Sudah sebulan Dinda bekerja di perusahaan milik mertuanya, Tuan Wiradana. Selama itu pula, dia terus berusaha menyeimbangkan kehidupan pekerjaannya dengan tekanan yang datang dari ayahnya, Tio Mahardika. Pria tua itu, dengan ambisi dan keserakahannya, terus memaksanya mencuri file penting dari perusahaan mertuanya. Namun, hati Dinda berontak. Setiap hari dia harus melawan keinginan untuk menuruti permintaan ayahnya.Di ruang kerja Tuan Wiradana yang besar dan elegan, Dinda berdiri di meja kerja tuan Wiradana. Cahaya matahari menerobos dari jendela besar, membuat ruangan terasa hangat, tetapi tidak cukup untuk menenangkan hati Dinda yang gelisah. Tuan Wiradana tampak duduk di kursi besar di depan meja kerjanya, tersenyum puas sambil memeriksa laporan-laporan yang telah Dinda selesaikan."Kerjamu luar biasa, Dinda," puji Tuan Wiradana sambil menatap Dinda dengan senyum bangga. "Aku benar-benar terkesan dengan caramu mengelola proyek ini. Jarang sekali ada yang bisa menangani masalah sec
Pagi harinya, Dinda terbangun dengan rasa sakit yang mengganggu setiap gerakannya. Rasa nyeri di punggungnya membuatnya sulit untuk bangkit dari tempat tidur. Dia memandang cermin kecil di samping tempat tidur dan melihat betapa parahnya luka-luka yang ada di punggungnya. Bekas cambukan merah membara, membuatnya sulit untuk bergerak tanpa menjerit. Rasa sakit fisik ini adalah gambaran dari penderitaan emosional yang lebih dalam, yang belum sepenuhnya dia sadari.Mia, pelayan pribadinya, mendekat dengan hati-hati, membawa kotak peralatan medis. Mia adalah wanita muda dengan wajah penuh kepedihan. Tangannya bergetar saat dia membuka kotak dan mengeluarkan salep. "Maafkan aku, Nona," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku tidak bisa membiarkanmu menderita seperti ini."Dinda hanya bisa mengangguk lemah, berusaha menahan air mata. Setiap sentuhan Mia terasa seperti api yang membakar, namun Dinda tahu bahwa Mia hanya berusaha melakukan yang t
Ruang makan keluarga Wiradana terasa hangat, meski pagi itu belum sepenuhnya cerah. Pagi yang tenang diisi oleh obrolan ringan antara anggota keluarga yang tengah menikmati sarapan. Di meja makan yang besar dan elegan, Nyonya Wiradana memimpin percakapan dengan senyum lembutnya, memberikan suasana yang penuh kehangatan meskipun, di bawah permukaan, ada ketegangan yang tersirat. Ragil duduk di ujung meja, dengan ekspresi datar yang sudah menjadi ciri khasnya. Di sampingnya, Laura, dengan senyum tipis yang tak pernah sepenuhnya tulus, menyimak setiap kata yang terucap."Raka, kabarnya proyek barumu berjalan lancar?" tanya Nyonya Wiradana sambil meletakkan sendok ke piringnya dengan anggun.Raka mengangguk, tampak santai. "Iya, Bu. Kami baru menandatangani kontrak besar minggu lalu. Semua berkat tim yang solid."Nyonya Wiradana tersenyum bangga, namun matanya beralih pada Ragil yang masih diam dan terlihat terputus dari percakapan. Di sebelahnya, Laura menunggu giliran untuk menunjukkan
Hujan turun dengan deras di malam yang sunyi, menciptakan irama tak beraturan yang menghantam genting-genting tua di atas rumah besar keluarga Wiradana. Di dalam kamar yang remang-remang, Dinda duduk di tepi ranjangnya, memandangi tetesan air yang mengalir di jendela. Matanya yang sayu dan lelah menyiratkan kebingungan yang tak kunjung hilang, seolah jiwanya terperangkap dalam pusaran rasa sakit dan ketidakpastian.Dinda menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Seluruh hidupnya terasa seperti potongan-potongan teka-teki yang tak pernah bisa ia satukan. Pernikahannya dengan Ragil, anak kedua dari keluarga Wiradana, adalah potongan paling besar dalam teka-teki itu—satu bagian yang selalu tampak salah, tak peduli bagaimana ia mencoba menyesuaikannya."Apa yang sedang aku lakukan di sini?" gumam Dinda pelan, hampir seperti bisikan yang tak ingin terdengar oleh siapa pun. Kata-kata itu terbang bersama gemuruh hujan, hilang dalam dentuman derasnya. Tapi pertanyaan
Di sebuah kamar megah dengan nuansa putih dan emas, Dinda berdiri terdiam di depan cermin besar berbingkai emas. Cermin itu memantulkan bayangan dirinya dalam gaun pengantin putih yang memukau. Gaun itu menjuntai ke lantai, dipenuhi detail renda yang halus, simbol dari kemewahan dan keanggunan. Namun, meskipun penampilannya sempurna, di dalam hatinya, Dinda merasa kosong.Dia mengamati wajahnya yang bercahaya, tetapi sorot matanya sendu, seperti orang asing yang terperangkap dalam cermin. Gaun yang melekat di tubuhnya terasa seperti beban yang menekan, menutupi seluruh hasrat dan kebebasan yang selama ini dia dambakan.Gaun ini bukan pilihannya. Ibu tirinya, Ratna Mahardika, yang memilihnya, sama seperti banyak hal dalam hidup Dinda yang diatur oleh orang lain. Sejak kecil, Dinda selalu diwajibkan mengikuti aturan yang ditetapkan oleh keluarganya. Wajah cantiknya menjadi alasan utama mengapa Dinda selalu harus tampil sempurna di mata dunia, seolah-olah dia hanyalah barang dagangan yan
Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, seolah-olah waktu berlalu tanpa peduli pada apa yang dirasakan Dinda. Pagi itu, Dinda duduk di depan cermin besar di kamarnya. Sinar matahari masuk melalui jendela, memantul di permukaan cermin dan membuat gaun pengantinnya yang putih berkilauan. Gaun itu cantik, dihiasi dengan renda halus dan manik-manik kecil yang berkilauan. Tapi bagi Dinda, gaun itu terasa seperti seragam perang yang akan membawanya ke medan yang penuh ketidakpastian.Di belakang Dinda, Ratna Mahardika berdiri dengan senyuman lebar, matanya penuh dengan kebanggaan. "Kamu cantik sekali, Dinda," katanya, tanpa menyadari betapa kosongnya hati putrinya. Dinda hanya mengangguk, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Tatapan matanya yang kosong tertuju pada bayangannya di cermin, namun pikirannya melayang jauh dari sana.Setelah persiapan selesai, Dinda dibawa keluar dari kamarnya oleh dua pengiring pengantin, teman-teman masa kecilnya yang selalu ada di setiap momen penting dalam hi
Malam telah menyelimuti rumah besar itu dengan tenang, tetapi tidak ada kedamaian yang Dinda rasakan. Kamar pengantin yang seharusnya penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan justru terasa dingin, baik secara fisik maupun emosional. Dinda duduk di tepi ranjang, gaun tidur sutra yang dikenakannya terasa dingin di kulit. Ia menatap ranjang yang besar di depannya, terlalu besar untuk dua orang yang nyaris tidak saling mengenal.Ragil sudah berbaring di sisi lain ranjang. Dinda tidak bisa melihat wajahnya karena Ragil memalingkan tubuhnya, membelakanginya. Hanya punggung Ragil yang terlihat, kaku dan tegas, seperti tembok yang tidak bisa ditembus. Di antara mereka, ada jarak lebar yang seolah menjadi penghalang tak kasat mata, menegaskan bahwa kehadiran mereka di sini hanyalah formalitas.Dinda menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya tidak bisa berhenti berputar, memikirkan pertemuan singkat mereka di siang tadi. Tatapan mata Ragil yang dingin dan tanpa ekspresi
Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan lelah dan gelisah setelah malam yang dipenuhi ketidakpastian dan kekhawatiran. Udara pagi yang seharusnya menyegarkan terasa dingin menusuk, seolah mempertegas perasaan terasing yang telah melingkupi hatinya sejak malam sebelumnya. Dinda duduk di tepi ranjang, merenung sejenak sambil memandang keluar jendela. Namun, pemandangan yang tidak familiar baginya hanya memperburuk suasana hatinya. Rumah besar keluarga Wiradana masih terasa seperti tempat asing, dan Dinda merasakan kesepian yang menyakitkan.Dengan langkah berat, Dinda melangkah keluar dari kamar, berusaha mengalihkan pikirannya. Di koridor, suara langkah kaki Eva terdengar mendekat. Dinda merasakan ketegangan merambat di punggungnya. Eva, wanita kepercayaan ayahnya, Tio Mahadika, telah berada di rumah ini bahkan sebelum Dinda dilahirkan. Dengan usia yang terpaut sepuluh tahun di atas Dinda, Eva memiliki reputasi sebagai seseorang yang keras dan tak berperasaan.Saat Dinda tiba di ruan
Ruang makan keluarga Wiradana terasa hangat, meski pagi itu belum sepenuhnya cerah. Pagi yang tenang diisi oleh obrolan ringan antara anggota keluarga yang tengah menikmati sarapan. Di meja makan yang besar dan elegan, Nyonya Wiradana memimpin percakapan dengan senyum lembutnya, memberikan suasana yang penuh kehangatan meskipun, di bawah permukaan, ada ketegangan yang tersirat. Ragil duduk di ujung meja, dengan ekspresi datar yang sudah menjadi ciri khasnya. Di sampingnya, Laura, dengan senyum tipis yang tak pernah sepenuhnya tulus, menyimak setiap kata yang terucap."Raka, kabarnya proyek barumu berjalan lancar?" tanya Nyonya Wiradana sambil meletakkan sendok ke piringnya dengan anggun.Raka mengangguk, tampak santai. "Iya, Bu. Kami baru menandatangani kontrak besar minggu lalu. Semua berkat tim yang solid."Nyonya Wiradana tersenyum bangga, namun matanya beralih pada Ragil yang masih diam dan terlihat terputus dari percakapan. Di sebelahnya, Laura menunggu giliran untuk menunjukkan
Pagi harinya, Dinda terbangun dengan rasa sakit yang mengganggu setiap gerakannya. Rasa nyeri di punggungnya membuatnya sulit untuk bangkit dari tempat tidur. Dia memandang cermin kecil di samping tempat tidur dan melihat betapa parahnya luka-luka yang ada di punggungnya. Bekas cambukan merah membara, membuatnya sulit untuk bergerak tanpa menjerit. Rasa sakit fisik ini adalah gambaran dari penderitaan emosional yang lebih dalam, yang belum sepenuhnya dia sadari.Mia, pelayan pribadinya, mendekat dengan hati-hati, membawa kotak peralatan medis. Mia adalah wanita muda dengan wajah penuh kepedihan. Tangannya bergetar saat dia membuka kotak dan mengeluarkan salep. "Maafkan aku, Nona," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku tidak bisa membiarkanmu menderita seperti ini."Dinda hanya bisa mengangguk lemah, berusaha menahan air mata. Setiap sentuhan Mia terasa seperti api yang membakar, namun Dinda tahu bahwa Mia hanya berusaha melakukan yang t
Sudah sebulan Dinda bekerja di perusahaan milik mertuanya, Tuan Wiradana. Selama itu pula, dia terus berusaha menyeimbangkan kehidupan pekerjaannya dengan tekanan yang datang dari ayahnya, Tio Mahardika. Pria tua itu, dengan ambisi dan keserakahannya, terus memaksanya mencuri file penting dari perusahaan mertuanya. Namun, hati Dinda berontak. Setiap hari dia harus melawan keinginan untuk menuruti permintaan ayahnya.Di ruang kerja Tuan Wiradana yang besar dan elegan, Dinda berdiri di meja kerja tuan Wiradana. Cahaya matahari menerobos dari jendela besar, membuat ruangan terasa hangat, tetapi tidak cukup untuk menenangkan hati Dinda yang gelisah. Tuan Wiradana tampak duduk di kursi besar di depan meja kerjanya, tersenyum puas sambil memeriksa laporan-laporan yang telah Dinda selesaikan."Kerjamu luar biasa, Dinda," puji Tuan Wiradana sambil menatap Dinda dengan senyum bangga. "Aku benar-benar terkesan dengan caramu mengelola proyek ini. Jarang sekali ada yang bisa menangani masalah sec
Dinda berdiri di depan cermin, mematut dirinya. Pikirannya berkecamuk. Setelah semua yang terjadi antara dirinya dan keluarga Ragil, hari ini adalah langkah pertama dalam menerima tawaran Tuan Wiradana. Keputusan ini tidak datang dengan mudah, tetapi Dinda tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga hubungan baik dengan Ragil dan keluarganya, sambil tetap menjalankan misi yang diberikan oleh Tio Mahardika. Hatinya berdesir antara rasa takut dan keinginan untuk berhasil.Sebelum berangkat, Dinda mengingat kembali percakapan terakhirnya dengan Tuan Wiradana.“Saya ingin kau bergabung dengan kami, Dinda. Kau pintar, dan saya yakin kau bisa membantu perusahaan ini berkembang,” ujar Tuan Wiradana dengan nada tegas.Dinda kala itu hanya mengangguk pelan. “Baik, Ayah. Saya akan coba.”Kini, mengenakan pakaian formal yang rapi, Dinda berusaha meyakinkan dirinya bahwa keputusan ini benar. Dengan langkah mantap, ia meninggalkan kediaman dan menuju kantor keluarga Wiradana.***Sesampainya
Dinda duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Cahaya redup dari lampu meja membuat bayangannya terlihat samar di dinding kamar. Di tangannya, ada sobekan kertas yang belum lama dia hancurkan. Pesan misterius yang diselipkan di bawah pintu kamar itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Siapa yang menulis pesan itu? Apa tujuannya? Tidak mungkin seseorang asal berani meninggalkan pesan di tempat yang seharusnya aman dari siapa pun. Kamar ini seharusnya hanya bisa dimasuki oleh dirinya dan... Eva.Dinda menoleh sekilas ke pintu kamar yang tertutup rapat. Dengan cepat, dia meremas kertas itu, menghancurkannya menjadi serpihan yang lebih kecil sebelum membuangnya ke tempat sampah kecil di sisi tempat tudirnya. Tak ada yang boleh tahu. Terutama Eva.Baru saja Dinda akan merebahkan tubuhnya di kasur, suara ketukan yang keras terdengar dari pintu kamar. Detik berikutnya, tanpa menunggu persetujuan, Eva masuk. Wajahnya kaku seperti biasa, tidak menunjukkan emosi apapun. Dinda menegakkan tub
Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Rumah besar keluarga Wiradana terasa semakin dingin dan asing, meskipun sinar matahari mencoba menembus jendela besar di kamar tidurnya. Sepi dan sunyi, seolah semua orang di rumah itu enggan bangun lebih awal.Dinda melangkah keluar dari kamar, berjalan perlahan menyusuri lorong panjang yang terasa lebih mencekam daripada yang ia ingat. Suara langkah kakinya bergema, dan setiap sudut ruangan terasa seperti mengawasinya.Setelah menyusuri lorong, Dinda tiba di ruang tamu. Di sana, dia melihat seorang wanita yang belum pernah ia temui sebelumnya.Wanita itu berambut panjang dan berwajah manis, mengenakan gaun sederhana yang tampak elegan.Ketika mata mereka bertemu, wanita itu tersenyum lebar, tetapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Dinda merinding."Selamat pagi. Kamu pasti Dinda, ya?" sapa wanita itu dengan suara yang lembut. "Aku Laura.""Selamat pagi," jawab Dinda sambil membalas senyum tipis. Dia mengangguk
Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan lelah dan gelisah setelah malam yang dipenuhi ketidakpastian dan kekhawatiran. Udara pagi yang seharusnya menyegarkan terasa dingin menusuk, seolah mempertegas perasaan terasing yang telah melingkupi hatinya sejak malam sebelumnya. Dinda duduk di tepi ranjang, merenung sejenak sambil memandang keluar jendela. Namun, pemandangan yang tidak familiar baginya hanya memperburuk suasana hatinya. Rumah besar keluarga Wiradana masih terasa seperti tempat asing, dan Dinda merasakan kesepian yang menyakitkan.Dengan langkah berat, Dinda melangkah keluar dari kamar, berusaha mengalihkan pikirannya. Di koridor, suara langkah kaki Eva terdengar mendekat. Dinda merasakan ketegangan merambat di punggungnya. Eva, wanita kepercayaan ayahnya, Tio Mahadika, telah berada di rumah ini bahkan sebelum Dinda dilahirkan. Dengan usia yang terpaut sepuluh tahun di atas Dinda, Eva memiliki reputasi sebagai seseorang yang keras dan tak berperasaan.Saat Dinda tiba di ruan
Malam telah menyelimuti rumah besar itu dengan tenang, tetapi tidak ada kedamaian yang Dinda rasakan. Kamar pengantin yang seharusnya penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan justru terasa dingin, baik secara fisik maupun emosional. Dinda duduk di tepi ranjang, gaun tidur sutra yang dikenakannya terasa dingin di kulit. Ia menatap ranjang yang besar di depannya, terlalu besar untuk dua orang yang nyaris tidak saling mengenal.Ragil sudah berbaring di sisi lain ranjang. Dinda tidak bisa melihat wajahnya karena Ragil memalingkan tubuhnya, membelakanginya. Hanya punggung Ragil yang terlihat, kaku dan tegas, seperti tembok yang tidak bisa ditembus. Di antara mereka, ada jarak lebar yang seolah menjadi penghalang tak kasat mata, menegaskan bahwa kehadiran mereka di sini hanyalah formalitas.Dinda menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya tidak bisa berhenti berputar, memikirkan pertemuan singkat mereka di siang tadi. Tatapan mata Ragil yang dingin dan tanpa ekspresi
Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, seolah-olah waktu berlalu tanpa peduli pada apa yang dirasakan Dinda. Pagi itu, Dinda duduk di depan cermin besar di kamarnya. Sinar matahari masuk melalui jendela, memantul di permukaan cermin dan membuat gaun pengantinnya yang putih berkilauan. Gaun itu cantik, dihiasi dengan renda halus dan manik-manik kecil yang berkilauan. Tapi bagi Dinda, gaun itu terasa seperti seragam perang yang akan membawanya ke medan yang penuh ketidakpastian.Di belakang Dinda, Ratna Mahardika berdiri dengan senyuman lebar, matanya penuh dengan kebanggaan. "Kamu cantik sekali, Dinda," katanya, tanpa menyadari betapa kosongnya hati putrinya. Dinda hanya mengangguk, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Tatapan matanya yang kosong tertuju pada bayangannya di cermin, namun pikirannya melayang jauh dari sana.Setelah persiapan selesai, Dinda dibawa keluar dari kamarnya oleh dua pengiring pengantin, teman-teman masa kecilnya yang selalu ada di setiap momen penting dalam hi