Share

Bunga Beracun Keluarga Suamiku
Bunga Beracun Keluarga Suamiku
Author: Jiebon Swadjiwa

Prolog

Author: Jiebon Swadjiwa
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Hujan turun dengan deras di malam yang sunyi, menciptakan irama tak beraturan yang menghantam genting-genting tua di atas rumah besar keluarga Wiradana. Di dalam kamar yang remang-remang, Dinda duduk di tepi ranjangnya, memandangi tetesan air yang mengalir di jendela. Matanya yang sayu dan lelah menyiratkan kebingungan yang tak kunjung hilang, seolah jiwanya terperangkap dalam pusaran rasa sakit dan ketidakpastian.

Dinda menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Seluruh hidupnya terasa seperti potongan-potongan teka-teki yang tak pernah bisa ia satukan. Pernikahannya dengan Ragil, anak kedua dari keluarga Wiradana, adalah potongan paling besar dalam teka-teki itu—satu bagian yang selalu tampak salah, tak peduli bagaimana ia mencoba menyesuaikannya.

"Apa yang sedang aku lakukan di sini?" gumam Dinda pelan, hampir seperti bisikan yang tak ingin terdengar oleh siapa pun. Kata-kata itu terbang bersama gemuruh hujan, hilang dalam dentuman derasnya. Tapi pertanyaan itu berulang-ulang menggema di dalam pikirannya, menggigit ketenangannya, menggali lebih dalam ke dalam luka yang sudah lama menganga.

Pernikahan ini bukan tentang cinta—Dinda tahu itu. Bahkan sejak awal, ketika ia dipaksa menerima lamaran Ragil, ia tahu ini adalah bagian dari strategi bisnis ayahnya. Dinda hanyalah bidak yang harus dikorbankan di papan catur demi kemenangan yang lebih besar. Ayahnya, seorang pebisnis yang tanpa ampun, telah menukar kebahagiaannya untuk sebuah aliansi bisnis. Dan sekarang, di bawah atap keluarga Wiradana yang megah, Dinda merasa seperti boneka tanpa nyawa, terikat oleh benang-benang tak terlihat yang mengendalikan setiap gerakannya.

Tapi yang lebih menakutkan dari pernikahan tanpa cinta ini adalah rahasia yang Dinda simpan di dalam hatinya. Sebuah rahasia yang bahkan tidak diketahui oleh Ragil, suaminya. Dinda, yang selama ini selalu terlihat kuat di mata orang lain, menyembunyikan masa lalunya dengan rapat, takut jika kenyataan itu terungkap, ia akan kehilangan segalanya—termasuk dirinya sendiri.

"Dinda," suara berat dan tenang itu memecah keheningan, membuat Dinda terlonjak kaget. Ia berbalik, menatap Ragil yang kini berdiri di ambang pintu. Ragil, dengan postur tubuh yang tinggi dan tegap, terlihat lebih seperti bayangan di balik pintu yang remang. Tatapannya lembut namun tajam, seolah ingin menembus dinding batin Dinda yang selama ini tertutup rapat.

"Kenapa kamu belum tidur?" tanyanya pelan, suaranya mengandung kekhawatiran yang sulit disembunyikan. Ragil melangkah masuk, mendekati Dinda dengan hati-hati, seperti seseorang yang takut akan melukai sesuatu yang rapuh.

Dinda hanya menggelengkan kepala, tak ingin suaminya mengetahui keraguan yang menyelimuti hatinya. Namun, dia bisa merasakan bagaimana pandangan Ragil terus mengawasinya, mencoba membaca sesuatu dari wajahnya yang muram. Dinda tahu, meskipun Ragil tidak pernah menuntut lebih, ada keinginan di dalam hati pria itu yang tak pernah diucapkan—keinginan untuk menggapai Dinda lebih dalam, untuk meruntuhkan tembok tinggi yang Dinda bangun di antara mereka.

Tapi Dinda tidak bisa membiarkan itu terjadi. Tidak sekarang, tidak ketika masa lalunya yang kelam masih membayanginya, dan tidak ketika dirinya masih merasa seperti orang asing dalam kehidupan ini.

"Aku hanya memikirkan sesuatu," jawab Dinda akhirnya, suaranya terdengar jauh dan hampa. Dia berusaha tersenyum, meskipun itu hanya membuat wajahnya semakin pucat di bawah cahaya lampu yang redup.

Ragil mengangguk pelan, namun tatapannya tidak lepas dari Dinda. Ada sesuatu di balik mata cokelat itu, sesuatu yang membuat hati Dinda bergetar. Apakah itu cinta? Ataukah hanya sekadar rasa tanggung jawab? Dinda tidak tahu, dan mungkin tidak pernah ingin tahu. Dia sudah cukup lelah untuk mencoba memahami hubungan mereka yang kompleks ini.

"Aku akan tidur sebentar lagi," tambah Dinda, mencoba meyakinkan Ragil—atau mungkin dirinya sendiri. Tapi bahkan dia tahu bahwa tidur bukanlah pelarian dari kenyataan yang menghantuinya setiap saat.

Ragil akhirnya mengangguk dan berbalik pergi, meninggalkan Dinda sendirian lagi dengan pikirannya yang kacau. Tapi sebelum dia melangkah keluar, Ragil berhenti sejenak, mengucapkan sesuatu yang membuat jantung Dinda berdetak lebih cepat.

"Kau tahu, aku ada di sini untukmu, Dinda. Kapan saja kau siap untuk berbicara."

Kata-kata itu menggelayut di udara, memenuhi ruang yang semakin sempit. Dinda hanya bisa mengangguk tanpa kata, melihat punggung Ragil menghilang di balik pintu. Begitu suaminya keluar, Dinda merasakan air mata mulai menggenang di matanya, tetapi dia menahannya—seperti yang selalu dia lakukan. Tangis hanya akan menunjukkan kelemahan, dan kelemahan adalah sesuatu yang tidak bisa ia biarkan keluar, terutama di tempat ini.

Dinda menunduk, memandangi kedua tangannya yang kini gemetar. Dia tahu apa yang seharusnya dia lakukan—mengatakan yang sebenarnya pada Ragil, membuka semua luka yang selama ini ia sembunyikan. Tapi bagaimana mungkin? Bagaimana ia bisa mengungkapkan bahwa dirinya adalah hasil dari hubungan terlarang, bahwa darah yang mengalir dalam tubuhnya adalah bukti dari dosa yang tak bisa ditebus?

Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ayahnya, pria yang selama ini ia hormati, adalah sumber dari semua penderitaan yang ia alami? Ayahnya yang telah menjadikannya pion dalam permainan yang kejam, tanpa memedulikan perasaannya. Bagaimana ia bisa mengungkapkan semua itu tanpa hancur? Tanpa menghancurkan Ragil dan keluarganya?

Hujan di luar semakin deras, seolah ikut meratapi nasib Dinda. Di tengah kesunyian itu, Dinda mendengar suara langkah kaki yang familiar di koridor—langkah yang selalu membuatnya bergidik ngeri. Eva. Wanita itu kembali mendekat, dengan niat jahat yang tak pernah berkurang. Meskipun Dinda berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang, jantungnya mulai berdegup lebih kencang. Eva tidak pernah datang tanpa alasan, dan Dinda tahu apa artinya ini. Ancaman baru. Luka baru.

Namun kali ini, Dinda merasakan sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Sebuah dorongan yang aneh, sesuatu yang selama ini ia pendam mulai muncul ke permukaan. Mungkin itu adalah amarah yang selama ini ia tekan, atau mungkin keberanian yang selama ini hilang. Tapi apapun itu, Dinda tahu bahwa ia tidak bisa terus menjadi korban selamanya.

Ketika pintu kamarnya terbuka dengan suara pelan, Dinda sudah siap. Siap menghadapi Eva, siap melawan segala ketakutan yang selama ini menghantui dirinya. Meskipun hatinya masih berdebar keras, ada kekuatan yang perlahan bangkit dari dalam dirinya.

"Sudah waktunya, Dinda," bisik suara Eva dari balik pintu yang terbuka, matanya berkilat penuh kebencian.

Tapi kali ini, Dinda tidak menundukkan kepala. Dia menatap lurus ke arah Eva, tanpa rasa takut yang biasanya menguasai dirinya. "Iya, sudah waktunya," jawabnya, dengan suara yang tenang namun tegas.

Dan di saat itulah, sebuah pikiran melintas di benaknya—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ini adalah waktunya untuk berubah. Untuk melawan. Untuk merebut kembali kendali atas hidupnya. Tapi bagaimana caranya? Apakah ini benar-benar jalan yang harus dia tempuh?

Sebelum Dinda sempat memikirkan jawabannya, suara derap langkah cepat terdengar dari ujung koridor, diikuti dengan teriakan keras yang membuat tubuhnya membeku sejenak. "Jangan bergerak!"

Pintu kamar tiba-tiba terbanting terbuka dengan keras, mengungkapkan sosok yang berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh amarah. Dinda tidak pernah melihat ekspresi semacam itu sebelumnya—bukan dari Ragil, bukan dari siapa pun. Wajah yang dia kenal berubah menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda, sesuatu yang mengancam dan tak terduga.

Namun, sebelum Dinda bisa bereaksi, segalanya berubah menjadi kekacauan. Lampu kamar tiba-tiba padam, membenamkan mereka semua dalam kegelapan total. Suara langkah kaki yang cepat, jeritan yang tertahan, dan dentuman keras terdengar mengisi ruangan. Dinda merasakan sentuhan dingin di lengannya, menariknya ke arah yang tidak ia ketahui.

Ketika cahaya akhirnya kembali, Dinda melihat sesuatu yang membuat darahnya berhenti mengalir. Sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Di tengah ruangan yang kini penuh kekacauan, satu sosok tergeletak tak bergerak di lantai, dikelilingi oleh noda merah yang kian membesar.

Seseorang telah terluka, atau lebih buruk lagi—mati. Dan Dinda tahu, tidak ada jalan kembali dari ini semua. Hanya ada satu jalan ke depan, satu jalan yang penuh dengan bahaya dan ketidakpastian.

Dinda harus membuat keputusan—sekarang, atau tidak sama sekali.

Tapi keputusan apa yang harus dia ambil? Dan apakah dia bisa hidup dengan konsekuensi dari pilihannya itu?

***

Related chapters

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 1: Gaun Pengantin di Ujung Malam

    Di sebuah kamar megah dengan nuansa putih dan emas, Dinda berdiri terdiam di depan cermin besar berbingkai emas. Cermin itu memantulkan bayangan dirinya dalam gaun pengantin putih yang memukau. Gaun itu menjuntai ke lantai, dipenuhi detail renda yang halus, simbol dari kemewahan dan keanggunan. Namun, meskipun penampilannya sempurna, di dalam hatinya, Dinda merasa kosong.Dia mengamati wajahnya yang bercahaya, tetapi sorot matanya sendu, seperti orang asing yang terperangkap dalam cermin. Gaun yang melekat di tubuhnya terasa seperti beban yang menekan, menutupi seluruh hasrat dan kebebasan yang selama ini dia dambakan.Gaun ini bukan pilihannya. Ibu tirinya, Ratna Mahardika, yang memilihnya, sama seperti banyak hal dalam hidup Dinda yang diatur oleh orang lain. Sejak kecil, Dinda selalu diwajibkan mengikuti aturan yang ditetapkan oleh keluarganya. Wajah cantiknya menjadi alasan utama mengapa Dinda selalu harus tampil sempurna di mata dunia, seolah-olah dia hanyalah barang dagangan yan

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 2: Ikrar yang Tidak Ingin Didengar

    Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, seolah-olah waktu berlalu tanpa peduli pada apa yang dirasakan Dinda. Pagi itu, Dinda duduk di depan cermin besar di kamarnya. Sinar matahari masuk melalui jendela, memantul di permukaan cermin dan membuat gaun pengantinnya yang putih berkilauan. Gaun itu cantik, dihiasi dengan renda halus dan manik-manik kecil yang berkilauan. Tapi bagi Dinda, gaun itu terasa seperti seragam perang yang akan membawanya ke medan yang penuh ketidakpastian.Di belakang Dinda, Ratna Mahardika berdiri dengan senyuman lebar, matanya penuh dengan kebanggaan. "Kamu cantik sekali, Dinda," katanya, tanpa menyadari betapa kosongnya hati putrinya. Dinda hanya mengangguk, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Tatapan matanya yang kosong tertuju pada bayangannya di cermin, namun pikirannya melayang jauh dari sana.Setelah persiapan selesai, Dinda dibawa keluar dari kamarnya oleh dua pengiring pengantin, teman-teman masa kecilnya yang selalu ada di setiap momen penting dalam hi

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 3: Malam Pertama yang Dingin

    Malam telah menyelimuti rumah besar itu dengan tenang, tetapi tidak ada kedamaian yang Dinda rasakan. Kamar pengantin yang seharusnya penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan justru terasa dingin, baik secara fisik maupun emosional. Dinda duduk di tepi ranjang, gaun tidur sutra yang dikenakannya terasa dingin di kulit. Ia menatap ranjang yang besar di depannya, terlalu besar untuk dua orang yang nyaris tidak saling mengenal.Ragil sudah berbaring di sisi lain ranjang. Dinda tidak bisa melihat wajahnya karena Ragil memalingkan tubuhnya, membelakanginya. Hanya punggung Ragil yang terlihat, kaku dan tegas, seperti tembok yang tidak bisa ditembus. Di antara mereka, ada jarak lebar yang seolah menjadi penghalang tak kasat mata, menegaskan bahwa kehadiran mereka di sini hanyalah formalitas.Dinda menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya tidak bisa berhenti berputar, memikirkan pertemuan singkat mereka di siang tadi. Tatapan mata Ragil yang dingin dan tanpa ekspresi

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 4: Eva Sang Pengawas

    Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan lelah dan gelisah setelah malam yang dipenuhi ketidakpastian dan kekhawatiran. Udara pagi yang seharusnya menyegarkan terasa dingin menusuk, seolah mempertegas perasaan terasing yang telah melingkupi hatinya sejak malam sebelumnya. Dinda duduk di tepi ranjang, merenung sejenak sambil memandang keluar jendela. Namun, pemandangan yang tidak familiar baginya hanya memperburuk suasana hatinya. Rumah besar keluarga Wiradana masih terasa seperti tempat asing, dan Dinda merasakan kesepian yang menyakitkan.Dengan langkah berat, Dinda melangkah keluar dari kamar, berusaha mengalihkan pikirannya. Di koridor, suara langkah kaki Eva terdengar mendekat. Dinda merasakan ketegangan merambat di punggungnya. Eva, wanita kepercayaan ayahnya, Tio Mahadika, telah berada di rumah ini bahkan sebelum Dinda dilahirkan. Dengan usia yang terpaut sepuluh tahun di atas Dinda, Eva memiliki reputasi sebagai seseorang yang keras dan tak berperasaan.Saat Dinda tiba di ruan

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 5: Musuh dalam Rumah

    Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Rumah besar keluarga Wiradana terasa semakin dingin dan asing, meskipun sinar matahari mencoba menembus jendela besar di kamar tidurnya. Sepi dan sunyi, seolah semua orang di rumah itu enggan bangun lebih awal.Dinda melangkah keluar dari kamar, berjalan perlahan menyusuri lorong panjang yang terasa lebih mencekam daripada yang ia ingat. Suara langkah kakinya bergema, dan setiap sudut ruangan terasa seperti mengawasinya.Setelah menyusuri lorong, Dinda tiba di ruang tamu. Di sana, dia melihat seorang wanita yang belum pernah ia temui sebelumnya.Wanita itu berambut panjang dan berwajah manis, mengenakan gaun sederhana yang tampak elegan.Ketika mata mereka bertemu, wanita itu tersenyum lebar, tetapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Dinda merinding."Selamat pagi. Kamu pasti Dinda, ya?" sapa wanita itu dengan suara yang lembut. "Aku Laura.""Selamat pagi," jawab Dinda sambil membalas senyum tipis. Dia mengangguk

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 6: Di Bawah Ancaman

    Dinda duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Cahaya redup dari lampu meja membuat bayangannya terlihat samar di dinding kamar. Di tangannya, ada sobekan kertas yang belum lama dia hancurkan. Pesan misterius yang diselipkan di bawah pintu kamar itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Siapa yang menulis pesan itu? Apa tujuannya? Tidak mungkin seseorang asal berani meninggalkan pesan di tempat yang seharusnya aman dari siapa pun. Kamar ini seharusnya hanya bisa dimasuki oleh dirinya dan... Eva.Dinda menoleh sekilas ke pintu kamar yang tertutup rapat. Dengan cepat, dia meremas kertas itu, menghancurkannya menjadi serpihan yang lebih kecil sebelum membuangnya ke tempat sampah kecil di sisi tempat tudirnya. Tak ada yang boleh tahu. Terutama Eva.Baru saja Dinda akan merebahkan tubuhnya di kasur, suara ketukan yang keras terdengar dari pintu kamar. Detik berikutnya, tanpa menunggu persetujuan, Eva masuk. Wajahnya kaku seperti biasa, tidak menunjukkan emosi apapun. Dinda menegakkan tub

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   BAB 7: Bergabung di Perusahaan

    Dinda berdiri di depan cermin, mematut dirinya. Pikirannya berkecamuk. Setelah semua yang terjadi antara dirinya dan keluarga Ragil, hari ini adalah langkah pertama dalam menerima tawaran Tuan Wiradana. Keputusan ini tidak datang dengan mudah, tetapi Dinda tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga hubungan baik dengan Ragil dan keluarganya, sambil tetap menjalankan misi yang diberikan oleh Tio Mahardika. Hatinya berdesir antara rasa takut dan keinginan untuk berhasil.Sebelum berangkat, Dinda mengingat kembali percakapan terakhirnya dengan Tuan Wiradana.“Saya ingin kau bergabung dengan kami, Dinda. Kau pintar, dan saya yakin kau bisa membantu perusahaan ini berkembang,” ujar Tuan Wiradana dengan nada tegas.Dinda kala itu hanya mengangguk pelan. “Baik, Ayah. Saya akan coba.”Kini, mengenakan pakaian formal yang rapi, Dinda berusaha meyakinkan dirinya bahwa keputusan ini benar. Dengan langkah mantap, ia meninggalkan kediaman dan menuju kantor keluarga Wiradana.***Sesampainya

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 8: Dilema Dinda

    Sudah sebulan Dinda bekerja di perusahaan milik mertuanya, Tuan Wiradana. Selama itu pula, dia terus berusaha menyeimbangkan kehidupan pekerjaannya dengan tekanan yang datang dari ayahnya, Tio Mahardika. Pria tua itu, dengan ambisi dan keserakahannya, terus memaksanya mencuri file penting dari perusahaan mertuanya. Namun, hati Dinda berontak. Setiap hari dia harus melawan keinginan untuk menuruti permintaan ayahnya.Di ruang kerja Tuan Wiradana yang besar dan elegan, Dinda berdiri di meja kerja tuan Wiradana. Cahaya matahari menerobos dari jendela besar, membuat ruangan terasa hangat, tetapi tidak cukup untuk menenangkan hati Dinda yang gelisah. Tuan Wiradana tampak duduk di kursi besar di depan meja kerjanya, tersenyum puas sambil memeriksa laporan-laporan yang telah Dinda selesaikan."Kerjamu luar biasa, Dinda," puji Tuan Wiradana sambil menatap Dinda dengan senyum bangga. "Aku benar-benar terkesan dengan caramu mengelola proyek ini. Jarang sekali ada yang bisa menangani masalah sec

Latest chapter

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 10: Ragil Mulai Perhatian pada Dinda

    Ruang makan keluarga Wiradana terasa hangat, meski pagi itu belum sepenuhnya cerah. Pagi yang tenang diisi oleh obrolan ringan antara anggota keluarga yang tengah menikmati sarapan. Di meja makan yang besar dan elegan, Nyonya Wiradana memimpin percakapan dengan senyum lembutnya, memberikan suasana yang penuh kehangatan meskipun, di bawah permukaan, ada ketegangan yang tersirat. Ragil duduk di ujung meja, dengan ekspresi datar yang sudah menjadi ciri khasnya. Di sampingnya, Laura, dengan senyum tipis yang tak pernah sepenuhnya tulus, menyimak setiap kata yang terucap."Raka, kabarnya proyek barumu berjalan lancar?" tanya Nyonya Wiradana sambil meletakkan sendok ke piringnya dengan anggun.Raka mengangguk, tampak santai. "Iya, Bu. Kami baru menandatangani kontrak besar minggu lalu. Semua berkat tim yang solid."Nyonya Wiradana tersenyum bangga, namun matanya beralih pada Ragil yang masih diam dan terlihat terputus dari percakapan. Di sebelahnya, Laura menunggu giliran untuk menunjukkan

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 9: Keterpurukan dan Manipulasi

    Pagi harinya, Dinda terbangun dengan rasa sakit yang mengganggu setiap gerakannya. Rasa nyeri di punggungnya membuatnya sulit untuk bangkit dari tempat tidur. Dia memandang cermin kecil di samping tempat tidur dan melihat betapa parahnya luka-luka yang ada di punggungnya. Bekas cambukan merah membara, membuatnya sulit untuk bergerak tanpa menjerit. Rasa sakit fisik ini adalah gambaran dari penderitaan emosional yang lebih dalam, yang belum sepenuhnya dia sadari.Mia, pelayan pribadinya, mendekat dengan hati-hati, membawa kotak peralatan medis. Mia adalah wanita muda dengan wajah penuh kepedihan. Tangannya bergetar saat dia membuka kotak dan mengeluarkan salep. "Maafkan aku, Nona," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku tidak bisa membiarkanmu menderita seperti ini."Dinda hanya bisa mengangguk lemah, berusaha menahan air mata. Setiap sentuhan Mia terasa seperti api yang membakar, namun Dinda tahu bahwa Mia hanya berusaha melakukan yang t

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 8: Dilema Dinda

    Sudah sebulan Dinda bekerja di perusahaan milik mertuanya, Tuan Wiradana. Selama itu pula, dia terus berusaha menyeimbangkan kehidupan pekerjaannya dengan tekanan yang datang dari ayahnya, Tio Mahardika. Pria tua itu, dengan ambisi dan keserakahannya, terus memaksanya mencuri file penting dari perusahaan mertuanya. Namun, hati Dinda berontak. Setiap hari dia harus melawan keinginan untuk menuruti permintaan ayahnya.Di ruang kerja Tuan Wiradana yang besar dan elegan, Dinda berdiri di meja kerja tuan Wiradana. Cahaya matahari menerobos dari jendela besar, membuat ruangan terasa hangat, tetapi tidak cukup untuk menenangkan hati Dinda yang gelisah. Tuan Wiradana tampak duduk di kursi besar di depan meja kerjanya, tersenyum puas sambil memeriksa laporan-laporan yang telah Dinda selesaikan."Kerjamu luar biasa, Dinda," puji Tuan Wiradana sambil menatap Dinda dengan senyum bangga. "Aku benar-benar terkesan dengan caramu mengelola proyek ini. Jarang sekali ada yang bisa menangani masalah sec

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   BAB 7: Bergabung di Perusahaan

    Dinda berdiri di depan cermin, mematut dirinya. Pikirannya berkecamuk. Setelah semua yang terjadi antara dirinya dan keluarga Ragil, hari ini adalah langkah pertama dalam menerima tawaran Tuan Wiradana. Keputusan ini tidak datang dengan mudah, tetapi Dinda tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga hubungan baik dengan Ragil dan keluarganya, sambil tetap menjalankan misi yang diberikan oleh Tio Mahardika. Hatinya berdesir antara rasa takut dan keinginan untuk berhasil.Sebelum berangkat, Dinda mengingat kembali percakapan terakhirnya dengan Tuan Wiradana.“Saya ingin kau bergabung dengan kami, Dinda. Kau pintar, dan saya yakin kau bisa membantu perusahaan ini berkembang,” ujar Tuan Wiradana dengan nada tegas.Dinda kala itu hanya mengangguk pelan. “Baik, Ayah. Saya akan coba.”Kini, mengenakan pakaian formal yang rapi, Dinda berusaha meyakinkan dirinya bahwa keputusan ini benar. Dengan langkah mantap, ia meninggalkan kediaman dan menuju kantor keluarga Wiradana.***Sesampainya

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 6: Di Bawah Ancaman

    Dinda duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Cahaya redup dari lampu meja membuat bayangannya terlihat samar di dinding kamar. Di tangannya, ada sobekan kertas yang belum lama dia hancurkan. Pesan misterius yang diselipkan di bawah pintu kamar itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Siapa yang menulis pesan itu? Apa tujuannya? Tidak mungkin seseorang asal berani meninggalkan pesan di tempat yang seharusnya aman dari siapa pun. Kamar ini seharusnya hanya bisa dimasuki oleh dirinya dan... Eva.Dinda menoleh sekilas ke pintu kamar yang tertutup rapat. Dengan cepat, dia meremas kertas itu, menghancurkannya menjadi serpihan yang lebih kecil sebelum membuangnya ke tempat sampah kecil di sisi tempat tudirnya. Tak ada yang boleh tahu. Terutama Eva.Baru saja Dinda akan merebahkan tubuhnya di kasur, suara ketukan yang keras terdengar dari pintu kamar. Detik berikutnya, tanpa menunggu persetujuan, Eva masuk. Wajahnya kaku seperti biasa, tidak menunjukkan emosi apapun. Dinda menegakkan tub

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 5: Musuh dalam Rumah

    Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Rumah besar keluarga Wiradana terasa semakin dingin dan asing, meskipun sinar matahari mencoba menembus jendela besar di kamar tidurnya. Sepi dan sunyi, seolah semua orang di rumah itu enggan bangun lebih awal.Dinda melangkah keluar dari kamar, berjalan perlahan menyusuri lorong panjang yang terasa lebih mencekam daripada yang ia ingat. Suara langkah kakinya bergema, dan setiap sudut ruangan terasa seperti mengawasinya.Setelah menyusuri lorong, Dinda tiba di ruang tamu. Di sana, dia melihat seorang wanita yang belum pernah ia temui sebelumnya.Wanita itu berambut panjang dan berwajah manis, mengenakan gaun sederhana yang tampak elegan.Ketika mata mereka bertemu, wanita itu tersenyum lebar, tetapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Dinda merinding."Selamat pagi. Kamu pasti Dinda, ya?" sapa wanita itu dengan suara yang lembut. "Aku Laura.""Selamat pagi," jawab Dinda sambil membalas senyum tipis. Dia mengangguk

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 4: Eva Sang Pengawas

    Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan lelah dan gelisah setelah malam yang dipenuhi ketidakpastian dan kekhawatiran. Udara pagi yang seharusnya menyegarkan terasa dingin menusuk, seolah mempertegas perasaan terasing yang telah melingkupi hatinya sejak malam sebelumnya. Dinda duduk di tepi ranjang, merenung sejenak sambil memandang keluar jendela. Namun, pemandangan yang tidak familiar baginya hanya memperburuk suasana hatinya. Rumah besar keluarga Wiradana masih terasa seperti tempat asing, dan Dinda merasakan kesepian yang menyakitkan.Dengan langkah berat, Dinda melangkah keluar dari kamar, berusaha mengalihkan pikirannya. Di koridor, suara langkah kaki Eva terdengar mendekat. Dinda merasakan ketegangan merambat di punggungnya. Eva, wanita kepercayaan ayahnya, Tio Mahadika, telah berada di rumah ini bahkan sebelum Dinda dilahirkan. Dengan usia yang terpaut sepuluh tahun di atas Dinda, Eva memiliki reputasi sebagai seseorang yang keras dan tak berperasaan.Saat Dinda tiba di ruan

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 3: Malam Pertama yang Dingin

    Malam telah menyelimuti rumah besar itu dengan tenang, tetapi tidak ada kedamaian yang Dinda rasakan. Kamar pengantin yang seharusnya penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan justru terasa dingin, baik secara fisik maupun emosional. Dinda duduk di tepi ranjang, gaun tidur sutra yang dikenakannya terasa dingin di kulit. Ia menatap ranjang yang besar di depannya, terlalu besar untuk dua orang yang nyaris tidak saling mengenal.Ragil sudah berbaring di sisi lain ranjang. Dinda tidak bisa melihat wajahnya karena Ragil memalingkan tubuhnya, membelakanginya. Hanya punggung Ragil yang terlihat, kaku dan tegas, seperti tembok yang tidak bisa ditembus. Di antara mereka, ada jarak lebar yang seolah menjadi penghalang tak kasat mata, menegaskan bahwa kehadiran mereka di sini hanyalah formalitas.Dinda menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya tidak bisa berhenti berputar, memikirkan pertemuan singkat mereka di siang tadi. Tatapan mata Ragil yang dingin dan tanpa ekspresi

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 2: Ikrar yang Tidak Ingin Didengar

    Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, seolah-olah waktu berlalu tanpa peduli pada apa yang dirasakan Dinda. Pagi itu, Dinda duduk di depan cermin besar di kamarnya. Sinar matahari masuk melalui jendela, memantul di permukaan cermin dan membuat gaun pengantinnya yang putih berkilauan. Gaun itu cantik, dihiasi dengan renda halus dan manik-manik kecil yang berkilauan. Tapi bagi Dinda, gaun itu terasa seperti seragam perang yang akan membawanya ke medan yang penuh ketidakpastian.Di belakang Dinda, Ratna Mahardika berdiri dengan senyuman lebar, matanya penuh dengan kebanggaan. "Kamu cantik sekali, Dinda," katanya, tanpa menyadari betapa kosongnya hati putrinya. Dinda hanya mengangguk, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Tatapan matanya yang kosong tertuju pada bayangannya di cermin, namun pikirannya melayang jauh dari sana.Setelah persiapan selesai, Dinda dibawa keluar dari kamarnya oleh dua pengiring pengantin, teman-teman masa kecilnya yang selalu ada di setiap momen penting dalam hi

DMCA.com Protection Status