**"Mami, lelucon macam apa ini?!"Gara memandang tiga orang di sana bergantian. Merasa menjadi orang yang paling dikhianati sedunia. Setelah nyaris seumur hidup ia habiskan dengan menempa hidupnya siang dan malam agar bisa membalaskan sakit hati sang ibu, sekarang manusia yang menjadi tersangka utama justru berada di sini? Dan ibunya tampak sama sekali tidak keberatan dengan hal ini?"Mami! Ini nggak lucu! Kenapa Mami ijinin dua orang ini menginjakkan kaki di rumah kita?""Mami udah bilang, dengarkan Mami dulu, Gar!""Sebagus apa alasan Mami sampai Gara harus dengar, ha?" Lelaki itu sudah memutar langkah hendak meninggalkan tempat, namun Yasmin menahannya. Emosi sudah terlanjur menguasai hingga Yasmin terdorong jatuh saat ia menghempaskannya."Gara!" Abian yang kembali bertindak. "Berani-beraninya lo kasar sama Mami!""Apa peduli lo, ha?"BUGH!Dua kali. Dua kali dalam waktu yang berdekatan, Abian melayangkan pukulan telak kepada sang kakak. Lelaki itu benar-benar dikuasai emosi hing
**"Pergi, kamu!"Carissa tertegun. Tidak mengira bahwa respon Gara akan tetap seperti itu sekalipun sudah cukup lama waktu berlalu. Carissa sudah menguatkan mental dan fisik untuk kembali mendatangi sang suami setelah dua minggu mendinginkan hati, namun ternyata Sagara tidak sedikitpun berubah."K-Kak Gara ... kok begitu ngomongnya?"Sagara mendesis kesal, demi Tuhan, kesal kepada dirinya sendiri. Ia merindukan Rissa, ia bahkan membiarkan perempuannya itu memandang menelisik kepadanya hanya demi mendapati betapa berantakan hidupnya selama dua minggu ini. Namun mengingat bahwa selama dua minggu ini pula Abian sering berada bersamanya di mansion sang Mami, api besar yang berkobar seperti membara dalam dadanya."Mau apa lagi kamu ke sini, ha?""Kak Gara, aku udah bilang aku kangen. Kenapa kamu masih begini sama aku, Kak? Apa kesalahanku terlalu besar?""Kenapa kamu masih datang ke sini? Apa Abian kurang bisa memenuhi kebutuhanmu, ha?""Kak Gara!""Sana pergi! Bukankah kamu sudah bahagia
SEASON 2**Ini adalah weekend. Carissa sedang berbaring dengan nyaman di ruang tengah rumahnya, dengan sebuah buku novel di tangan dan kedua telinga tertutup headset. Menikmati hari setelah satu minggu bergelut dengan pekerjaan. Yeah, Yasmin memang sebenarnya tidak mengizinkan sang menantu datang ke butik untuk bekerja, namun Rissa merasa bosan jika harus berada di rumah sendirian sepanjang hari. Maka, ia tetap berangkat ke butik dan bekerja seperti biasanya."Baby, what are you doing?"Sagara melongokkan kepala, memandang sang istri yang tampak asyik sendiri. Tak ada jawaban yang terlontar, jadi lelaki itu beranjak mendekat."Sayang?""Ah?" Rissa buru-buru melepas headset-nya. "Kak? Ada apa?""Asyik banget kelihatannya. Diem aja aku panggil-panggil.""Sorry." Rissa terkekeh pelan. "Suka lupa dunia kalo udah pegang buku.""Taruh dulu lah, bukunya. Weekend adalah waktu buat aku.""Salah." Rissa mencibir. "Weekend itu waktu buat istirahat."Gara hanya mengangkat bahu. Ia memposisikan di
**"Mana ada orang jualan takoyaki jam setengah dua dini hari begini? Ya ampun, Ris, kamu begini banget kalo mau ngerjain aku?" Gara mengerang dengan frustasi seraya meninju pelan kemudi mobilnya setelah hampir setengah jam berputar-putar di jalanan. Kota memang tidak sepi dan ada satu dua toko atau kedai yang masih buka meski ini dini hari. Namun, sama sekali tidak tampak penjual takoyaki di antaranya. Lelaki itu tidak mau membuat Carissa kecewa, karena istrinya sangat jarang meminta sesuatu. Jadi harus bagaimana?"Mungkin emang nggak ada," keluh Gara sementara menghentikan mobilnya di tepi trotoar jalan. Tak mengapa, tidak ada petugas dishub pada jam sekian. "Mungkin Rissa bakalan ngerti kalo aku pulang dan bilang nggak ada. Ah, dia pasti ngerti, kan? Kita bisa cari lagi nanti kalau hari udah terang. Lagian aku ngantuk banget."Berbekal keyakinan dalam hati, Gara akhirnya kembali memutar kunci mobilnya dan menghidupkan mesin. Bersiap untuk pulang ke rumah. Berusaha mengumpulkan kons
**"Rissa?" Sagara memanggil pelan ketika sudah sampai kembali di rumah, beberapa saat kemudian. "Ris, aku dapet takoyakinya, nih. Awas aja kalo nggak diabisin, ya?"Lelaki itu melangkah perlahan menuju kamar. Membuka pintu, dan tertegun di sana. Diam memandang sosok yang sedang memejamkan mata seperti putri tidur itu. Gara mendekati sang istri dan mengelus pucuk kepalanya dengan lembut. Membuat yang bersangkutan menggeliat pelan dalam tidurnya."Bangun, Sayang.""Mmm ....""Nih, takoyaki. Aku udah berjuang buat dapet ini dini hari begini. Ayo, bangun." Gara mengecupi kening perempuan yang masih terlelap itu. Membuat tidurnya terganggu dan mau tak mau jadi membuka mata."Kak?""Iya. Bangun, ini aku dapet takoyakinya."Serta merta Rissa terbangun. Dengan wajah berseri dan mata berbinar-binar ia meraih bungkusan yang masih ada di tangan suaminya."Ah, masih panas.""Hati-hati kalo makan. Kan baru dimasak, jelas masih panas, dong."Rissa meniup kecil makanan berbentuk bulat-bulat itu, ke
**"Kok wajahnya begitu, sih?" Gara tertawa kecil saat melihat raut sang istri yang cemberut."Begitu gimana? Aku wajahnya kan ya emang begini. Kamu berharap wajahku mau kek mana lagi?""Itu cemberut begitu. Kenapa? Cemburu ya kalo aku ketemu sama Aneska?""Siapa yang cemburu?""Kamu, lah. Kalo aku sih ya jelas cemburu kalo kamu ketemu sama laki-laki lain." Gara masih tertawa menggoda saat wajah Carissa tampak semakin kusut."Nyebelin kamu, tuh. Udah ah, sana jauh-jauh!"Sagara benar-benar tertawa. Ia memeluk sang istri dari samping sembari menciumi pipi perempuan itu. "Hei, aku kan cuma ketemu sama dia. Itu nggak sengaja, Sayang. Jangan cemberut begitu, dong.""Gimana mungkin ketemu sama Aneska jam segitu?""Nah, itu. Aku sempet tanya juga, katanya dia baru pulang kerja.""Jam segitu pulang kerja? Kerja apaan?" Rissa terbelalak, melupakan rasa cemburu yang tadi sempat menyapa. Sekarang ia benar-benar serius bertanya. "Kamu nggak tanya dia kerja apa, Kak?""Katanya dia kerja di restor
**Oh, God.Sagara bertukar pandang dengan Carissa, menampilkan dua raut wajah yang berbeda. Gara tampak seratus persen terkejut, sementara Rissa terlihat penuh haru."Mami!" Perempuan itu berseru. "Ah, ini berita bagus!""Bagus, tapi rupanya Gara nggak berpikir demikian," timpal Yasmin seraya melirik sang putra.Rissa mendelik kepada suaminya yang masih terpaku di tempat. "Kak Gara! Jangan sampai kamu mengacaukan rencana baik ini, ya! Mami sama Papa udah kepisah cukup lama. Kalau sekarang ada yang mau halangin mereka kembali, aku yang berdiri paling depan buat ngebelain!"Oh, sial. Sagara bisa apa jika sang istri sudah berlagak demikian? Maka mau tak mau kini lelaki itu hanya melambaikan tangan sambil lalu."Terserahlah.""Ah, bagus!" Rissa bertepuk tangan kecil dengan wajah gembira. "Jadi, kapan acaranya, Mam? Apakah lebih dulu dari Radit?""Nggak, Ris. Radit yang lebih dulu, lah. Lagian ini aku sama papanya Gara hanya akan menikah tanpa acara apapun.""Kok begitu, Mam?""Kamu nggak
**Sagara dan Radit yang masih bercengkerama dengan obrolan ringan seputar rencana pernikahan itu mendadak menghentikan kegiatan kala ketukan pelan di pintu terdengar menginterupsi. Radit segera merapikan dirinya dan berada pada posisi siaga sebelum pintu terbuka."Tamara?" Lelaki tiga puluh tahun itu menyebut dengan heran saat melihat siapa yang kemudian masuk."Selamat pagi," sapa sosok cantik yang baru menampakkan diri itu."Tumben?" Radit menggerutu pelan, melirik sekilas ke arah Sagara yang tetap diam di sampingnya. "Ada perlu apa, Tam?""Biasanya aku ke sini, kamu nggak pernah tanya ada perlu apa," tukas si perempuan, menjawab Radit dengan ketus."Karena ini nggak biasa."Tamara berdecih singkat kepada Radit seraya meletakkan sebuah stopmap di atas meja Sagara. "Itu titipan dokumen dari Papi. Kamu liat aja sendiri.""Cuma jadi kurir doang ternyata." Radit mendengus kecil, disambut pelototan garang dari perempuan seksi yang sore ini sedang mengenakan dress ketat berwarna merah me
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh