Share

Bab 1: Gaun Pengantin di Ujung Malam

Di sebuah kamar megah dengan nuansa putih dan emas, Dinda berdiri terdiam di depan cermin besar berbingkai emas. Cermin itu memantulkan bayangan dirinya dalam gaun pengantin putih yang memukau. Gaun itu menjuntai ke lantai, dipenuhi detail renda yang halus, simbol dari kemewahan dan keanggunan. Namun, meskipun penampilannya sempurna, di dalam hatinya, Dinda merasa kosong.

Dia mengamati wajahnya yang bercahaya, tetapi sorot matanya sendu, seperti orang asing yang terperangkap dalam cermin. Gaun yang melekat di tubuhnya terasa seperti beban yang menekan, menutupi seluruh hasrat dan kebebasan yang selama ini dia dambakan.

Gaun ini bukan pilihannya. Ibu tirinya, Ratna Mahardika, yang memilihnya, sama seperti banyak hal dalam hidup Dinda yang diatur oleh orang lain. Sejak kecil, Dinda selalu diwajibkan mengikuti aturan yang ditetapkan oleh keluarganya. Wajah cantiknya menjadi alasan utama mengapa Dinda selalu harus tampil sempurna di mata dunia, seolah-olah dia hanyalah barang dagangan yang siap dijual di pasaran.

Tiba-tiba, suara pintu kamar yang terbuka perlahan menarik perhatian Dinda. Tio Mahardika, ayahnya, masuk dengan langkah mantap. Pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih itu mengenakan setelan jas hitam yang rapi, ekspresinya dingin dan tak terbaca. Dia berdiri di belakang Dinda, menatap putrinya melalui cermin.

"Tidak lama lagi, semuanya akan selesai, Dinda," suaranya terdengar tegas, tanpa sedikitpun nada kasih sayang.

Dinda menelan ludah, menahan gejolak di dadanya. Dia tahu, pernikahan ini bukan tentang cinta atau kebahagiaan. Pernikahan ini adalah strategi bisnis yang dirancang oleh ayahnya untuk mengamankan kekayaan dan kekuasaan keluarga Mahardika. Ragil, pria yang akan menjadi suaminya, bukanlah pilihan hatinya, melainkan putra dari keluarga saingan yang kini akan bersatu demi kepentingan bisnis.

Pikiran Dinda melayang ke masa lalu, ke saat-saat ketika dia masih kecil. Dinda kecil, berusia sekitar tujuh tahun, berlari-lari di taman belakang rumahnya. Di tengah taman yang penuh dengan bunga-bunga, Tio Mahardika berdiri di kejauhan, sibuk berbicara di telepon. Dengan penuh harapan, Dinda kecil berlari ke arahnya, berharap mendapatkan perhatian dari ayahnya.

"Ayah!" seru Dinda dengan suara ceria, berharap bisa berbagi cerita tentang hari-harinya di sekolah.

Namun, Tio hanya melirik sekilas sebelum kembali fokus pada pembicaraan bisnisnya. Dinda terhenti, merasa kecewa dan tersisih. Dia menyadari bahwa, bagi ayahnya, pekerjaan selalu lebih penting daripada dirinya. Hal ini terus terjadi seiring berjalannya waktu, membentuk Dinda menjadi seorang wanita yang selalu merindukan kasih sayang ayahnya, tetapi tak pernah mendapatkannya.

***

Kembali ke masa kini, Dinda mengelus gaun pengantinnya yang megah. Sentuhan kain sutra dan renda halus itu hanya mempertegas perasaan terperangkap yang dia rasakan. Gaun ini, seperti jerat yang mengekang kebebasannya, melambangkan hidupnya yang dikendalikan oleh ambisi orang lain.

Dinda memandang keluar jendela kamar, ke arah langit malam yang gelap tanpa bintang. Kesunyian malam itu mencerminkan suasana hatinya yang penuh kebimbangan. Dia bertanya-tanya bagaimana hidupnya akan berubah setelah pernikahan ini. Apakah dia akan menemukan kebahagiaan yang selama ini dia impikan, atau akankah dia terjebak dalam pernikahan yang hanya menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan keluarganya?

Suara langkah lembut terdengar di belakangnya. Ratna Mahardika, ibu tirinya, masuk ke dalam kamar dengan anggun. Wanita itu mengenakan pakaian elegan, rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya dihiasi senyum tipis. Ratna membawa seuntai kalung berlian, yang dia kenakan di leher Dinda dengan gerakan lembut.

"Kau tampak sangat cantik, Dinda," kata Ratna dengan suara yang penuh kebanggaan, tetapi dingin.

Dinda hanya tersenyum tipis. Kata-kata Ratna tidak cukup untuk menghilangkan kecemasan yang menghantui pikirannya. Senyuman ibunya itu terasa hampa, seperti ada jarak yang tak terjembatani di antara mereka. Ratna, yang selalu berusaha menjadi istri sempurna bagi Tio, berharap Dinda akan mengikuti jejaknya. Namun, Ratna tidak pernah memahami bahwa Dinda memiliki impian dan keinginan yang jauh berbeda.

Setelah semua orang meninggalkan kamar, Dinda duduk di tepi ranjangnya. Gaun pengantin yang tadi membuatnya tercekik kini terasa berat dan dingin. Dengan perlahan, Dinda melepaskan kalung berlian dari lehernya dan meletakkannya di atas meja rias. Mata Dinda tertuju pada cermin sekali lagi, melihat bayangan dirinya yang nampak rapuh dan tak berdaya.

Dia kemudian berjalan menuju jendela kamar, memandang ke luar ke arah taman yang kini sepi dan gelap. Malam terasa begitu sunyi, hanya ada suara angin yang berdesir pelan. Dinda tahu, ini adalah malam terakhir dia sebagai wanita yang bebas. Esok hari, hidupnya akan berubah selamanya. Dia merasakan beban yang begitu berat di pundaknya, seolah-olah semua harapan dan impiannya lenyap di balik gaun putih itu.

Air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya mengalir di pipinya. Dinda memejamkan mata, mencoba menghilangkan rasa sakit yang begitu dalam. Malam ini, dia hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, dia akan menemukan kembali kebahagiaan yang hilang.

Namun, ketika Dinda membuka mata dan melihat keluar jendela, sebuah bayangan bergerak di taman yang gelap. Dinda menahan napas, matanya memperhatikan dengan cermat. Bayangan itu tampak mendekati rumah, dan perlahan-lahan semakin jelas, terlihat seperti sosok seorang pria.

Dengan jantung yang berdegup kencang, Dinda mencoba mengenali siapa pria itu. Apakah ini hanya bayangan dari pikirannya yang penuh kecemasan? Atau mungkin ada seseorang di luar sana yang membawa pesan atau harapan baru di malam sebelum pernikahannya?

Semua menggantung di udara, menyisakan pertanyaan yang tak terjawab: Siapa pria itu, dan apa yang akan dia bawa ke dalam kehidupan Dinda?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status