**Sagara benar-benar tidak pulang malam harinya. Rissa terjaga hingga lebih dari dini hari untuk menunggu, namun hasilnya nihil. Ketika ia berusaha menghubungi suaminya itu, ponsel yang bersangkutan juga tidak aktif. Hati Carissa seperti bergejolak tak menentu karenanya."Dia masih nggak bisa dihubungi, Ris. Aku cari ke semua tempat yang biasa dia datengin, ternyata nggak ada juga." Begitu tutur Radit saat Rissa menghubunginya pada pukul empat dini hari.Akhirnya pukul setengah enam tepat, Rissa meminta driver-nya mengantar ke rumah besar. Tak bisa menunggu lebih lama lagi. Pun, ia mengutus kedua bodyguard untuk ikut mencari keberadaan suaminya itu."Aku masih nggak ngerti sebenernya apa yang terjadi sama kalian," ujar Yasmin, yang menerima kedatangan menantunya sebelum sempat mandi dan bersiap-siap. Rissa tak peduli, begitupun Yasmin sendiri. Wanita ayu itu duduk bersendekap hasta, mengawasi sang menantu yang menyesap secangkir teh hangat dengan wajah lelah luar biasa di kursi meja
**"Tamara?"Rasa luar biasa lega yang tadinya dirasakan Rissa karena melihat mobil sang suami di parkiran apartemen mendadak musnah kala melihat penampakan perempuan seksi itu. Tamara melenggang santai ke arah lift, dan tanpa harus dipikir dua kali pun Rissa tahu, Tamara jelas akan menemui suaminya."Mau apa dia ke sini?" desis Rissa kesal. Buru-buru turun dari mobil dan sedikit berlari ke arah lift, yang sayangnya baru saja tertutup."Bu, hati-hati, tolong!" tegur si driver yang mengikuti dengan napas terengah. "Saya takut Ibu nanti jatuh atau bagaimana.""Tamara ngapain ke sini?" desak Rissa kian kesal, dan tentu saja tak ada jawaban yang ia dapatkan. Supirnya mana tahu, iya kan?"Dia tahu darimana kalo Kak Gara ada di sini? Aku aja nggak tahu!""Sabar, Bu. Sabar ...."Menghentakkan kaki dengan tidak sabar, Rissa mengayun langkah-langkah lebar begitu pintu lift terbuka di hadapannya. Hanya ke lantai empat, tapi entah bagaimana rasanya lama sekali. Hingga saat pintu metalik itu ter
**"KELUAR!"Tamara benar-benar tertegun. Setelah apa yang terjadi, mengapa kini Gara masih juga menolaknya seperti ini? Bukankah lelaki itu sekarang sudah menjadi benci dengan istrinya? Bukankah sedetik yang lalu Gara sudah mengusir pergi Carissa?"Gara, kamu ... kita duduk dulu dan bicarain ini pelan-pelan, oke?""Kamu emang bodoh dan nggak ngerti apa yang barusan aku katakan, atau cuma pura-pura, ha?" Gara berkata dengan nada suara setajam belati. "Aku bilang keluar dari sini dan jangan pernah ganggu aku lagi!""Gara!""Brengsek!""Aku udah kasih tahu kebenaran tentang istrimu yang kampungan itu! Kamu bukannya terimakasih–""Aku nggak pernah minta kamu ngelakuin ini! Kalau kamu mengharap terimakasih, nggak usah lakukan apa-apa dari awal!" Gara berkata keras, menunjuk Tamara dengan urat pelipis berkedut karena emosi. "Jangan pikir kamu bisa menyusupkan diri di antara aku dengan Rissa! Kamu nggak akan pernah punya tempat di sini!" Dan karena Sagara sudah terlalu lelah bercampur emos
**Yasmin menggertakkan gigi dengan jengkel sembari memandang layar ponselnya. Kesal karena sejak semalam pesan balasan dari sang menantu tak kunjung datang. Pun dari sang putra sulung. Gara mengabaikan semua pesan, chat, atau telepon darinya."Nggak tau apa, aku kan khawatir," omel Yasmin berapi-api. Wanita itu meraih clutch yang biasa ia bawa dengan pandangan masih terpancang pada layar ponsel. Lantas berjalan ke luar rumah dengan langkah-langkah lebar."Antar ke rumah Sagara sekarang," titahnya kepada driver yang setia menunggu. "Ke rumahnya aja, jangan ke apartemen.""Baik, Nyonya." Laki-laki berseragam itu membukakan pintu belakang sedan hitam dan memastikan nyonya besarnya sudah aman di dalam sebelum menutupnya kembali."Tuan Muda ada di rumah?" tanya sang supir begitu mobil sudah melaju di jalan raya yang ramai pagi ini."Nggak tahu," desah Yasmin lelah. "Anak-anak itu nggak bisa dihubungi. Tapi nggak tahu kenapa aku kok punya perasaan pengen lihat ke rumahnya aja."Lelaki yang
**Gara tidak mengira bahwa hari seperti ini akan tiba juga pada akhirnya. Mobil yang ia tumpangi berhenti di halaman parkir gedung besar dengan arsitektur sangat manly. Simpel, tegas, dan elegan. Ini adalah Arctic, perusahaan telekomunikasi yang didirikan oleh Henry Danurendra. Ayah kandungnya.Sudah berapa lama Sagara tidak bertemu dengan Henry? Padahal mereka masih berada di kota yang sama, namun jarak yang terentang di antara ayah dan anak itu seperti terhalang samudera."Ikut masuk, Gar?" tanya Radit yang mengemudi mobilnya. "Pak Robert udah di dalam, katanya."Gara hanya menjawab dengan anggukan pasti. Air wajahnya tampak keruh, membuat lelaki tampan itu terlihat jauh lebih tegas dan berbahaya. Suasana hati Gara buruk sekali semenjak ia mengusir Carissa pergi dari apartemen hari lalu itu."Seriously?" Radit bertanya memastikan. "Lo bakal ketemu papa lo di dalem sana.""Dan masalahnya?" timpal Gara sarkas, "Gue ke sini hanya untuk urusan bisnis."Radit menghela napas, sejujurnya
**Abian menggandeng lengan sang Papa dengan protektif. Berjalan perlahan menyusuri koridor rumah sakit yang lengang."Padahal Papa udah bilang nggak usah, Bi," tutur Henry. Lelaki itu sedikit terengah walau mereka berdua sedang berjalan dengan perlahan."Abian nggak perlu lihat dua kali buat mastiin keadaan Papa. Nggak perlu mikir dua kali juga buat bawa Papa periksa.""Papa serius, loh.""Bian juga serius."Percuma sajalah. Henry memilih menurut saja kepada sang putra. Lagi pun, hanya Abian yang ia miliki di dunia ini sekarang."Bian udah bikin janji sama dokter, kok. Papa nggak usah khawatir, nanti hanya akan diperiksa.""Terserah kamu aja lah." Henry menghela napas. Dadanya agak sedikit sesak. Jujur saja belakangan ia juga merasa tidak baik-baik saja. Terutama sejak beberapa bulan belakangan, ketika Henry tahu usaha yang ia bangun cepat atau lambat tidak akan bisa diselamatkan lagi.Satu jam kemudian saat pemeriksaan sudah selesai, bapak dan anak itu akhirnya keluar dari ruangan d
**"Rissa? Ris, kamu bisa lihat aku?"Carissa mengerjapkan mata, berusaha mendapatkan atensi yang lebih fokus. Rasa panas dan perih seperti menyengat kedua netranya. Ia ingin menggosoknya dengan telapak tangan, namun entah bagaimana dirinya tak memiliki kekuatan sama sekali untuk itu."Mami ....""Iya, ini aku. Kamu bisa denger suaraku, kan? Bisa lihat aku, nggak?" Yasmin menempatkan dirinya lebih dekat dengan sang menantu sementara perempuan itu masih mengedipkan matanya beberapa kali."Mami, ada apa ini? Rissa di mana?""Rumah sakit. Kamu pingsan di rumah. Nggak ingat?"Sekali lagi Rissa berusaha memusatkan fokus. Pandangannya masih buram, tapi ia bisa melihat ibu mertuanya yang memandang dengan wajah cemas di samping ranjang."Pingsan, ya?" Rissa tidak ingat. Yang terakhir kali ia ingat adalah perutnya sangat sakit. Ah, perut? Rissa meringis saat ia mengubah posisi dengan tiba-tiba. Rasa kencang pada perutnya masih tersisa walau tak lagi se-intens kemarin. "Jadi, Mami yang bawa Ris
**Sagara seperti orang linglung saat Abian meninggalkannya dalam keadaan babak belur. Lelaki yang biasanya sangat arogan dan tidak mau kalah dengan siapapun itu bahkan sama sekali tidak sempat berpikir untuk membalas pukulan Abian tadi setelah satu pernyataan melekat dalam kepalanya tanpa sama sekali bisa ia hindari ; Carissa masuk rumah sakit dan nyaris keguguran.Omong kosong macam apa ini? Tunggu, memangnya ini omong kosong?Dengan kesal lelaki itu menyambar ponselnya untuk menghubungi Radit."Radit!" serunya keras begitu suara sahabatnya itu menggantikan nada sambung yang mendengung."Gar–""Lo tau kabar tentang Rissa?"Hening sesaat, dan Gara mulai tidak sabar. Ia menyalak lagi, "Radit!""Nah, kuping lo baru berfungsi detik ini apa gimana?""Apa maksud lo?""Bukannya gue udah bilang sama lo satu atau dua hari yang lalu kalo Carissa masuk rumah sakit? Tapi lo nggak dengerin.""Kapan lo kasih taunya, bangsat?""Waktu kita minum di apartemen.""Bajingan!" Gara mengumpat murka. "Jel