**"Anna, maaf. Tapi aku tinggal kamu sendirian, apa nggak apa-apa?""It's okay, Kak. Lagian tokonya juga nggak rame banget, kan?"Carissa menarik tangan suaminya untuk keluar dari butik mewah itu. Memasuki sedan hitam di parkiran yang biasa Gara pakai, lalu duduk berhadapan di dalam sana."Kita ngobrol di sini aja. Nggak enak kalau Anna ikut denger. Ini masalah pribadi rumah tangga kita, Kak." Carissa memandang lelaki itu lekat, mencoba memindai raut keruh yang sedari tadi masih belum hilang-hilang juga itu. "Jadi, bisa diulangi dengan lebih jelas, kamu tadi ngomong apa, sih?"Lelaki itu tampak enggan sekali berbicara, tapi Rissa terus memojokkannya dengan pandangan penuh telisik."Seharusnya aku cerita ini lebih awal, sih.""Bener, seharusnya kalau ada apa-apa, kamu segera cerita sama aku. Jangan dibiarin berlarut-larut." Rissa mengangguk-angguk sok paham. "Jadi, ada apa, Kak?""Sebenernya aku bareng Abian waktu perjalanan bisnis kemarin itu."Rissa sudah tahu. Abian menelepon dan m
**"Tamara?"Carissa menunjuk benda pipih yang Gara letakkan di atas meja itu dengan santai saja."Tuh, angkat, tuh.""Ngapain dia nelepon malem-malem begini?""Kamu nanya sama aku, terus aku nanya sama siapa, dong? Ya udah gih sana angkat, biar ketahuan dia maunya apa." Carissa mengedikkan dagu, menunjuk ponsel yang terus menerus berbunyi pantang menyerah itu.Gara berdecak. Ia meraih ponsel mahal tersebut. Saat sudah menempel di telinganya, tanpa basa-basi ia menyalak."Apa? Aku lagi sibuk, kalau teleponmu ini nggak penting-penting banget, sebaiknya tunda besok pagi aja."Kedua alis Rissa otomatis terangkat naik mendengar itu. Ketus sekali pria ini, eh?"Gara, aku cuma pengen denger suara kamu. Kenapa ketus banget, sih?"Wah, nekat sekali. Kedua alis Rissa kian naik mendengar itu. Wah, wah, Tamara memang gigih sekali."Bagus. Kamu konfirmasi sendiri kalau teleponmu nggak penting. Selamat malam–""Tunggu, tunggu bentar lah, Gar. Jangan ditutup dulu–"Klik!Gara matikan sambungan tele
**Carissa kembali bekerja di butik yang lama hari ini. Menolak tawaran Yasmin untuk mengurus butik yang baru, meski prospek kerja di sana lebih menjanjikan. Ah, Carissa tidak mau jika tiba-tiba ia bertemu Tamara seperti kemarin."Emangnya kenapa kalau ketemu sama Tamara?" Yasmin bertanya dengan enteng saja."Nggak nyaman, Mam." Perempuan itu menjawab dengan jujur. "Dia ngancam terus-terusan, katanya mau ngerebut Kak Gara dari Rissa masa.""Tamara bilang begitu?"Carissa mengangguk dengan murung. Bukan ia takut kepada Tamara, tapi lebih ke menghindari keributan saja, sih. Rissa kan orangnya cinta damai."Begitu aja udah takut, ha? Berapa kali sih aku bilang, kamu tuh harus terus belajar kuatin mental. Kalo cuma begitu aja kamu udah mundur, ya besok-besok kamu bakal diinjek-injek sama dunia.""Untuk yang ini, Rissa nggak mau ambil resiko lah, Mam.""Terserah kau ajalah. Kalo gitu selesein kerjaan yang aku kasih tadi. Aku mau jalan ke sana." Yasmin hanya mencibir. Wanita itu berujar sem
**"Kak, aku takut ...."Tidak peduli dengan para pegawai atau pengunjung yang sedang berada di sana, Carissa masih menenggelamkan diri dalam pelukan Sagara."Takut?" Gara kedengaran heran sekali. "Takut kenapa? Apa yang bikin kamu takut?"Haruskah jujur? Rissa melepas pelukannya. Menatap sang suami dengan gamang. Sagara bukan tipe penyabar. Lelaki itu bisa saja seketika meledak marah di sana jika ia menceritakan yang sebenarnya."Tadi ada orang jahat.""Hah?" Lelaki itu tampak panik seketika. "Orang jahat? Jahat gimana? Mana orangnya sekarang? Mana, biar aku yang kasih pelajaran!"Rissa menggeleng tertahan. "Dia ajak aku bicara di luar, terus hampir bawa aku pergi."Sagara tampak mengernyit dengan tidak yakin mendengar racauan itu. Ya siapa orangnya yang bakal yakin. Hari gini apa masih ada yang seperti itu, eh?"Kok bisa sih, Ris? Mau bawa kamu pergi gimana ceritanya?"Terlanjur sudah. Rissa merasa bodoh sekali sudah mengatakan itu semua. Akhirnya bingung sendiri, kan?Maka sekarang
**Abian justru ada di sana juga.Mengapa begini?Kedua obsidian gelap milik Carissa mendadak bergetar panik. Tidak mengira justru akan seperti ini keadaannya. Ia tadi menghindari kafe di depan butik agar tidak bertemu dengan Abian, tapi malah bertemu di tempat ini. Menjengkelkan sekali.Penuh rasa takut, Rissa melirik lelaki di sampingnya. Jantungnya seperti mencelos mendapati raut wajah suaminya yang sama sekali tidak ramah. Rahang tegasnya tampak mengeras dengan mata menyorot tajam."Hai, Ris," sapa Abian, justru ramah sekali. Lelaki itu tersenyum lebar tanpa rasa dosa. "Kebetulan banget sih, ternyata kamu ke sini juga?""Jangan sok ramah dengan istriku," sambar Sagara dingin. "Dasar nggak tahu malu!""Lho, apa salahnya menyapa?" Abian masih menimpali dengan santai sekali. Carissa sampai heran, bagaimana bisa lelaki sederhana itu bisa berubah sedemikian rupa? Apa yang membuatnya seperti ini?"Jangan bikin gara-gara, kau!""Aku hanya menyapa. Kenapa kamu yang sentimen begitu, Kak?"
**Sagara menatap lekat layar laptopnya. Pandangan tajam itu tidak beralih sejak berjam-jam yang lalu. Bibirnya sesekali menyeringai menatap grafik dalam laptop itu. Tanpa sepengetahuan Yasmin, Gara kini memiliki lebih dari setengah dari seluruh saham milik Arctic. Dan kini, perusahaan milik Henry Danurendra itu sedang berada di ambang titik kolaps. Entah apa yang terjadi dengannya, Gara tidak peduli. Yang Gara tahu hanyalah, ia bisa menguasai perusahaan itu cepat atau lambat. Mengakuisisinya sebagai milik Mellifluous, dan menyaksikan sendiri ayahnya gulung tikar."Sweet revenge," bisiknya pelan. Ia tahu, Yasmin tidak akan suka dengan hal ini, tapi ya sudahlah. misi utama Gara kan memang menghancurkan ayah dan adiknya. Sesuatu yang menjadi misi utama sejak lama. Bertemu dengan Carissa yang mantan tunangan Abian, tentu saja seperti bertemu jackpot. Sekali tepuk, dua nyamuk tumbang."Dan lebih bagusnya, aku jadi punya Rissa juga sekarang." Lelaki itu menyungging senyum. Memainkan cincin
**Tidak bagus, ini sungguh tidak bagus. Rissa sendiri sampai nekat merepotkan orang dengan titip dibelikan makanan agar tidak perlu keluar butik, tapi kini sang ibu mertua justru minta ditemani. Ia ingin menolak mentah-mentah tapi tidak sanggup. Tahu bahwa Yasmin hanya akan pergi jika Rissa yang menemani.Masalahnya, bagaimana jika nanti Abian masih ada di sana? Menemukannya datang bersama sang ibu?Bagaimana?"Mami, gimana kalo kita take away aja dan makan di butik?" Rissa mengusulkan. Terdengar bodoh, tapi tak ada salahnya mencoba, kan?"Heh? Take away? Mana enak minum kopi take away? Kopi tuh harus dinikmati di mana dia dibuat, tahu!""Be-begitu, ya? Tapi emm ... bukannya Mami lagi buru-buru, ya?""Buru-buru juga kalau makan siang doang ya nggak masalah, sih.""Oh, emm ... iya juga sih, ya?""Kamu kenapa, sih?" Yasmin melayangkan pertanyaan penuh tuntutan ketika melihat Rissa berjalan mengendap-endap seperti pencuri. Bicara yang tidak-tidak pula."Ah? Enggak, Rissa itu ....""Buru
**"Mami ...." Abian menyapa dengan suara kaku. "Selamat siang."Yasmin tertegun. Pandangan matanya lurus terpancang pada pria muda yang berdiri di hadapannya, bersisian dengan sang menantu. Selama beberapa saat, Yasmin tidak bisa mengucapkan apapun. Hanya terus diam tertegun dengan iris bergetar. Sementara itu Carissa merasakan keinginan yang kuat untuk menghilang ke bagian semesta yang mana saja asal tidak di situ."Bi-Bian ....""Yes, i'm."Jika saja ini bukan Abian, sudah pasti Rissa telah menarik ibu mertuanya untuk menyingkir dari tempat itu. Tapi ini adalah Abian, putra yang sudah lama berpisah dengannya."Bi-Bian, ngapain di sini?""Aku nunggu dia." Tiga kata itu Abian ucapkan penuh percaya diri. Membuat Carissa seketika sakit kepala.Kafe yang sebelumnya ramai oleh suara hiruk pikuk manusia itu, kini terasa sunyi senyap. Carissa berdoa dengan segala keyakinan yang ia miliki, jangan ada hal-hal buruk yang terjadi. Jangan ada perselisihan apapun sesudah ini. Meski agaknya itu m