**"Aneska!" Perempuan itu menatap Sagara dengan pandangan horor seakan Gara adalah makhluk astral dari dunia lain. Wajahnya mendadak tampak pias dengan bibir bergetar. Hendak menyapa lelaki tampan itu, namun lidahnya kelu."Ah, aku nggak perlu tanya lagi, untuk apa kamu ke sini iya, kan?" cela Gara dengan suara penuh nada sarkasme."P-Pak Gara ....""Sana temui ibumu. Kebetulan aku sudah muak terutama sama penampakan kalian berdua!"Aneska benar-benar gagu karena ketakutan. Sebenarnya Gara bisa mencecarnya dengan lebih banyak pertanyaan saat ini, namun rasa muak yang sudah terlanjur menjalar ke seluruh persendian tubuhnya itu, membuat dirinya ingin segera menyingkir dari tempat itu."Bukan berarti semuanya udah selesai," lanjut Gara penuh penekanan. "Aku saat ini hanya muak lihat tampang kalian. Aku akan kembali menuntut balas buat Rissa nanti. Camkan itu!"Aneska masih menatap ngeri dengan keringat dingin mengalir kala mendengar serentetan kalimat yang meluncur dari mulut lelaki ta
**Rissa hanya mendengar berita tentang tantenya yang akhirnya harus masuk jeruji besi. Ia sama sekali tidak datang ke kantor polisi. Jika ada sesuatu yang harus dijawabnya, maka ia lebih memilih bertemu petugas di tempat lain saja. Rissa takut bertemu Arini. Karena jika bertemu, maka ia akan jatuh kasihan dan malah mengacaukan proses hukum nantinya. Itu tidak bagus. Seperti yang Gara katakan, ia akan berhenti menjadi naif dan mulai agak tega kepada dunia di sekitarnya."Aku bilang, kamu nggak perlu dateng ke butik."Rissa terkesiap kala mendengar suara Yasmin yang menegur dari kejauhan. Ia buru-buru menoleh, demi mendapati ibu mertuanya yang sedang berdiri dengan hasta terlipat di dada dan tengah bersandar di ambang pintu ruangan."Mami?""Pulang aja sana. Kerjamu ngelamun terus sepanjang hari.""Ah, maaf, Mam ... nanti Rissa nggak ngelamun lagi, lah. Rissa bakal kerja lebih giat lagi."Yasmin mendengus pelan. "Maksudku nggak gitu. Nggak ada yang suruh kamu kerja keras, Ris. Aku kan
**"Kak Gara, ini berlebihan.""I don't think so.""Iya, ini berlebihan. Bahkan putrinya presiden aja nggak segininya, Kak.""Kamu bukan putrinya presiden, tapi kamu istriku."Beradu argumen dengan Gara sama persis dengan beradu argumen bersama Yasmin. Ibu dan anak itu sama-sama keras kepala dan tidak bisa mengalah dalam hal ini. Rissa menghela napas berkali-kali dengan jengah. Menatap masam pada dua orang laki-laki berseragam dengan bodi tinggi besar yang sedang bercakap-cakap dengan sekuriti rumah di pos depan."Kak Gara, aku janji bakalan baik-baik aja tanpa mereka.""Setelah apa yang menimpamu kemarin itu?""Yak– maksudku, kali ini aku bakalan lebih hati-hati lagi.""Dan karena kamu harus lebih hati-hati lagi, maka kamu memerlukan penjaga, Carissa.""Dahlah." Rissa melambaikan tangan sambil lalu. "Lelah aku ngadepin kamu, Kak. Terserahmu ajalah.""Ya memang harus terserah aku, sih. Kamu kan istriku, jadi wajib nurut sama aku."Carissa merotasikan bola mata. Kemudian diam walau sel
**"Biarin aku pergi, atau aku teriak?"Abian tampak tercekat. Ia menelan saliva dengan getir kala melihat perempuan di hadapannya yang menampakkan raut benci. Hilang sudah Carissa kesayangannya bertahun-tahun yang lalu. Perempuan lembut hati dan memiliki senyum secantik kelopak mawar."Lepas, Abi!" Sekali lagi Rissa menyentak lepas pegangan tangan Abian di lengannya."Aku cuma mau ngomong–""Nggak ada lagi yang perlu kita omongin. Berapa kali aku harus kasih tau kamu, ha? Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi sekarang. Jangan ganggu hidupku, aku udah bahagia!""Ris, maaf–""Udah aku maafin, sekarang pergi! Atau kamu mau dilempar sama penjaga aku?"Kedua kalinya, Abian tampak tercekat. Mendadak saja pandangan matanya terlihat panik ke segala arah, mungkin mencari penjaga yang Rissa katakan barusan."Kenapa kamu perlu penjaga segala?""Bukan urusanmu!" Rissa berbalik hendak menjauh dari lelaki tampan itu, namun Abian lebih tangkas. Ia kembali menahan tangan Rissa. Agak terlalu tiba
**Carissa sedang hamil.Abian melemparkan ponsel hingga menghantam cermin di kamarnya. Membuat dua benda yang berbenturan itu sama-sama retak seribu ; cermin dan layar ponsel."Sialan!" teriak lelaki itu murka. Emosi seperti mengaduk-aduk isi kepala dan hatinya saat ini. Membuatnya menjambak rambut sendiri dengan frustasi. "Kamu udah bener-bener tinggalin aku, Ris? Kamu tega lupain aku begitu aja? Aku pikir kamu punya rasa yang jauh lebih dalam sama aku, jadi kita bisa perbaikin semuanya."Ia terduduk di atas ranjang. Pandangannya nyalang, menatap kepada benda yang barusan ia lempar, yang kini teronggok di bawah cermin itu. Abian menghela napas sebelum bangkit dan meraih ponselnya, lantas kembali menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Hanya retak layarnya saja. Ternyata ponsel pintar itu masih bisa berfungsi seperti sebelumnya. Abian mendial salah satu nomor yang tersimpan, kemudian menunggu panggilannya diterima dari seberang sana dengan gelisah."Halo?""Mana janjimu kemarin, ha?" Se
**Sagara menoleh ke arah pintu ruangan kantornya yang dibuka tanpa diketuk dahulu. Ia sudah siap meneriakkan hardikan murka, menyebut nama Radit, namun ternyata yang keluar dari balik pintu bukanlah lelaki sekretaris pribadinya itu."Good morning, Babe."Kedua alis tebal Sagara otomatis terpaut, ekspresinya tampak tidak senang."Ketuk pintu dulu sebelum masuk. Kamu anggap ruanganku apa? Toilet umum?""Sorry." Perempuan berparas menawan dengan dress ketat yang membentuk tubuh sintalnya itu tersenyum lebar. "Haruskah aku permisi dulu? Aku udah sering banget masuk ke sini, kan?""Ada perlu apa? Kalau nggak ada, silakan pergi dan jangan ganggu aku. Aku lagi kerja, Tam."Tamara mencebik kecil kala mendengar teguran yang sama sekali tidak ramah itu. Ia menghela napas, menyilangkan hasta di depan dada sebelum menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Pandangan matanya tajam mengerling lelaki tampan yang sedikitpun tak mengalihkan pandangan dari layar laptop."Kamu dengar aku ngomong apa, Tam?""
**"Carissa!"Rissa yang sedang membaca buku di atas ayunan halaman belakang rumahnya tersentak ketika mendengar teriakan murka dari suara yang sudah begitu familiar itu. Ia menutup bukunya dan menengok ke belakang, mendapati suaminya yang baru datang. Wajah Sagara tampak buruk, sepanjang menjadi istrinya, Rissa tidak ingat pernah melihat Gara semarah ini."Kak Gara? Ada apa?""Jelasin ini sama aku!"Lelaki itu menghentak langkah, setengah mati berjuang menahan diri untuk tidak melibatkan fisik. Gara terbiasa menggunakan kekerasan ketika sedang ribut dengan orang. Kali ini yang ia hadapi adalah seorang perempuan berstatus istri yang ia cintai, dan terlebih lagi sedang mengandung."Kamu kenapa?" Rissa bertanya heran. Tangannya reflek mengelus perut yang belum tampak berisi karena mendadak saja ia merasa agak kencang dan tertekan di sekitar sana.Gara menunjukkan ponsel yang sedang memutar video, sejajar dengan arah pandang Rissa. Membuat perempuan itu terpaku kala menyadari video macam
**Sagara benar-benar tidak pulang malam harinya. Rissa terjaga hingga lebih dari dini hari untuk menunggu, namun hasilnya nihil. Ketika ia berusaha menghubungi suaminya itu, ponsel yang bersangkutan juga tidak aktif. Hati Carissa seperti bergejolak tak menentu karenanya."Dia masih nggak bisa dihubungi, Ris. Aku cari ke semua tempat yang biasa dia datengin, ternyata nggak ada juga." Begitu tutur Radit saat Rissa menghubunginya pada pukul empat dini hari.Akhirnya pukul setengah enam tepat, Rissa meminta driver-nya mengantar ke rumah besar. Tak bisa menunggu lebih lama lagi. Pun, ia mengutus kedua bodyguard untuk ikut mencari keberadaan suaminya itu."Aku masih nggak ngerti sebenernya apa yang terjadi sama kalian," ujar Yasmin, yang menerima kedatangan menantunya sebelum sempat mandi dan bersiap-siap. Rissa tak peduli, begitupun Yasmin sendiri. Wanita ayu itu duduk bersendekap hasta, mengawasi sang menantu yang menyesap secangkir teh hangat dengan wajah lelah luar biasa di kursi meja