**Tidak bagus, ini sungguh tidak bagus. Rissa sendiri sampai nekat merepotkan orang dengan titip dibelikan makanan agar tidak perlu keluar butik, tapi kini sang ibu mertua justru minta ditemani. Ia ingin menolak mentah-mentah tapi tidak sanggup. Tahu bahwa Yasmin hanya akan pergi jika Rissa yang menemani.Masalahnya, bagaimana jika nanti Abian masih ada di sana? Menemukannya datang bersama sang ibu?Bagaimana?"Mami, gimana kalo kita take away aja dan makan di butik?" Rissa mengusulkan. Terdengar bodoh, tapi tak ada salahnya mencoba, kan?"Heh? Take away? Mana enak minum kopi take away? Kopi tuh harus dinikmati di mana dia dibuat, tahu!""Be-begitu, ya? Tapi emm ... bukannya Mami lagi buru-buru, ya?""Buru-buru juga kalau makan siang doang ya nggak masalah, sih.""Oh, emm ... iya juga sih, ya?""Kamu kenapa, sih?" Yasmin melayangkan pertanyaan penuh tuntutan ketika melihat Rissa berjalan mengendap-endap seperti pencuri. Bicara yang tidak-tidak pula."Ah? Enggak, Rissa itu ....""Buru
**"Mami ...." Abian menyapa dengan suara kaku. "Selamat siang."Yasmin tertegun. Pandangan matanya lurus terpancang pada pria muda yang berdiri di hadapannya, bersisian dengan sang menantu. Selama beberapa saat, Yasmin tidak bisa mengucapkan apapun. Hanya terus diam tertegun dengan iris bergetar. Sementara itu Carissa merasakan keinginan yang kuat untuk menghilang ke bagian semesta yang mana saja asal tidak di situ."Bi-Bian ....""Yes, i'm."Jika saja ini bukan Abian, sudah pasti Rissa telah menarik ibu mertuanya untuk menyingkir dari tempat itu. Tapi ini adalah Abian, putra yang sudah lama berpisah dengannya."Bi-Bian, ngapain di sini?""Aku nunggu dia." Tiga kata itu Abian ucapkan penuh percaya diri. Membuat Carissa seketika sakit kepala.Kafe yang sebelumnya ramai oleh suara hiruk pikuk manusia itu, kini terasa sunyi senyap. Carissa berdoa dengan segala keyakinan yang ia miliki, jangan ada hal-hal buruk yang terjadi. Jangan ada perselisihan apapun sesudah ini. Meski agaknya itu m
**"Apa yang sebenernya terjadi, aku tanya?"Sagara ada di sana. Bersandar pada pilar ruangan dengan hasta terlipat di dada. Meski nada bicaranya datar-datar saja, namun sorot mata tajamnya tak bisa dianggap enteng. Terlihat membara penuh emosi."Kak Gara," bisik Carissa, satu juta kali lebih panik dari yang tadi. Ini adalah keadaan paling buruk yang pernah ia alami sepanjang hidup. Sementara Yasmin tampak seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk dan sedang memasuki mimpi buruk tahap kedua."Ayo, bilang. Apa yang sebenernya terjadi? Atas dasar apa kamu ngelakuin itu? Atau hanya omong kosong yang kamu karang-karang sendiri agar Carissa mau balik sama kamu?""Gara–""Stop it!" Yasmin menengahi. Tak bisa dipungkiri, suaranya terdengar lelah dan putus asa. "Kita udah lama nggak saling bertemu, tapi sekalinya ada kesempatan, kenapa harus dalam keadaan yang seperti ini?"Benar sekali. Rissa hanya bisa menunduk dalam-dalam karenanya. Ia merasa sudah menjadi penyebab kedua putra Yasmin ja
**Carissa perlahan membuka kedua matanya yang terasa perih dan berat. Selama beberapa saat, ia masih mengerjap dan berusaha mengumpulkan ingatan. Tadi siang dirinya pergi begitu saja dari kafe setelah segala hal yang terjadi. Meninggalkan Yasmin, bersama Sagara dan Abian di sana. Rissa tidak tahan bersama orang-orang itu, maka ia memilih pergi dan pulang ke rumah saja. Sesampainya kemudian, ia duduk merenung di sofa kesayangannya hingga entah berapa lama waktu berlalu.Tapi kini ....Ia sudah berada di dalam kamar. Ketika ia menoleh, ada Sagara di sampingnya yang juga tengah tertidur. Matanya memejam rapat dengan desir napas halus. Rissa menatap wajah rupawan itu. Rahangnya yang tegas, alis kelam, bibir tipis yang merekah, kulit bersih dan lembut seperti beludru. Ah, Sagara adalah mahakarya Tuhan."Kenapa lihatin aku begitu?"Carissa terkesiap kaget. Ternyata Gara tidak benar-benar tidur dan menyadari saat dirinya dipandangi seperti itu. Dengan salah tingkah, Rissa bergeser pelan unt
***"Mami ...."Carissa mengetuk pintu ruangan mertuanya. Ragu-ragu mau masuk atau tidak. Biasanya perempuan itu pun bahkan tanpa mengetuk dulu, menerabas masuk begitu saja.Yasmin mengangkat wajah dari layar laptopnya, memandang lurus pada perempuan dia ambang pintu itu. Selama beberapa saat, justru tertegun tak bisa mengatakan apapun."Masuk," ucapnya setelah mendapatkan suaranya kembali.Rissa menarik kursi di depan meja kebesaran, lantas mengenyakkan tubuhnya di sana. Memandang sang ibu mertua sekilas sebelum mulai berkata-kata. Karena Yasmin sendiri tampaknya tak ada tanda-tanda akan memulai pembicaraan."Mami, Rissa mau minta maaf.""Hm?" Yasmin mengangkat wajah sekilas saja. "Minta maaf kenapa?""Karena Rissa udah bikin dua putra Mami berseteru.""Sadar pula kau. Aku kira mau sampai kapan betah berbohong.""Rissa sama sekali nggak ada maksud berbohong, Mami.""Lantas kenapa nggak jujur kalau mantan tunanganmu adalah Abian? Kamu nggak mungkin nggak tau kan kalau Abian itu adikny
**Sagara mengernyit. Mulai dari awal apanya?"Kamu cinta sama aku kan, Kak?""Kamu nanya?""Nah. Gimana kalau udah, kita lupain aja rencana awal. Kita jalanin aja pernikahan ini sebagaimana mestinya." Carissa berujar dengan senyum lembut. Memandang pria tampan yang berstatus suaminya dengan penuh cinta."Apa maksudmu?""Lupain aja rencana kamu buat bales Abian dan lain-lain. Kita hidup aja masing-masing mulai sekarang. Aku dan kamu, dan biar aja dia urus hidupnya sendiri."Whoa. Penawaran yang menggiurkan. Sagara mengulas senyum kecil. Lelaki itu meraih tengkuk Carissa dan menempatkan kecupan hangat di atas bibirnya. Selama beberapa saat, hanya diam dan tetap seperti itu."Gimana, Kak?""Gimana kalau kamu nggak perlu mikirin yang lain dan tetaplah begini saja. Aku nggak pernah memintamu untuk turut andil dalam permainanku, Ris."Sagara dengan aura dominan yang mematikan. Tatapan mengintimidasi serta suara baritone serak seperti itu. Rasanya kaki Rissa seperti tak bertulang dan rela m
**Rissa melotot sempurna. Rahangnya nyaris jatuh ke lantai. Ia sungguh tidak bisa mempercayai penglihatannya atas sepasang manusia yang sedang berada di dalam kabin lain. Pintu kabin itu terkuak sedikit, membuat Rissa bisa melihat dengan jelas, siapa yang berada di sana. Ia sedang dalam keadaan seratus persen waras dan matanya pun sehat-sehat saja, tidak sedang minus.Abian, dan Tamara.Demi langit dan bumi. Bagaimana bisa hal itu terjadi? "Ya Tuhan ...." Gadis itu mengucap tanpa sadar. Ia menutup mulut dengan telapak tangan, kedua iris hazelnya bergetar tak percaya. Tepat ketika objek di dalam sana mengalihkan pandang ke arahnya, ia menghindar pergi. Seketika ingat tujuan awalnya, pergi ke toilet."Ngapain mereka di sini?" desis Rissa, masih dilanda tremor. "Ini keliatan bukan hal yang baik. Gimana bisa Tamara kenal sama Bian? Dan di tempat seperti ini?"Menggeleng putus asa, Rissa berkali-kali menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Ia tinggal di toilet selama beberapa saat.
**"Kamu nggak tiba-tiba ngotot minta pulang karena tadi habis ketemu Tamara di dalam, kan?"Carissa tercekat. Kaget sekali saat Gara mengatakan itu dengan begitu gamblang. Rasanya seperti pencuri yang tertangkap basah."Bisa kita jalan sekarang, Kak? Aku bakal ceritain sambil kita jalan," pinta Carissa sungguh-sungguh. Dan walaupun Gara terlihat jengkel sekaligus tidak sabaran, tapi lelaki itu akhirnya tetap membawa mobilnya keluar halaman klab malam elit itu."Apa?" tagih Sagara beberapa saat kemudian, kala sudah berjalan agak jauh. "Apa yang kamu mau ceritain, coba ngomong."Carissa menelan saliva. Nyalinya mendadak ciut hanya dengan mendengar kata-kata yang bernada menyudutkan itu. Ia melirik sang suami takut-takut."M-maafin aku, Kak."Mendengar kata maaf, raut wajah Sagara kembali mengeras. Apalagi kali ini yang telah diperbuat istrinya? Mengapa perempuan ini selalu saja mencari bahan adu argumen? Karena sifat temperamennya mungkin semakin tidak bagus jika dalam kondisi mengemud
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh