Share

Bab 2: Ikrar yang Tidak Ingin Didengar

Hari pernikahan itu  tiba dengan cepat, seolah-olah waktu berlalu tanpa peduli pada apa yang dirasakan Dinda. Pagi itu, Dinda duduk di depan cermin besar di kamarnya. Sinar matahari masuk melalui jendela, memantul di permukaan cermin dan membuat gaun pengantinnya yang putih berkilauan. Gaun itu cantik, dihiasi dengan renda halus dan manik-manik kecil yang berkilauan. Tapi bagi Dinda, gaun itu terasa seperti seragam perang yang akan membawanya ke medan yang penuh ketidakpastian.

Di belakang Dinda, Ratna Mahardika berdiri dengan senyuman lebar, matanya penuh dengan kebanggaan. "Kamu cantik sekali, Dinda," katanya, tanpa menyadari betapa kosongnya hati putrinya. Dinda hanya mengangguk, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Tatapan matanya yang kosong tertuju pada bayangannya di cermin, namun pikirannya melayang jauh dari sana.

Setelah persiapan selesai, Dinda dibawa keluar dari kamarnya oleh dua pengiring pengantin, teman-teman masa kecilnya yang selalu ada di setiap momen penting dalam hidupnya. Aula tempat pernikahan berlangsung dipenuhi dengan dekorasi mewah—bunga-bunga putih menjulang tinggi, hiasan emas yang berkilauan, dan meja-meja penuh dengan hidangan yang melimpah. Tamu-tamu mulai berdatangan, memenuhi ruangan dengan percakapan yang riuh. Namun, bagi Dinda, semua itu terasa seperti bayang-bayang, kabur dan tidak berarti.

Langkah Dinda terasa berat saat dia mendekati altar. Jantungnya berdetak kencang, seolah-olah ingin melompat keluar dari dadanya. Setiap langkah membawanya lebih dekat kepada Ragil, pria yang akan menjadi suaminya. Ini adalah pertama kalinya Dinda melihat Ragil secara langsung. Dia sudah sering mendengar namanya, namun wajahnya baru dia lihat hari ini.

Ragil berdiri tegak di depan altar, mengenakan setelan jas hitam yang rapi. Wajahnya keras, dengan rahang tegas dan tatapan mata yang tajam. Dia tidak tersenyum, bahkan ketika Dinda mendekat. Hanya ada sedikit gerakan dari matanya, sekilas pandang yang cepat sebelum dia kembali memusatkan perhatian pada pendeta di depan mereka.

Saat Dinda akhirnya berdiri di sampingnya, Ragil meliriknya sekali lagi, memberikan senyuman kecil yang tidak mencapai matanya. Senyuman itu membuat Dinda merasa semakin kecil dan terisolasi. Di dalam aula yang penuh dengan orang-orang yang seharusnya membuatnya merasa hangat dan diterima, Dinda justru merasa sendirian.

Pendeta mulai membacakan doa dan janji pernikahan. Suaranya menggema di seluruh aula, bercampur dengan suara lonceng pernikahan yang berdering pelan di latar belakang. Bagi tamu-tamu yang hadir, suara lonceng itu mungkin terdengar merdu dan menenangkan, namun bagi Dinda, suara itu seperti rantai yang membelenggu kebebasannya, mengikatnya pada kehidupan yang tidak diinginkannya.

Ketika tiba saatnya untuk mengucapkan janji, Dinda merasa suaranya gemetar. Dia mencoba untuk menahan air mata, namun ketakutan dan kecemasan yang selama ini dia simpan dalam hati mulai merayap naik. Di sisi lain, Ragil mengucapkan janjinya dengan nada datar dan tegas, tanpa menunjukkan emosi apapun. Bagi Ragil, ini hanyalah formalitas, sebuah tanggung jawab yang harus dipenuhi.

Pertukaran cincin menjadi momen yang paling menegangkan bagi Dinda. Cincin pernikahan itu kecil dan sederhana, namun saat Ragil memakaikannya di jari manis Dinda, cincin itu terasa berat, seolah-olah beban seluruh dunia kini ada di jarinya. Saat Dinda memasangkan cincin di jari Ragil, tangannya bergetar, hampir tidak mampu mengontrol gerakannya. Dia tahu bahwa setelah momen ini, tidak ada jalan kembali.

Setelah cincin dipasangkan, pendeta mengumumkan bahwa mereka sekarang resmi menjadi suami istri. Tepuk tangan dari tamu-tamu memenuhi aula, namun suara itu hanya terdengar seperti gemuruh yang menekan bagi Dinda. Ragil menoleh ke arahnya, memberikan senyuman tipis, lalu menundukkan kepala untuk mencium pipi Dinda. Ciuman itu dingin, tanpa perasaan, namun Dinda tetap membalas dengan senyuman kecil yang dipaksakan, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan kepedihan yang dia rasakan di dalam hatinya.

Selesai upacara, tamu-tamu mulai memberikan ucapan selamat. Mereka tersenyum, memuji betapa serasinya Dinda dan Ragil sebagai pasangan. Namun, tidak ada yang bisa melihat betapa hancurnya hati Dinda saat itu. Di balik senyumannya, Dinda merasa seolah-olah dia berada dalam mimpi buruk yang tidak pernah dia duga akan menjadi kenyataan.

Waktu berlalu, dan satu per satu tamu mulai pulang. Aula yang tadinya ramai kini mulai sepi, hanya tersisa Dinda dan Ragil yang berdiri di sana, saling diam. Ragil akhirnya melangkah mendekat dan berkata, "Ayo kita ke kamar. Kita harus beristirahat." Suaranya datar, seolah-olah dia sedang berbicara tentang sesuatu yang tidak penting.

Dinda hanya mengangguk pelan, mengikuti Ragil yang berjalan keluar dari aula. Mereka menuju kamar pengantin di rumah keluarga Mahardika. Kamar itu besar, dengan jendela besar yang menghadap ke taman. Cahaya bulan masuk melalui jendela, menerangi kamar dengan cahaya lembut yang keperakan. Ranjang besar yang dihiasi kelambu putih berdiri di tengah ruangan, tampak seperti singgasana yang megah.

Ragil masuk lebih dulu, melepas jasnya dan meletakkannya di atas kursi. Dinda berdiri di ambang pintu, merasa sangat gugup. Ini adalah malam pertama mereka sebagai suami istri, namun Dinda tidak merasakan kegembiraan atau harapan seperti yang sering dia dengar dari cerita-cerita pengantin lainnya. Yang dia rasakan hanya ketakutan dan kecemasan.

Ragil menoleh ke arahnya, matanya tajam seperti biasa. "Masuklah," katanya dengan nada yang sama sekali tidak menghibur. Dinda melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Dia merasa jantungnya berdetak semakin kencang, seolah-olah akan meledak.

Ragil mendekatinya, mengulurkan tangan untuk menyentuh wajahnya. Sentuhan itu dingin, tanpa kehangatan. "Malam ini adalah awal dari segalanya, Dinda," katanya pelan, namun setiap kata itu terdengar seperti ancaman bagi Dinda.

Dinda menutup matanya, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. Dia tahu bahwa mulai malam ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Tidak ada lagi kebebasan, tidak ada lagi mimpi yang bisa dia wujudkan. Yang tersisa hanyalah kewajiban, yang mungkin akan menguras habis semua yang tersisa dalam dirinya.

Dinda yang berdiri diam di tengah kamar, merasakan seluruh dunia yang dia kenal runtuh di sekelilingnya. Masa depan yang kelam dan penuh ketidakpastian kini ada di hadapannya, dan tidak ada jalan kembali.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status