Share

Bab 5: Musuh dalam Rumah

Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Rumah besar keluarga Wiradana terasa semakin dingin dan asing, meskipun sinar matahari mencoba menembus jendela besar di kamar tidurnya. Sepi dan sunyi, seolah semua orang di rumah itu enggan bangun lebih awal.

Dinda melangkah keluar dari kamar, berjalan perlahan menyusuri lorong panjang yang terasa lebih mencekam daripada yang ia ingat. Suara langkah kakinya bergema, dan setiap sudut ruangan terasa seperti mengawasinya.

Setelah menyusuri lorong, Dinda tiba di ruang tamu. Di sana, dia melihat seorang wanita yang belum pernah ia temui sebelumnya.

Wanita itu berambut panjang dan berwajah manis, mengenakan gaun sederhana yang tampak elegan.

Ketika mata mereka bertemu, wanita itu tersenyum lebar, tetapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Dinda merinding.

"Selamat pagi. Kamu pasti Dinda, ya?" sapa wanita itu dengan suara yang lembut. "Aku Laura."

"Selamat pagi," jawab Dinda sambil membalas senyum tipis. Dia mengangguk sedikit, mencoba bersikap ramah meski hatinya berdebar.

Laura berjalan mendekat, mengamati Dinda dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Kamu cantik sekali. Aku mendengar banyak hal baik tentangmu," kata Laura dengan nada manis yang membuat Dinda sedikit tidak nyaman.

"Oh, terima kasih," balas Dinda sambil tersenyum kaku. Dia merasa Laura terlalu ramah untuk seseorang yang baru ditemuinya. Ada nada sinis yang samar dalam setiap kata yang diucapkan Laura, namun Dinda tidak bisa memastikan apakah itu hanya perasaannya saja.

Mereka berdua kemudian duduk di ruang tamu yang megah itu. Laura mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan ringan tentang kehidupan Dinda sebelum menikah.

"Jadi, bagaimana perasaanmu tentang Ragil? Sudah nyaman tinggal di sini?" tanya Laura sambil menatap Dinda dengan penuh perhatian.

Dinda merasa sedikit terpojok oleh pertanyaan itu.

"Ya, semuanya baik-baik saja. Masih menyesuaikan diri, tapi aku baik-baik saja," jawab Dinda sambil berusaha tetap tenang.

Laura mengangguk sambil tersenyum. "Itu bagus. Tapi kamu tahu, tinggal di rumah besar seperti ini kadang bisa membuat seseorang merasa kesepian," ucapnya sambil menyisipkan sedikit nada prihatin dalam suaranya.

Dinda hanya tersenyum tipis, tidak tahu harus menjawab apa. Di dalam hatinya, dia merasa ada maksud lain di balik kata-kata Laura. Seolah-olah Laura sedang menguji atau menggali informasi lebih jauh tentang dirinya.

Saat mereka sedang berbicara, tiba-tiba Ragil muncul dari arah dapur. Wajahnya tetap dingin dan serius, seperti biasanya. Ketika melihat Laura dan Dinda duduk bersama, Ragil menghampiri mereka dengan langkah mantap.

"Selamat pagi," sapanya singkat sambil melihat ke arah Dinda, lalu beralih ke Laura. Ekspresinya tidak banyak berubah, tetapi Dinda merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam cara Ragil melihat Laura.

"Selamat pagi, Kak Ragil!" sapa Laura dengan semangat. Senyumnya semakin lebar saat Ragil mendekat. "Aku dan Dinda sedang ngobrol santai. Aku senang sekali akhirnya bisa lebih mengenalnya."

Ragil hanya mengangguk, lalu duduk di kursi di sebelah Laura. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal yang tampak sepele, seperti cuaca dan rencana hari itu.

Namun, Dinda merasakan ada jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Ragil. Setiap kali Laura berbicara, Ragil tampak lebih tertarik, dan Dinda semakin terasing.

"Kak Ragil, aku sudah menyiapkan teh kesukaanmu di dapur," ucap Laura sambil berdiri. "Biar aku ambilkan."

"Terima kasih, Laura," jawab Ragil sambil tersenyum kecil, sesuatu yang jarang Dinda lihat di wajahnya.

Dinda hanya bisa duduk diam, merasa semakin tidak nyaman dengan situasi ini. Setelah Laura pergi ke dapur, Dinda mencoba untuk memulai percakapan dengan Ragil, tetapi suaminya itu tampak tidak terlalu tertarik untuk berbicara.

"Kak, ada yang ingin kubicarakan..." Dinda mencoba membuka pembicaraan, tetapi suara langkah kaki Laura yang kembali dengan cepat menghentikan niatnya. Laura datang membawa nampan dengan dua cangkir teh dan meletakkannya di meja.

"Sangat menyenangkan bisa duduk bersama kalian berdua seperti ini," kata Laura sambil menyerahkan cangkir teh kepada Ragil. "Keluarga kita akan semakin kuat jika kita selalu bersama-sama."

Ragil menerima teh itu dengan anggukan, sementara Dinda hanya bisa menatap cangkir teh di depannya dengan perasaan aneh. Dia merasa seolah-olah ada perang yang sedang dimulai di rumah ini, dan Laura adalah musuh yang harus diwaspadai.

Setelah beberapa saat, Laura pamit untuk meninggalkan mereka berdua. "Aku ada urusan sebentar, tapi aku akan kembali segera," katanya sambil tersenyum manis. Dinda hanya mengangguk, masih tenggelam dalam pikirannya.

Begitu Laura pergi, keheningan kembali menyelimuti ruangan. Ragil tetap diam, menyesap tehnya dengan tenang. Dinda merasa harus mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata seakan sulit keluar dari mulutnya.

"Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan Laura," kata Dinda akhirnya, dengan suara pelan.

Ragil menoleh padanya, tetapi ekspresinya tetap tidak berubah. "Tidak sopan kamu, Dinda, Laura adalah bagian dari keluarga ini. Dia sudah seperti adik bagiku," jawabnya singkat.

Mendengar jawaban Ragil yang dingin dan tajam, Dinda langsung menutup mulutnya, dia segera menyadari siapa dirinya di keluarga ini, dan baru beberapa hari tinggal di kediaman Wiradana ini.

Dinda ingin membalas, tetapi dia tahu bahwa Ragil tidak akan mendengarkan. Dia memutuskan untuk diam dan menyimpan kekhawatirannya untuk dirinya sendiri.

Setelah beberapa saat, Ragil juga pamit untuk pergi bekerja. "Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang tidak perlu," ucapnya dingin sebelum beranjak pergi.

Dinda hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan. Setelah Ragil pergi, dia kembali ke kamarnya, mencoba untuk menghilangkan perasaan gelisah yang semakin kuat.

Ketika dia sampai di kamar, Dinda terkejut mendapati pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Dia merasa yakin bahwa tadi pagi dia sudah menutup pintu dengan rapat. Dengan hati-hati, dia membuka pintu sepenuhnya dan melihat sekeliling kamar. Tidak ada yang berubah, tetapi ada sesuatu yang aneh di lantai.

Dinda melihat selembar kertas tergeletak di dekat pintu. Dia memungutnya dan membuka lipatan kertas itu dengan tangan gemetar. Ada sebuah pesan singkat yang tertulis di sana, dengan tinta merah yang tampak mencolok di atas kertas putih:

"Kamu tidak tahu siapa musuhmu sebenarnya."

Dinda merasakan darahnya membeku. Siapa yang menulis pesan ini? Apa maksudnya? Apakah ini peringatan, atau ancaman?

Jantung Dinda berdebar kencang, dan dia tahu bahwa sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di rumah ini. Dengan tangan yang masih gemetar, Dinda meremas kertas itu, menyadari bahwa musuh yang sebenarnya mungkin lebih dekat dari yang ia kira.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status