**"Rissa?" Sagara memanggil pelan ketika sudah sampai kembali di rumah, beberapa saat kemudian. "Ris, aku dapet takoyakinya, nih. Awas aja kalo nggak diabisin, ya?"Lelaki itu melangkah perlahan menuju kamar. Membuka pintu, dan tertegun di sana. Diam memandang sosok yang sedang memejamkan mata seperti putri tidur itu. Gara mendekati sang istri dan mengelus pucuk kepalanya dengan lembut. Membuat yang bersangkutan menggeliat pelan dalam tidurnya."Bangun, Sayang.""Mmm ....""Nih, takoyaki. Aku udah berjuang buat dapet ini dini hari begini. Ayo, bangun." Gara mengecupi kening perempuan yang masih terlelap itu. Membuat tidurnya terganggu dan mau tak mau jadi membuka mata."Kak?""Iya. Bangun, ini aku dapet takoyakinya."Serta merta Rissa terbangun. Dengan wajah berseri dan mata berbinar-binar ia meraih bungkusan yang masih ada di tangan suaminya."Ah, masih panas.""Hati-hati kalo makan. Kan baru dimasak, jelas masih panas, dong."Rissa meniup kecil makanan berbentuk bulat-bulat itu, ke
**"Kok wajahnya begitu, sih?" Gara tertawa kecil saat melihat raut sang istri yang cemberut."Begitu gimana? Aku wajahnya kan ya emang begini. Kamu berharap wajahku mau kek mana lagi?""Itu cemberut begitu. Kenapa? Cemburu ya kalo aku ketemu sama Aneska?""Siapa yang cemburu?""Kamu, lah. Kalo aku sih ya jelas cemburu kalo kamu ketemu sama laki-laki lain." Gara masih tertawa menggoda saat wajah Carissa tampak semakin kusut."Nyebelin kamu, tuh. Udah ah, sana jauh-jauh!"Sagara benar-benar tertawa. Ia memeluk sang istri dari samping sembari menciumi pipi perempuan itu. "Hei, aku kan cuma ketemu sama dia. Itu nggak sengaja, Sayang. Jangan cemberut begitu, dong.""Gimana mungkin ketemu sama Aneska jam segitu?""Nah, itu. Aku sempet tanya juga, katanya dia baru pulang kerja.""Jam segitu pulang kerja? Kerja apaan?" Rissa terbelalak, melupakan rasa cemburu yang tadi sempat menyapa. Sekarang ia benar-benar serius bertanya. "Kamu nggak tanya dia kerja apa, Kak?""Katanya dia kerja di restor
**Oh, God.Sagara bertukar pandang dengan Carissa, menampilkan dua raut wajah yang berbeda. Gara tampak seratus persen terkejut, sementara Rissa terlihat penuh haru."Mami!" Perempuan itu berseru. "Ah, ini berita bagus!""Bagus, tapi rupanya Gara nggak berpikir demikian," timpal Yasmin seraya melirik sang putra.Rissa mendelik kepada suaminya yang masih terpaku di tempat. "Kak Gara! Jangan sampai kamu mengacaukan rencana baik ini, ya! Mami sama Papa udah kepisah cukup lama. Kalau sekarang ada yang mau halangin mereka kembali, aku yang berdiri paling depan buat ngebelain!"Oh, sial. Sagara bisa apa jika sang istri sudah berlagak demikian? Maka mau tak mau kini lelaki itu hanya melambaikan tangan sambil lalu."Terserahlah.""Ah, bagus!" Rissa bertepuk tangan kecil dengan wajah gembira. "Jadi, kapan acaranya, Mam? Apakah lebih dulu dari Radit?""Nggak, Ris. Radit yang lebih dulu, lah. Lagian ini aku sama papanya Gara hanya akan menikah tanpa acara apapun.""Kok begitu, Mam?""Kamu nggak
**Sagara dan Radit yang masih bercengkerama dengan obrolan ringan seputar rencana pernikahan itu mendadak menghentikan kegiatan kala ketukan pelan di pintu terdengar menginterupsi. Radit segera merapikan dirinya dan berada pada posisi siaga sebelum pintu terbuka."Tamara?" Lelaki tiga puluh tahun itu menyebut dengan heran saat melihat siapa yang kemudian masuk."Selamat pagi," sapa sosok cantik yang baru menampakkan diri itu."Tumben?" Radit menggerutu pelan, melirik sekilas ke arah Sagara yang tetap diam di sampingnya. "Ada perlu apa, Tam?""Biasanya aku ke sini, kamu nggak pernah tanya ada perlu apa," tukas si perempuan, menjawab Radit dengan ketus."Karena ini nggak biasa."Tamara berdecih singkat kepada Radit seraya meletakkan sebuah stopmap di atas meja Sagara. "Itu titipan dokumen dari Papi. Kamu liat aja sendiri.""Cuma jadi kurir doang ternyata." Radit mendengus kecil, disambut pelototan garang dari perempuan seksi yang sore ini sedang mengenakan dress ketat berwarna merah me
**"Selamat datang!"Rissa menyambut dengan ramah saat pintu butik didorong terbuka. Selalu itu yang ia lakukan saat customer datang, tanpa terkecuali. Kemudian biasanya Rissa akan menawarkan bantuan rekomendasi baju atau bertanya dengan ceria,apa yang mereka butuhkan. Nah, namun kali ini, hanya sapaan saja yang Rissa bisa sampaikan. Setelahnya, perempuan itu diam terpaku memandang sosok yang baru saja memasuki butik."Tamara?""Begitu cara kamu nyambut pelanggan?""Oh?" Rissa bergerak dengan kikuk. "Silakan masuk. Ada yang bisa aku bantu? Kamu mau cari baju apa?"" Actually, nothing." Perempuan semampai itu mengibaskan rambut panjangnya sembari memandang sekeliling. Membuat Rissa kesal saja."Jadi, ke sini mau ngapain, eh?""Aku mau cari Mami. Mana Mami?""Nggak ada." Rissa menjawab pendek dengan kesal. Jelas saja belum bisa ia lupakan pertemuan terakhirnya dengan perempuan ini yang menyebabkan dirinya nyaris keguguran atau bahkan kehilangan suami."Ke mana?" Tamara ternyata masih me
**"Aku bilang kamu boleh aja kok dateng meskipun nggak ada undangan. Kamu tau, aku nggak bikin banyak undangan, Tam. Karena aku sama calon istriku udah sepakat kalo kita hanya akan bikin acara sederhana aja."Sagara yang baru datang di kantor siang ini mengerutkan dahi saat mendengar suara-suara familiar seperti tengah berdebat. Ia menengok lorong di mana suara-suara itu berasal. Dan benar saja, ternyata memang suara itu berasal dari orang yang familiar. Radit dan Tamara."Ngapain kalian di sini?" Tanpa bermaksud menyidak, Gara bertanya dengan suara sedikit keras.Radit segera menoleh. "Eh, hai, Gar! Baru dateng, lo?""Kalian ngapain?" Gara mengulang pertanyaannya. Memandang penuh selidik kepada dua orang yang tampak sedang bersitegang itu."Ah, ini. Tamara bilang dia pengen dateng ke acara nikahan gue, tapi nggak ada undangan. Gue bilang dateng aja nggak apa-apa walau nggak ada undangan. Tapi dianya nggak mau."Dengan kening masih berkerut, Gara mengalihkan pandangan kepada sosok ca
**"Sayang?"Gara menutup pintu di belakang punggungnya sembari memanggil sang istri yang entah berada di bagian rumah sebelah mana. Kediamannya tampak begitu hening, meski hari masih sore."Sayang, kamu di mana?" Gara melintasi ruangan demi ruangan dengan kepala menengok ke sana kemari. Namun, tak ia temukan sosok mungil yang selalu ia rindukan itu."Ah!" Baru ketika Gara menengok jendela yang menembus ke halaman belakang rumahnya, ia melihat sang istri sedang duduk di ayunan sembari memangku sebuah buku. "Di situ rupanya!""Sayang? Kok kamu di sini sore-sore? Nggak dingin?"Carissa menoleh begitu suara sang suami terdengar olehnya. Senyum lebarnya merekah sementara merentangkan kedua tangan, menyambut Gara dalam pelukan."Hai, Kak. Kok tumben masih terang benderang udah pulang? Biasanya kamu nyampe rumah selalu nunggu matahari tenggelam dulu."Gara mengedikkan bahu seraya menyusul duduk di atas ayunan, di samping sang istri. Ia melingkarkan lengan, merengkuh pinggang perempuan di sa
**"Kamu cantik."Carissa tersenyum saat pujian tulus itu terlontar dari mulut suaminya. Sagara jarang memuji, jadi sekalinya kata-kata manis itu ia sampaikan kepada sang istri, Carissa bisa salah tingkah sendiri."Kenapa kamu dandan cantik?"Nah, hilang seketika senyum Rissa saat mendengar lanjutan kata-kata Sagara."Kok gitu sih tanyanya?""Karena sebenernya kamu nggak boleh cantik kalau di luar rumah. Aku nggak rela."Carissa mendenguskan tawa pelan sembari mengoleskan liptint ke permukaan bibirnya. Ia mematut diri di depan cermin sekali lagi, memastikan penampilannya sempurna. Bukan sempurna yang bagaimana, hanya saja Rissa memastikan dirinya rapi dan enak dipandang."Nanti kamu ketemu Abian." Sagara ternyata masih melanjutkan merajuk. Membuat Rissa menghela napas dan berbalik menghadap lelaki kesayangannya itu."Ya terus kenapa kalo aku ketemu Abian, Kak? Kita kan emang mau berangkat bareng-bareng sekeluarga.""Abian jadi lihat kamu dandan cantik begini.""Astaga, Kak Gara." Riss