muncul ke permukaan. Mungkin itu adalah amarah yang selama ini ia tekan, atau mungkin keberanian yang selama ini hilang. Tapi apapun itu, Dinda tahu bahwa ia tidak bisa terus menjadi korban selamanya.

Ketika pintu kamarnya terbuka dengan suara pelan, Dinda sudah siap. Siap menghadapi Eva, siap melawan segala ketakutan yang selama ini menghantui dirinya. Meskipun hatinya masih berdebar keras, ada kekuatan yang perlahan bangkit dari dalam dirinya.

"Sudah waktunya, Dinda," bisik suara Eva dari balik pintu yang terbuka, matanya berkilat penuh kebencian.

Tapi kali ini, Dinda tidak menundukkan kepala. Dia menatap lurus ke arah Eva, tanpa rasa takut yang biasanya menguasai dirinya. "Iya, sudah waktunya," jawabnya, dengan suara yang tenang namun tegas.

Dan di saat itulah, sebuah pikiran melintas di benaknya—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ini adalah waktunya untuk berubah. Untuk melawan. Untuk merebut kembali kendali atas hidupnya. Tapi bagaimana caranya? Apakah ini benar-benar jalan yang harus dia tempuh?

Sebelum Dinda sempat memikirkan jawabannya, suara derap langkah cepat terdengar dari ujung koridor, diikuti dengan teriakan keras yang membuat tubuhnya membeku sejenak. "Jangan bergerak!"

Pintu kamar tiba-tiba terbanting terbuka dengan keras, mengungkapkan sosok yang berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh amarah. Dinda tidak pernah melihat ekspresi semacam itu sebelumnya—bukan dari Ragil, bukan dari siapa pun. Wajah yang dia kenal berubah menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda, sesuatu yang mengancam dan tak terduga.

Namun, sebelum Dinda bisa bereaksi, segalanya berubah menjadi kekacauan. Lampu kamar tiba-tiba padam, membenamkan mereka semua dalam kegelapan total. Suara langkah kaki yang cepat, jeritan yang tertahan, dan dentuman keras terdengar mengisi ruangan. Dinda merasakan sentuhan dingin di lengannya, menariknya ke arah yang tidak ia ketahui.

Ketika cahaya akhirnya kembali, Dinda melihat sesuatu yang membuat darahnya berhenti mengalir. Sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Di tengah ruangan yang kini penuh kekacauan, satu sosok tergeletak tak bergerak di lantai, dikelilingi oleh noda merah yang kian membesar.

Seseorang telah terluka, atau lebih buruk lagi—mati. Dan Dinda tahu, tidak ada jalan kembali dari ini semua. Hanya ada satu jalan ke depan, satu jalan yang penuh dengan bahaya dan ketidakpastian.

Dinda harus membuat keputusan—sekarang, atau tidak sama sekali.

Tapi keputusan apa yang harus dia ambil? Dan apakah dia bisa hidup dengan konsekuensi dari pilihannya itu?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status