Share

Bab 5: Musuh dalam Rumah

Penulis: Jiebon Swadjiwa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Rumah besar keluarga Wiradana terasa semakin dingin dan asing, meskipun sinar matahari mencoba menembus jendela besar di kamar tidurnya. Sepi dan sunyi, seolah semua orang di rumah itu enggan bangun lebih awal.

Dinda melangkah keluar dari kamar, berjalan perlahan menyusuri lorong panjang yang terasa lebih mencekam daripada yang ia ingat. Suara langkah kakinya bergema, dan setiap sudut ruangan terasa seperti mengawasinya.

Setelah menyusuri lorong, Dinda tiba di ruang tamu. Di sana, dia melihat seorang wanita yang belum pernah ia temui sebelumnya.

Wanita itu berambut panjang dan berwajah manis, mengenakan gaun sederhana yang tampak elegan.

Ketika mata mereka bertemu, wanita itu tersenyum lebar, tetapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Dinda merinding.

"Selamat pagi. Kamu pasti Dinda, ya?" sapa wanita itu dengan suara yang lembut. "Aku Laura."

"Selamat pagi," jawab Dinda sambil membalas senyum tipis. Dia mengangguk sedikit, mencoba bersikap ramah meski hatinya berdebar.

Laura berjalan mendekat, mengamati Dinda dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Kamu cantik sekali. Aku mendengar banyak hal baik tentangmu," kata Laura dengan nada manis yang membuat Dinda sedikit tidak nyaman.

"Oh, terima kasih," balas Dinda sambil tersenyum kaku. Dia merasa Laura terlalu ramah untuk seseorang yang baru ditemuinya. Ada nada sinis yang samar dalam setiap kata yang diucapkan Laura, namun Dinda tidak bisa memastikan apakah itu hanya perasaannya saja.

Mereka berdua kemudian duduk di ruang tamu yang megah itu. Laura mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan ringan tentang kehidupan Dinda sebelum menikah.

"Jadi, bagaimana perasaanmu tentang Ragil? Sudah nyaman tinggal di sini?" tanya Laura sambil menatap Dinda dengan penuh perhatian.

Dinda merasa sedikit terpojok oleh pertanyaan itu.

"Ya, semuanya baik-baik saja. Masih menyesuaikan diri, tapi aku baik-baik saja," jawab Dinda sambil berusaha tetap tenang.

Laura mengangguk sambil tersenyum. "Itu bagus. Tapi kamu tahu, tinggal di rumah besar seperti ini kadang bisa membuat seseorang merasa kesepian," ucapnya sambil menyisipkan sedikit nada prihatin dalam suaranya.

Dinda hanya tersenyum tipis, tidak tahu harus menjawab apa. Di dalam hatinya, dia merasa ada maksud lain di balik kata-kata Laura. Seolah-olah Laura sedang menguji atau menggali informasi lebih jauh tentang dirinya.

Saat mereka sedang berbicara, tiba-tiba Ragil muncul dari arah dapur. Wajahnya tetap dingin dan serius, seperti biasanya. Ketika melihat Laura dan Dinda duduk bersama, Ragil menghampiri mereka dengan langkah mantap.

"Selamat pagi," sapanya singkat sambil melihat ke arah Dinda, lalu beralih ke Laura. Ekspresinya tidak banyak berubah, tetapi Dinda merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam cara Ragil melihat Laura.

"Selamat pagi, Kak Ragil!" sapa Laura dengan semangat. Senyumnya semakin lebar saat Ragil mendekat. "Aku dan Dinda sedang ngobrol santai. Aku senang sekali akhirnya bisa lebih mengenalnya."

Ragil hanya mengangguk, lalu duduk di kursi di sebelah Laura. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal yang tampak sepele, seperti cuaca dan rencana hari itu.

Namun, Dinda merasakan ada jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Ragil. Setiap kali Laura berbicara, Ragil tampak lebih tertarik, dan Dinda semakin terasing.

"Kak Ragil, aku sudah menyiapkan teh kesukaanmu di dapur," ucap Laura sambil berdiri. "Biar aku ambilkan."

"Terima kasih, Laura," jawab Ragil sambil tersenyum kecil, sesuatu yang jarang Dinda lihat di wajahnya.

Dinda hanya bisa duduk diam, merasa semakin tidak nyaman dengan situasi ini. Setelah Laura pergi ke dapur, Dinda mencoba untuk memulai percakapan dengan Ragil, tetapi suaminya itu tampak tidak terlalu tertarik untuk berbicara.

"Kak, ada yang ingin kubicarakan..." Dinda mencoba membuka pembicaraan, tetapi suara langkah kaki Laura yang kembali dengan cepat menghentikan niatnya. Laura datang membawa nampan dengan dua cangkir teh dan meletakkannya di meja.

"Sangat menyenangkan bisa duduk bersama kalian berdua seperti ini," kata Laura sambil menyerahkan cangkir teh kepada Ragil. "Keluarga kita akan semakin kuat jika kita selalu bersama-sama."

Ragil menerima teh itu dengan anggukan, sementara Dinda hanya bisa menatap cangkir teh di depannya dengan perasaan aneh. Dia merasa seolah-olah ada perang yang sedang dimulai di rumah ini, dan Laura adalah musuh yang harus diwaspadai.

Setelah beberapa saat, Laura pamit untuk meninggalkan mereka berdua. "Aku ada urusan sebentar, tapi aku akan kembali segera," katanya sambil tersenyum manis. Dinda hanya mengangguk, masih tenggelam dalam pikirannya.

Begitu Laura pergi, keheningan kembali menyelimuti ruangan. Ragil tetap diam, menyesap tehnya dengan tenang. Dinda merasa harus mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata seakan sulit keluar dari mulutnya.

"Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan Laura," kata Dinda akhirnya, dengan suara pelan.

Ragil menoleh padanya, tetapi ekspresinya tetap tidak berubah. "Tidak sopan kamu, Dinda, Laura adalah bagian dari keluarga ini. Dia sudah seperti adik bagiku," jawabnya singkat.

Mendengar jawaban Ragil yang dingin dan tajam, Dinda langsung menutup mulutnya, dia segera menyadari siapa dirinya di keluarga ini, dan baru beberapa hari tinggal di kediaman Wiradana ini.

Dinda ingin membalas, tetapi dia tahu bahwa Ragil tidak akan mendengarkan. Dia memutuskan untuk diam dan menyimpan kekhawatirannya untuk dirinya sendiri.

Setelah beberapa saat, Ragil juga pamit untuk pergi bekerja. "Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang tidak perlu," ucapnya dingin sebelum beranjak pergi.

Dinda hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan. Setelah Ragil pergi, dia kembali ke kamarnya, mencoba untuk menghilangkan perasaan gelisah yang semakin kuat.

Ketika dia sampai di kamar, Dinda terkejut mendapati pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Dia merasa yakin bahwa tadi pagi dia sudah menutup pintu dengan rapat. Dengan hati-hati, dia membuka pintu sepenuhnya dan melihat sekeliling kamar. Tidak ada yang berubah, tetapi ada sesuatu yang aneh di lantai.

Dinda melihat selembar kertas tergeletak di dekat pintu. Dia memungutnya dan membuka lipatan kertas itu dengan tangan gemetar. Ada sebuah pesan singkat yang tertulis di sana, dengan tinta merah yang tampak mencolok di atas kertas putih:

"Kamu tidak tahu siapa musuhmu sebenarnya."

Dinda merasakan darahnya membeku. Siapa yang menulis pesan ini? Apa maksudnya? Apakah ini peringatan, atau ancaman?

Jantung Dinda berdebar kencang, dan dia tahu bahwa sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di rumah ini. Dengan tangan yang masih gemetar, Dinda meremas kertas itu, menyadari bahwa musuh yang sebenarnya mungkin lebih dekat dari yang ia kira.

***

Bab terkait

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 6: Di Bawah Ancaman

    Dinda duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Cahaya redup dari lampu meja membuat bayangannya terlihat samar di dinding kamar. Di tangannya, ada sobekan kertas yang belum lama dia hancurkan. Pesan misterius yang diselipkan di bawah pintu kamar itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Siapa yang menulis pesan itu? Apa tujuannya? Tidak mungkin seseorang asal berani meninggalkan pesan di tempat yang seharusnya aman dari siapa pun. Kamar ini seharusnya hanya bisa dimasuki oleh dirinya dan... Eva.Dinda menoleh sekilas ke pintu kamar yang tertutup rapat. Dengan cepat, dia meremas kertas itu, menghancurkannya menjadi serpihan yang lebih kecil sebelum membuangnya ke tempat sampah kecil di sisi tempat tudirnya. Tak ada yang boleh tahu. Terutama Eva.Baru saja Dinda akan merebahkan tubuhnya di kasur, suara ketukan yang keras terdengar dari pintu kamar. Detik berikutnya, tanpa menunggu persetujuan, Eva masuk. Wajahnya kaku seperti biasa, tidak menunjukkan emosi apapun. Dinda menegakkan tub

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   BAB 7: Bergabung di Perusahaan

    Dinda berdiri di depan cermin, mematut dirinya. Pikirannya berkecamuk. Setelah semua yang terjadi antara dirinya dan keluarga Ragil, hari ini adalah langkah pertama dalam menerima tawaran Tuan Wiradana. Keputusan ini tidak datang dengan mudah, tetapi Dinda tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga hubungan baik dengan Ragil dan keluarganya, sambil tetap menjalankan misi yang diberikan oleh Tio Mahardika. Hatinya berdesir antara rasa takut dan keinginan untuk berhasil.Sebelum berangkat, Dinda mengingat kembali percakapan terakhirnya dengan Tuan Wiradana.“Saya ingin kau bergabung dengan kami, Dinda. Kau pintar, dan saya yakin kau bisa membantu perusahaan ini berkembang,” ujar Tuan Wiradana dengan nada tegas.Dinda kala itu hanya mengangguk pelan. “Baik, Ayah. Saya akan coba.”Kini, mengenakan pakaian formal yang rapi, Dinda berusaha meyakinkan dirinya bahwa keputusan ini benar. Dengan langkah mantap, ia meninggalkan kediaman dan menuju kantor keluarga Wiradana.***Sesampainya

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 8: Dilema Dinda

    Sudah sebulan Dinda bekerja di perusahaan milik mertuanya, Tuan Wiradana. Selama itu pula, dia terus berusaha menyeimbangkan kehidupan pekerjaannya dengan tekanan yang datang dari ayahnya, Tio Mahardika. Pria tua itu, dengan ambisi dan keserakahannya, terus memaksanya mencuri file penting dari perusahaan mertuanya. Namun, hati Dinda berontak. Setiap hari dia harus melawan keinginan untuk menuruti permintaan ayahnya.Di ruang kerja Tuan Wiradana yang besar dan elegan, Dinda berdiri di meja kerja tuan Wiradana. Cahaya matahari menerobos dari jendela besar, membuat ruangan terasa hangat, tetapi tidak cukup untuk menenangkan hati Dinda yang gelisah. Tuan Wiradana tampak duduk di kursi besar di depan meja kerjanya, tersenyum puas sambil memeriksa laporan-laporan yang telah Dinda selesaikan."Kerjamu luar biasa, Dinda," puji Tuan Wiradana sambil menatap Dinda dengan senyum bangga. "Aku benar-benar terkesan dengan caramu mengelola proyek ini. Jarang sekali ada yang bisa menangani masalah sec

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 9: Keterpurukan dan Manipulasi

    Pagi harinya, Dinda terbangun dengan rasa sakit yang mengganggu setiap gerakannya. Rasa nyeri di punggungnya membuatnya sulit untuk bangkit dari tempat tidur. Dia memandang cermin kecil di samping tempat tidur dan melihat betapa parahnya luka-luka yang ada di punggungnya. Bekas cambukan merah membara, membuatnya sulit untuk bergerak tanpa menjerit. Rasa sakit fisik ini adalah gambaran dari penderitaan emosional yang lebih dalam, yang belum sepenuhnya dia sadari.Mia, pelayan pribadinya, mendekat dengan hati-hati, membawa kotak peralatan medis. Mia adalah wanita muda dengan wajah penuh kepedihan. Tangannya bergetar saat dia membuka kotak dan mengeluarkan salep. "Maafkan aku, Nona," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku tidak bisa membiarkanmu menderita seperti ini."Dinda hanya bisa mengangguk lemah, berusaha menahan air mata. Setiap sentuhan Mia terasa seperti api yang membakar, namun Dinda tahu bahwa Mia hanya berusaha melakukan yang t

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 10: Ragil Mulai Perhatian pada Dinda

    Ruang makan keluarga Wiradana terasa hangat, meski pagi itu belum sepenuhnya cerah. Pagi yang tenang diisi oleh obrolan ringan antara anggota keluarga yang tengah menikmati sarapan. Di meja makan yang besar dan elegan, Nyonya Wiradana memimpin percakapan dengan senyum lembutnya, memberikan suasana yang penuh kehangatan meskipun, di bawah permukaan, ada ketegangan yang tersirat. Ragil duduk di ujung meja, dengan ekspresi datar yang sudah menjadi ciri khasnya. Di sampingnya, Laura, dengan senyum tipis yang tak pernah sepenuhnya tulus, menyimak setiap kata yang terucap."Raka, kabarnya proyek barumu berjalan lancar?" tanya Nyonya Wiradana sambil meletakkan sendok ke piringnya dengan anggun.Raka mengangguk, tampak santai. "Iya, Bu. Kami baru menandatangani kontrak besar minggu lalu. Semua berkat tim yang solid."Nyonya Wiradana tersenyum bangga, namun matanya beralih pada Ragil yang masih diam dan terlihat terputus dari percakapan. Di sebelahnya, Laura menunggu giliran untuk menunjukkan

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Prolog

    Hujan turun dengan deras di malam yang sunyi, menciptakan irama tak beraturan yang menghantam genting-genting tua di atas rumah besar keluarga Wiradana. Di dalam kamar yang remang-remang, Dinda duduk di tepi ranjangnya, memandangi tetesan air yang mengalir di jendela. Matanya yang sayu dan lelah menyiratkan kebingungan yang tak kunjung hilang, seolah jiwanya terperangkap dalam pusaran rasa sakit dan ketidakpastian.Dinda menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Seluruh hidupnya terasa seperti potongan-potongan teka-teki yang tak pernah bisa ia satukan. Pernikahannya dengan Ragil, anak kedua dari keluarga Wiradana, adalah potongan paling besar dalam teka-teki itu—satu bagian yang selalu tampak salah, tak peduli bagaimana ia mencoba menyesuaikannya."Apa yang sedang aku lakukan di sini?" gumam Dinda pelan, hampir seperti bisikan yang tak ingin terdengar oleh siapa pun. Kata-kata itu terbang bersama gemuruh hujan, hilang dalam dentuman derasnya. Tapi pertanyaan

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 1: Gaun Pengantin di Ujung Malam

    Di sebuah kamar megah dengan nuansa putih dan emas, Dinda berdiri terdiam di depan cermin besar berbingkai emas. Cermin itu memantulkan bayangan dirinya dalam gaun pengantin putih yang memukau. Gaun itu menjuntai ke lantai, dipenuhi detail renda yang halus, simbol dari kemewahan dan keanggunan. Namun, meskipun penampilannya sempurna, di dalam hatinya, Dinda merasa kosong.Dia mengamati wajahnya yang bercahaya, tetapi sorot matanya sendu, seperti orang asing yang terperangkap dalam cermin. Gaun yang melekat di tubuhnya terasa seperti beban yang menekan, menutupi seluruh hasrat dan kebebasan yang selama ini dia dambakan.Gaun ini bukan pilihannya. Ibu tirinya, Ratna Mahardika, yang memilihnya, sama seperti banyak hal dalam hidup Dinda yang diatur oleh orang lain. Sejak kecil, Dinda selalu diwajibkan mengikuti aturan yang ditetapkan oleh keluarganya. Wajah cantiknya menjadi alasan utama mengapa Dinda selalu harus tampil sempurna di mata dunia, seolah-olah dia hanyalah barang dagangan yan

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 2: Ikrar yang Tidak Ingin Didengar

    Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, seolah-olah waktu berlalu tanpa peduli pada apa yang dirasakan Dinda. Pagi itu, Dinda duduk di depan cermin besar di kamarnya. Sinar matahari masuk melalui jendela, memantul di permukaan cermin dan membuat gaun pengantinnya yang putih berkilauan. Gaun itu cantik, dihiasi dengan renda halus dan manik-manik kecil yang berkilauan. Tapi bagi Dinda, gaun itu terasa seperti seragam perang yang akan membawanya ke medan yang penuh ketidakpastian.Di belakang Dinda, Ratna Mahardika berdiri dengan senyuman lebar, matanya penuh dengan kebanggaan. "Kamu cantik sekali, Dinda," katanya, tanpa menyadari betapa kosongnya hati putrinya. Dinda hanya mengangguk, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Tatapan matanya yang kosong tertuju pada bayangannya di cermin, namun pikirannya melayang jauh dari sana.Setelah persiapan selesai, Dinda dibawa keluar dari kamarnya oleh dua pengiring pengantin, teman-teman masa kecilnya yang selalu ada di setiap momen penting dalam hi

Bab terbaru

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 10: Ragil Mulai Perhatian pada Dinda

    Ruang makan keluarga Wiradana terasa hangat, meski pagi itu belum sepenuhnya cerah. Pagi yang tenang diisi oleh obrolan ringan antara anggota keluarga yang tengah menikmati sarapan. Di meja makan yang besar dan elegan, Nyonya Wiradana memimpin percakapan dengan senyum lembutnya, memberikan suasana yang penuh kehangatan meskipun, di bawah permukaan, ada ketegangan yang tersirat. Ragil duduk di ujung meja, dengan ekspresi datar yang sudah menjadi ciri khasnya. Di sampingnya, Laura, dengan senyum tipis yang tak pernah sepenuhnya tulus, menyimak setiap kata yang terucap."Raka, kabarnya proyek barumu berjalan lancar?" tanya Nyonya Wiradana sambil meletakkan sendok ke piringnya dengan anggun.Raka mengangguk, tampak santai. "Iya, Bu. Kami baru menandatangani kontrak besar minggu lalu. Semua berkat tim yang solid."Nyonya Wiradana tersenyum bangga, namun matanya beralih pada Ragil yang masih diam dan terlihat terputus dari percakapan. Di sebelahnya, Laura menunggu giliran untuk menunjukkan

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 9: Keterpurukan dan Manipulasi

    Pagi harinya, Dinda terbangun dengan rasa sakit yang mengganggu setiap gerakannya. Rasa nyeri di punggungnya membuatnya sulit untuk bangkit dari tempat tidur. Dia memandang cermin kecil di samping tempat tidur dan melihat betapa parahnya luka-luka yang ada di punggungnya. Bekas cambukan merah membara, membuatnya sulit untuk bergerak tanpa menjerit. Rasa sakit fisik ini adalah gambaran dari penderitaan emosional yang lebih dalam, yang belum sepenuhnya dia sadari.Mia, pelayan pribadinya, mendekat dengan hati-hati, membawa kotak peralatan medis. Mia adalah wanita muda dengan wajah penuh kepedihan. Tangannya bergetar saat dia membuka kotak dan mengeluarkan salep. "Maafkan aku, Nona," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku tidak bisa membiarkanmu menderita seperti ini."Dinda hanya bisa mengangguk lemah, berusaha menahan air mata. Setiap sentuhan Mia terasa seperti api yang membakar, namun Dinda tahu bahwa Mia hanya berusaha melakukan yang t

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 8: Dilema Dinda

    Sudah sebulan Dinda bekerja di perusahaan milik mertuanya, Tuan Wiradana. Selama itu pula, dia terus berusaha menyeimbangkan kehidupan pekerjaannya dengan tekanan yang datang dari ayahnya, Tio Mahardika. Pria tua itu, dengan ambisi dan keserakahannya, terus memaksanya mencuri file penting dari perusahaan mertuanya. Namun, hati Dinda berontak. Setiap hari dia harus melawan keinginan untuk menuruti permintaan ayahnya.Di ruang kerja Tuan Wiradana yang besar dan elegan, Dinda berdiri di meja kerja tuan Wiradana. Cahaya matahari menerobos dari jendela besar, membuat ruangan terasa hangat, tetapi tidak cukup untuk menenangkan hati Dinda yang gelisah. Tuan Wiradana tampak duduk di kursi besar di depan meja kerjanya, tersenyum puas sambil memeriksa laporan-laporan yang telah Dinda selesaikan."Kerjamu luar biasa, Dinda," puji Tuan Wiradana sambil menatap Dinda dengan senyum bangga. "Aku benar-benar terkesan dengan caramu mengelola proyek ini. Jarang sekali ada yang bisa menangani masalah sec

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   BAB 7: Bergabung di Perusahaan

    Dinda berdiri di depan cermin, mematut dirinya. Pikirannya berkecamuk. Setelah semua yang terjadi antara dirinya dan keluarga Ragil, hari ini adalah langkah pertama dalam menerima tawaran Tuan Wiradana. Keputusan ini tidak datang dengan mudah, tetapi Dinda tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menjaga hubungan baik dengan Ragil dan keluarganya, sambil tetap menjalankan misi yang diberikan oleh Tio Mahardika. Hatinya berdesir antara rasa takut dan keinginan untuk berhasil.Sebelum berangkat, Dinda mengingat kembali percakapan terakhirnya dengan Tuan Wiradana.“Saya ingin kau bergabung dengan kami, Dinda. Kau pintar, dan saya yakin kau bisa membantu perusahaan ini berkembang,” ujar Tuan Wiradana dengan nada tegas.Dinda kala itu hanya mengangguk pelan. “Baik, Ayah. Saya akan coba.”Kini, mengenakan pakaian formal yang rapi, Dinda berusaha meyakinkan dirinya bahwa keputusan ini benar. Dengan langkah mantap, ia meninggalkan kediaman dan menuju kantor keluarga Wiradana.***Sesampainya

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 6: Di Bawah Ancaman

    Dinda duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Cahaya redup dari lampu meja membuat bayangannya terlihat samar di dinding kamar. Di tangannya, ada sobekan kertas yang belum lama dia hancurkan. Pesan misterius yang diselipkan di bawah pintu kamar itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Siapa yang menulis pesan itu? Apa tujuannya? Tidak mungkin seseorang asal berani meninggalkan pesan di tempat yang seharusnya aman dari siapa pun. Kamar ini seharusnya hanya bisa dimasuki oleh dirinya dan... Eva.Dinda menoleh sekilas ke pintu kamar yang tertutup rapat. Dengan cepat, dia meremas kertas itu, menghancurkannya menjadi serpihan yang lebih kecil sebelum membuangnya ke tempat sampah kecil di sisi tempat tudirnya. Tak ada yang boleh tahu. Terutama Eva.Baru saja Dinda akan merebahkan tubuhnya di kasur, suara ketukan yang keras terdengar dari pintu kamar. Detik berikutnya, tanpa menunggu persetujuan, Eva masuk. Wajahnya kaku seperti biasa, tidak menunjukkan emosi apapun. Dinda menegakkan tub

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 5: Musuh dalam Rumah

    Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Rumah besar keluarga Wiradana terasa semakin dingin dan asing, meskipun sinar matahari mencoba menembus jendela besar di kamar tidurnya. Sepi dan sunyi, seolah semua orang di rumah itu enggan bangun lebih awal.Dinda melangkah keluar dari kamar, berjalan perlahan menyusuri lorong panjang yang terasa lebih mencekam daripada yang ia ingat. Suara langkah kakinya bergema, dan setiap sudut ruangan terasa seperti mengawasinya.Setelah menyusuri lorong, Dinda tiba di ruang tamu. Di sana, dia melihat seorang wanita yang belum pernah ia temui sebelumnya.Wanita itu berambut panjang dan berwajah manis, mengenakan gaun sederhana yang tampak elegan.Ketika mata mereka bertemu, wanita itu tersenyum lebar, tetapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Dinda merinding."Selamat pagi. Kamu pasti Dinda, ya?" sapa wanita itu dengan suara yang lembut. "Aku Laura.""Selamat pagi," jawab Dinda sambil membalas senyum tipis. Dia mengangguk

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 4: Eva Sang Pengawas

    Pagi itu, Dinda terbangun dengan perasaan lelah dan gelisah setelah malam yang dipenuhi ketidakpastian dan kekhawatiran. Udara pagi yang seharusnya menyegarkan terasa dingin menusuk, seolah mempertegas perasaan terasing yang telah melingkupi hatinya sejak malam sebelumnya. Dinda duduk di tepi ranjang, merenung sejenak sambil memandang keluar jendela. Namun, pemandangan yang tidak familiar baginya hanya memperburuk suasana hatinya. Rumah besar keluarga Wiradana masih terasa seperti tempat asing, dan Dinda merasakan kesepian yang menyakitkan.Dengan langkah berat, Dinda melangkah keluar dari kamar, berusaha mengalihkan pikirannya. Di koridor, suara langkah kaki Eva terdengar mendekat. Dinda merasakan ketegangan merambat di punggungnya. Eva, wanita kepercayaan ayahnya, Tio Mahadika, telah berada di rumah ini bahkan sebelum Dinda dilahirkan. Dengan usia yang terpaut sepuluh tahun di atas Dinda, Eva memiliki reputasi sebagai seseorang yang keras dan tak berperasaan.Saat Dinda tiba di ruan

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 3: Malam Pertama yang Dingin

    Malam telah menyelimuti rumah besar itu dengan tenang, tetapi tidak ada kedamaian yang Dinda rasakan. Kamar pengantin yang seharusnya penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan justru terasa dingin, baik secara fisik maupun emosional. Dinda duduk di tepi ranjang, gaun tidur sutra yang dikenakannya terasa dingin di kulit. Ia menatap ranjang yang besar di depannya, terlalu besar untuk dua orang yang nyaris tidak saling mengenal.Ragil sudah berbaring di sisi lain ranjang. Dinda tidak bisa melihat wajahnya karena Ragil memalingkan tubuhnya, membelakanginya. Hanya punggung Ragil yang terlihat, kaku dan tegas, seperti tembok yang tidak bisa ditembus. Di antara mereka, ada jarak lebar yang seolah menjadi penghalang tak kasat mata, menegaskan bahwa kehadiran mereka di sini hanyalah formalitas.Dinda menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya tidak bisa berhenti berputar, memikirkan pertemuan singkat mereka di siang tadi. Tatapan mata Ragil yang dingin dan tanpa ekspresi

  • Bunga Beracun Keluarga Suamiku   Bab 2: Ikrar yang Tidak Ingin Didengar

    Hari pernikahan itu tiba dengan cepat, seolah-olah waktu berlalu tanpa peduli pada apa yang dirasakan Dinda. Pagi itu, Dinda duduk di depan cermin besar di kamarnya. Sinar matahari masuk melalui jendela, memantul di permukaan cermin dan membuat gaun pengantinnya yang putih berkilauan. Gaun itu cantik, dihiasi dengan renda halus dan manik-manik kecil yang berkilauan. Tapi bagi Dinda, gaun itu terasa seperti seragam perang yang akan membawanya ke medan yang penuh ketidakpastian.Di belakang Dinda, Ratna Mahardika berdiri dengan senyuman lebar, matanya penuh dengan kebanggaan. "Kamu cantik sekali, Dinda," katanya, tanpa menyadari betapa kosongnya hati putrinya. Dinda hanya mengangguk, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Tatapan matanya yang kosong tertuju pada bayangannya di cermin, namun pikirannya melayang jauh dari sana.Setelah persiapan selesai, Dinda dibawa keluar dari kamarnya oleh dua pengiring pengantin, teman-teman masa kecilnya yang selalu ada di setiap momen penting dalam hi

DMCA.com Protection Status