Di sebuah kamar megah dengan nuansa putih dan emas, Dinda berdiri terdiam di depan cermin besar berbingkai emas. Cermin itu memantulkan bayangan dirinya dalam gaun pengantin putih yang memukau. Gaun itu menjuntai ke lantai, dipenuhi detail renda yang halus, simbol dari kemewahan dan keanggunan. Namun, meskipun penampilannya sempurna, di dalam hatinya, Dinda merasa kosong.
Dia mengamati wajahnya yang bercahaya, tetapi sorot matanya sendu, seperti orang asing yang terperangkap dalam cermin. Gaun yang melekat di tubuhnya terasa seperti beban yang menekan, menutupi seluruh hasrat dan kebebasan yang selama ini dia dambakan.
Gaun ini bukan pilihannya. Ibu tirinya, Ratna Mahardika, yang memilihnya, sama seperti banyak hal dalam hidup Dinda yang diatur oleh orang lain. Sejak kecil, Dinda selalu diwajibkan mengikuti aturan yang ditetapkan oleh keluarganya. Wajah cantiknya menjadi alasan utama mengapa Dinda selalu harus tampil sempurna di mata dunia, seolah-olah dia hanyalah barang dagangan yang siap dijual di pasaran.
Tiba-tiba, suara pintu kamar yang terbuka perlahan menarik perhatian Dinda. Tio Mahardika, ayahnya, masuk dengan langkah mantap. Pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih itu mengenakan setelan jas hitam yang rapi, ekspresinya dingin dan tak terbaca. Dia berdiri di belakang Dinda, menatap putrinya melalui cermin.
"Tidak lama lagi, semuanya akan selesai, Dinda," suaranya terdengar tegas, tanpa sedikitpun nada kasih sayang.
Dinda menelan ludah, menahan gejolak di dadanya. Dia tahu, pernikahan ini bukan tentang cinta atau kebahagiaan. Pernikahan ini adalah strategi bisnis yang dirancang oleh ayahnya untuk mengamankan kekayaan dan kekuasaan keluarga Mahardika. Ragil, pria yang akan menjadi suaminya, bukanlah pilihan hatinya, melainkan putra dari keluarga saingan yang kini akan bersatu demi kepentingan bisnis.
Pikiran Dinda melayang ke masa lalu, ke saat-saat ketika dia masih kecil. Dinda kecil, berusia sekitar tujuh tahun, berlari-lari di taman belakang rumahnya. Di tengah taman yang penuh dengan bunga-bunga, Tio Mahardika berdiri di kejauhan, sibuk berbicara di telepon. Dengan penuh harapan, Dinda kecil berlari ke arahnya, berharap mendapatkan perhatian dari ayahnya.
"Ayah!" seru Dinda dengan suara ceria, berharap bisa berbagi cerita tentang hari-harinya di sekolah.
Namun, Tio hanya melirik sekilas sebelum kembali fokus pada pembicaraan bisnisnya. Dinda terhenti, merasa kecewa dan tersisih. Dia menyadari bahwa, bagi ayahnya, pekerjaan selalu lebih penting daripada dirinya. Hal ini terus terjadi seiring berjalannya waktu, membentuk Dinda menjadi seorang wanita yang selalu merindukan kasih sayang ayahnya, tetapi tak pernah mendapatkannya.
***
Kembali ke masa kini, Dinda mengelus gaun pengantinnya yang megah. Sentuhan kain sutra dan renda halus itu hanya mempertegas perasaan terperangkap yang dia rasakan. Gaun ini, seperti jerat yang mengekang kebebasannya, melambangkan hidupnya yang dikendalikan oleh ambisi orang lain.
Dinda memandang keluar jendela kamar, ke arah langit malam yang gelap tanpa bintang. Kesunyian malam itu mencerminkan suasana hatinya yang penuh kebimbangan. Dia bertanya-tanya bagaimana hidupnya akan berubah setelah pernikahan ini. Apakah dia akan menemukan kebahagiaan yang selama ini dia impikan, atau akankah dia terjebak dalam pernikahan yang hanya menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan keluarganya?
Suara langkah lembut terdengar di belakangnya. Ratna Mahardika, ibu tirinya, masuk ke dalam kamar dengan anggun. Wanita itu mengenakan pakaian elegan, rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya dihiasi senyum tipis. Ratna membawa seuntai kalung berlian, yang dia kenakan di leher Dinda dengan gerakan lembut.
"Kau tampak sangat cantik, Dinda," kata Ratna dengan suara yang penuh kebanggaan, tetapi dingin.
Dinda hanya tersenyum tipis. Kata-kata Ratna tidak cukup untuk menghilangkan kecemasan yang menghantui pikirannya. Senyuman ibunya itu terasa hampa, seperti ada jarak yang tak terjembatani di antara mereka. Ratna, yang selalu berusaha menjadi istri sempurna bagi Tio, berharap Dinda akan mengikuti jejaknya. Namun, Ratna tidak pernah memahami bahwa Dinda memiliki impian dan keinginan yang jauh berbeda.
Setelah semua orang meninggalkan kamar, Dinda duduk di tepi ranjangnya. Gaun pengantin yang tadi membuatnya tercekik kini terasa berat dan dingin. Dengan perlahan, Dinda melepaskan kalung berlian dari lehernya dan meletakkannya di atas meja rias. Mata Dinda tertuju pada cermin sekali lagi, melihat bayangan dirinya yang nampak rapuh dan tak berdaya.
Dia kemudian berjalan menuju jendela kamar, memandang ke luar ke arah taman yang kini sepi dan gelap. Malam terasa begitu sunyi, hanya ada suara angin yang berdesir pelan. Dinda tahu, ini adalah malam terakhir dia sebagai wanita yang bebas. Esok hari, hidupnya akan berubah selamanya. Dia merasakan beban yang begitu berat di pundaknya, seolah-olah semua harapan dan impiannya lenyap di balik gaun putih itu.
Air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya mengalir di pipinya. Dinda memejamkan mata, mencoba menghilangkan rasa sakit yang begitu dalam. Malam ini, dia hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, dia akan menemukan kembali kebahagiaan yang hilang.
Namun, ketika Dinda membuka mata dan melihat keluar jendela, sebuah bayangan bergerak di taman yang gelap. Dinda menahan napas, matanya memperhatikan dengan cermat. Bayangan itu tampak mendekati rumah, dan perlahan-lahan semakin jelas, terlihat seperti sosok seorang pria.
Dengan jantung yang berdegup kencang, Dinda mencoba mengenali siapa pria itu. Apakah ini hanya bayangan dari pikirannya yang penuh kecemasan? Atau mungkin ada seseorang di luar sana yang membawa pesan atau harapan baru di malam sebelum pernikahannya?
Semua menggantung di udara, menyisakan pertanyaan yang tak terjawab: Siapa pria itu, dan apa yang akan dia bawa ke dalam kehidupan Dinda?
***
Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, seolah-olah waktu berlalu tanpa peduli pada apa yang dirasakan Dinda. Pagi itu, Dinda duduk di depan cermin besar di kamarnya. Sinar matahari masuk melalui jendela, memantul di permukaan cermin dan membuat gaun pengantinnya yang putih berkilauan. Gaun itu cantik, dihiasi dengan renda halus dan manik-manik kecil yang berkilauan. Tapi bagi Dinda, gaun itu terasa seperti seragam perang yang akan membawanya ke medan yang penuh ketidakpastian.Di belakang Dinda, Ratna Mahardika berdiri dengan senyuman lebar, matanya penuh dengan kebanggaan. "Kamu cantik sekali, Dinda," katanya, tanpa menyadari betapa kosongnya hati putrinya. Dinda hanya mengangguk, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Tatapan matanya yang kosong tertuju pada bayangannya di cermin, namun pikirannya melayang jauh dari sana.Setelah persiapan selesai, Dinda dibawa keluar dari kamarnya oleh dua pengiring pengantin, teman-teman masa kecilnya yang selalu ada di setiap momen penting dalam hi
Malam telah menyelimuti rumah besar itu dengan tenang, tetapi tidak ada kedamaian yang Dinda rasakan. Kamar pengantin yang seharusnya penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan justru terasa dingin, baik secara fisik maupun emosional. Dinda duduk di tepi ranjang, gaun tidur sutra yang dikenakannya terasa dingin di kulit. Ia menatap ranjang yang besar di depannya, terlalu besar untuk dua orang yang nyaris tidak saling mengenal.Ragil sudah berbaring di sisi lain ranjang. Dinda tidak bisa melihat wajahnya karena Ragil memalingkan tubuhnya, membelakanginya. Hanya punggung Ragil yang terlihat, kaku dan tegas, seperti tembok yang tidak bisa ditembus. Di antara mereka, ada jarak lebar yang seolah menjadi penghalang tak kasat mata, menegaskan bahwa kehadiran mereka di sini hanyalah formalitas.Dinda menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya tidak bisa berhenti berputar, memikirkan pertemuan singkat mereka di siang tadi. Tatapan mata Ragil yang dingin dan tanpa ekspresi
Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan lelah dan gelisah setelah malam yang dipenuhi ketidakpastian dan kekhawatiran. Udara pagi yang seharusnya menyegarkan terasa dingin menusuk, seolah mempertegas perasaan terasing yang telah melingkupi hatinya sejak malam sebelumnya. Dinda duduk di tepi ranjang, merenung sejenak sambil memandang keluar jendela. Namun, pemandangan yang tidak familiar baginya hanya memperburuk suasana hatinya. Rumah besar keluarga Wiradana masih terasa seperti tempat asing, dan Dinda merasakan kesepian yang menyakitkan.Dengan langkah berat, Dinda melangkah keluar dari kamar, berusaha mengalihkan pikirannya. Di koridor, suara langkah kaki Eva terdengar mendekat. Dinda merasakan ketegangan merambat di punggungnya. Eva, wanita kepercayaan ayahnya, Tio Mahadika, telah berada di rumah ini bahkan sebelum Dinda dilahirkan. Dengan usia yang terpaut sepuluh tahun di atas Dinda, Eva memiliki reputasi sebagai seseorang yang keras dan tak berperasaan.Saat Dinda tiba di ruan
Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Rumah besar keluarga Wiradana terasa semakin dingin dan asing, meskipun sinar matahari mencoba menembus jendela besar di kamar tidurnya. Sepi dan sunyi, seolah semua orang di rumah itu enggan bangun lebih awal.Dinda melangkah keluar dari kamar, berjalan perlahan menyusuri lorong panjang yang terasa lebih mencekam daripada yang ia ingat. Suara langkah kakinya bergema, dan setiap sudut ruangan terasa seperti mengawasinya.Setelah menyusuri lorong, Dinda tiba di ruang tamu. Di sana, dia melihat seorang wanita yang belum pernah ia temui sebelumnya.Wanita itu berambut panjang dan berwajah manis, mengenakan gaun sederhana yang tampak elegan.Ketika mata mereka bertemu, wanita itu tersenyum lebar, tetapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Dinda merinding."Selamat pagi. Kamu pasti Dinda, ya?" sapa wanita itu dengan suara yang lembut. "Aku Laura.""Selamat pagi," jawab Dinda sambil membalas senyum tipis. Dia mengangguk
Dinda duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Cahaya redup dari lampu meja membuat bayangannya terlihat samar di dinding kamar. Di tangannya, ada sobekan kertas yang belum lama dia hancurkan. Pesan misterius yang diselipkan di bawah pintu kamar itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Siapa yang menulis pesan itu? Apa tujuannya? Tidak mungkin seseorang asal berani meninggalkan pesan di tempat yang seharusnya aman dari siapa pun. Kamar ini seharusnya hanya bisa dimasuki oleh dirinya dan... Eva.Dinda menoleh sekilas ke pintu kamar yang tertutup rapat. Dengan cepat, dia meremas kertas itu, menghancurkannya menjadi serpihan yang lebih kecil sebelum membuangnya ke tempat sampah kecil di sisi tempat tudirnya. Tak ada yang boleh tahu. Terutama Eva.Baru saja Dinda akan merebahkan tubuhnya di kasur, suara ketukan yang keras terdengar dari pintu kamar. Detik berikutnya, tanpa menunggu persetujuan, Eva masuk. Wajahnya kaku seperti biasa, tidak menunjukkan emosi apapun. Dinda menegakkan tub
Dinda berdiri di depan cermin, mematut dirinya. Pikirannya berkecamuk. Setelah semua yang terjadi antara dirinya dan keluarga Ragil, hari ini adalah langkah pertama dalam menerima tawaran Tuan Wiradana. Keputusan ini tidak datang dengan mudah, tetapi Dinda tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga hubungan baik dengan Ragil dan keluarganya, sambil tetap menjalankan misi yang diberikan oleh Tio Mahardika. Hatinya berdesir antara rasa takut dan keinginan untuk berhasil.Sebelum berangkat, Dinda mengingat kembali percakapan terakhirnya dengan Tuan Wiradana.“Saya ingin kau bergabung dengan kami, Dinda. Kau pintar, dan saya yakin kau bisa membantu perusahaan ini berkembang,” ujar Tuan Wiradana dengan nada tegas.Dinda kala itu hanya mengangguk pelan. “Baik, Ayah. Saya akan coba.”Kini, mengenakan pakaian formal yang rapi, Dinda berusaha meyakinkan dirinya bahwa keputusan ini benar. Dengan langkah mantap, ia meninggalkan kediaman dan menuju kantor keluarga Wiradana.***Sesampainya
Sudah sebulan Dinda bekerja di perusahaan milik mertuanya, Tuan Wiradana. Selama itu pula, dia terus berusaha menyeimbangkan kehidupan pekerjaannya dengan tekanan yang datang dari ayahnya, Tio Mahardika. Pria tua itu, dengan ambisi dan keserakahannya, terus memaksanya mencuri file penting dari perusahaan mertuanya. Namun, hati Dinda berontak. Setiap hari dia harus melawan keinginan untuk menuruti permintaan ayahnya.Di ruang kerja Tuan Wiradana yang besar dan elegan, Dinda berdiri di meja kerja tuan Wiradana. Cahaya matahari menerobos dari jendela besar, membuat ruangan terasa hangat, tetapi tidak cukup untuk menenangkan hati Dinda yang gelisah. Tuan Wiradana tampak duduk di kursi besar di depan meja kerjanya, tersenyum puas sambil memeriksa laporan-laporan yang telah Dinda selesaikan."Kerjamu luar biasa, Dinda," puji Tuan Wiradana sambil menatap Dinda dengan senyum bangga. "Aku benar-benar terkesan dengan caramu mengelola proyek ini. Jarang sekali ada yang bisa menangani masalah sec
Pagi harinya, Dinda terbangun dengan rasa sakit yang mengganggu setiap gerakannya. Rasa nyeri di punggungnya membuatnya sulit untuk bangkit dari tempat tidur. Dia memandang cermin kecil di samping tempat tidur dan melihat betapa parahnya luka-luka yang ada di punggungnya. Bekas cambukan merah membara, membuatnya sulit untuk bergerak tanpa menjerit. Rasa sakit fisik ini adalah gambaran dari penderitaan emosional yang lebih dalam, yang belum sepenuhnya dia sadari.Mia, pelayan pribadinya, mendekat dengan hati-hati, membawa kotak peralatan medis. Mia adalah wanita muda dengan wajah penuh kepedihan. Tangannya bergetar saat dia membuka kotak dan mengeluarkan salep. "Maafkan aku, Nona," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku tidak bisa membiarkanmu menderita seperti ini."Dinda hanya bisa mengangguk lemah, berusaha menahan air mata. Setiap sentuhan Mia terasa seperti api yang membakar, namun Dinda tahu bahwa Mia hanya berusaha melakukan yang t
Ruang makan keluarga Wiradana terasa hangat, meski pagi itu belum sepenuhnya cerah. Pagi yang tenang diisi oleh obrolan ringan antara anggota keluarga yang tengah menikmati sarapan. Di meja makan yang besar dan elegan, Nyonya Wiradana memimpin percakapan dengan senyum lembutnya, memberikan suasana yang penuh kehangatan meskipun, di bawah permukaan, ada ketegangan yang tersirat. Ragil duduk di ujung meja, dengan ekspresi datar yang sudah menjadi ciri khasnya. Di sampingnya, Laura, dengan senyum tipis yang tak pernah sepenuhnya tulus, menyimak setiap kata yang terucap."Raka, kabarnya proyek barumu berjalan lancar?" tanya Nyonya Wiradana sambil meletakkan sendok ke piringnya dengan anggun.Raka mengangguk, tampak santai. "Iya, Bu. Kami baru menandatangani kontrak besar minggu lalu. Semua berkat tim yang solid."Nyonya Wiradana tersenyum bangga, namun matanya beralih pada Ragil yang masih diam dan terlihat terputus dari percakapan. Di sebelahnya, Laura menunggu giliran untuk menunjukkan
Pagi harinya, Dinda terbangun dengan rasa sakit yang mengganggu setiap gerakannya. Rasa nyeri di punggungnya membuatnya sulit untuk bangkit dari tempat tidur. Dia memandang cermin kecil di samping tempat tidur dan melihat betapa parahnya luka-luka yang ada di punggungnya. Bekas cambukan merah membara, membuatnya sulit untuk bergerak tanpa menjerit. Rasa sakit fisik ini adalah gambaran dari penderitaan emosional yang lebih dalam, yang belum sepenuhnya dia sadari.Mia, pelayan pribadinya, mendekat dengan hati-hati, membawa kotak peralatan medis. Mia adalah wanita muda dengan wajah penuh kepedihan. Tangannya bergetar saat dia membuka kotak dan mengeluarkan salep. "Maafkan aku, Nona," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku tidak bisa membiarkanmu menderita seperti ini."Dinda hanya bisa mengangguk lemah, berusaha menahan air mata. Setiap sentuhan Mia terasa seperti api yang membakar, namun Dinda tahu bahwa Mia hanya berusaha melakukan yang t
Sudah sebulan Dinda bekerja di perusahaan milik mertuanya, Tuan Wiradana. Selama itu pula, dia terus berusaha menyeimbangkan kehidupan pekerjaannya dengan tekanan yang datang dari ayahnya, Tio Mahardika. Pria tua itu, dengan ambisi dan keserakahannya, terus memaksanya mencuri file penting dari perusahaan mertuanya. Namun, hati Dinda berontak. Setiap hari dia harus melawan keinginan untuk menuruti permintaan ayahnya.Di ruang kerja Tuan Wiradana yang besar dan elegan, Dinda berdiri di meja kerja tuan Wiradana. Cahaya matahari menerobos dari jendela besar, membuat ruangan terasa hangat, tetapi tidak cukup untuk menenangkan hati Dinda yang gelisah. Tuan Wiradana tampak duduk di kursi besar di depan meja kerjanya, tersenyum puas sambil memeriksa laporan-laporan yang telah Dinda selesaikan."Kerjamu luar biasa, Dinda," puji Tuan Wiradana sambil menatap Dinda dengan senyum bangga. "Aku benar-benar terkesan dengan caramu mengelola proyek ini. Jarang sekali ada yang bisa menangani masalah sec
Dinda berdiri di depan cermin, mematut dirinya. Pikirannya berkecamuk. Setelah semua yang terjadi antara dirinya dan keluarga Ragil, hari ini adalah langkah pertama dalam menerima tawaran Tuan Wiradana. Keputusan ini tidak datang dengan mudah, tetapi Dinda tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga hubungan baik dengan Ragil dan keluarganya, sambil tetap menjalankan misi yang diberikan oleh Tio Mahardika. Hatinya berdesir antara rasa takut dan keinginan untuk berhasil.Sebelum berangkat, Dinda mengingat kembali percakapan terakhirnya dengan Tuan Wiradana.“Saya ingin kau bergabung dengan kami, Dinda. Kau pintar, dan saya yakin kau bisa membantu perusahaan ini berkembang,” ujar Tuan Wiradana dengan nada tegas.Dinda kala itu hanya mengangguk pelan. “Baik, Ayah. Saya akan coba.”Kini, mengenakan pakaian formal yang rapi, Dinda berusaha meyakinkan dirinya bahwa keputusan ini benar. Dengan langkah mantap, ia meninggalkan kediaman dan menuju kantor keluarga Wiradana.***Sesampainya
Dinda duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Cahaya redup dari lampu meja membuat bayangannya terlihat samar di dinding kamar. Di tangannya, ada sobekan kertas yang belum lama dia hancurkan. Pesan misterius yang diselipkan di bawah pintu kamar itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Siapa yang menulis pesan itu? Apa tujuannya? Tidak mungkin seseorang asal berani meninggalkan pesan di tempat yang seharusnya aman dari siapa pun. Kamar ini seharusnya hanya bisa dimasuki oleh dirinya dan... Eva.Dinda menoleh sekilas ke pintu kamar yang tertutup rapat. Dengan cepat, dia meremas kertas itu, menghancurkannya menjadi serpihan yang lebih kecil sebelum membuangnya ke tempat sampah kecil di sisi tempat tudirnya. Tak ada yang boleh tahu. Terutama Eva.Baru saja Dinda akan merebahkan tubuhnya di kasur, suara ketukan yang keras terdengar dari pintu kamar. Detik berikutnya, tanpa menunggu persetujuan, Eva masuk. Wajahnya kaku seperti biasa, tidak menunjukkan emosi apapun. Dinda menegakkan tub
Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Rumah besar keluarga Wiradana terasa semakin dingin dan asing, meskipun sinar matahari mencoba menembus jendela besar di kamar tidurnya. Sepi dan sunyi, seolah semua orang di rumah itu enggan bangun lebih awal.Dinda melangkah keluar dari kamar, berjalan perlahan menyusuri lorong panjang yang terasa lebih mencekam daripada yang ia ingat. Suara langkah kakinya bergema, dan setiap sudut ruangan terasa seperti mengawasinya.Setelah menyusuri lorong, Dinda tiba di ruang tamu. Di sana, dia melihat seorang wanita yang belum pernah ia temui sebelumnya.Wanita itu berambut panjang dan berwajah manis, mengenakan gaun sederhana yang tampak elegan.Ketika mata mereka bertemu, wanita itu tersenyum lebar, tetapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Dinda merinding."Selamat pagi. Kamu pasti Dinda, ya?" sapa wanita itu dengan suara yang lembut. "Aku Laura.""Selamat pagi," jawab Dinda sambil membalas senyum tipis. Dia mengangguk
Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan lelah dan gelisah setelah malam yang dipenuhi ketidakpastian dan kekhawatiran. Udara pagi yang seharusnya menyegarkan terasa dingin menusuk, seolah mempertegas perasaan terasing yang telah melingkupi hatinya sejak malam sebelumnya. Dinda duduk di tepi ranjang, merenung sejenak sambil memandang keluar jendela. Namun, pemandangan yang tidak familiar baginya hanya memperburuk suasana hatinya. Rumah besar keluarga Wiradana masih terasa seperti tempat asing, dan Dinda merasakan kesepian yang menyakitkan.Dengan langkah berat, Dinda melangkah keluar dari kamar, berusaha mengalihkan pikirannya. Di koridor, suara langkah kaki Eva terdengar mendekat. Dinda merasakan ketegangan merambat di punggungnya. Eva, wanita kepercayaan ayahnya, Tio Mahadika, telah berada di rumah ini bahkan sebelum Dinda dilahirkan. Dengan usia yang terpaut sepuluh tahun di atas Dinda, Eva memiliki reputasi sebagai seseorang yang keras dan tak berperasaan.Saat Dinda tiba di ruan
Malam telah menyelimuti rumah besar itu dengan tenang, tetapi tidak ada kedamaian yang Dinda rasakan. Kamar pengantin yang seharusnya penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan justru terasa dingin, baik secara fisik maupun emosional. Dinda duduk di tepi ranjang, gaun tidur sutra yang dikenakannya terasa dingin di kulit. Ia menatap ranjang yang besar di depannya, terlalu besar untuk dua orang yang nyaris tidak saling mengenal.Ragil sudah berbaring di sisi lain ranjang. Dinda tidak bisa melihat wajahnya karena Ragil memalingkan tubuhnya, membelakanginya. Hanya punggung Ragil yang terlihat, kaku dan tegas, seperti tembok yang tidak bisa ditembus. Di antara mereka, ada jarak lebar yang seolah menjadi penghalang tak kasat mata, menegaskan bahwa kehadiran mereka di sini hanyalah formalitas.Dinda menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya tidak bisa berhenti berputar, memikirkan pertemuan singkat mereka di siang tadi. Tatapan mata Ragil yang dingin dan tanpa ekspresi
Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, seolah-olah waktu berlalu tanpa peduli pada apa yang dirasakan Dinda. Pagi itu, Dinda duduk di depan cermin besar di kamarnya. Sinar matahari masuk melalui jendela, memantul di permukaan cermin dan membuat gaun pengantinnya yang putih berkilauan. Gaun itu cantik, dihiasi dengan renda halus dan manik-manik kecil yang berkilauan. Tapi bagi Dinda, gaun itu terasa seperti seragam perang yang akan membawanya ke medan yang penuh ketidakpastian.Di belakang Dinda, Ratna Mahardika berdiri dengan senyuman lebar, matanya penuh dengan kebanggaan. "Kamu cantik sekali, Dinda," katanya, tanpa menyadari betapa kosongnya hati putrinya. Dinda hanya mengangguk, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Tatapan matanya yang kosong tertuju pada bayangannya di cermin, namun pikirannya melayang jauh dari sana.Setelah persiapan selesai, Dinda dibawa keluar dari kamarnya oleh dua pengiring pengantin, teman-teman masa kecilnya yang selalu ada di setiap momen penting dalam hi