**"Kamu nggak tiba-tiba ngotot minta pulang karena tadi habis ketemu Tamara di dalam, kan?"Carissa tercekat. Kaget sekali saat Gara mengatakan itu dengan begitu gamblang. Rasanya seperti pencuri yang tertangkap basah."Bisa kita jalan sekarang, Kak? Aku bakal ceritain sambil kita jalan," pinta Carissa sungguh-sungguh. Dan walaupun Gara terlihat jengkel sekaligus tidak sabaran, tapi lelaki itu akhirnya tetap membawa mobilnya keluar halaman klab malam elit itu."Apa?" tagih Sagara beberapa saat kemudian, kala sudah berjalan agak jauh. "Apa yang kamu mau ceritain, coba ngomong."Carissa menelan saliva. Nyalinya mendadak ciut hanya dengan mendengar kata-kata yang bernada menyudutkan itu. Ia melirik sang suami takut-takut."M-maafin aku, Kak."Mendengar kata maaf, raut wajah Sagara kembali mengeras. Apalagi kali ini yang telah diperbuat istrinya? Mengapa perempuan ini selalu saja mencari bahan adu argumen? Karena sifat temperamennya mungkin semakin tidak bagus jika dalam kondisi mengemud
**Sagara menghela napas berat, mencoba mengusir berbagai kelebatan bayangan buruk yang sedari tadi memenuhi benaknya. Sudah ia yakinkan kepada dirinya sendiri, ini bukan apa-apa. Tapi tak pelak, berita yang ia dengar semalam itu benar-benar mengganggu."Jadi beneran Tamara sama Abian?"Pria itu tengah duduk dengan jemari bertaut menopang dagu, di atas meja kerja. Pandangannya yang semula tajam menatap Radit, kini mengawang kosong ke seberang ruangan. Ah, sial! Kepalanya terasa penuh sekali."Ya, bener. Dia bareng adek lo. Begitu lo hubungin gue semalem, gue langsung cari tahu. Carissa nggak salah lihat, kok. Memang beneran Tamara sama Abian.""Dan lo nggak denger apa yang diomongin dua manusia itu?"Radit berdecak. "Gimana gue bisa denger kalo keadaan bar kek gitu? Kita kan ke sana mau have fun, bukannya memulai misi penyelidikan. Ya jelas nggak ada alat buat gue bisa nyadap, lah. Mana gue tahu itu berdua ngomong apaan."Menghela napas lelah, Sagara kembali memandang ke arah sahabatn
**BRUKK!"CARISSA!!"Sagara berteriak otomatis kala tubuh istrinya jatuh tiba-tiba di atas lantai. Lelaki itu membatu selama beberapa saat sebelum berlari mendekat dan meraih tubuh lunglai Carissa."Rissa, bangun! Ya Tuhan, Rissa, kamu kenapa?" Gara mengguncang-guncang tubuh kecil itu. Tapi ya percuma saja, Rissa tetap memejamkan mata. Hanya gumam kecil yang lolos dari sudut bibirnya. Tak membuang waktu lagi, Gara segera mengangkat tubuh itu, dan melarikannya ke dalam mobil yang terparkir di luar."Please, tunggu sebentar. Tunggu sebentar, ya?" Gara bergumam sendirian, fokus pandangan matanya terbagi antara jalanan ramai dengan tubuh sang istri yang tergolek di jok samping.Lelaki itu mengemudikan mobilnya dengan agak ugal-ugalan. Tak peduli kepada para pengguna jalan yang lain. Ia menyetir sembari mencari plang rumah sakit. Oh, ini sungguh melelahkan."Kak Gara ...." Suara rintih Rissa terasa menusuk telinga Gara. "Y-ya, Sayang. Tunggu sebentar, abis ini kita udah sampai, kok. Taha
**Sagara baru saja membetulkan selimut yang menutupi tubuh istrinya. Baru saja pasangan suami istri itu sampai di rumah setelah pemeriksaan mendadak tadi. Carissa tengah memandangnya dan tersenyum penuh terimakasih kala bel rumah berdentang di kejauhan."Siapa ya, Kak?""Taruhan, itu pasti Mami," cetus Gara sementara beranjak menjauh dari ranjang dan bergegas menuju pintu depan. "Aku tadi nelepon Mami cuma bilang kalau kamu pingsan di butik, gitu aja. Nggak bilang yang lain-lain."Nah, Rissa jadi bingung sendiri, nanti bagaimana menyampaikannya kepada ibu mertuanya itu?"Rissa!" Seruan keras menggema begitu Gara membuka pintu. Yasmin tergopoh-gopoh masuk ruangan. "Rissa? Loh, Rissa mana, Gar?""Mami nggak mau nanya kabarku dulu, kah? Kan aku yang bukain pintu, Mam.""Tsk! Apalah! Carissa mana? Dia di kamar?"Gara memutar bola mata dengan jengah. Sepertinya Rissa sudah benar-benar mengambil alih perhatian ibunya itu. Lihat, wanita itu sama sekali tak mengindahkan keberadaan dirinya da
**BRUKK!"Nyonya!"Carissa jatuh tersungkur setelah benda keras menghantam punggungnya tanpa ampun. Sekuriti yang berjaga terperanjat setengah mati, buru-buru menghampiri perempuan itu dengan wajah panik. Karena jika sampai terjadi sesuatu pada nyonya mudanya, bisa dipastikan karir kerjanya akan tamat riwayatnya hari ini juga."Nyonya, Ya Tuhan! Saya bantu, Nyonya!" Pria itu berseru keras seraya menggendong tubuh Rissa dan membawanya masuk rumah. Terlalu panik, sampai tak menyadari apa yang ia lakukan. Sebelumnya, pria ini sama sekali tidak pernah memasuki rumah utama."Nyonya nggak apa-apa? Haruskah saya panggil dokter? Apakah ada yang sakit?""Nggak, nggak, saya nggak apa-apa, kok. Mungkin hanya akan memar sedikit, nanti.""Ya Tuhan, saya benar-benar minta maaf, Nyonya."Carissa mengulum senyum melihat wajah panik itu. Kasihan juga, lelaki ini pasti takut sekali."Nggak apa-apa. Saya bilang nggak apa-apa. Kamu boleh kembali ke depan, saya akan istirahat."Lelaki itu mengangguk dan
**Malam itu juga, Gara membawa Rissa ke dokter untuk memeriksakan diri. Tak bisa memanggil dokter ke rumah saja, karena Gara ingin pemeriksaan termasuk keadaan janin dalam perut yang kini berusia tujuh minggu. Rissa tak bisa mengatakan apapun selain meminta maaf. Ia tahu, Gara tidak akan pernah seperti ini jika kepada orang lain. Minimal dia pasti akan membanting meja atau seperti itu."Ah, keadaan Ibu baik. Syukurlah tidak ada tulang yang retak atau apa. Hanya memar saja, bisa diobati dari luar. Itu tidak masalah." Lelaki tampan setengah baya itu berujar dengan ramah. "Sementara keadaan bayi kalian, mungkin dia agak sedikit shock karena benturan tiba-tiba. Hanya saja karena yang terbentur adalah bagian punggung, maka bayinya baik-baik saja."Rissa menghela napas lega kali ini. Ia boleh saja terluka dan segalanya, tapi ia pastikan bayinya jangan pernah tersentuh. Rissa akan pertaruhkan apapun termasuk nyawa untuk melindungi buah hatinya yang bahkan belum memiliki tubuh itu."Hanya sa
**"Dilihat dari gesturnya, ini orang pasti udah tahu ada kamera di sekitar sana, Gar," jelas Radit petang ini. Ia dan Gara sedang mengamati kembali rekaman CCTV yang memperlihatkan pengendara sepeda motor yang menabrak Carissa beberapa hari yang lalu."Berarti orangnya udah hapal rumah gue," desis Gara kesal."Bisa jadi. Tapi bisa jadi juga enggak. Dia bisa ngelakuin penyelidikan dulu sebelum beraksi iya, kan? Nggak perlu harus kenal deket sama lo juga. Lagian berapa orang sih, yang tahu kediaman lo yang sekarang?" Radit mencoba mengemukakan pendapat yang masuk akal. Dan Gara pun berpikir demikian."Gue curiga sama pacar lo, Dit.""Pacar?" Radit mengernyit. "Pacar yang mana?""Pacar yang mana?" ulang Gara dengan nada tidak percaya. "Pacar lo yang mana lagi, anjir?""Pacar gue ada banyak, Bapak Sagara.""Son of bitch!" Gara menunjuk muka sahabatnya itu, tak habis pikir. "Aneska, bangsat! Lo udah bikin dia hamil, masih juga sempet nanya pacar yang mana?""Heh, jangan sok tau! Emang lo
**"Haruskah ke kantor polisi segala, Kak?" Rissa menatap dengan cemas kala Sagara mengemukakan pendapatnya tentang kecelakaan yang menimpa dirinya tempo hari. Lelaki itu menatap heran. Heran dengan Rissa yang masih juga berpikir dua kali untuk melapor ke kantor polisi padahal keadaan dirinya memang pantas menjadi pelapor."Kamu mau kejadian begini terulang berapa kali lagi?" timpal Gara."Hmm ... apakah menurut Kakak, bakalan terulang lagi?""Pasti. Ini jelas bukan kecelakaan. Ini percobaan pembunuhan. Siapapun itu, nggak akan berhenti sebelum targetnya terpenuhi. Dalam hal ini, kejatuhanmu."Kedua netra Rissa melebar kala mendengar itu. Kedengaran berlebihan sekali. Percobaan pembunuhan, eh?"K-Kak ... Bukannya itu berlebihan? memangnya siapa yang mau bunuh aku?""Menurutmu siapa?"Gara menatap istrinya penuh telisik. Tak mengerti dengan pandangan perempuannya ini. Apakah semua manusia terlihat baik di mata Carissa, begitu?"Antara Abian, Aneska, atau Tamara."Kedua manik gelap Riss
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh