**"Harusnya aku yang ke sana, sih. Bukan kamu yang ke sini.""Mami, nggak perlu segitunya. Udah dua minggu Rissa terkurung di rumah dan nggak ketemu Mami sama sekali, kan?"Yasmin mengangkat bahu. Menyambut kedatangan putra dan menantu kesayangan yang berkunjung pada siang-siang bolong ini."Gimana keadaanmu? Bayinya sehat?""Sehat, Mam. Kemarin baru aja periksa rutin. Usia dia hampir delapan minggu sekarang."Yasmin mengangguk. Menghentikan kegiatannya mengupas apel dan menatap penuh telisik kepada sang menantu."Kenapa, Mam?""Kamu banyak kehilangan berat badan. Apa morning sickness-nya parah?"Kedua alis Rissa sontak terangkat otomatis. Ia tidak merasa kehilangan berat badan, pun."Rissa nggak ada morning sickness sama sekali, Mam. Nggak ada yang berubah dari kebiasaan, kok. Kecuali mungkin jadi gampang lelah aja.""Hati-hati!" Yasmin menunjuk Rissa dengan sepotong apel di tangan. "Jangan sampai jatuh atau apa. Hati-hati di manapun kamu berada."Ouch! Hati Carissa seperti tercubit
**Pagi harinya, Rissa dengan hati gembira bertolak menuju butik bersama Yasmin. Bertiga bersama driver, sebab Yasmin tidak bisa mengemudikan mobil, dan wanita itu tidak mengizinkan menantunya mengemudi sendiri. Rissa merasa aneh tidak diizinkan begini begitu, sebab ia merasa dirinya sungguh baik-baik saja."Sekarang sih baik, nanti kalo udah kecapean baru tahu rasa," cetus Yasmin dengan sengit. Rissa tak memiliki pilihan lain selain diam, menurut dan mengiyakan segala yang ibu mertuanya ucapkan."Rissa kan tetep harus banyak beraktivitas biar badannya bugar, Mam.""Ikut kelas ibu hamil aja. Hitung-hitung nambah teman dan kegiatan," usul Yasmin, yang jujur saja, seketika membuat Carissa tertarik."Nanti Rissa minta izin sama Kak Gara dulu ya, Mami.""Huh. Apa-apa harus banget minta izin dulu kamu tuh?"Rissa mengulum senyum. Tentu saja Yasmin berucap demikian. Sendirinya sudah menjadi janda selama puluhan tahun, mungkin sudah lupa dengan hal remeh-temeh perumah-tanggaan semacam itu."
**Nah, pertemuan tak sengaja dengan Aneska itu membawa satu kesimpulan baru yang sungguh mengganggu pikiran Carissa. Bagaimana perempuan itu tahu bahwa dirinya sedang hamil? Usia kehamilan Rissa baru dua bulan, sehingga belum terlihat apapun dalam perutnya. Dan lebih daripada itu, hanya orang-orang terdekat yang mengetahui hal ini. Bagaimana bisa Aneska mengetahuinya? Mendadak saja, benak Rissa diliputi ketakutan kala mengingat sesuatu.Aneska adalah salah satu manusia yang dicurigai oleh Sagara sebab insiden yang menimpa Carissa tempo hari. Apakah mungkin jika ...."Kak, apa rasanya nggak enak?" Pegawai perempuan yang bersama Rissa itu bertanya dengan khawatir."Apa? Eh, enggak–""Kok kuenya cuma diaduk-aduk aja? Mau saya pesenin yang lain? Nggak enak, ya?""Oh, nggak, nggak. Ini enak, kok." Carissa tersenyum paksa, menyesal karena pertemuan tak sengaja dengan Aneska tadi merusak mood sekaligus nafsu makannya."Apa kita balik aja, Kak? Khawatir kalau Ibu pulang, ya?"Tidak menyenan
**"Aku nggak mau ketemu sama Tante Arini, Kak. Aku nggak mau lihat wajah dia.""Seriously?" Gara bertanya dengan heran. "Nggak mau bertanya langsung kepada tantemu, kenapa dia sampai hati bikin celaka kamu seperti itu?"Rissa menghela napas pelan. Iya, dirinya memang penasaran juga sebenarnya, apa alasan tantenya tega berbuat seperti ini kepada dirinya. Namun, ia juga tidak ingin bertemu muka dengan perempuan itu. Rissa merasa hatinya nyeri sekali jika harus berjumpa dengan Arini."Polisi jemput tantemu semalam, Ris," lanjut Gara. Lelaki itu mencoba menjelaskan pelan-pelan karena sepertinya Rissa sendiri tidak mau tahu. "Ketika Arini dibawa ke kantor polisi, dia sama sekali nggak mengelak atau berusaha memberontak. Aneska juga nggak menampakkan tanda-tanda terkejut. Jadi mungkin sebenarnya Aneska udah tahu rencana ibunya.""Aneska nggak berusaha bantuin ibunya, Kak?" tanya Rissa heran."No at all.""Padahal itu ibunya. Dan Tante Arini ngelakuin ini juga pasti buat dia. Kok Aneska ngg
**"Aneska!" Perempuan itu menatap Sagara dengan pandangan horor seakan Gara adalah makhluk astral dari dunia lain. Wajahnya mendadak tampak pias dengan bibir bergetar. Hendak menyapa lelaki tampan itu, namun lidahnya kelu."Ah, aku nggak perlu tanya lagi, untuk apa kamu ke sini iya, kan?" cela Gara dengan suara penuh nada sarkasme."P-Pak Gara ....""Sana temui ibumu. Kebetulan aku sudah muak terutama sama penampakan kalian berdua!"Aneska benar-benar gagu karena ketakutan. Sebenarnya Gara bisa mencecarnya dengan lebih banyak pertanyaan saat ini, namun rasa muak yang sudah terlanjur menjalar ke seluruh persendian tubuhnya itu, membuat dirinya ingin segera menyingkir dari tempat itu."Bukan berarti semuanya udah selesai," lanjut Gara penuh penekanan. "Aku saat ini hanya muak lihat tampang kalian. Aku akan kembali menuntut balas buat Rissa nanti. Camkan itu!"Aneska masih menatap ngeri dengan keringat dingin mengalir kala mendengar serentetan kalimat yang meluncur dari mulut lelaki ta
**Rissa hanya mendengar berita tentang tantenya yang akhirnya harus masuk jeruji besi. Ia sama sekali tidak datang ke kantor polisi. Jika ada sesuatu yang harus dijawabnya, maka ia lebih memilih bertemu petugas di tempat lain saja. Rissa takut bertemu Arini. Karena jika bertemu, maka ia akan jatuh kasihan dan malah mengacaukan proses hukum nantinya. Itu tidak bagus. Seperti yang Gara katakan, ia akan berhenti menjadi naif dan mulai agak tega kepada dunia di sekitarnya."Aku bilang, kamu nggak perlu dateng ke butik."Rissa terkesiap kala mendengar suara Yasmin yang menegur dari kejauhan. Ia buru-buru menoleh, demi mendapati ibu mertuanya yang sedang berdiri dengan hasta terlipat di dada dan tengah bersandar di ambang pintu ruangan."Mami?""Pulang aja sana. Kerjamu ngelamun terus sepanjang hari.""Ah, maaf, Mam ... nanti Rissa nggak ngelamun lagi, lah. Rissa bakal kerja lebih giat lagi."Yasmin mendengus pelan. "Maksudku nggak gitu. Nggak ada yang suruh kamu kerja keras, Ris. Aku kan
**"Kak Gara, ini berlebihan.""I don't think so.""Iya, ini berlebihan. Bahkan putrinya presiden aja nggak segininya, Kak.""Kamu bukan putrinya presiden, tapi kamu istriku."Beradu argumen dengan Gara sama persis dengan beradu argumen bersama Yasmin. Ibu dan anak itu sama-sama keras kepala dan tidak bisa mengalah dalam hal ini. Rissa menghela napas berkali-kali dengan jengah. Menatap masam pada dua orang laki-laki berseragam dengan bodi tinggi besar yang sedang bercakap-cakap dengan sekuriti rumah di pos depan."Kak Gara, aku janji bakalan baik-baik aja tanpa mereka.""Setelah apa yang menimpamu kemarin itu?""Yak– maksudku, kali ini aku bakalan lebih hati-hati lagi.""Dan karena kamu harus lebih hati-hati lagi, maka kamu memerlukan penjaga, Carissa.""Dahlah." Rissa melambaikan tangan sambil lalu. "Lelah aku ngadepin kamu, Kak. Terserahmu ajalah.""Ya memang harus terserah aku, sih. Kamu kan istriku, jadi wajib nurut sama aku."Carissa merotasikan bola mata. Kemudian diam walau sel
**"Biarin aku pergi, atau aku teriak?"Abian tampak tercekat. Ia menelan saliva dengan getir kala melihat perempuan di hadapannya yang menampakkan raut benci. Hilang sudah Carissa kesayangannya bertahun-tahun yang lalu. Perempuan lembut hati dan memiliki senyum secantik kelopak mawar."Lepas, Abi!" Sekali lagi Rissa menyentak lepas pegangan tangan Abian di lengannya."Aku cuma mau ngomong–""Nggak ada lagi yang perlu kita omongin. Berapa kali aku harus kasih tau kamu, ha? Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi sekarang. Jangan ganggu hidupku, aku udah bahagia!""Ris, maaf–""Udah aku maafin, sekarang pergi! Atau kamu mau dilempar sama penjaga aku?"Kedua kalinya, Abian tampak tercekat. Mendadak saja pandangan matanya terlihat panik ke segala arah, mungkin mencari penjaga yang Rissa katakan barusan."Kenapa kamu perlu penjaga segala?""Bukan urusanmu!" Rissa berbalik hendak menjauh dari lelaki tampan itu, namun Abian lebih tangkas. Ia kembali menahan tangan Rissa. Agak terlalu tiba
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh